RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Kumpulan Puisi & Cerpen Tguh KlasBungamatahari‎ - DENDAM


DENDAM
cerita dari Tguh Klasbungamatahari


"Pant*k! Hari sepanas ini bisa hujan pula..."

Setelah isapan terakhir , Aku pun menghempaskan kuat - kuat rokokku dan seakan belum puas mencampakkan kesal, masih kupijak lagi rokok itu hingga lumat bercampur tanah. Kemudian lari mencari tempat berteduh.

Ya hujan panas. Hujan yang turun di tengah teriknya siang. Itu pertanda buruk. Menurut kepercayaan masyarakat melayu. Akan ada manusia yang mati bersimbah darah. Sebenarnya tak peduli betul dengan apapun yang bersifat tahayul. Tapi kali ini. Lantak lah*1 Apa yang terjadi... Terjadilah.

"Mungkin sekarang waktunya. Entah aku atau dia yang akan mati bersimbah darah."

Dan celakanya hujan semakin lebat. Toolbox house*2 tempat ku berteduh terkunci. Atap besi yang mirip topi diatas tak cukup besar untuk menaungiku dari tempias hujan. Dengan penuh geram kutatap mobil strada di dekat pumping unit*3. Hujan lumayan meredakan bunyi house music yang sedari tadi sangat mengganguku. Terlebih membayangkan seseorang di dalam mobil itu. Tiduran santai dalam sejuk AC. Saat aku berpanas di cuaca ekstrim Riau. Hingga hampir kuyup kehujanan barusan. Melaut benciku padanya.

Namanya Irwan. Dia Driller*4 di crew kami. Atau 4 tingkat jabatan di atasku. Kerna aku cuma Roustabout. Yang saat kucari di kamus berarti kuli pikul di pelabuhan. Kasarannya tetap saja kuli. Jabatan paling bawah di crew Pengeboran minyak daratan Riau. Cuma helper yang di tendang sana sini untuk membantu. Jika urusan kerja berat dan kotor. Itulah gunanya jabatanku. Cuma umpan peluru. Tempat di bully dan di maki. Dan percayalah... dalam jangka waktu satu bulan kerja di sini. Aku sudah fasih menyerap kata makian lokal dan sudah tak panas lagi kupingku jika maki dengan kata kata kasar itu. Semua sudah menjadi menu sehari-hari yang mau tak mau harus kutelan.

Tapi bukan itu yang membuatku membencinya.


Hujan semakin lebat. Perasaanku semakin berkecamuk tak menentu. Mestinya aku lari saja ke strada itu. Dan berteduh dengan nyaman disitu. Tapi jika harus berdua saja dengan Irwan mandor pant*k itu, bukan cuma 2-3 kali aku harus berpikir.

Hari ini sudah sampai rasanya aku di tepi nadir kesabaran. Hampir selama 6 bulan belakangan ini aku mengalah padanya. Menuruti perintah dan bersabar menelan bully_ an darinya. Teringat saat dia menendang ember berisi gemuk mesin bercampur minyak mentah dan oli kotor dari atas meja platform rig*5. Sambil memakiku anj**g. Dan sialnya aku tepat dibawahnya. Sempat aku ingin mengejarnya saat itu. Naek ke meja platform rig, mencekik batang lehernya lalu mencampakkan dia dari meja berketinggian 3 meteran itu. Tapi demi mengingat wajah Ibuku yang sakit-sakitan di Jawa. Aku masih bisa meredam emosi. Hanya ku pelototi matanya sambil tegak menantang. Dan akhirnya dia pun mengalah dan kembali melanjutkan pekerjaan. Betapa semua kawan di crew kami begitu tegang melihat kejadian itu.
Dan masih banyak perlakuan kasarnya, kesewenang-wenangannya padaku. Yang aku tahan sampai 6 bulan kontrak kerja ini. Dan tentu saja saat Irwan menantangku berkelahi, sesaat setelah hampir saja aku berkelahi dengan Derrickman*6 yang membuat laporan palsu pada Irwan. Memaki aku seenak perutnya. Menuduh aku tidur di jam kerja. Padahal saat itu aku sedang istirahat makan.
Hampir saja kuterkam derrickman itu kalau tidak cepat dua orang kawan lain merangkul menahanku.
Kami para pekerja pengeboran minyak sangat peduli satu sama lain. Dan cepat menetralisir keadaan jika ada kawan yang hendak berkelahi. Karena jelas dalam kontrak tertulis. Jika berkelahi di lokasi maka keduanya dipecat. Tanpa ampun.

