RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Minggu, 02 Desember 2012

ANAK KITA BUKAN ROBOT

Astaghfirullahal ‘adzim, alangkah seringnya kita memotivasi anak-anak kita bukan demi kebaikan mereka di akhirat, tetapi demi memperturutkan kebanggaan kita sendiri. Kita didik mereka agar mampu membaca pada usia balita, bukan agar mereka l

ebih mengenal Tuhannya, tetapi demi mendatangkan decak kagum tentang betapa hebatnya kita mendidik mereka.

Kita asah kecerdasan sehingga hebat luar biasa. Bukan agar bisa menolong agama Allah ini dengan kemampuan yang mereka miliki. Justru sebaliknya, kita ajarkan kepada mereka doa-doa kepada Allah Ta’ala untuk memperoleh dunia. Kita biasakan mereka berdoa bukan agar hatinya terpaut dengan Allah ‘Azza wa jalla, tetapi semata agar Allah melimpahkan perstasi yang menakjubkan. Tak salah jika semasa kuliah rajin puasa dan memelihara sikap takzim pada orang tua, tetapi sesudah mereka memperoleh apa yang dicita-citakan, bekas-bekas puasa Senin itu tak tampak sedikit pun.

Pertanyaan kemudian, apakah salah kita menyayangi mereka? Tidak. Kecupan untuk anak kita atau pelukan hangat saat bercanda dengan mereka adalah perbuatan sunnah apabila kita melakukannya untuk meninggikan perintah nabi. Allah ‘Azza wa jalla akan melimpahkan barakah bagi setiap kecupan kita atau usapan jemari di atas pipi mereka yang basah oleh airmata. Allah akan jadikan setiap detik kehidupan kita bersama anak-anak kita sebagai catatan pahala yagn tiada putus-putusnya bila kita sentuh mereka karena ketakwaan kita kepada Allah. Tetapi kita tidak tahu, apakah yang akan kita dapatkan jika kita melakukan semua itu demi kebanggaan kita sendiri?

Subhanallah, alangkah sering mata kita terkelabui oleh yang semu. Kita menginginkan mereka mendengar setiap perkataan kita. Tetapi kita lupa belajar mendenganr suara nurani mereka. Kita ingin anak-anak kita cerdas, enerjik dan kreatif, tetapi kitalah yang pertama kali membunuh bakat-bakat mereka, inisiatif-inisiatif mereka dan bahkan kebaikan-kebaikan mereka.

Astaghfirullahal ‘azhim. Alangkah sia-sia kita mendidik anak, kecuali jika kita melakukannya sebagai tanggun jawab kepada Allah Ta’ala. Alangkah sia-sia kebanggan kita atas kehebatan mereka kalu kehebatan itu justru mengantarkan mereka ke neraka, kemudian menarik kita untuk sama-sama tercampak dalam siksa yang pedih. Na’udzubillahi min dzalik.

Masya Allah….., terkadang kita ajarkan kepada mereka doa-doa, tetapi tanpa menumbuhkan keyakinan bahwa Allah adalah tempat bergantung dan memohon pertolongan. Kita ajarkan kepada mereka Al-Qur’an, sehingga mereka fasih membacanya di usia yang masih amat belia, tetapi kita lupa membangkitakan kepercayaan di hati mereka untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan hidup. Kita ajarkan kepada mereka hafalan surat-surat pendek, bukan untuk membekali jiwa mereka, tetapi demi memproleh tepuk tangan yang meriah saat wisuda TPA. Atau kita gembleng mereka untuk mampu mengusai ilmu apa saja, tetapi tanpa mempersiapkan jiwa mereka untuk mengabdikannya kepada Allah ‘Azza wa jalla. Kita tidak membangkitkan jiwa mereka untuk mencintai agama ini dengan ilmu, iman dan amal shalih. Mereka menjadi orang-orang yang merugi meskipun prestasinya membuat orang lain merasa iri.

Ya…..ya……ya…..., alangkah sia-sia semua usaha kita kalau hanya untuk hidup di dunia. Terlalu mahal biaya yang harus kita bayar. Terlalu besar tenaga yang harus kita keluarkan kalau kita didik anak-anak kita menjadi manusia cerdas hanya untuk pandai mencari nafkah. Alangkah panjang masa mereka belajar sejak play group hingga jenjang S-3 untuk hidup yang amat pendek, jika mereka mampu menyelesaikan doktor pada usia 30 tahun sementara Allah mengaruniakan kepada mereka usia rata-rata, yakni 60 tahun, berarti belajar satu hari untuk dapat bekerja mencari nafkah satu hari. Sementara menikmatinya Cuma beberapa jam. Itu pun banyak yang tidak sempat menikmati.

Demi masa. Sungguh kita sangat merugi kalau kita didik anak-anak kita dengan sekian banyak kursus dan keterampilan hanya agar masa depan mereka cerah, dan memperoleh pekerjaan yang membanggakan. Apalagi kalau anak-anak itu ternyata sebelum sempat meraih masa depan Allah sudah memanggilnya. Sungguh, kerugian yang berlipat-lipat bagi kita. Di dunia kita tidak mendapatkan apa-apa sementara di Akhirat kita hanya meratap dengan penuh kekecewaan.

Sahabat, mudah-mudah kisah dibawah ini membuat tersadar akan arti pentingnya Anak kita……….

----------------------------------------------------


Bu Linar mewarisi dendam kesumat akibat sejak kecil dirundung penderitaan dan penghinaan. Tidak ingin selamanya hidup menderita dan dicaci, dia berhasil menaikkan harkat keluarganya dengan bekerja keras menjadi guru. Sayang, dendam masa lalu terlalu berakar dalam dirinya. Bu Linar pun menjadi sombong, induk dari segala macam dosa.



Dia suka pamer dan membangga-banggakan dirinya. Bahkan dia menghalalkan segala macam cara agar keinginannya tercapai.

Dan yang pertama menjadi korban adalah anak-anaknya sendiri. Mereka dipaksa menanggung ambisi besar si ibu dengan belajar setiap waktu. Selain belajar di sekolah dari pagi hingga siang, mereka juga mendapatkan les privat langsung setelah sekolah usai. Sore harinya mereka les vokal, les tari, dan malam hari les yang lainnya lagi.



“Kalian tahu betapa sulitnya mencari uang! Sementara kalian enak-enak saja! Tugas kalian cuma satu, yaitu berprestasi!” teriak Bu Linar tiap jumpa anak-anaknya sedang santai



Anak-anak Bu Linar kehilangan masa kanak-kanak mereka demi mewujudkan cita-cita si ibu. Dan memang mereka semua mendapatkan juara pertama, bahkan juara umum di sekolah. Namun, itu semua tidak membuat mereka bahagia.



“Prestasi kalian harus ditingkatkan lagi. Ibu belum puas!” seru si ibu saat memaksa anak-anaknya belajar pada masa liburan.

Selain menyuruh anaknya selalu belajar, setiap hari si ibu memeriksa PR dan hasil ulangan anak-anaknya. Apabila ada satu nomor saja yang salah maka dia tak ragu-ragu memukul buah hatinya dengan kayu atau rotan.



“Kalian anak Ibu, Ibu yang melahirkan kalian, Ibu berhak mengajar kalian supaya tahu diri!” makinya. Kondisi itu semakin parah karena sikap si ayah setali tiga uang dengan si ibu.



Bu Linar juga memaksa anak-anaknya ikut lomba model yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan si anak. Setiap kali menjadi juara, dia pun memamerkannya kepada tetangga kanan kiri. Sementara itu, anaknya semakin tak bahagia, apalagi saat ibu mereka berkata, “Lihat tuh, lemari piala itu sangat besar dan mahal! Kalian harus mengisinya dengan piala-piala hasil juara lomba!”



Tak heran lama-kelamaan anaknya jatuh sakit karena stres ditekan si ibu. Lagi-lagi si ibu tidak ambil pusing dengan kondisi anaknya. Yang penting keinginannya terlaksana.



Belasan tahun berlalu, Bu Linar tak habis pikir, anak-anaknya yang sejak kecil selalu berprestasi menjadi orang yang tidak punya pendirian. Mereka plin-plan, peragu, penakut, dan gagal dalam pergaulan sosial. Anak-anaknya memang sudah dewasa, tetapi sifatnya masih kekanak-kanakan. Segalanya terserah kepada keinginan si ibu.



Begitu juga soal mendapatkan pekerjaan. Si ibu harus turun tangan dengan meloloskan semua anaknya menjadi pegawai di sejumlah instansi pemerintah. “Walau gagal menjadi artis top, menjadi pegawai masih dapat dibanggakan,” ujarnya.



Sayangnya, karier anak-anaknya mandek karena tidak terbiasa kreatif. Mereka bergantung pada perintah ibunya sehingga tidak cakap mengelola hidupnya sendiri. Malangnya, mereka mengalami gangguan kejiwaan, yaitu selalu dihinggapi rasa takut, terutama takut gagal sehingga cenderung tidak melakukan apa-apa. Bahkan mereka akan langsung jatuh sakit jika berhadapan dengan sedikit masalah.

----------



Sahabat, Setelah mempunyai anak hendaknya kita lebih memahami bahwa kita orang tua tidak selalu benar. Jangan sampai ambisi kita mengorbankan kebahagiaan anak-anak kita karena Prestasi yang berasal dari jiwa yang tertekan tidak akan mendatangkan kebahagiaan.



Ya…anak-anak kita bukan Robot yang siap membantu melayani dan mewujudkan keinginan-keinginan kita yang sesa’at.



Tugas kita justru bagaimana Anak-Anak kita mempunyai karakter yang kuat dan keimanan yang kokoh sehingga jika kita lebih dulu meninggalkan mereka, kita bisa istirahat dengan tenang dan tersenyum indah ketika kita sedang ‘beristirahat’ di Alam Barzah nanti



Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin 'Ali, dan di sisi Nabi ketika itu ada Al-Aqro' bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro' berkata, "Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampun melihat kepada Al-'Aqro' lalu beliau berkata, "Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi" (HR Al-Bukhari )



Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut kasih sayang dari hatimu" (HR Al-Bukhari )



"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…" [at Tahrim : 6].



MULIA kita dengan MEMBERI, ABADIKAN yang TERSISA dengan SEDEKAH

Kiriman : Ukhti Nisa
Oleh : Rumah Yatim Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar