RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Minggu, 23 Agustus 2015

Kumpulan Puisi Pengendara Langit - KENANGAN FEBRUARI DI PUTIH ABU - ABU



KENANGAN FEBRUARI DI PUTIH ABU-ABU
OLEH : Pengendara langit


Februari adalah fragmen perjumpaan yang menjadi musim semi yang berbunga di hati kita berdua. Kita adalah remaja berseragam putih abu-abu yang baru menjejakkan hati mengenal cinta, menjadi petualang muda yang berharap tak mati sia-sia oleh asmara yang kita ciptakan sendiri.
Putih abu-abu yang pernah kita pakai dulu setiap jengkal putih nya ada beberapa coretan dan tanda tangan sahabat-sahabat kita, kita rayakan pada perjumpaan terakhir, menjadi tanda kita pernah berjuang sama-sama menghadapi mate-matika, fisika, kimia, dan akuntansi yang setiap jadwalnya sangat kita takuti. Apalagi guru perempuan tua cerewet yang setiap kedatangannya selalu menanyakan tugas pada masing-masing kita. Menjengkelkan sekali pada waktu itu,
Kita selalu menggerutu pada bapak berkacamata yang mengajar fisika juga pada bapak yang buncit perutnya mengajar matematika
Tapi berbeda denganmu, kau tenang seolah tak ada beban apapun, dibanding dengan beberapa kami yang hampir taksuka pelajaran itu. Kau juara masa itu, idola semua remaja dikelas kita.
Bagiku, aku adalah laki laki yang paling beruntung, Karena bisa mendapatkan sebuah hati miliik bidadari di kelas yang yang menjadi kenagan yang aku kisahkan sekarang.
Kala itu kau menjadi semangat yang terus membara membakar gigihnya cita-cita, menjadi embun yang menyejukkan, udara yang menyegarkan dan cinta yang membuatku teguh menatap masa depan
Ingatkah, sewaktu upacara kita sesekali tak luput saling mencuri tatap, matamu yang hitam dengan senyum yang teramat manis menjadi pengantar pagi yang kuterima setiap hari, Dan rugi sekali bagiku tak menikmati senyum itu barangkali sehari.
Selepas upacara di pagi yang teduh ku beri aku sepucuk kerta, Jangan kau baca disini, simpan dan baca setelah pulang nanti (katamu)
‘’Dari seseorang yang mencintaimu
Untuk orang yang paling ku sayangi, sejauh aku mengenalmu, memahami dan mengerti segala perasaanmu, aku tau bahwa tulus benar kau mencintaiku, aku berharap besar bahwa kelak kita akan melangkah bersama menggapai segala cita-cita yang kita ceritakan berdua, aku selalu berdoa agar tuhan mengabulkan segala pinta ku tentang yang kelak aku akan menjadi makmum yang mengamini doa-doa yang kau panjatkan,berharap kau bisa jadi pemimpin bagi hidupku sampai pada pada anak cucu kita. Semoga cinta kita selalu abadi, (perempuan yang menyayangimu)
betapa gembira membaca surat itu, belum pernah kurasakan sebelumnya perasaan dan degup jantung yang heboh semacam ini sebelumnya.
Tiga tahun berlalu kita mengukir cerita itu, tak ada yang berubah kecuali perasaan yang semakin deras mengalirnya, kukuh harapannya, namun semakin takut kehilangan semuanya.
Benar sekali yang aku takutkan, 4 thun setelah perpisahan sekolah yang kita saling menangis lalu berjanji untuk tidak saling melupakan walau nanti kau pergi pada sebuah kota yang hingar dan riuh suasananya demi menggapai segala ingin dan cita-cita bagimu, lalu tak lupa juga ku ingat bahwa katamu kelak kau akan datang hanya untukku demi segala yang pernah kita ceritakan menjadi nyata.
Tapi hingga saat ini beberapa tahu berlalu tak juga ada kabar apapun tetangmu, barangkali kau lupa atau hingar dikotamu menutup segala ingatan tentang kita, atau pula kau sudah entah kemana dan punya cerita yang lebih baik yang nyata bukan hanya sekedar harapan belaka seperti yang kita punya.
Putih abu-abu yang kupakai ketika masa kita dulu masih kusimpan rapi hingga kini, menjadi kenangan yang tak hanya sekedar diingat, namun dapat kulihat nyata. Barangkali jika kau tak ingat sekalipun atau memang sengaja kau melupakan segalanya tetap saja aku masih sama seperti kala itu, laki laki yang selalu ingin selangkah berdiri didepanmu dan kau menjadi makmum mengamini segala doa.

( agustus 15’’ Pengendara Langit)





SELEPAS PEMAKAMAN
(wanita yang mengenang lelakinya)


Pagi pukul 11, adalah pagi yang basah oleh air mata, Seluruh tangis menggema disini, Dipemakamanmu,
Bukan berarti tangis ini lantang kami suarakan seolah kami tak ikhlas melepasmu, tapi ini mengalir deras entah dari mana, tak terbendung. Barang kali air mata ini mencoba membasuh mata betapa melihatmu dimakamkan adalah kehilangan yang menjadi perih
Kau sahabat dekat yang setia sehingga semua orang tau benar bagaimana cara mengingatmu, Kau itu pria gagah yang sekali pernah kutemui, lalu kau bercerita bagaimana cita-citamu ingin menggenggam dunia, kau ingin menjadi raja lantas akulah satu-satunya wanita yang menjadi permaisurinya. Kau kawan baik bagi semua teman-temanmu, yang ku tau kau menebar senyum pada semua, pribadi riang yang membawa gembira, sahabat baik yang tak pernah ingkar janjinya, lantas bagaimana kami lupa karena kau adalah orang yang gampang dikenang
Memang benar bahwa dunia tak punya hati, baru kemarin kau riuh bercerita bagaimana kelak kau dan aku akan membawa cinta yang katamu kita akan duduk bersanding dihadapan penghulu dan disaksikan orang-orang yang akan mengucap –Sahnya pernikahan kita.
Namun hari ini doa yang pernah kita amini tak lagi menjadi nyata seperti yang kita idamkan beberapa bulan lalu. Aku tak pernah ingin menuggu hingga lupa, karena tetap ingin ku ingat ketika kau pernah katakan “sayang mari kita hidup bersama punya anak-anak soleh-soleha yan sudah kita buat nama-namanya untuk mereka sampai rambut kita putih menua lalu kita akan mati sama-sama”
Tapi hari ini nyata bahwa Tuhan lebih menyangimu dari besarnya sayang ku, sungguh tak mungkin aku menentang takdir dari Yang menciptakan kita, barangkali kau sudah disiapkan rumah yang damai disana yang entah bila aku akan menyusulmu digiliran pemakamanku berikutya. Semoga damai jiwamu, dan kuabadikan hari ini sebagai tragedi sedalam pemakaman.
Kukenang sampai kelak aku lupa namaku sendiri

(19 agustus 15’’ Pengendara Langit)