Masih jelas malam itu. Irwan menyumpah serapah, menantangku berduel. Dibilangnya aku sok jagoan. Dan ia terus mengikuti saat aku pergi menghindarinya. Mulutnya yang bertaik itu terus memanasiku. Tapi alhamdulillah aku tak terpancing. Toh urusanku tadi bukan dengannya. Aku pun berlalu meninggalkannya sambil menahan gemeletuk gigi. Sekali lagi terbayang wajah Ibuku yang sakit-sakitan itu menyadarkanku. Seakan Ibu membelai rambutku sambil berkata...
"Wong ngalah iku luhur wekasane Gus....sing sabar. Jaman saiki nggolek gawean angel..."*7

Dan mulai malam itu. Terror Irwan mulai menghantuiku sampai 6 bulan kontrak ini.


Sebenarnya aku orang yang penyabar. Bisa dibilang pecinta perdamaian. Hal yang paling kubenci dalam hidup ini adalah kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Dan kedua hal itu yang kulihat setiap hari pada perilaku Irwan. Bukan cuma terhadap aku. Tapi hampir semua kawan dalam 3 shift crew pernah didzholiminya. Banyak yang memilih tidak melawan. Tapi juga sering hampir baku hantam jika tidak cepat kami melerai.
Maklum kami pekerja pengeboran memang rata rata temperamental. Kerna lingkungan jerja yang keras, kerja berat penuh tekanan di cuaca Riau yang ekstrem. Pekerja dengan jam kerja 12 jam sehari. Tak peduli panas siang dingin malam hujan lebat. Keluar masuk hutan. Bertaruh nyawa atau resiko cacat fisik jika terjadi kecelakaan kerja. Dan di gaji minim standar PT subkontraktor lokal. Seperti langit dan bumi jarak gaji kami jika dibanding dengan pegawai chevron langsung. Kami adalah anak anak bangsa, yang bekerja di tanah srndiri, tapi tak jauh bedanya dengan kuli kontrak jaman penjajahan Belanda dulu. Ironis sekali nasib kami. Menyandang nama keren kerja di perminyakan. Tapi selalu kekurangan. Dengan gaji tak sebanding dengan resiko yang kami tanggung. Juga dihantui kontrak outsourching tiap 6 bulan. Jika fihak HRD suka dilanjut...jika tidak ya out. Tanpa pesangon. Maka jangan heran kalau kami menjadi kasar dan temperamental.

Pernah kuingat perkelahian Irwan dengan si Bengbeng misalnya. Bengbeng yang jabatannya cuma swamper foco*8. Setaraf denganku. Pernah hampir memukulnya dengan sebatang besi bulat panjang. Baja padu. Untung saja saat itu aku berdiri tak jauh dari Bengbeng. Sigap aku rangkul lehernya dari belakang sambil menenangkan. Kuingat betul. Hampir sepuluh menit aku membujuk Bengbeng untuk melepaskan besi panjang itu dari genggamannya. Dan guess what...? Irwan juga berdiri angkuh dengan memegang wrench key 36 inchi*10 di tangannya. Siap menunggu Bengbeng.

Dan lama kelamaan jiwaku terusik melihat tingkah laku Irwan yang menyebalkan itu. Ditambah semakin kejam pula dia membully ku. Menyiksaku dengan kerjaan berat. Memaki ku sekebun binatang kata kasar. Atau bahkan tak memberi pekerjaan sedikitpun untuk aku. Tahu lah rasanya dipersona non grata kan seperti itu. Sakit sekali hatiku. Saat itu aku berinisiatif sendiri. Membersihkan rig*9 dan mesin mesin dari tumpukan kerak minyak mentah dan oli kotor. Ku bersihkan sampai mengkilat bisa dijilat.

Dan kelakuan Irwan semakin menjadi. Sudah semacam terror yang membuat melaut benciku padanya. Ibarat bom waktu yang menunggu detik meletus.


Hujan semakin lebat saja. Sedang Matahari masih terik menyengat. Hatiku semakin panas. Dendam ini terlalu menusuk kesadaranku. Hingga hilang kesabaranku.
Hari ini... Ya. Hari ini. Kebetulan hanya kami berdua yang ada di lokas ini. Semua crew sudah moving ke lokasi baru. Tinggal kami berdua saja menjaga barang barang yang belum sempat dimuat untuk dipindahkan. Akan ku buktikan siapa yang lebih pantas disebut jantan. Siapa yang masih keluar hidup hidup dari lokasi ini. Dia lah yang jantan. Aku sudah kalap. Dan aku akan menghabisinya.

Tiba - tiba terdengar klakson panjang dari Irwan yang masih di dalam strada itu. Tambah muak hatiku melihat kepalanya nongol di sela kaca jendela. Sambil berteriak memanggil namaku.

Darahku mengelegak. Sekarang saatnya. Suara klakson panjang itu seakan denting bel yang memulai pertarungan ini.

"Mati anj*ang!" seruku seraya berlari menghambur ke arahnya.


Langkahku terhenti setiba di samping strada. Aku tegak pasang kuda-kuda. Menunggu. Sekali saja Irwan mengucapkan kata yang tak sedap, akan ku seret ia keluar dari strada itu.

Tapi Irwan cuma kalem menatapku.

"Masuklah! Hujan. Istirahat lu kita hari ini."

Berat langkah rasanya. Tapi memang hujan semakin lebat. Bisa kuyup sampai ke dalam kolor jika aku berkeras di luar mobil. Akhirnya aku pun berlari ke sisi sebelah dam membuka pintu mobil.

"Jangan lah berhujan hujan macam itu. Kita pekerja berat tu harus pandai jaga kondisi kesehatan. Kalau sakit kau sendiri yang rugi nanti. Orang senang dapat lemburan menggantikan kau..." katanya.

Belum lagi manis aku duduk. Enggan aku menjawab. Hatiku masih panas.

" Berapa kau dipotong gaji hari itu? Kau ada tak masuk sehari kan?" lanjutnya lagi.

"300 ribu Ndua..*11." agak malas aku menjawab.

"Itulah. Sedap betul HRD memotong gaji kita. Dengan alasan untuk membayar upah lembur orang yang menggantikan kita. Tak ada perusahaan yang mau rugi."

"Padahal aku sudah melampirkan surat dokter, Ndua..."

"Nah...macam itu pulak?"

"HRD tidak mau menerima karena suratnya bukan dari klinik yang ditunjuk oleh PT...."

"Memang anak anj*ang HRD kita itu." Irwan mematikan tape mobil. Lalu menurunkan kaca mobil sedikit. Lalu membawa sebatang rokok ke bibirnya.. Cekrek. Saat korek api menyala tiba-tiba ia terhentak.

"Kanc*ang! Lupa lak aku matikan AC."

Setelah Irwan mematikan AC. Akupun sudah menyulut sebatang. Menghirup dalam-asap gudang garem, sedikit membuatku tenang.

Tanpa menoleh Irwan mencoba mencairkan suasana.

"Kau ke Mandiri tadi pagi nampaknya?"

"Belum masuk lagi Ndua. Entahlah. Beberapa bulan belakangan lambat terus gaji kita."

"Sudah mau bangkrut perusahaan Gus. Itulah.. Orang bagus kerja di buang. Yang tak pandai menggantikan. Cuma karena masih family HRD. Dan HRD pant*k itu... Mana ada skill di minyak? Cuma karena adek iparnya cantik, mau djadikan simpanan bos kita, dan satu gereja nya mereka itu. "

"Yah apalah awak ni Ndua... Kacang kacang..*12"

"Istirahat lah. Mumpung tak ada kerja. Takkan hilang barang barang seberat itu. Sesekali tidur kita dibayar oleh mereka. Jangan kita saja diperas diperakalinya."

Irwan merendahkan sandaran bangku ke belakang. Aku cuma terdiam. Hilang nafsu dan mood ku untuk berkelahi dengannya.

"Jadi kau dari Rengat semalam?" kembali ia bertanya.

" Aku tidur di bus dalam perjalanan semalam Ndua."

"Berapa jam Rengat - Duri?"

"8 jam kalau lancar."

"Jadi lah berisi bini kau?"

"Belum ada nampaknya."

"Wajar nya itu. Kau baru dua bulan menikah. Orang Rig*13 macam kita. Lambat punya anak biasanya. Kerja berat. Schedul panjang. Kita tinggal 2 minggu. Jumpa cuma di seminggu off. Itupun kepotong 2 hari di jalan. Aku pun setaun dulu baru dapat. Sekarang 3 anakku."

Aku masih terdiam. Dia menoleh ke arahku sebentar.

"Istriku selalu merepotkan kalo ngidam. Mabuk kalau bau masakan. Muntah muntah terus padahal baru sesuap nasi dia makan. Sampai harus di infus kadang. Jangankan memegang pekerjaan rumah... Duduk tegak pun tak mampu dia.. Aku lah yang memasak , mencuci setiap hari. Jam 4 subuh sebelum pergi kerja. Sekarang istriku hamil anak ke 4. Sudah 6 bulan. Tapi masih seperti biasanya. Capek lahir bhatin aku jadinya...gaji ku habis untuk kebutuhan sehari hari dan urusan sekolah anak. Entahlah..."

Kali ini gantian Irwan yang terdiam. Bermain angan bersama kepulan asap rokoknya.


Hujan sudah reda di luar. Begitu pula amarahku. Mendengar cerita Irwan barusan, nampaknya aku mesti menyudahi endam.

Dia cuma manusia biasa sepertiku. Lelaki yang berjuang untuk keluarganya.

Irwan kembai menoleh ke arahku.

"Sudah hampir jam dua. Sopir pant*k itu belum juga nampak batang hidungnya. Lapar perutku ini. Lambat betul nasi kita diantarnya..."

Lalu ia mengambil duit sepuluh ribu dari dompetnya.

"Ini duit terakhir yang ku punya. Tolong lah kau cari makanan di warung penduduk terdekat. Bisa untuk mengganjal perut kita berdua. Aku tau kau tak berduit juga. Tolonglah carikan makanan ya?!"

Aku masih terdiam. Malu mengambil uang dari tangannya. Walaupun aku memang tak berduit sama sekali.

"Tolong lah...mobil ini res minyaknya. Aku takut mati tegak pula mobil ini kalau kita pakai. Senior Puk*mak itu pasti raun raun*14 ke pelacuran semalam. Sampai habis bensin dibuatnya." bujuknya lagi.

Segera kuambil uangnya. Dan bergegas keluar dari mobil meninggalkannya.


"Wong ngalah iku luhur wekasane. Sing sabar...Jaman saiki nggolek gawean angel...."

Kembali terbayang wajah Ibuku yang sakit-sakitan.

"Astaghfirullahal adziem."
Cuma itu yang bisa kuucapkan.

Tamat.

Indragiri Hulu. September 2016.

Nb.
*1. Lantak lah ( biarin aja deh)
*2. Toolbox house (gudang peralatan)
*3. Pumping unit (pompa sumur minyak berbentuk kepala kuda)
*4. Driller ( juru bor)
*5. Platform rig ( meja lantai kerja di menara pengeboran)
*6. Derrickman ( operator menara bor)
*7. Wong ngalah luhur wekasane..sing sabar. Jaman saiki nggolek gawean angel (orang sabar itu kan dapat akhiran yg indah. Sabarlah. Jaman sekarang cari kerjaan susah)
*8. Swamper foco ( kenek mobil semacam cran)
*9. Wrench key 36 inchi (kunci pipa ukuran 36 inchi)
*10. Ndua (panggilan untuk mandor dlm bhs minang)
*11. Kacang kacang ( nggak punya arti penting)
*12. Orang Rig ( sebutan untuk pekerja pengeboran)
*.13 Raun raun ( jalan jalan bersenang senang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar