RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Jumat, 21 Mei 2021

Cerpen – BAPAK Karya : Emmy Metamorfosaa


 

   MIA baru saja menggantung sepasang baju ke paku belakang pintu kamar ketika suaminya tiba. Kendati ia mendengar sedikit percakapan suami dan anaknya di teras, tapi Mia lebih memilih memandangi sepasang busana itu dengan penuh kebahagiaan. Stelan kebaya berbahan renda merah dengan kain wiron berwarna dasar hitam berbatik merah. Bersanding dengan kemeja pria berlengan panjang dari bahan yang sama dengan wiron dan bercelana panjang hitam.
Pintu terdorong dari luar, munculah sosok lelaki yang dirindukan sejak tadi pagi. Senyum Mia memberi sambutan. Menyadari ada sesuatu yang baru si suami ikut memandang dan sambil melingkarkan lengan ke bahu istrinya. Mereka pun sama-sama memandangi sepasang busana itu.
Sepasang busana khas Nusantara yang dibeli tadi siang di pasar, yah... hanya di pasar kain harganya juga tak seberapa. Namun cukup membuat Mia tak dapat memejamkan mata malam ini. Ibu satu anak itu begitu gelisah. Pikiranya menerawang. Besok, dia dan suami akan menghadiri acara perpisahan di sekolah anak mereka. Sebagaimana undangan yang mereka terima seminggu yang lalu.
Mesin waktu berbingkai biru telah menunjukkan pukul 02:00 dini hari. Mia memilih berdiri memandang keluar jendela. Menatap remang malam yang diselubungi kabut embun. Di antara kebahagiaan karena telah berhasil menghantarkan sang putra tunggal menyelesaikan sekolah SMK Tehnik Komputer dengan nilai prestasi yang lumayan bisa dibanggakan. Ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Bila satu hal itu tiba-tiba muncul di pikirannya dia pun gelisah bahkan sedih. Tak sadar air mata menitik dari sudut mata kanan. Dia terkejut dan buru-buru menghapus butiran hangat tadi dari pipi. 

Tapi terlambat, suami telah merangkul nya dan berkata " Kenapa menangis? bahagia gak usah pake nangis, lebay deh. Besok kesiangan lho! " 

Mia berbalik badan menatap wajah suaminya sekejab lalu menunduk seakan tak kuasa beradu pandang. Lalu mereka terlelap sampai pajar membangunkan.
Setelah melewati kerepotan pagi yang beda dari biasa, mereka bertigapun bersiap berangkat. Bima sang putra tunggal sudah rapi dengan seragam sekolah dan jaket kuning organisasi pelajar kebangganya. Mia dan suami tampak bak sepasang 'rose black' sumringah di pagi yang cerah itu. Ketiganya naik ke kabin. Dengan sedikit usaha tentunya sebab bukan mudah pengguna wiron naik ke kabin truck colt diesel. Walau mereka punya satu motor matic yang masih nyicil tapi truck itu saja yang bisa mereka tumpangi sekali bertiga. Mobil itupun milik perusahaan tempat suami Mia bekerja. Mengangkut tandan tandan sawit dari perkebunan ke pabrik pengolahan. Yah, dia seorang supir truck sawit. Kebetulan hari minggu maka mobil boleh dipinjam dengan izin perusahaan tentunya. Perjalanan sedikit panjang dikarenakan mobil truck tidak boleh melintasi jalur kota maka harus memutar dari pinggiran kota. Setelah memarkirkan mobil di tepi lapangan bola seberang sekolah, merekapun memasuki gerbang sekolah.
Suasana ramai, ornanen dan hiasan di sana sini. Bangku bangku disusun sedemikian rapi berbalut satin dan pita merah. Di panggung tampak lousdpeker besar besar dan beberaoa alat musik. Tak ketinggalan spanduk lebar ucapan selamat kepada para siswa yang telah lulus, tentunya.
Sepasang siswa dan guru berpakaian etnik bertugas menyambut tamu undangan. Setelah membimbing kedua orang tuanya ke tempat duduk Bima pun berbaur dengan teman -temannya. Mereka bersenda gurau saling canda dan tawa. Mia tersenyum melihat keceriaan itu. Tapi... lagi lagi keresahaan itu muncul tiba-tiba. Mia menarik napass panjang demi membenamkan nya kembali ke dasar hati.
Acara terus bergulir. Dari kata sambutan, tari, nyanyi, puisi juga ada atraksi bela diri. Semua sudah disuguhkan dengan begitu apik dan rapi. Hingga tiba saatnya pada acara yang dinanti. Yakni pengumuman siswa siswi terbaik. Baik dari sisi prestasi juga dari sisi ahlak, karakter, tatakrama. Kira kira begitulah yang Mia tangkap dari uraian protokol. Beberapa siswa dan siswi satu persatu naik kepentas dengan wajah berbinar, tepuk tangan mengiringi mereka.
Namun tiba tiba napas Mia seakan terhenti, jantungnya berdebar ketika nama anaknya disebutkan. Dan dari sisi kanan Bima muncul lalu naik ke pentas. Perasaan Mia kian tak menentu perasaanya tegang namun senyumnya tetap terkembang. 

"Anakmu, Ma. Selamat ya." bisik suami sambil menggengam jemarinya yang dingin. "Kamu gugup, ya? hmm..." 

Mia tak kuasa menjawab hanya tersenyum menatap suaminya lalu memandang kembali ke arah pentas. 

"Bapak Ibu sekalian, inilah siswa sekaligus alumni terbaik tahun ini. Kami segenap dewan guru dan atas nama sekolah memilih dan menobatkan predikat ini kepada anak kita Bima, putra dari Bapak Sup...", terhenti, kalimat pembawa acara itu menggantung diselingi suara mikrofon yang storing. 

Mia sudah hampir tak bisa menguasai emosinya lagi dia nyaris pingsan. 

Kembali terdengar dari pengeras suara " Maaf kami ulangi, anugrah siswa terbaik tahun ini kami berikan kepada Bima putra dari Bapak Atmo dan Ibu Mia". 

Semua hadirin berdiri dan bertepuk tangan. Kali ini Mia tak lagi mampu menahan diri, tangisnya pecah. Hingga tak mampu menjawab ucapan selamat dari beberapa orang tua siswa di kanan kirinya. Atmo lah yang menyambut jabat tangan mereka.
Kebahagiaan seorang ibu tiada lain hanyalah keberhasilan Sang anak menjadi anak yang baik apalagi sampai yang terbaik. Segala upaya berbalut nestapa dalam membesarkan, mendidik, menyekolahkan dengan segala cinta kasih yang tulus itu seakan terbayarkan, bahkan lebih. Namun ada satu hal yang tak kalah mengharukan dari itu. Beban keresahan yang sejak kemarin menekan perasaan Mia kini telah pecah laksana kepompong merekah dan menjelma menjadi kupu-kupu yang berterbangan indah, yaitu pengakuan Bima akan Ayahnya yang sekarang. Ayah Atmo_nya. Di hadapan khalayak ramai dia meminta pembawa acara merubah nama ayah kandungnya SUPRI dengan menyebut nama ayah yang selama tiga tahun ini menjadi Ayah, Om dan sekaligus sahabatnya. 

"Terimakasih Nak" ucap Mia kepada anaknya. 

Meski jarak beberapa meter dari kursi hadirin ke pentas, namun Bima mengangguk seakan ia mendengar suara Ibunya di antara riuh tepuk tangan. Sebuah piala, selembar piagam dan sebuah medali tergantung di lehernya.
Mia berangsur bisa menguasai diri dan kembali duduk. Setelah menyeka sisa airmata di wajahnya. Pandangannya pun fokus kembali ke pentas. Kini di pentas hanya ada Bima memegang mikrofon. Setelah mengucap salam, lalu berterimakasih kepada guru-guru, teman-teman dan semua pihak sekolah. Dia juga meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia perbuat baik sengaja maupun tidak sengaja. 

Lalu dengan suara sedikit tersendat dan mata berkaca dia berkata " Terimakasih kepada ibu yang sejak kecil telah bersusahpayah membesarkan saya sendirian, melampaui segala penderitaan tanpa mengeluh, buat saya. Sungguh saya tidak bisa membalas Ibu. Hanya saya berjanji akan menjadi anak yang lebih baik lagi".

Lalu suaranya semakin serak mengiringi kalimat berikutnya, " penghargaan ini pun saya persembahkan kepada sahabat saya Om saya, sekaligus Ayah saya. Bapak Atmo, beliau adalah guru saya di rumah, saya belajar banyak tentang cinta kasih pada sesama dari beliau. Bapak, tetaplah mencintai saya dan Ibu. Saya berjanji akan menjadi kebanggaan kalian." 

Lalu air mata Bima tak terbendung. Namun ia berusaha menyembunyikanya dengan berbalik badan dan menyudahi kata sambutan itu.
Setelah acara selesai semua saling bersalaman. Para orang tua siswa dengan guru-guru, dengan sesama orang tua siswa dan dengan para siswa. Lalu mereka bertiga kembali ke mobil truck. Di tepi jalan itu Mia memeluk anaknya penuh keharuan. Sejuta kata tersekat di rongga dadanya.
Setiba di rumah, Atmo langsung masuk ke kamar. Begitu pula dengan Bima, ingin berganti baju katanya. Sedangkan Mia masih duduk di dipan dan memandangi piala anaknya. Beberapa detik kemudian Atmo keluar lagi dan memanggil Bima lalu menuju dipan dimana Mia duduk. Bima datang dengan kaos oblong. 

" Bima ini buat kamu." Atmo menyodorkan sebuah kotak kubus berwarna hitam bertuliskan kalimat berbahasa Inggris. 

Bima menerima dengan raut penasaran, sejurus kemudian dia bersorak kegirangan. " Horee! bagus banget, ini pasti mahal. Terimakasih Pak." 

Matanya berbinar terpana. 

Lalu Atmo berdiri merangkul dan menepuk-nepuk bahu anak tirinya, dan berkata lembut " "Cuma jam tangan merek kw, yang bisa bapak belikan buat kamu. Pakailah, semoga benda ini bisa membantumu dalam menghargai waktu, karena salah satu kunci sukses terpenting, adalah menghargai waktu." 

"Terimakasih Pak." Bima menyalam dan memeluk ayah tirinya yang untuk pertamakali ia panggil bapak. Lalu mereka bertiga berfoto selfi,ckrek.

-----END-----

Cerpen
BAPAK
Karya : Emmy Metamorfosaa
Kisaran, Maret 2017










Kamis, 20 Mei 2021

Cerpen - DOSA MASA LALU Karya : Airi Cha


 

   SEJAK diumum kan lima belas menit lalu lewat toa Mesjid, satu persatu para tetangga berdatangan untuk melayat almarhumah. Aku duduk di samping jenasah dekat kepalanya. Sedari tadi sebelum sakaratul maut aku telah berada di rumah ini. Kebetulan rumahnya berada di belakang rumahku. Isak tangis sesekali terdengar dari orang-orang yang ditinggalkan. Aku terus membaca doa-doa yang kuhadiahkan buat almarhumah yang merupakan bude ku. Usianya telah menginjak enam puluh tujuh tahun, sudah terbilang sepuh. Tidak seperti ibuku yang meninggal diusia empat puluh tahun, saat itu aku masih umur lima tahun. Ibu adalah adik ipar bude, dan ayah anak paling bungsu. Sesekali disela doa kupandangi wajah bude yang ditutupi selendang tipis. Masih tergambar jelas di mata saat-saat Bude mengembuskan napas terakhir. Begitu sulit dan kesakitan, bahkan bude ketakutan seperti melihat sesuatu yang menyeramkan. Setelah semua keluarga hadir, dan tak ada lagi yang ditunggu, beberapa anggota keluarga bersiap mengangkat tubuh bude untuk dimandikan. Tiga orang anak lelaki Bude beserta Abang ku telah bersiap. Mereka menyelipkan kedua lengan di bawah tubuh bude yang terbujur kaku. Namun ketika akan menyelipkan tangan di bagian kepala bude keanehan terjadi. Rambut bude seakan menyatu dengan bantal. Suasana mendadak tegang, bisik-bisik mulai terjadi di antara para pelayat. Sementara kami para kerabat saling pandang satu dengan lainnya, tidak tahu mau berbuat apa.

"Gunting saja rambutnya," sela seorang kerabat.

"Jangan. Coba dilepaskan pelan-pelan sarung dari bantalnya," sahut seorang tetangga dekat.

Saran itu dilakukan, tetapi rambut bude seakan senyawa dengan bantal dan sarung. Orang-orang mulai berisik, yang berada di luar berusaha masuk untuk melihat yang terjadi. Anak-anak bude mulai terlihat cemas. Belum lagi tanda tanya ini terjawab, Rasti putri bude satu-satunya yang duduk di sampingku mendadak pingsan. Aku segera memangku tubuhnya. Belum hilang rasa terkejut ku atas apa yang terjadi, mendadak Rasti sadar. Matanya liar menatap semua orang. Suaranya menggeram seperti binatang.

"Rasti, ada apa? Istikfar Rasti," kataku coba menenangkan.

Tiba-tiba Rasti mengamuk, beberapa orang sigap memeggangi tubuhnya.

"Lepaskan aku, lepaskan," rontanya dengan suara berat.

"Nyebut Rasti, nyebut," bujuk Bang Indra kakak tertuanya.

"Diam kau," hardik Rasti, dan matanya melotot seakan keluar.

"Cepat panggil Pak Kiayi. Ini sudah tidak wajar," sela seorang pelayat, dan seorang anggota keluarga tergesa menjemput Pak Kiayi yang tinggal di ujung desa.

Aku tak henti berdoa dalam hati, sementara Rasti terus meronta, hingga harus tujuh orang yang memegangi tubuhnya. Sementara jasad bude pun belum di mandikan. Beberapa orang sedang berusaha memotong rambut bude. Namun anehnya gunting seperti tumpul dan tidak mempan. Suara bisik-bisik pun semakin mengusik gendang telinga. Satu persatu dari pelayat mulai menduga-duga dengan opininya masing-masing. Aku hanya bisa berharap Pak Kiayi segera tiba, agar keanehan ini segera terjawab.

"Kasih jalan, kasih jalan," ucap beberapa orang.

Ternyata Pak Kiayi yang datang. Hatiku serasa lega seketika. Pak Kiayi mendekati Rasti, sepupuku itu terlihat tidak senang dan ketakutan. Pak Kiayi langsung bertindak cepat.

"Apa mau kamu?"

Pak Kiayi bertanya sambil menekan jempol kaki Rasti. Terlihat sepupuku meringis menahan sakit.

"Dendam," jawab suara yang keluar dari mulut Rasti.

"Apa yang telah dilakukan cucuku ini terhadap dirimu," tanya Pak Kiayi lagi dengan tenang.

"Bukan dia yang melakukan, tapi orang itu," tunjuk nya pada tubuh bude yang sudah terbujur kaku.

Sontak seluruh pelayat berseru kaget, mereka semakin ingin mendesak masuk dan melihat langsung. Beberapa orang coba menertibkan keadaan.

"Jangan begini caranya. Apa kamu tidak kasihan pada perempuan ini?"

"Untuk apa? Dia juga tidak kasihan padaku waktu itu," jawab suara itu penuh nada kebencian, wajah Rasti berpaling memandang tubuh ibunya.

"Sampaikan lah kepada saya secara pribadi apa yang kau inginkan. Nanti saya akan sampaikan kepada keluarga almarhumah," ucap Pak Kiayi mencegah seseorang di tubuh Rasti mempermalukan keluarga bude.

"Tidak! Aku ingin mengatakannya di sini, agar semua orang tahu," sahutnya dengan nada penuh amarah.

"Jika begitu cepat lah katakan. Kasihan gadis ini," pinta Pak Kiayi dengan santun. Seketika suasana hening. Para pelayat seakan mengunci mulut rapat-rapat dan melebarkan daun telinga, agar apa yang akan disampaikan sesosok di dalam tubuh Rasti dapat mereka dengar dengan jelas.

"Perempuan itu telah menyebabkan aku dan ibuku meninggal dunia," ucapnya sedih. Sontak seluruh pelayat terkejut, dan mulai berbisik-bisik.

"Bagaimana bisa? Kapan?"

Bang Indra bertanya tak percaya.

"Sudah lama sekali, dan gadis itu saksinya," tunjuk nya padaku.

Semua mata tertuju padaku, aku bingung dan tak mengerti apa yang dimaksud olehnya.

"Coba kamu ingat baik-baik, Nak," pinta Pak Kiayi mencoba menenangkan ku.

Aku menarik napas, menyebutkan asmanya berkali-kali untuk memulihkan ingatan. Tiba-tiba kenangan itu seakan melintas kembali di depan mata. Siang itu, Wak Nah mendatangi bude di sawah bersama anak lelakinya yang seusiaku. Sepeninggalan ibu, bude membantu ayah mengasuhku dan saudara lainnya. Wak Nah bertanya baik-baik apa salah anaknya, kenapa bude memukul Lanang, hingga meninggalkan banyak lebam di punggungnya. Ternyata persoalannya, karena tanpa sengaja Lanang menginjak bibit padi yang ditanam bude. Namun entah kenapa bude mendadak seperti kesurupan, lalu memukul dan mendorong tubuh Wak Nah hingga terjatuh dan kepalanya membentur tanah. perempuan berusia empat puluh tahun itu tidak membalas sama sekali. Dia seakan pasrah menerima pukulan Bude. Setelahnya Bude mengajakku pulang tanpa menghiraukan keadaan Wak Nah. Tak ada orang lain yang tahu kejadian itu selain kami berempat. Beberapa hari kemudian Wak Nah dikabarkan meninggal. Bude kelihatan ketakutan, dan sehari setelahnya Lanang juga wafat menyusul ibunya.

"Kamu, Lanang?"

Aku bertanya dengan ragu.

"Iya. Aku Lanang."

Seketika suasana menjadi gaduh. Suara sumbang mulai terdengar mereka-reka kejadian bertahun-tahun lalu tentang kematian Wak Nah.

"Maafkan lah almarhumah, dan kembali lah kamu dengan tenang ke alam sana," pinta Pak Kiayi.

"Tidak. Aku belum puas," jawabnya meronta mencoba membebaskan tubuh Rasti dari pegangan orang-orang.

"Apakah saya harus memaksa kamu?"

Suasana mendadak hening, beberapa orang menjauh, karena takut.

"Pulang lah, jangan ganggu keluarga ini. Mereka tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh orang tuanya," nasehat Pak Kiayi pada Lanang. Lanang menangis sesenggukan.

Kemudian Pak Kiayi meminta Bang Indra beserta adiknya untuk meminta maaf pada Lanang.

"Sekarang kembali lah ke alammu," pinta Pak Kiayi setelah Lanang memafkan kesalahan Bude.

Seketika tubuh Rasti lemah dan terkulai, tidak lama setelahnya ia sadar. Seseorang segera menyodorkan segelas air putih dan langsung dibacakan doa olah Pak Kiayi. Perhatian kami kembali pada jasad Bude yang belum dimandikan. Namun anehnya rambut dan kepala Bude masih tetap menempel erat pada bantal. Kami semua saling berpandangan satu dengan lainnya. Pak Kiayi memejamkan mata, membaca doa dan seakan berbicara dengan seseorang. Tidak lama setelahnya Pak Kiayi membuka mata dan melihat kepadaku.

"Apa yang terjadi, Nak?"

Aku bingung dengan pertanyaan Pak Kiayi. Semua mata mendadak tertuju dan menghakimi ku dengan keinginantahuan.

"Saya tidak mengerti apa yang Bapak maksud," jawabku.

"Apa yang dilakukan almarhumah pada mendiang Ibumu?"

Seketika ingatan ku kembali ke masa lalu. Waktu itu sore hari, Ibu mengajakku untuk mencari beberapa ekor bebeknya yang belum pulang. Ibu sangat sayang pada peliharaannya. Dua orang tetangga mengatakan mereka melihat Bude beberapa saat sebelumnya membawa beberapa ekor bebek. Lalu ibu mengajakku menemui bude di sawah, dengan harapan hewan itu ada di sana bersama bude.

"Ada apa kamu ke sini, Mar?"

Bude seakan tidak senang atas kedatangan kami.

"Aku mencari bebek, Kak. Apa Kakak ada lihat?"

"Aku gak urus dengan bebekmu. Macam gak ada kerjaan saja," sahut Bude ketus.

"Mereka bilang tadi siang lihat Kakak membawa beberapa ekor bebek," ucap ibu hati-hati.

"Kau menuduh ku mencuri, Mar?"

Bude bangkit dari duduk dan berkacak pinggang.

"Tidak begitu maksudku, Kak," sela ibu sedikit khawatir.

"Halah! Bilang saja begitu," teriak Bude sambil mendorong tubuh ibu. Seketika ibu terjatuh, dan Bude langsung menjambak rambut ibu yang panjang tanpa ampun. Aku hanya menangis memohon pada Bude untuk melepaskan cengkraman tangannya dari rambut ibu. Namun apa lah daya, aku hanya seorang bocah. Iba pada ibu yang tidak melakukan perlawana, pun ibu adalah seorang yang pendiam juga lemah lembut. Untung ada dua orang yang melintas hendak pulang. Mereka lalu memisahkan perkelahian yang tak seimbang itu. Kulihat ibu menahan sakit. Di genggaman tangan bude terlihat banyak helaian rambut ibu. Mungkin sangkin kerasnya bude menjambak, rambut ibu jadi tercabut dari kulit kepala. Ibu lalu mengajakku pulang, dan berpesan jangan bercerita tentang hal ini kepada siapa pun termasuk kepada ayah. Aku sedih melihat keadaan ibu, waktu itu dalam benak ku yang masih bocah, berjanji tidak akan memaafkan bude. Namun sesudahnya aku tidak pernah mengingat tentang niat tersebut. Setelah kejadian itu, ibu sering mengalami sakit kepala. Terkadang hidungnya mengeluarkan darah. Namun ibu tidak pernah mengeluh. Sebulan setelahnya ibu meninggal dunia, tanpa ada yang tahu penyebab sesungguhnya. Air mataku membasah di pipi mengingat kembali kenangan itu.

"Apakah kamu belum memafkan Bude kamu, Nak?"

Aku menangis mendengar pertanyaan Pak Kiayi. Sama sekali aku tidak pernah menyimpan dendam atas peristiwa lampau. Namun harus kuakui, hingga saat ini mimpi buruk tentang kejadian itu kerap menganggu tidur.

"Apa yang dilakukan Ibu pada Bibi, Dara?"

Bang Indra bertanya sangat hati-hati. Aku menggeleng, tak ingin menceritakan apa yang dahulu terjadi. Sebab aku telah berjanji pada almarhumah ibu.

"Katakan lah, Dara. Maafkan lah Ibu kami," pinta Bang Indara mewakili Bude dan adik-adiknya.

"Aku sudah memafkan Bude, Bang. Biar lah yang lalu jangan diungkit lagi," kataku dengan teramat sangat. Bang Indra juga memohon pada seluruh saudaraku, agar memaafkan apa yang telah diperbuat ibunya. Kami semua mengihklaskan apa yang telah terjadi.

"Alhamdulillah," ucap para pelayat.

"Sekarang angkat mayatnya, dan segera mandikan," pinta Pak Kiayi kepada kami.

Lalu Bang Indra beserta adik-adiknya mengangkat tubuh mayit. Seluruh yang hadir di sana seakan menahan napas waktu melihat rambut bude tidak lagi menempel pada bantal. Setelah selesai dimandikan, proses pengafanan dilakukan. Dilanjutkan dengan penguburan jenasah. Aku ikut mengantar bude ke tempat peristirahatan terakhir. Terlihat lubang kubur bude dipenuhi akar-akar pohon. Pada hal sekitar liang jauh dari pepohonan. Sementara langit di atas kepala kami seperti mau runtuh, awan menggumpal hitam. Pemakaman pun dilakukan dengan cepat. Satu persatu pelayat pulang dengan tergesa, takut keburu hujan turun. Aku meminta waktu sejenak ketika Bang Indra dan lainnya mengajak pulang. Kupanjatkan doa untuk bude, agar Tuhan mengampuni segala kesalahannya baik kepada Wak Nah dan Lanang, juga kepada ibuku serta orang-orang yang pernah disakiti semasa almarhumah hidup. Biar bagaimana pun, bude sudah seperti ibu bagiku dan abang-abang.

"Maafkan Bude, Dara."

Aku tersentak mendengar suara berbisik di telinga.

"Aku sudah memaafkan, Bude. Tenanglah di sana," sahutku sambil beranjak.

Langkahku belum jauh, saat merasakan bumi tempat berpijak bergerak seperti gempa. Lalu suara Bude terdengar nyaring di telinga.

"Tolong Bude, Dara! Ampuuun!"

------------------------TAMMAT-------------------------


#Cerpen
DOSA MASA LALU
Karya : Airi Cha
Pengojek Hati
2056.290421










Cermin - AZAB SEORANG PENDUSTA Oleh : Tati Kartini


 

   TUMBEN, pagi-pagi sekali Mas Adi suamiku sudah bangun dan berkemas. Melihat pemandangan yang tak biasa, kucoba menyapa manja Mas Adi. "Selamat pagi, Sayang, bukankah kamu tak jadi berangkat naik gunung? Pending saja sampai musim panas, Yank, aku kuatir musim hujan pasti jalannya licin."

Sudah sebulan ini Mas Adi selalu menghabiskan waktunya menatap layar ponsel. Katanya sih sedang membicarakan rencana reunian dan berencana untuk naik gunung bersama teman-teman sekolah semasa dia SMA. Jujur aku merasa janggal melihat perilaku Mas Adi. Akhir-akhir ini dia tampak cuek dan tidak peduli kepadaku.

"Yank, begitu sibuknya kamu sampai tak peduli padaku? Rasanya aku seperti sedang dimadu," kataku lagi.

"Kamu tuh kebiasaan, jangan sembarang bicara, kata-kata itu doa!" sentak Mas Adi.

"Aku hapal sifatmu, bukankah hal ini sudah berulang kali terjadi?" Aku bertanya sekaligus mengingatkan tentang kebiasaan buruknya yang hobby berselingkuh.

"Jaga bicaramu, jangan ngeres, aku tidak punya pikiran mesum, WALLOHI!" Seperti biasa, Mas Adi berusaha meyakinkan aku dengan sumpahnya. Aku memang sering tak berdaya bila dia telah melempar sumpah atas nama Allah.

Mas Adi hapal betul kelemahanku. Sebab jauh di lubuk hati, aku hanya percaya atas kebesaran nama-Nya.

Begitulah, tanpa menghiraukan kekhawatiranku, dia pun berlalu pergi. Tuhan, ulah apa lagi yang direncanakan? Sulit untuk mempercayai Mas Adi yang terlalu sering berdusta.

***

Kecurigaanku belum menghilang, tiba-tiba sebuah pesan masuk dengan foto profil seorang wanita cantik menghiasi ponselku.

[Kak, sudah berapa lama menikah dengan mas Adi?] Kuamati foto profil wanita itu, tampaknya dia masih satu grup politik denganku.

Merasa teman satu grup, aku menjawab juga walau dengan perasaan aneh. [Empat tahun] ku tulis jawabku pendek.

[Sudah lama juga, ya?]

[Iya, ada apa sebenarnya, Dik?]

[Suamimu lagi dekat dengan seorang janda, dia admin di grup kita] ujarnya, membuat aku terkejut.

Lalu, aku langsung teringat ketika buka daftar anggota, ternyata suamiku yang baru masuk sebulan sudah diangkat menjadi admin. Dengan perasaan heran aku bertanya kepada Mas Adi.

"Yank, sejak kapan kamu jadi admin? Aneh, anggota lama aja yang sudah senior banyak kenapa harus kamu yang baru sebulan jadi anggota?"

"Gak tau juga, dia bilang aku potensial jadi admin." Mas Adi menjawab sekenanya. Aku mulai merasa ada yang tidak beres antara Mas Adi dengan Si Mey Mey admin grup tersebut.

Beberapa teman di grup mulai curiga, begitupun aku. Kukeluarkan segenap keahlian untuk menginterogasi. Hingga akhirnya Mas Adi mengakui memang dia berpacaran dengan Si Mey Mey.

Dari beberapa Informasi yang aku dapat dari temannya, ternyata Si Mey Mey sudah sembilan tahun menjanda.

Kucoba menghubungi dan mengingatkannya, tapi dia sudah gelap mata karena mendengar rayuan gombal Mas Adi yang terkenal sebagai pujangga cinta.

Dengan perasaan sakit yang tak terkira kubiarkan saja ulah mereka. Aku mengalah untuk selamanya.

Terlalu lelah merasakan ulah Mas Adi, karena bukan hanya sekali ini saja dia berkhianat.

Aku pasrah atas kehendak Illahi, biarlah mereka merasakan azabnya sendiri. Selamat tinggal Mas Adi, aku pergi jangan kaucari.

~~~Tamat

#Cermin (Cerita Mini)
AZAB SEORANG PENDUSTA
Oleh : Tati Kartini

TATI KARTINI



Prosa : TANGISAN PELANGI - Mahyaruddin


 

   MALAM itu, cukup sendu bagiku yang berjalan kaku bagai beku telapak kaki dan jemariku. Aku hanya bisa bercerita dengan sayup bayu yang cuek menembus tulangku. Kuceritakan juga pada ringkikan suara jangkrik tentang derita rasa yang kupunya. Ada rasa lama yang terkubur reruntuhan trauma, aku merasa puing-puing cerita lalu masih menderaku, telah banyak kuhabiskan waktu meratap dalam gelap dan menangis sendiri di sudut sunyi.

"Aku bingung kala itu, harus berbuat apa aku sekarang dan nanti, aku juga punya masa depan yang harus kulukis dengan indah di atas kanvas kehidupanku.” rintihku pada daun yang bergelayut di ranting kecil batang pohon tempat aku bersandar malam itu.

Kupalingkan pandangan mataku pada bayangan sendiri, kulihat ia hanya diam membisu.

“Bisanya cuma meniru aku saja, apa dia sesakit aku?” itu pikirku.

''Mengapa kau harus jadi bayanganku yang derita ini?” tanyaku bersalah.

Aku yang tak mampu membuat senang ia.

“Mengapa kau tak jadi bayangan orang lain saja yang lebih bahagia?” tanyaku masih.

“Pergilah! carilah bahagiamu.'' suruhku. Namun tetap ia diam dan hanya bisa meniruku.

“Ya, ia yang setia, senantiasa ada saat apa pun aku ditimpa.''

Sesekali kuseka titik air di pelupuk mataku yang tanpa sadar perlahan membasahi pipi. Kualihkan pandanganku pada langit malam itu, temaram dengan sinar bulan yang buram.

“Di mana bintang?” pikirku. “Mengapa biarkan bulan sendiri?”

"Hahaha, aku masih beruntung dari bulan itu, masih ada bayanganku yang menemani walau ia bisu, mengapa begitu seperti tertata sepi?!"

Lazuardi pun terlihat sayu sedang mega ikut muram dalam balutan malam. Sesekali kulihat kelelawar terbang tanpa arah menyambar kekosongan.

''Apa seperti itu aku?” pikirku.

Aku yang tanpa arah, hanya beradu pada ruang semu.

“Aku ingin kejelasan hidupku!” teriakku dalam diam.

"Batinku penuh tanda tanya, inginku berontak. Tapi pada apa?! Di mana harus kutemukan jawaban resahku? Aku lelah.”

Tersandar aku masih di rindang pohon itu, kupejamkan mata. Sesaat saja, kembali terlintas di benakku masa silam yang suram yang dahulu kutapaki. Bagai mesin waktu yang membawaku ke dimensi masa itu.

Sontak saja aku tersentak dan kembali menyesal. Tanpa sadar pandanganku seperti kosong, hanya memandang titik tanpa wujud.

“Bagaimana masa depanku kelak?” gumamku takut.

“Aku hanya ingin hidup bahagia dan lebih baik." melasku pada alam dan segala komponennya.

Kuraih dahan yang lebih besar dan kuat, kuajak tubuhku berdiri tegak.

Langkah gontaiku menapaki jalan malam itu. Seperti tubuhku tanpa tulang lemah tanpa semangat, tertunduk pandangan menyapu jalan. Gemercik ilalang menari tertiup angin, berbisik satu sama lain.

“Mungkin saja lalang-lalang itu sedang menceritakan aku,” pikirku.

“Tapi, biarlah. Aku mencoba mendamaikan hati yang kian kalut."

Perlahan, kutelusuri malam. Sesekali kerikil kecil mengusik telapak kakiku yang tak beralas. Aku lupa di mana sendalku, aku lupa memikirkannya.

Bagai terselubung mega hitam gelap merayap dalam jiwaku.

"Apa harus terhenti saja napas ini?” rintihku lirih pada nasib sendiri.

“Lalu, agar bisa kugali pusara sendiri, agar hilang biar lenyap. Apa masih ada yang membutuhkanku?!” tanyaku mulai ngawur dalam genting asa.

Bergejolak jiwaku malam itu, bergulat segala tanya dan pemikiran. Tak lagi waras nalarku mengartikan embun di tepi daun.

“Aku ini apa dan harus bagaimana?!” isakku peluh.

Tercurah air mata dari kelopak sayunya, tak mampu kutahan sedihku.

"Apa harus menunggu air mata ini menjadi merah, agar takdir mengerti!” jerit mengalir dalam rintik air mataku.

“Sudah, sudahlah. Aku sudah tidak kuat memelas dalam bayang buram." Adakah jawaban indah dari semua tanyaku?

"Oh, Tuhan. Adakah akhir yang sederhana bahagia dari cerita deritaku?''

Aku lelah dengan semua dera derita, aku rindu bahagia. Entah sudah berapa lama aku tak tertawa. Bahkan, tersenyum pun aku hampir lupa, hingga menatap cermin aku tak bernyali, aku hampir lupa wajah sendiri. Meronta dalam kata-kata. Air mata patah di pipiku, derainya tumpah tanpa arah. Dunia seakan basah oleh air mata resah.

“Bahagia itu apa? Bahagia itu di mana?” tanyaku lirih.

Aku rindu bahagia, sungguh.

Langkahku mulai menjauh, semakin jauh.

Namun, tak terasa kian dekat aku dengan gubuk tua di antara pohon-pohon kecil di sampingnya. Gubuk reot yang kurindu, gubuk tempatku bernaung kala aku lelah berperas peluh bertarung dengan terik mentari saat aku bekerja dulu.

Ini, gubuk mewah istanaku. Tempat aku berlindung dari dingin malam terik siang. Ini gubuk mewah istanaku tempat aku melepas segala penat. Gubuk yang masih sama persis ketika terakhir kali kulihat dan kutinggalkan waktu itu.

“Ya, ini rumahku. Istana kecilku.” Tepat berdiri aku di depan pintunya.

Kembali rasa galau menyelimuti organ penting jasadku, pikiranku hilir mudik. Segera kubalikkan badanku membelakangi gubuk itu. Kembali kulangkahkan kaki berjalan menjauh pergi. Namun langkah terhenti.

Kupandang jauh diujung penglihatanku. Entah apa yang kulihat, kosong. Lamunan kembali merayap dalam kepalaku.

Seperti ada suara decit pintu yang terbuka. sebentar namun terdengar sangat jelas. Kemudian, samar-samar kudengar suara sedikit parau dari belakang, merintih memanggil namaku. Semakin lama, semakin terdengar jelas ngiangnya menabuh gendang telingaku. Berbagai rasa menyelimuti jiwaku.

“Suara ini, aku kenal betul suara ini." yakinku.

"Perlahan kutoleh kebelakang, ke arah pintu. Kulihat samar bayangan wujud sosok yang berjalan mendekatiku. Semakin lama, semakin dekat. Berbagai rasa menimpaku, lalu aku dikejutkan dengan sinar bulan yang tiba-tiba saja beranjak terang. Kusempatkan menoleh ke Lazuardi yang sedari tadi menatapku dalam bisu. Kulihat rembulan pun semakin terang menantang, mega seperti mengerti dan pergi tak ingin tutupi anggunnya. Terkagum aku, ditambah bintang yang muncul ke permukaan langit.

Lazuardi tersenyum, begitu indah malam ini."

"Kutoleh kembali sosok itu yang berjalan semakin dekat denganku dan kini sudah sehasta di depanku. Betapa aku tersentak, sudut-sudut mataku basah. Wajahnya itu tersiram cahaya rembulan. Terenyuh hatiku melihat wajah biasa penuh rindu, penuh cinta. Ia tersenyum menatapku penuh cinta. Dengan bibir kelunya ia menyebut namaku, terbata beradu air mata di sisi bibirnya.

Wajah sederhana yang amat sangat aku rindu. Bergetar jiwaku, bibirku beku tak mampu berkata."

Ia Ibuku.

“Kau sudah pulang anakku, Ibu sangat merindukanmu, entah sudah berapa lama kau pergi?” rintihnya dalam rindu.

Ku jawab dengan pelukan erat pada tubuh tua itu, menangis aku di pundaknya, tak bisa aku berkata apa-apa.

"Aku selalu menunggumu anakku, aku selalu ada untukmu.” Ibu menenangkanku yang selama aku di jeruji akibat dosaku.

Terjawab resahku, aku lalai ketika cerca dunia menderaku. Ketika buah kesalahan menghukumku.

“Lama kutinggalkan Ibu sendiri.” isakku masih dalam pelukannya.

"Maafkan aku Ibu, maafkan anakmu ini. Hukuman alam menyadarkanku dengan penuh cinta kau raih tanganku. Kini tiada bimbang hatiku."

Belaian lembut di kepalaku, benar-benar menenangkanku seperti masa kecilku dulu yang bermanja pada Ibu.

“Ayo, kita masuk, Nak!” ajak Ibuku.

“Kau pasti sudah lapar, Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Selalu Ibu masak itu karena Ibu selalu menunggumu pulang nak.” jelas Ibuku.

Menangis aku membayangkan betapa rindunya Ibu padaku. Kulihat senyum bahagia penuh cinta di raut wajah keriputnya. Engkau ibuku, malaikatku yang tak tergantikan oleh apa pun. Dengan tulus cintamu masih kau raih aku yang pernah durhaka padamu.

Maafkan aku Ibu, maafkan aku.
Terima kasih Bundaku, kau balut pelangimu.

Prosa
TANGISAN PELANGI
Karya: Mahyaruddin
Belawan, Medan Sumut. 19/5/21
#pondokteduh


















Cermin - BESAR PASAK DARI PADA TIANG Karya : Pandu Eva


 

   SUDAH setengah jam Dhea mondar-mandir di ruang tamu. Menanti Brian, suaminya. Pulang kerja. Tak berapa lama, suara derit pintu pagar dibuka dan mobil masuk garasi terdengar. Dhea keluar rumah dan segera berlari menuju garasi. Menyambut Brian.

"Papi, kok lama banget sih," ujar Dhea. Tangan kanannya melingkar di lengan kiri Brian.

"Hmm. Mau beli apa lagi?" gumam Brian.

Namun, gumaman Brian terdengar oleh Dhea.

"Kok, Papi gitu sih sama mami!" seru Dhea. Bibirnya mulai mengerucut.

Brian tak menghiraukan Dhea. Sambil berjalan masuk ke rumah, ia teringat kalau selama ini apa yang Dhea minta selalu dituruti. Namun, kali ini Brian mencoba mengerem permintaan istrinya.

Dari Brian pulang kerja, makan malam, hingga menjelang tidur. Rengekkan Dhea masih terdengar.

"Emang, Mami mau minta apa, sih?"

"Itu, Pi. Teman-teman mami pamer cincin berlian. Bagus deh," bujuk Dhea.

"Tapi 'kan cicilan kalung berlian empat bulan lalu belum lunas, Mi. Tunggu sampe lunas dulu. Sabar, enam bulan lagi. Belum cicilan yang lainnya."

"Jadi Papi ga mau beliin mami!" sentak Dhea.

Brian menghela napas. Turun dari ranjang. Berjalan, membuka laci yang ada di dalam lemari. Dikeluarkannya map berwarna biru tua dari laci.

"Mami, baca ini deh!" Brian menyerahkan map itu kepada Dhea.

"Apa ini, Pi?"

"Baca aja!"

Dhea membuka map, mengernyitkan dahi.

"Itu rincian gaji papi beserta pengeluarannya," celetuk Brian.

Dhea hanya terdiam.

"Mami, liat 'kan? Gaji papi lebih kecil dari pada semua cicilan dan pengeluaran lainnya. Tabungan papi juga sudah habis untuk memenuhi segala keperluan Mami, yang sebetulnya ga penting menurut papi."

Brian melihat Dhea. Sedari tadi ia tak bergeming. Tertunduk saja. Dihampirinya sang istri yang duduk di bibir ranjang. Kini Brian duduk tepat di samping Dhea. Menggenggam tangan Dhea.

"Mami harus tau. Keuangan seperti itu ga sehat. Seberapa besar penghasilan, kalau kita ga bisa memanage, maka sampai kapan pun kita akan kekurangan. Gaji besar akan terasa kecil kalo kita ga bisa mengaturnya, dan gaji kecil terasa besar jika kita bisa mengaturnya," jelas Brian.

Dengan lembut, Brian mengangkat dagu Dhea.

"Nanti, ya, Mi. Selesaikan dulu cicilan yang lain. Papi janji, kalo sudah selesai. Papi akan belikan berlian buat Mami."

Dengan berat hati, Dhea menerima keputusan sang suami. Meski jauh di lubuk hatinya mengakui, bahwa Brian berkata benar.

_End_

#Cermin(Cerita Mini)
BESAR PASAK DARI PADA TIANG
Oleh : Pandu Eva.


Cerpen - A Story Of My Life CINGKUAK OH CINGKUAK Karya : Retno Rengganis


 

"....KENANGAN masa lalu yang indah
Saat aku masih bersamamu
Kisah itu sungguh begitu indah
Kini hanya cerita yang lalu.

Bertahun-tahun sudah lamanya
Kita tak lagi pernah bertemu
Sungguh aku masih merindukanmu
Walau kini sudah ada pengganti..... "

( Lirik Silamsari _ Kenangan Masa Lalu ).


Masih terngiang di telingaku lagu mellow yang tenar di masanya waktu itu, kalimatnya begitu kontras dengan kesedihan. Ingatanku langsung pada seseorang, sosok romantis yang melankolis. Entahlah mengapa kesedihan menghapus senyuman, kepedihan yang utuh harus disatukan dengan suasana gembira ini?

Ah... luka lama dalam kenangan itu kembali menggelitik hati. Debarnya begitu kuat sehingga sesakku menyedak.
Perlahan-lahan kutarik napas sekedar mengurangi rasa nyeri yang berlebih. Seperti kau tau bahwa aku masih suka merasa benci dengan sosok yang bernama Sultan. Kuputar otak agar aku bisa mengalihkan rasa serta angan lukaku.

"Bagaimana perasaanmu Re, sudah agak baikan?" kata Dendy mencemaskanku. Ternyata dari tadi dia memperhatikan diriku serta mengkawatirkan diriku yang pucat seperti kapas. Dendy mengira aku takut naik bis dalam laju kencang, kanan kirinya jurang curam.

"Re, kamu baik-baik saja," Dendy akhirnya mengemukakan pertanyaan lagi.

Tak kujawab pertanyaannya dengan kata-kata, tapi menaikkan bahu sambil geleng kepala.
Kami diam, pikiran kami bermain imaji sendiri-sendiri.
Namun tangannya begitu kuat menggenggam jemariku, mungkin untuk membuatku makin nyaman. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Dendy memang baik bahkan teramat baik. Dia tau semuanya tentang kenanganku di pulau itu. Cerita cintaku dengan Sultan.

"Maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku, Re?" Dendy bertanya lagi.

Aku menganggukkan kepala perlahan.
Dendy berdehem sebentar sambil mengusap lembut kepalaku.

"Artinya, kamu tentu harus berjanji untuk bisa melupakan kenangan pahitmu di kota ini dan membuka lembaran baru bersamaku, menatap mentari dengan senyummu,". Betapa tegas ucapannya.

Dendy memandangku, kudongakkan kepalaku sambil memandangnya, dan tatapan kami bertemu. Kutangkap sebuah sinar kecil melesat dari bola matanya, berlari begitu cepat menuju mataku tapi sebelum sinar itu masuk cepat-cepat kupalingkan perhatian keluar jendela, roda-roda bus tetap melaju kencang.

"Jika kamu sudah memutuskan berani datang ke kota ini dan bersedia mengikutiku, mau tidak mau kamu harus mengubur masa lalumu serta menepis bayang wajahnya, namanya, dari dasar hatimu," kata Dendy tegas

Oh... ingatanku kembali terusik dengan kata-kata tegas Dendy.
"Kamu sekarang milikku dan aku cemburu tauk," Sambil menyentil ujung hidungku mesra.

Dendy memang sosok romantis dan penyabar beda dengan Sultan yang keras tapi tegas. Namun keduanya sama-sama romantis.

"Sayang kita sudah sampai yuk turun,"

"Oh...," Desahku

Perlahan kuikuti Dendy. Jalan yang tidak asing bagiku. Lima tahun lalu jalan ini pernah juga kulewati bersama Sultan. Sebuah jalan di samping pantai Carocok. Satu-satunya jalan untuk menuju tempat penyeberangan ke pulau Cingkuak.
Tapi untuk kali ini kami tidak akan menuju kesana, melainkan kelereng bukit pantai Carocok. Tiba-tiba bening di sudut mataku jatuh. Dendy menarik lembut tanganku untuk terus mengikuti langkah kakinya, sambil menikmati pemandangan, pelan namun pasti kami menyusuri sepanjang jalan serta sebuah lorong yang begitu asri.
Tempat yang indah di lereng bukit itu, di sisinya adalah laut luas membentang dan di tengah laut banyak berjajar pulau-pulau kecil yang indah. Di antaranya adalah pulau Cingkuak.

"Udah sampai Re dan inilah rumah impian kita," kata Dendy

Wuuow... rumah impian yang begitu indah, minimalis ada kebun serta taman bunga, pokoknya gak bisa di bayangin indahnya.

"Kau suka sayang," betapa bahagianya Dendy memamerkan rumah impian kami. Sepertinya dia begitu tahu keinginanku. Dendy telah menepati janjinya untuk memberikan hadiah bulan madu sekaligus rumah idaman baru untuk tempat tinggal kami. Karena sejak kejadian itu aku malu hidup di Jakarta di lingkungan tempat kami bekerja dulu. Sehingga kami sepakat untuk pulang dan bekerja di negerinya Dendy.

"Den, tingkiyu ya," binarku berseri.

Kukecup manja pipinya, kupeluk kuat tubuhnya. Dendy membalas mengecup keningku. Ditariknya diriku masuk ke dalam rumah impian kami. Dan dia kembali memelukku, mengecupku, bibir kami saling memagut, indahnya. Dan di dalam sebuah kamar biru, kami luahkan rasa bahagia dengan asyik masyuk bercumbu melupakan pilu.
Rintik hujan tiba-tiba turun, kabut dari lereng bukit ikutan menyelimut dingin menyusup dan tentu menambah romantis suasana. Kami hanyut terbawa mimpi yang entah, tentu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Romantika cinta dalam satu jiwa menuju puncak asmara. Indahnya surga dunia tiada tara.

Sultan....
Itulah nama yang membuka katup cintaku. Bersama Sultan di pulau kecil tengah laut itu, aku telah mengenal yang namanya cinta dan kekasih.

Ingatanku kembali melayang pada masa itu, masa dimana diriku pertama kali menjadi kekasih Sultan. Sultan lelaki periang dan pandai sekali bergaul. Karena dia seorang seniman pula penulis. Pertama kenal dengannya dalam sebuah komunitas sastra di sanggar DELAMONTE. Kedekatan kami banyak yang tahu. Baik sahabat Sultan atau sahabatku. Apalagi kami juga satu kantor dalam pekerjaan kami sebagai wartawan ibu kota.

Pada suatu hari kami sama-sama mendapatkan tugas membuat event di sebuah pulau kecil di Cingkuak Pesisir Selatan Padang. Awalnya aku dan Sultan hanya seorang sahabat. Keceriaan kami bahkan banyak yang merasa iri. Sultan pandai sekali membuatku tertawa, bahkan sampai terpingkal-pingkal, tapi pada waktu yang lain, dia kadang terdiam seribu bahasa tanpa sebab. Pada waktu yang lain pula dia menunjukkan kecemburuannya yang teramat sangat pada temen-temenku saat aku bersama mereka. Sultan seakan tak memberi kesempatan padaku untuk interaktif dengan teman-temannya. Dia ingin diriku hanya hadir dan selalu bersamanya. Apalagi jika malam Minggu dia tidak pernah sekalipun melewatkannya pasti selalu hadir untukku. Pokoknya hari-hari tanpa ada waktu tidak bersamanya.

"Cingkuak oh Cingkuak" rintihku melirih. Kejadian waktu itu kembali menggelitik ingatanku.

"Re, aku cinta kamu, aku cinta kamu Re,"

"Aku tidak ingin kamu dekat dengan Rian, dengan Indra atau dengan Dendy aku cemburu paham!" bisiknya lirih ketelingaku supaya tidak di dengar teman-teman. Dengan tatapan tajam tak berkedip, Sultan memohon kepadaku. Dia begitu tidak sukanya melihat aku menemani teman-teman saat membuat perahu serta pernak pernik untuk kegiatan besok, yaitu acara sastra pertemuan para penyair se-nusantara yang akan berkumpul di pulau kecil nan indah yaitu Cingkuak.
Aku memang lebih suka melihat serta membantu teman-teman mempersiapkan pernak pernik dari pada nungguin Sultan mempersiapkan naskah, atau menyusun acara yang hanya berkutat di hadapan laptop.
Aku terdiam memandang wajahnya, wajah lelaki yang aku cintai.

"Ayo ikuti aku kita bicara," Sultan menarik tanganku dan aku menurut saja. Kami berjalan menyusuri pantai. Indah sekali. Debur ombaknya pelan menghempaskan buih, bening air lautnya membuatku terpesona karena banyak ikan-ikan kecil berenang. Nyiur melambaikan jelai daunnya dan berjajar rapi, bahkan banyak pohon yang merebahkan batangnya kepantai berayun-ayun begitu elok, kontras sekali dengan suasana hari ini, sepoi semilir asoi.

"Re, tatap mataku sedalam rasamu," mulai Sultan bicara.

"Tidakkah kau rasakan bila aku mencintaimu, bahkan aku seakan gila jika melihatmu bercanda dengan mereka, aku tidak rela Re, tidak!". Di genggamnya jemariku kuat-kuat.

"Sultan...," kataku lirih

"Iya, aku mencintaimu," Sultan memotong ucapanku.

"Apakah kamu tidak merasakannya selama ini Re?" ucapnya lagi. Aku tetap diam.

"Di pulau Cingkuak ini aku tegaskan, aku mencintai kamu, apa kamu menerimanya Re, untuk menjadi kekasih sahku?". Matanya meredup menghiba.

Degup jantungku makin berdebar kencang, ingin rasanya aku berteriak jika sebenarnya aku juga telah mencintainya, tapi aku malu sehingga yang aku perbuat selama ini cukup memendam dalam hati. Dan saat ini Sultan mengungkapkan isi hatinya, ya Allah apa yang harus aku lakukan kecuali hanya mengangguk sendu menerima cintanya.

"Yes, terimakasih Re," begitu girangnya Sultan sampai dia tak sadar berteriak kencang. Mulai deh konyolnya keluar, biasalah dia langsung bersyair.

Dan....!

"Wahai camar di atas karang, wahai gelombang yang menari riang, wahai jelai daun-daun nyiur, dengarkan aku, ini sumpahku di atas tungku batu, IZINKAN AKU MENCINTAI RE RE SELAMANYA, WALAU PERTENGKARAN TERTAKDIR DI ANTARA KAMI. DAN AKU TAK AKAN MENARIK SUMPAHKU DAN IKRARKU INI, SAMPAI TUAKU NANTI HINGGA AJAL MENJEMPUTKU,". Gelegar sekali ucapan Sultan dan membuatku merinding. Ternyata bukan hanya bersyair tetapi dia telah bersumpah. Oh my God!

"Sultan, apa-apaan sih kamu,". Belum selesai kuucap kata, Sultan telah memelukku kuat sekali, seakan tidak mau kehilangan diriku. Aku pasrah dalam dekapannya.

Dari jauh dibalik rumpun di bawah pohon flamboyan Dendy memperhatikan dengan rasa hancur. Satu-satu kelopak bunga flamboyan berguguran seperti luruhnya bening dari sudut mata Dendy, yang dengan tidak sengaja terluka. Sebab orang yang dia cintai diam-diam kini telah menjadi milik Sultan sahabat sekaligus rivalnya.
Sultan masih tetap memelukku, bahkan lebih kuat, mungkin dia merasa ada yang ingin merebut kekasih hatinya.

"Re, lihatlah debur ombak itu, begitu gemulainya dia memainkan kerikil pantai, diciptakannya buih putih, kau tau Re, semoga cintaku seputih buih itu,"

"Mulai menggombal kau ya, dasar penyair," sewotnya aku

"Loh, enggak percaya kamu,". Dia melotot, berhenti tepat dihadapanku.

"Aku serius Re,". Dan Sultan berhenti diam sejenak.

"Kok berhenti ada apa?" tanyaku sedikit merajuk ingin tau.

"Penasaran ya," ejeknya sambil jemarinya menyentil hidungku.

"Iiih... apaan sih,". Aku sewot di buatnya

Kemudian dia menarik tanganku mengajak duduk di batang kering yang rebah membujur ke pantai.

"Aku sudah bersumpah di pulau ini, dengar baik-baik dan kusimpan sumpahku dalam hati jika aku lupa ingatkan, karena kau tau Re, sesampainya di Jakarta nanti aku akan melamarmu," kata Sultan tegas.

"Whuooooottt....!". Kaget dan melongo aku.

"Sssttt... usah kaget begitu sayang,". Dengan memegang jemariku Sultan duduk di hadapanku. Akupun mencoba untuk mengerti.

"Aku akan segera meminangmu, kau mau?" katanya tegas dan inginkan segera jawabanku.

"Iya aku mau," jawabku.

Langsung dia memelukku kembali, kali ini pelukan sayang yang membuatku melayang. Tanpa menghiraukan apapun, dia menciumku mesra. Dendy jauh di sana, makin terpuruk dan terluka. Dia berlalu menekan nyeri. Sedangkan kami asik bercanda menyusuri pantai menarikan kidung jiwa yang lagi happy.
Ya Tuhan, mimpi apa aku, orang yang selama ini dekat denganku, dan yang aku cintai diam-diam, kini menjadi kekasihku dan sebentar lagi akan menjadi suamiku. Dia telah bersumpah di pulau keramat ini. Oh my God! Terus dan terus kejadian esok lusa itu menari-nari dalam lamunkanku.

"Hai, bengong aja, mau pulang gak atau ingin menjadi penghuni pulau ini sayang... ha ha ha," ledek Sultan bikin keki.

"Tan, iya kalik tapi harus bersamamu... ha ha ha," suara Rian ikut ngeledek.

Tanpa banyak bicara aku segera masuk speed boat. Acara sudah selesai dengan meriah, event yang diadakan di pulau Cingkuak seratus persen sukses. Betapa riangnya kami para petugas, panitia. Segala sesuatu dalam acara tersebut tidak mengecewakan. Kami kembali berkumpul di kantor sekretariat Pemuda Pecinta Sastra tepatnya di Taman Budaya Padang. Malam hari diisi rapat kecil pembubaran panitia. Dan esok harinya kami rombongan kembali pulang ke Jakarta.

Aku, Sultan, Rian dan Dendy satu sanggar. Sultan dan Dendy asli Padang, sedangkan aku dan Rian asli Jawa, bedanya Rian Jawa Tengah, aku Jawa Timur tepatnya Bojonegoro. Kami semua sahabat, bekerja dan bermain teater di satu naungan, kami bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah ibu kota yang sangat terkenal.

*******

   Satu tahun kemudian...

"Re, beneran kamu mau menikah sama Sultan," kata Hawa sedikit cemas

"Iya, emang kenapa, tunggu undangannya ya cantik usah manyun begitu maaf undangan untukmu lupa aku bawa,". Kucolek dagunya sambil menggoda.

"Re, serius kamu," Hawa seperti tidak percaya.

"Kamu itu kenapa sih, iya serius dong,"

"Ayo! Ikut aku...,". Ditariknya tanganku kuat-kuat. Kuikuti langkah kaki Hawa. Duh kenapa dia bawa aku keruang kerja Sultan ada apa ini, semakin penasaran.

"Lihat itu...,". Tangan Hawa menunjuk kedalam ruangan yang bagiku tidak asing lagi. Ruang kerja Sultan, tapi siapa wanita yang di pangkuan Sultan. Deg pyiaar! Dadaku tiba-tiba sesak. Dari balik pintu ruang kerjanya yang mungkin lupa di kunci, kami telah di suguhi pemandangan yang menjjikan. Diantara percaya dan tidak, yang jelas dadaku sesak dan sakit sekali. Beningku jatuh perlahan.

"Ayo kembali keruangan kita,". Diseretnya tanganku oleh Hawa.

Sampai di ruangan kerjaku Hawa memelukku kuat-kuat. Dan kami sudah menangis pilu. Lagi-lagi sepasang mata elang yang redup itu memandang dari balik jendela dengan seribu cerita, yang tersimpan rapi di hatinya. Dendy! Ya Dendy memang tau perselingkuhan Sultan dengan Devi cewek cantik dan sedikit manja pada setiap pria. Devi kelahiran Bandung mojang Priangan.
Dendy tidak berani mengatakannya pada Re Re atas perselingkuhan Sultan dengan Devi. Dendy tidak ingin wanita yang selama ini diam-diam di cintai terluka.
Bahkan saat Sultan berkencan dengan Devipun di luar jam kantor, dia tahu.

"Re Re, semoga kamu kuat," katanya dalam hati begitu lirih nyaris tak terdengar. Kemudian berlalu dari kedua wanita yang dilanda pilu, Re Re dan Hawa.

"Aku harus bicara sama dia, sekarang juga," kataku

"Aku ikut!" Hawa mengikuti langkah kaki Re Re.

Brak!
Betapa kagetnya Sultan dan Devi, sebab tak pernah Re Re sekasar itu membuka pintu karena biasanya mengetuk dulu.

"Batalkan pernikahan kita," kataku tegas

Hawa, Sultan dan Devi kaget!
"Re Re, apa-apaan ini, ada apa denganmu,".Tangan Sultan meraih pundakku, namun segera kutepis.

"Masih belum kamu dengar, kita batalkan pernikahan," sambil kusodorkan HP, kuperlihatkan foto mesra mereka berdua, saat Sultan mencumbu Devi sambil memangkunya.

"Kamu lihat kan, ini alasanku membatalkan pernikahan!" senggukku makin pecah

"Tidak! Kata Sultan

"Tunggu penjelasanku Re," Sultan menghiba.

"Percuma, aku sudah tau semuanya!" kutepis tangan Sultan. Aku dan Hawa akan kembali ke ruangan, tapi Sultan menghadang langkah kami

"Tunggu Re, aku jelaskan," rengek Sultan

"Tidak perlu!" teriak Devi

Kami bertiga kaget.
"Aku hamil!" katanya lagi.

Kami bertiga semakin tertampar atas pernyataan Devi. Dan lagi-lagi Dendy tahu semua kejadian itu. Dia ikut kaget saat tidak sengaja dia lewat di luar ruangan itu.

Plakk! Sultan menampar Devi.
"Cukup!" teriakku

"Dengar Sultan, kita putus dan pernikahan batal," kataku lagi mempertegas.

"Kita sudah menyebar undangan Re, dengar pen...,"

"Diam!"

"Batal, kau dengar!". Aku dan Hawa berlalu, kutinggalkan mereka berdua, Sultan dan Devi dalam pertengkaran hebat. Aku benar-benar sudah tidak perduli lagi. Aku hancur, aku pilu, aku kecewa.

Sebulan telah berlalu, namun kemarahanku, kesedihanku campur aduk dengan masalahku di rumah, sampai kini masih saja membelenggu. Orang tuaku kelabakan setengah mati setelah tahu aku mengambil keputusan membatalkan pernikahan. Bagaimana orang tuaku tidak marah karena mereka tidak mau menanggung malu atas semua undangan yang sudah terlanjur disebarkan.

Dalam keadaan super kalut dua hari ini aku tidur di tempat kos Hawa.
"Re, aku keluar sebentar ya, beli kue," kata Hawa

"Iya, aku akan duduk di teras samping, carilah aku di sana jika kamu sudah kembali," jawabku.

Kuratapi lukaku yang semakin perih, cinta yang kuberikan pada Sultan telah dikhianati. Apa artinya sumpah yang dia ucapkan di pulau itu. Lalu bagaimana aku harus menyelesaikan masalahku. Undangan pernikahan sudah terlanjur dibagikan.

" Ya Tuhaann," tangisku kembali pilu.

"Re, Re Re jangan menangis aku rasakan deritamu,"

Suara itu aku kenal banget, kudongakkan kepalaku, dalam sembab mataku, aku melihat Dendy berdiri di hadapanku. Dan, di raihnya kedua tanganku, di bawanya diriku dalam pelukannya. Kami menangis.

"Aku mencintaimu Re, sangat mencintaimu, aku tau semuanya, aku tau," ucapnya lirih.

Tangisku makin menjadi dan semua lara ini aku tumpahkan ke dada Dendy.

"Aku yang akan menikahimu esok, aku yang akan menggantikan kedudukan Sultan Re," katanya lagi.

Kutepis pelukannya, dan kupandang Dendy dengan tajam. Sedikit marah dan tidak percaya atas ucapan Dendy.

"Aku yang menyuruhnya datang ke rumahku Re, dan dengarkan dulu penjelasanku,". Tiba-tiba Hawa muncul dan kemudian bicara panjang lebar. Aku tertegun, tangisku kembali meledak.

"Iya, aku sangat mencintaimu lama sekali, sebelum ada event itu, karena kebodohanku, aku tidak berani bilang kepadamu Re," Dendy mempertegas cerita Hawa.

"Ijinkan Dendy menyelesaikan masalahmu, dan berikan kesempatan Dendy menyayangimu atas cintanya Re," Hawa memelukku dengan hiba. Tangisku, rasaku, pikiranku entahlah, yang jelas saat ini aku merasa nyaman dalam pelukan Hawa.

Hari pernikahan semakin dekat, tinggal menghitung bulan. Aku harus tentukan keputusan, sebelum ayah menjodohkan diriku dengan anak sahabatnya yang belum aku kenal sama sekali. Bertambah panik, pikiranku kian setres. Semua tugas kerjaku terbengkalai, belum lagi menghadapi nyeri, setiap kali kulewati ruang kerja Sultan saat menuju ke kantin. Sejak kejadian pertengkaran itu, aku dengar Sultan telah meminta berhenti, keluar dari pekerjaannya. Dia pergi entah kemana. Tak ada yang tau keberadaannya. Sultan menghilang begitu saja. Dia juga tidak menikahi Devi yang sedang hamil dan entah anak siapa yang telah dia kandung. Benar-benar semua kehidupan kami berubah dalam waktu sekejap.

"Re, kita makan siang yuk," Ah... lagi-lagi lelaki bermata elang itu, selalu memperhatikan diriku. Dendy memang tidak pernah lelah membuatku tersenyum.

"Ayolah, aku temani kamu selagi Hawa tidak masuk kerja,". Di tariknya tanganku pelan tapi pasti dan mau tidak mau aku mengikutinya lagian rasa laparku juga sudah meremas-remas perut.

"Bik, soto dua dan es jeruk manis dua yang satu hangat ya Bik," kata Dendy.

"Iya Den," jawab Bik Onah pemilik kantin.

"Re, aku serius, aku mencintaimu dan aku tahu kamu tentu masih belum bisa melupakan kejadian itu tapi ijinkan aku selalu menemani di saat kamu sedih, kumohon ijinkan aku," digenggamnya jemariku

Dendy terlalu baik, pantaskah dia sebagai pengganti Sultan, dimana luka dan perasaanku masih nyeri dan benci. Tetapi pernikahan serta tawaran ayah bagaikan bumerang.

"Den, kita pulang bareng ya, antar aku pulang nanti," kataku

"Alhamdulillah ya Allah, iya Re aku akan mengantarkan kamu pulang," kata Dendy begitu senangnya.

"Ini Sotonya Den, Ning, silahkan di makan," kata Bik Onah.

Kota Jakarta begitu panas, macet dan uuff! Mobil Dendy begitu pelan jalannya, bahkan nyaris seperti tidak berjalan. Lamat-lamat lagu SENANDUNG DOAnya Nur Afni Octavia mengalun sendu di mobil Dendy. Kami hanya bisa diam menikmati.

"Assalamualaikum warahmatullahi wbr, aku udah pulang," kataku mengucapkan salam setiap kali masuk rumah.

"Silahkan duduk Den, mau minum apa," kataku mempersilahkan duduk tanpa menunggu jawaban dari Dendy, aku langsung pergi.

"Waalaikum salam," jauh dari dalam rumah ayah menjawab salamku.

Aku masuk menemui ayah dan akan bikin minum untuk Dendy.
"Yah ada tamu yang ingin bertemu dengan ayah," kataku

"Tamu, ingin bertemu denganku?"
Ayah berlalu keruang tamu. Aku nyengir kedapur bikin teh. Entahlah, mengapa sesak di dadaku terasa ringan. Aaahh... Semoga!

Aku melihat Dendy begitu akrap dengan ayah, aku melihat betapa bahagianya mereka berdua. Aneh! Seperti kayak sudah kenal begitu.

"Hemm... asyik banget nih, ngomongin aku ya yah, kenalin ini Dendy temen kerja," kataku memperkenalkan Dendy pada Ayah dan mama.

"Dendy om,"

"Dendy Tante,"

"Iya," kata ayahku datar, dan mama hanya tersenyum.

"Silahkan di minum nak Dendy," Mama mempersilahkan.

"Ayah, mama boleh Re bicara,". Sedikit bergetar kuberanikan diri bicara sama ayah dan mama.

"Iya boleh, mau bicara apa kamu," jawab ayah.

Mama dan Dendy merasa tegang.

"Ayah, aku mohon ayah jangan marah ya, ijinkan Dendy sebagai pengganti Sultan untuk menikah denganku," kataku terbata-bata. Air mataku jatuh membasah.

Ayah, Mama dan Dendy terkejut, mereka enggak nyangka aku akan berani bicara begini. Mama langsung memelukku dan menangis.

"Alhamdulillah, jadi aku tidak susah-susah memaksamu nikah dengan anak sahabat ayah... ha ha ha,". Meledaklah tawa ayah.

Aku terhenyak, kaget dan penuh tanya. Mama makin erat memelukku.

"Tenangkan hatimu nak," ucap mama penuh kasih.

"Sayang, Dendy itu anak sahabat ayah, Dendy sangat mencintaimu, dan Dendy ingin menikahimu, ayah Dendy sudah bicara panjang lebar makanya aku ingin jodohin dirimu dengan anak sahabat ayah sebagai pengganti pecundang itu," kata ayah dengan gelak tawa riang.

Ya Allah, cerita apalagi ini. Engkau memang tidak ingin hamba-Mu yang bernama Re Re, berlarut-larut dalam penderitaan panjang. Kami semua benar-benar bahagia saat ini. Walau masih ada nyeri namun sudah ada secercah harapan menerangi jiwa Re Re.

Hari yang ditentukan telah berjalan cepat seperti rencana. Pernikahanku yang seharusnya dengan Sultan kini beralih dengan Dendy. Semua sahabatku terutama Hawa dan Rian sangat berseri. Mereka ikut merasakan bahagia yang sangat, di dalam kebahagiaan keluargaku. Sungguh pernikahan yang unik. Ada luka, ada bahagia.

"Lagi memandang apa seh, dari tadi aku lihat asik banget,". Di peluknya pinggangku oleh Dendy

"Eh, Den kok udah pulang, baru jam berapa ini," kataku sedikit kaget

Diciumnya rambutku, sedikit geli.
"Enggak ada kerjaan terus aku pulang saja, kangen pingin berduaan sama kamu di rumah baru kita," jawab Dendy makin menenggelamkan wajahnya di tengkuk istri tercintanya.

"Diiihhh...," gemesku manja.

Tanpa banyak bicara Dendy langsung menggendong ReRe masuk ke dalam rumah. Dan entahlah apa yang terjadi. Tentu sepasang merpati itu yang tahu. Mungkin mereka lagi asik mencetak anak-anak cinta di bukit surga.
Pulau cingkuak dalam kenangan Re Re, kini telah menjadi lukisan usang.
Dan jauh di bukit Cingkuak, lelaki tampan mengayam cinta pada lembar catatan dalam bentuk puisi dan sajak. Tak ada yang tau bila dia sang penyair itu Sultan Sastra. Dia memilih sepi dan sunyi sebagai istana penyesalannya. Dia tenggelamkan dirinya pada biduk prahara hati. Biarlah nama imaginya koncar seantero jagat raya. Karena dia menginginkan satu saja. Rere kekasihnya bisa membaca suara-suara jerit hatinya, lewat tulisan karyanya yang sudah banyak beredar di toko-toko buku . Cingkuak telah mengubur dirinya bersama sumpah dan kenangan itu.

Dan Re Re telah hidup bahagia bersama Dendy, setiap saat mereka memandang bukit Cingkuak, jauh di sana, pulau CINGKUAK di hiasi pelangi.

&&&&&&&&THE AND &&&&&&&

Cerpen
A Story Of My Life
CINGKUAK OH CINGKUAK
Karya : Retno Rengganis.
Cepu 1 Maret 2021.
( Dok 7-3-2019 ).


Catatan : Nama pemeran serta nama kota atau pulau hanya ilusi pengarang. Jika ada persamaan semata hanya cerita imagi.

Biodata :
RETNO RENGGANIS.


Wanita tomboy ini lahir di kota Blora 21 Desember 1968, lima bersaudara. Aktif sebagai aktivis, juga pengurus persilatan Merpati Putih Cabang Cepu. Suka menulis puisi sejak muda, karyanya termuat dalam antalogi : GUGUS WAKTU, ALIF LAM, 13 WANITA MENANAK SAJAK, MELIPAT KATA BERIBU MAKNA, OMBAK-OMBAK TEPI, RUMAH SERIBU JENDELA, 45 WANITA DALAM PUISI, SERIBU SISI NH DINI, dll. Aktif di sastra maya, menjadi Admin, pula.
















Cerpen - DIK, MASIHKAH KAU MENCINTAIKU Karya : Romy Sastra


 

   SINOPSIS cinta terjalin berlabuh di depan penghulu, kebahagiaan berumah-tangga adalah impian setiap insan yang mendambakannya. Dua tahun sudah membingkai noktah mengharungi samudra kehidupan, tiba-tiba perahu retak sebelum layaran melaju jauh sebagai ujian, serasa sakit bak menelan pil pahit, hidup segan mati tak mau.

Laraswati nama seorang istri dari suami bernama Firman.

Awal perkenalan Laras dengan Firman terjadi di sudut kota Jakarta. Laraswati wanita Jawa asal Yogyakarta, Firman lelaki berdarah Manado, mereka sama-sama merantau bertemu di kota Jakarta. Singkat cerita, cinta mereka terjalin, madu asmara tak terbendung tumpah bersama derai air mata, Laras cantik yang baru beranjak dewasa, sudah tergoda dengan glamournya kota, tergerus pada godaan rayuan lelaki Firman. Firman adalah lelaki sudah cukup usia untuk menikah, dia memang menunda niat untuk menikah pada usia muda. Alasannya memang masuk akal, belum mapan berumah tangga. Firman lelaki gagal dengan doktrin kematangan hidup, sehari-harinya ia penjudi, suka wanita-wanita malam. Kala malam tiba, Firman berfantasi asyik dengan segelas wisky di night club ke night club yang lain pada malam yang lainnya bersama kawan-kawan. Pekerjaan tak menentu, asal dapat duit buat dugem ia sudah senang.

****
   Cinta mereka tak terbendung, Laras tiba-tiba sakit, sering mengeluh sakit perut dan muntah-muntah kecil, membuat Firman iba.

"Dik laras...?" sahut Firman.

"Kita periksa kesehatanmu ke dokter yuk?!". Dengan memelas, Laras menyanggupi ajakkan Firman kekasihnya.

"Ayolah bang, aku dah gak tahan, kepalaku pusing perutku mual-mual saja ini, rasanya badanku lemas banget, pemandanganku juga terasa gelap." ajak Laras tentang keluhannya pada Firman.

Laras akhirnya dibawa ke klinik terdekat berobat, hasil konsultasi dengan dokter jaga, laras dinyatakan hamil dua bulan oleh dokter, spontan saja Laras terkejut.

"Dik, setelah pemeriksaan saya dan tes kehamilan, kamu positif hamil sudah dua bulan jalan." Dokter memberikan keterangannya.

"Aa... apa dok? Aku hamil?" Laras kaget tiba-tiba.

"Iya dik, kamu hamil sudah dua bulan jalan." jawab dokter kembali meyakinkan Laras.

Firman pun tak kalah kagetnya, dengan tepuk jidat, "alamak...."

Lepas dari klinik, Firman dan Laras pulang ke kostnya Laras. Laras dengan tatapan meyakinkan pada Firman bertanya;

"Abang... gimana ini kelanjutannya dengan perutku ini, Bang?"

Firman tak lantas menjawab pertanyaan Laras kekasihnya itu. Firman hanya diam tertunduk di sudut ruang dengan seribu onak di kepalanya. Sedangkan jawaban dari Firman tak kunjung didapatkan Laras.

Laras spontan menangis pilu, memikul tanya karena ia sudah berbadan dua. Tiba-tiba Firman bangkit memeluk Laras dengan belaian kasih sayang.

"Dik... sabar ya, kita menikah segera di Jakarta ini. Abang akan cari duit dulu, dan setelah itu, kita menikah ke pak ustadz kenalan abang. sewaktu dulu, abang pernah hantarkan kawan menikah sama pak ustadz itu, ia tidak jauh dari kost kita ini." Firman membujuk Laras dalam pelukan.

"Abang... laras bertanya ni, aku sendiri di Jakarta ini bang, yang ada hanya abang seorang yang kuharapkan, orang tuaku jauh di Yogyakarta, apa tak sebaiknya kita kasih tahu orang tuaku dulu?" pinta Laras.

"Gak usah dik" jawab Firman,

"Lagian ini mendadak, dan abang pun gak punya duit banyak untuk membiayai keluarga ikut campur tentang pernikahan kita nanti." Firman menyerah dengan kondisinya pada Laras.

****
   Tiba masanya, jadilah mereka menikah di bawah tangan dengan pak ustadz. Singkat cerita, Laras melahirkan anak pertamanya seorang bayi yang cantik.

Hari berlalu, bulan dan tahun berganti. Firman si suami yang dulu sangat mencintai Laras. Ia kini Firman berubah sikapnya menjadi kasar, suka main tangan dan pemabuk, serta pemalas. Firman kembali ke dunia masa remajanya dulu yang liar membuat Laras semakin terhimpit lara dan derita, hingga perkawinannya dengan Firman tak sanggup ia jalani lagi. Anak mereka sudah berusia satu tahun, baru bisa berdiri jatuh bangun, dan Firman sangat menyayangi putri cantiknya itu.

Pada suatu ketika, terjadi pertengkaran hebat di antara mereka berdua. Muka dan mata Laras membiru kena hantaman Firman, KDRT sudah seringkali dilakukan Firman terhadap Laras istrinya.

****
   Laras dengan penuh penyesalan bertanya dalam hati. Ya Allah kenapa derita ini menimpaku? Hingga akhirnya Laras memutuskan untuk kabur dari kostnya, kebetulan siang itu suaminya tak ada di rumah. Laras membungkus pakaian, Laras dan putri cantiknya, membawa duit seadanya menuju stasiun kereta api Senen menuju kota kelahirannya Yogyakarta. Laras memesan tiket ke kasir jaga, dan dia dapatkan tiket kereta api ke Yogya jam 16,30, tiba Jam 5,00 WIB pagi di stasiun Lempuyangan kota Yogyakarta yang tertera di tiket itu.

Tidak menunggu berapa lama kereta malam pun tiba di stasiun Senen, Laras berdua dengan putri kecil nan cantik, menjinjing tas kecil naik ke kereta api malam dengan deraian air mata meninggalkan kota Jakarta. Kota yang menyimpan seribu satu kenangan manis dan pahit selama ia merantau di kota ini. Menempuh malam dalam lara dan luka yang berkecamuk di hati Laras bersama anak di pangkuan terpisah dari ayahnya. Hingga waktunya pagi menyapa sampailah kereta ke destinasi di stasiun Lempuyangan Yogyakarta.

Kembali cerita pada Firman,
Firman yang telah kehilangan anak istri kalang kabut, dan bertanya pada tetangga, semua tetangga menjawab tak tahu. Hari-hari sepi di kamar dilalui Firman dengan setumpuk penyesalan. Bertanya dalam hati, ingin ia kembali ke kota asalnya. Sedangkan Manado jauh, uang pun tak punya, kawan malam dan night club telah ia tinggalkan semua. Firman kini berubah dan tersadar dalam sepi, tiba-tiba hidayah masuk ke sanubarinya. Firman yang penuh penyesalan dengan segala perbuatannya selama ini yang ia perbuat kepada istri tersayangnya Laraswati.

Berbulan sudah Firman dilanda rindu akan anak dan istri. Pada suatu malam tiba-tiba, suara handphone berdering di samping tidurnya Firman. Dengan suara perlahan, serasa sayup-sayup jauh suara itu memanggil.

''Assalamualaikum abang Firman? Apakah ini abang Firman, ya?" Spontan saja Firman kaget dadanya berdebar-debar serasa ia kenal dengan suara itu.

"Ii... ii... iyaa, aku Firman, siapa ini ya?" tanya Firman.

"Aku Laras abang, aku sekarang ada di kampung, di Yogyakarta," kata Laras lewat suara handphonenya.

"Ooo... Laras, Laras sayang, gimana keadaan putri kita? Apa putri kita sehat-sehat saja, kan?" tanya Firman dengan rasa penasaran.

"Alhamdulillah abang, kami sehat saja di kampung." jawab Laras kembali.

Laras wanita yang santun dan cantik, pandai menyesuaikan suasana dalam percakapan lewat udara dengan suaminya, seakan tak pernah terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya, hidup Laras begitu pilu dirasakan bersama Firman selama ini, dan nekat ia kabur dari Jakarta ke kota kelahirannya Yogyakarta.

Laras dengan penuh keyakinan mengatakan niatnya ingin jadi TKW lewat suara handphone

"Abang... Laras mau jadi TKW ke Hongkong, putri kita kutitipkan sama mbahnya di kampung. Laras mungkin bulan depan sudah berada di Hongkong abang." Laras berpesan.

Handphone segera dimatikan sama Laras

Lalu, Firman segera balik menghubungi Laras dengan rasa penasaran dan rindu. Handphone itu tak kunjung diangkat sama Laras. Sudah tiga kali Firman menghubungi Laras tak juga ada tanggapan. Di nada handphone ke empat kalinya, barulah Laras menjawab panggilan Firman karena tak tega.

"Laras... dengarkan abang dulu! Izinkan abang berbicara sekejap!"

"Ya... apa abang, berbicaralah!"

"Kenapa kau tinggalkan abang dik? Abang sepi di kamar ini, di Jakarta ini." tanya Firman.

"Loh, bukankah abang yang selalu tinggalkan Laras di Jakarta. Sudah puaskah abang dengan pergaulannya di sana, dan kurang puaskah abang menzalimiku hingga wajahku membiru, sampai kini masih ada bekasnya abang?! Bekas luka di hatiku masih sakit, Bang." bentak Laras sedikit meninggi.

"Dik Laras... maafkan abang dik! Abang mengaku salah selama ini, dan abang akan mengubah sifat abang menjadi suami yang baik, abang janji Laras."

Dalam suasana suara handphone tengah malam di daun telinga. Perdebatan emosi, dendam, rindu bercampur menjadi satu.

"Mmm... cukup sudah abang sandiwara gombalmu merayuku," hardik Laras tidak percaya kata-kata Firman suaminya.

"Aku tak banyak waktu menelponmu abang, hari sudah larut malam, putri tidur, nanti dia terbangun."

"Laras hanya mohon pamit sama abang, dalam jedah lima tahun ke depan, Laras jadi TKW ke Hongkong."

"Jangan Laras... jangan!!!" pinta Firman dengan suara serak-serak basah menyimpan duka dan kecewa dalam konflik mahligai rumah tangga. Spontan saja, mengalir air mata mereka masing-masing di ujung handphone.

"Laras... dengarkan suara abang ini! Abang sudah berubah dik, abang kini sudah insaf, abang ingin hidup bersamamu dan hidup bersama anak kita. Coba pikirkan dik, abang di Jakarta pun sebatang kara, mau pulang ke Manado tak mungkin. Abang ingin ke Yogyakarta hidup damai bersamamu dik Laras."

"Jaa... jangan abang! Aku sudah memesan tiket pesawat untuk berangkat bersama bu-deku bulan depan, pasport pun sudah ada.

Carilah penggantiku abang!" sergah Laras.

"Tidak dik Laras! Abang akan ke Yogya esok pagi, menemuimu dan anak kita."

"Jangan abang... sekali lagi jangan abang pulang ke Yogya!"

"Dik Laras sayangku, abang bertanya pada hati kecilmu dik. Masihkah kau mencintaiku? Sekiranya masih ada rasa cintamu untukku, urungkan niatmu pergi ke Hongkong!"

Dengan linangan air mata mereka berdua, bercakap-cakap dalam kesunyian malam, hati Laras akhirnya luluh menerima Firman kembali.

Dengan nada suara sesungukkan Laras dan Firman saling maaf memaafkan. Akhirnya Firman esok pagi langsung berangkat ke Yogyakarta menemui anak dan istri tercinta.
Laras pun mengurungkan niatnya jadi TKW ke Hongkong, dia batalkan semua rencana untuk mengubah nasib dalam perantauan lima tahun ke depan.

Sampailah Firman di kampung di Yogyakarta, mereka berdua saling berangkulan, dan Firman kini hidup bahagia bersama Laras dengan keluarga kecilnya di salah satu sudut kota Yogyakarta. Yogyakarta kota budaya nan ramah, dan kota pendidikan.

-----END-----

Cerpen
DIK, MASIHKAH KAU MENCINTAIKU
Karya : Romy Sastra
Jakarta, 16 Februari 2020