PRIHAL KEPULANGAN

Lima tahun lalu,
Tepat pada sore yang teduh di tempat yang sudah kita janjikan betemu
Perempatan menuju stasiun keberangkatan kepergianku
Hari itu menjadi saksi yang basah karena airmata
Yang pilu karena kita menanam rindu untuk beberapa lama takkan bertemu
Yang suci karena janji menjdi peneguh cita-cita
Hari itu, masih teramat kuat ku ingat
Ketika sempat kau ucap,
“Bahwa kepulanganku sesuatu yang pasti akan kau tunggu Tak peduli setahun, lima tahun atau mungkin seabad sekalipun Atau mungkin sampai tanah bertuah kita runtuh lalu menjadi nama dan sejarah Atau sampai ketika rambut kita putih menua,‘’walaupun aku pergi, jiwa mu akan selalu dekat dengan jiwaku,Tak peduli seberapa jauh laut dan jarak yang menjadi penghalang bagi kita, (Katamu) ku tak boleh bersedih dan berputus asa, karena cinta bukan membawa tangis dan duka tapi harapan yang akan membawa kita pada bahagia. Semoga tuhan menjaga ku, Kau dan Jiwa yang menyatukan kita. Kau akan menunggu dan menjaga sesuatu yang istimewa sampai pada masanya aku pulang’’
Sumpah yang kali itu teramat sakral serupa tiang yang terus menyangga harapan ,Seperti hujan yang menyuburkan kemarau. Hingga prihal kepulanganku adalah kewajiban yang harus kutepati,
Lima tahun setelah itu, yaitu hari ini,
Setasiun yang waktu itu menjadi tempat perpisahan kita masih terlihat sama seperti waktu itu, juga perempatan tempat bertemu terakhir kali.
Hari ini menjadi hari yang mati, sama seperti melihatmu pergi dari dunia ini.
Seabad yang kau janjikan untuk menunggu ternyata hanya sekedar sesuatu yang tak layak untuk diingat, tapi menjadi kenangan yang mustahil dilupakan
Kepulangan ini menjadi hal yang sia-sia, melihatmu bersanding menggenggam tangan laki-laki dengan seorang bocah yang kau gendong adalalah sesuatu yang mengharukan lebih daripada melihat kematian
Tak ada lagi yang bisa ditangisi, karna hari ini tangis tak lagi bisa menjadi penerjemah perasaan yang tak lagi punya bahasa, mata yang tak lagi punya air mata. Raga yang hampir lupa pada nyawanya
Padahal, telah kuhafal lafaz suci kabul terima nikahnya atas namamu lengkap dengan mas kawinnya
Juga telah kusiapkan sebuah rumah lengkap dengan dapur dan beranda yang kelak akan menjadi tempat kita berumah tangga, untuk anak-cucu kita
Semuanya sia-sia serupa seperti asap yang mengepul perlahan hilang diudara, menjadi kisah yang tak lagi mungkin akan kubaca.
Sampai hari ini masih teguh kupegang janji dan cinta padamu, namun menjadi haram meridukanmu
Hampir mati aku menanggung kemalangan yang menimpa ini
Namun bukan berarti aku harus mati lalu kau juga ikut tangisi setelah kematian ku nanti
Betapa kita pernah bercerita bahwa cinta bukan saling melemahkan tapi adalah harapan yang akan menjadi sebuah nyawa bagi kehidupan
Kali ini tak boleh ada air mata yang jatuh,
hati yang pilu,
Karena itu teramat mahal harus kau lunasi yang bahkan mencicilpun kau tak sanggup
Sebenarnya, kau teramat pantas dilupakan
Tapi bagiku, segala kenangan adalah pelajaran

SILO BONTO, 17 JULI 2015 (PENGENDARA LANGIT)





LANSKAP PERPISAHAN

Kita yang dipertemukan pada sebuah perkuliahan, seolah menjadi sepasang boneka berbaju pengantin putih. kata orang-orang kita sangat serasi menjadi sepasang mempelai. Tak jarang mereka bergumam canda menanyakan undangan tentang meminangmu.
Tidak kah mereka tau, ada tangis yang tercipta dibalik sepasang mata. Menyamar menjadi sebuah senyum yang musti berpura-pura bahagia.
Kita menciptakan episode pertemuan yang tak tamat sesuai yang kita lafalkan, tak sama perannya seperti yang dinaskahkan. Padahal hari itu kita sudah menulisnya pada titah-titah sumpah yang teramat pantang kita mengingkarinya.
Tak ada seorangpun yang tau bahwa kita sungguh luka, orang-orang hanya berseliweran seolah menjadi musik instrumen pengiring lagu pilu yang kita nyanyikan, mereka tak pernah tau bahwa tiket-tiket bioskop yang pernah kita kumpulkan, atau foto yang pernah kita abadikan. Kini menjadi sajian perih yang selalu kita cicipi ketika kita melihatnya, memeluk luka yang perih ketika mengenangnya.
Siapakah yang akan menghapus air mata kita? yang kita jadikan pembasuh darah yang keluar dari hati kita berdua. Sementara waktu hampir dituntaskan belum juga kering luka kita, belum juga lupa riwayat yang tertulis dari dua pasang mata yang harusnya menjadi mempelai serasi namun terpisahkan oleh sebuah kedaan yang diciptakan orang tua kita.
Tak mungkin kita menentang mereka yang memilihkan pasangan untuk masing-masing kita, pasangan yang mengukung harapan kita berdua, menjadi kebekuan yang menyala setiap saat mengajak kita kabur dari segala kepalsuan.
Sementara kepiluan semakin merenjana, menjadi lanskap perpisahan, menyulut pasrah didalam dada. Biarlah kita yang tau bahwa kita adalah sepasang mempelai yang tak disatukan, kita bukukan sebagai riwayat perkuliahan, sama-sama kita kennang sampai izrail mencabut nywanya sendiri.

(Pengendara Langit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar