RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 31 Maret 2022

fiksi - KABUS RINDU DI PANTAI SABAH Penulis: Romy Sastra


   Di senja itu, sunset perlahan redup tertutup kabut menjadi bayangan awan hitam melingkup mayapada pantai Sabah.

Nun jauh di ujung negeri Borneo di pantai Rang Bulan, tepatnya di pantai kota Belud tepian selat Filipina. Dua insan berkasih sayang anak dan ibundanya, memandu kehidupan dengan suka duka semenjak ditinggal tongkat harapan masa depan belahan jiwa yang lebih dulu pergi keharibaan Ilahi. Almarhum suaminya telah lama bersemayam di nisan sunyi pada satu setengah dekade yang berlalu.

"Kring ... kring ... kring ...."

Nada telepon dari dalam tas Irwan berbunyi, spontan Irwan buka tas kecil di punggungnya dan mengambil handphone yang disimpan di dalam tasnya. Kebetulan Irwan lagi berada di suatu pesisir pantai Jakarta yang tengah asyik memancing mencari hiburan masa istirahat, menghilangkan penat dalam berniaga sehari-hari.

Sekejap Irwan tertegun, ternyata ada call messenger yang masuk, tertulis nama Laila. Hati dan pikiran Irwan serasa tak percaya, kalau Laila menelpon lewat messenger Irwan tiba-tiba. Padahal lama sudah Irwan tak berkomunikasi dengan Laila.

"Klik ... tombol handphone Irwan ditekan"

"Asalamualaikum," salam dari Irwan.

"Siapa ini?" sahut Irwan dari awal bicaranya.

"Waalaikumsalam." jawaban Laila dari nama yang tertera di call messenger.

"Halo ... ini Laila, ya?" tanya Irwan seketika.

"Iya ... Abang, aku Laila di Sabah." jawab Laila dengan suara indahnya.

"Tumben dikau call Abang, Laila?" sahut Irwan melanjutan percakapannya.

"Kenapa memangnya Abang? Tak bolehkah saya callmu, Abang?" jawaban Laila dengan nada penasaran.

"Ooh, boleh saja Laila, masa sih tak boleh."

"Oya, Laila?" tanya Irwan pada Laila.

"Adakah dikau sehat-sehat saja, dan juga, bagaimana keadaan anak-anakmu serta ibundamu di sana, apakah mereka baik-baik saja?"

"Alhamdulillah Abang, kami baik-baik saja di sini, di Sabah ini!" jawab Laila di ujung nada call messengernya.

"Abang, bagaimana keadaannya di Jakarta bersama istri dan anak-anakmu, Abang?" Kembali Laila bertanya tentang keadaan Irwan mantan kekasih Laila itu.

(Yang sebetulnya Irwan sendiri telah berumah tangga)

"Alhamdulillah juga Laila, Abang sekeluarga baik-baik saja kok di Jakarta ini."

Percakapan lewat call messenger itu berakhir dengan bla, blaa, blaaa ....

Padahal Irwan telah lama berpisah sebagai pasangan kekasih dunia maya bersama Laila.

*****

   Kabus rindu di pantai Sabah, tersirat dari rona kanvas hantaran gambar pada sampul ruang Facebook Laila.

Sosok dua insan berjalan di atas pasir putih menuju riak di deburan pantai yang sunyi, bergandeng tangan berdua dengan si Putri anak semata wayang Laila.

Sekejap Irwan tertegun mengamati dengan bahasa imaji. Ada seekor merpati dari jauh yang tak mampu hinggap ke sebatang pohon nan gersang di tepi pantai itu.

Putri dan Laila sang ibunya, berjalan tertatih-tatih bertongkat semangat dengan satu kaki. Tak ada pemandu seorang ayah menuju samudra kehidupan untuk berteduh pada sebatang pohon nan rindang serta asri disirami rintik-rintik rinai membentuk embun kasih pada malam hari.

Pohon itu kini telah subur dan indah, ia adalah isyarat sepoinya embusan angin asmara pada curahan rasa rindu di setiap angin mesra dari berbagai percakapan messenger bersama merpati-merpati yang lain.

Apakah merpati-merpati yang lain itu hanya penghibur saja, dan ataukah Tuhan telah menghantarkan kekasih yang baik untuk mengisi relung hati Laila yang selama ini sepi sepeninggal sang suami ke alam keabadian? Apakah merpati yang lain itu lebih berjaya untuk mampu terbang demi melanjutkan noktah hidup bersama si Laila? Uhh, entahlah.

Dalam hati si merpati yang patah sayap tercabut oleh desau pilu pada angin nan tak bersahabat yang enggan hinggap kepada pohon sunyi, hanya mampu berdoa saja:

"Ya Allah, berikan kehidupan yang subur selalu dan berbunga indah untuk hidup yang terbaik buat kehidupan gersang Laila selamanya, supaya hidupnya tumbuh kokoh pada cabaran gersang nan melanda sepeninggal yang pernah menyirami, diganti oleh sosok merpati yang sejati. Ya, Laila selama ini ada dalam kebimbangan dan terbuai harapan-harapan kosong belaka oleh camar-camar liar di pantai Sabah. Dalam doa sang merpati yang ikhlas"

Irwan adalah merpati yang ikhlas.

Itulah yang dicerna dari merpati yang enggan terbang pada pohon nan gersang itu, bahwa mungkinkah sudah ada merpati yang lain sebagai penghibur, pada tumbuhnya pohon yang hidup di tepi pantai Sabah kota Belud? Dalam riak-riak angin dan gelombang yang gelisah selama ini, semenjak berakhir badai pada kisah ikrar merpati dari seberang yang tak ingin ingkar janji.

Memang Laila telah berpisah dengan Irwan dari seberang, tapi hubungan perasaan dalam pertemanan tetap terjaga hingga kini, meski hubungan komunikasi selalu pasang surut.

Kini dalam hati Irwan ia berharap dan berdoa; semoga Laila segera mendapatkan pasangan hidup di dunia sampai akhirat. Sebagai pengganti suaminya Laila, estafet janji almarhum di masa menjalin cinta menuju bahtera sampai tua berlabuh di depan penghulu, suaminya Laila telah lama meninggal lima belas tahun yang lalu.

Harap Irwan lagi, buat Laila. Hati-hatilah bergaul menerima persahabatan di sosial media serta memilih pasangan, semoga Tuhan mengirimkan jodoh untukmu sebagai imam dalam keluarga besarmu Laila di sana. Didiklah dan jagalah si Putri dan juga anak-anak keponakan serta cucu-cucumu yang mulai tumbuh remaja, untuk bisa mandiri menghadapi laju kehidupan buat masa depannya nanti.

*****Selesai*****

#fiksi
KABUS RINDU DI PANTAI SABAH
Penulis: Romy Sastra

Jakarta, 23/03/2018


Fiksi - AKU PINJAM SAMPUL CINTAMU, KAWAN (cetakan-2) Penulis : Romy Sastra


   Bertanya pada sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya, mungkinkah aku datang tepat pada waktunya?

Ria dan Wulan pada suatu pertemuan.

"Hai ... Wulan, lagi sibuk ya?" sahut Ria pada Wulan yang lagi duduk di depan rumahnya.

(Kebetulan Ria bertetangga dengan Wulan cukup lama)

"Ah, gak juga Ria, ada apa Ria?" jawab Wulan penuh rasa penasaran.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu, Wulan." kata Ria dengan rasa malu-malu.

Ria menghampiri Wulan yang lagi asyik membaca sebuah novel di beranda rumahnya. Kebiasaan Wulan pada petang hari menunggu waktu Magrib tiba, serta sambil menunggu suaminya. Sedangkan suaminya Wulan belum pulang kerja, kadang suaminya pulang lepas Magrib karena macet di jalanan.

"Wulan, sebetulnya aku cemburu padamu." tanya Ria pada Wulan.

"Lho, cemburu tentang apa Ria padaku?" Wulan membetulkan posisi duduknya di hadapan Ria.

Ria terdiam sejenak, lalu bangkit menatap wajah Wulan dengan tatapan malu untuk bertanya.

"Cie ... cie ... ciee ... ada yang lagi galau sepertinya ni?" ledek Wulan pada Ria yang menyimpan ekspresi problem di raut wajah sahabatnya itu.

"Iya Wulan, aku lagi galau sekarang ni." jawab Ria pada Wulan.

"Terus teranglah Ria, ada apa denganmu?" pinta Wulan.

"Sebenarnya saya malu padamu, Wulan?"

"Malu kenapa sih?" Wulan kian penasaran.

"Satu dekade Wulan berumah tangga dengan suamimu, apakah pernah bertengkar selama ini? Dan apakah Wulan juga bahagia bersama suamimu?" tanya Ria pada Wulan.

"Waduh, ini pertanyaan yang sangat serius buatku kayaknya, Ria?" cetus Wulan dengan penuh kehati-hatian pada sahabatnya itu.

"Begini Ria, aku tahu jawaban yang kau ajukan padaku. Dengarkan baik-baik ya, sahabatku!"

Wulan menatap wajah Ria dengan tatapan yang serius.

*****

   "R
ia, pertengkaran dan kedamaian untuk meraih kebahagiaan dalam rumah tangga adalah bumbu pada suatu noktah. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang tidak memiliki problem di dalam kehidupannya, termasuk dalam kehidupan rumah tangga tentunya."

"Sahabatku, Ria. Aku adalah seorang istri dari suamiku yang tercinta. Ketika ada suatu nasihat dari suamiku, dan sekecil apa pun nasihat itu. Aku menghargainya sebagai istri yang taat, tidak buru-buru membantah perkataannya. Jika suamiku berbicara, aku simak dulu dengan saksama, setelah nasihatnya itu selesai, aku memeluk suamiku erat-erat, dan spontan suamiku mencium keningku."

"Suamiku tidak menganggap aku istrinya, melainkan aku dijadikan pacar atau kekasih oleh suamiku, dan sebaliknya aku pun membalas demikian. Ketika kami ada salah paham pada suatu keadaan, kami berdua tidak terburu-buru saling cemberut. Kami saling bertanya baik-baik dan mencari titik persoalan itu dengan lapang dada. Datu lagi, kami selalu bercanda dengan penuh kemesraan. Pada suatu waktu, kami berduaan naik motor seperti orang lagi pacaran mengisi kesempatan jalan-jalan untuk mencari suasana yang lebih fresh, bisa di mana aja, walaupun yang kami bawa hanya beberapa bungkus kuaci mengisi duduk-duduk santai berdua, kalau duit kami di kantong memadai. Ya, bolehlah memilih tempat yang agak lebih, seperti ke cafe atau rumah makan yang sederhana saja untuk ganti selera."

"Satu kunci yang harus kita hayati, dan itu penting bagiku adalah: lakukan salat berjamaah dengan suami di rumah.

Selesai salat, ciumlah tangan suami dan berpelukan! Di situlah pintu keberkahan dan kebahagiaan di dalam rumah tangga terjadi serta berdoalah!'

Tak terasa air mata Ria menetes mendengarkan wejangan sahabatnya Wulan, sebab ia tak dapat merasakan kehidupan rumah tangga yang didambakannya itu.

"Wulan ....?" sapa Ria pada sahabatnya dengan mata berkaca-kaca.

"Izinkan aku Wulan, meminjam sampul cinta rumah tanggamu sebagai potret untukku menghiasi kehidupan rumah tanggaku ya, Wulan."

"Sebenarnya sudah lama aku menaruh cemburu pada kebahagiaan serta kemesraanmu dengan suamimu, walau ada rasa malu aku curhat denganmu. Aku beranikan saja curhat dan bertanya padamu, aku terharu dapat pendidikan yang berharga sore ini darimu, Wulan."

Wulan mendengarkan kata-kata sahabatnya Ria penuh kejujuran, yang ia sebetulnya menyimpan suatu kehidupan rumah tangga seperti neraka. Wulan sering melihat Ria bertengkar dengan suaminya, karena Wulan sadar, ia tak mau bertanya soal internal kemelut rumah tangga sahabatnya itu, takut Wulan salah paham. Wulan telah membuka pintu hidayah dari hikmah nasihatnya pada Ria, serta telah mencairkan bongkahan gunung es yang membatu di dada Ria selama ini berumah tangga dengan suaminya.

Waktu Magrib tiba, Ria pamit pulang ke rumahnya.

"Terima kasih ya Wulan atas wejanganmu padaku. Aku tersadar akan kelengahanku selama ini." sahut Ria pada Wulan.

"Oo ... sama-sama Ria, terima kasih juga ya, Ria sudah mau bertamu ke tempatku." jawab Wulan pada sahabatnya itu.

"Jangan kapok-kapok datang ke rumahku ya Ria, kalau ada keperluanmu dan ingin minta bantuan padaku. Silakan tanyakan saja!" pinta Wulan pada Ria.

"Oke Wulan, waktu Magrib hampir tiba, terima kasih atas kebaikanmu, aku pamit ya?"

"Asalamualaikum, Wulan."

"Walaikumsalam, sama-sama Ria."

Setibanya Ria di rumah, ia langsung sujud syukur dan menunaikan ibadah salat Magrib karena dapat kekuatan untuk menata rumah tangga yang sakinah mawadah warahmah dari sahabatnya, Wulan. Kebetulan suaminya belum pulang kerja, sebab suaminya Ria dapat tambah jam lembur kerja di tempat perusahaan ia bekerja.

Ria hening dan geming menyaksikan cicak berlarian di tembok rumah penuh kemesraan. Ria tersenyum, lalu mengulum hasrat menabung kemesraan untuk dia serahkan pada suaminya sepenuh cinta, dan manut serta tawadhu' sebagai sosok istri Sembadra di hati Arjunanya.

*****TAMAT*****

fiksi
AKU PINJAM SAMPUL CINTAMU KAWAN
Penulis : Romy Sastra
Jakarta, 27 Maret 2022




Senin, 14 Maret 2022

Cerpen - AKU DAN TETANGGA Penulis : Airi Cha



   Kalau terlalu open sama mulut orang, bisa-bisa kita mati berdiri. Hidup gak tenang, makan gak kenyang, rugilah kalok perut sampai keroncongan.

Kayak kisah awak, gini lah ceritanya. Namanya jugak udah berumur dan masih bersahabat karib dengan kesendirian. Jadi yang namanya menjawab pertanyaan setiap pergi ke pesta undangan, hukumnya itu wajib. Kalok gak dijawab salah, dijawab juga tambah salah.

Yang anehnya tiap mau kondangan selalu jumpa sama orang yang sama. Pada hal udah bela-belain cari jalan dan jam yang beda saat undangan. Namun tetap aja ketemu. Baik lagi di pesta, saat pulang atau berpapasan di jalan. Pertanyaanya selalu sama.

"Kapan nyusulnya? Jangan sampai dunia kiamat, lho," katanya sambil tertawa seakan bercanda. Pada hal kalok mau suujon yang ngejeknya dia ke awak. Kan awak bisa tau dari gestur tubuh dan tarikan bibirnya.

"Gak akan kiamat, Makcik. Soalnya terompet sangkakalanya masih ditempah," balas awaklah gak mau kalah.

Lain waktu ketemu lagi.

"Anakku aja udah gendong. Masa ko belum juga. Apa nunggu cucuku disunat baru ko nyusul." Cerocosnya lagi kayak mercon cabe.

"Cocoklah Makcik, sekalian Awak nunggu dia lajang aja. Siapa tau nanti awak jadi cucu menantu Makcik," sindir awaklah gak mau kalah mop.

Tanpa ba bi bu cepat-cepat dia ninggali awak sendiri. Gondok kali kayaknya dia.

Kapan hari jumpa lagi.

"Sampek langit ujan es pon ko belum juga ngundang makan enak. Udah pengen kali Makcik makan rendang di pestamu," sindirnya kek gak pernah makan daging aja.

"Perkara makan rendang, ini hari juga bisanya awak belikan nasi bungkus di rumah makan Padang buat, Makcik. Mau?" Tantang awak lah. Seperti yang sudah-sudah langsung dia ngeloyor pergi.

Lain waktu kami jumpa di tempat tetangga kemalangan. Rasanya ingin kali balas sindirannya kemarin-marin itu, tapi awak ingat pulak pesan orang tua. Jangan pernah membalas perbuatan orang lain kepada kita, biar saja Tuhan yang balas. Jadinya awak diam saja saat berpapasan dan duduk dengannya sampai yasinan selesai.

Setelah mayat dikubur barenglah kami pulang sama beberapa orang sambil ngobrol.

"Besok ke rumah Makcik, ya," ajaknya.

"Ada acara apa, Makcik?" Penasaran lah awak dengan ajakannya.

"Apa Makcik mau nyusul almarhumah tadi?" Celoteh kawan awak tanpa basa-basi dan pake perasaan.

"Yang ko kiranya aku udah bauk bangke, sampek ko suruh nyusul. Gak jadi lah aku ngundang kelian," katanya dengan emosi tingkat sesepuh sambil buru-buru ambil langkah seribu.

Sepeninggalan makcik tawa mereka meledak.

"Kenak kali dia tadi. Kalok gak kerjanya nyindir terus," celetuk seseorang.

Awak cuma senyam-senyum. Sambil membayangkan muka makcik yang tadi merah padam kayak kepiting rebus, sangkin dongkolnya dia diminta nyusul menghadap illahi.

*****

Cerpen –
AKU DAN TETANGGA
Penulis : Airi Cha
Pengojek Hati
1706.080322



Minggu, 06 Maret 2022

anekdot - TEPUK JIDAT MINYAK GORENG LANGKA Penulis : Romy Sastra


   Ceritanya begini: istri pulang belanja dari swalayan, dia pergi ke indomaret dan alfamart, lalu ke pasar. Lucunya, selalu gak kebagian minyak goreng, pulang ke rumah manyun ngelamun.

Aku tanya kenapa ngelamun?

Istri menjawab:

Kok minyak goreng langka ya, Bang?

Lah, mana kutahu? Tanya aja sama menteri perindustrian dan perdagangan!

Istri ngoceh kembali sambil nyuci piring, padahal tanah di Indonesia ini seperti di Sumatra dan Kalimantan berjuta-juta hektar kebun kelapa sawit untuk bahan minyak goreng. Tapi minyak goreng kok langka? Istri berlagak pintar bertanya soal politik. Apakah ini sabotase terhadap dapur ibu rumah tangga? Atau ada oknum penimbun minyak goreng?

Mungkin apa lagi ke depannya sembako akan langka menuju bulan puasa kian dekat. Adakah ini sabotase oknum serakah?

Ceracau istiri kian menjadi-jadi, padahal pemerintah mau mindahkan ibukota negara. Lah, ngurus minyak goreng aja gak bisa. Tapi ngurus ibukota punya dana ya?

Dan yang sudah-sudah, wajah ibu-ibu juga bermuram durja, dapurnya dibikin gelisah. Pernah garam, tempe, serta lainnya langka. Apakah air laut tak asin lagikah tiba-tiba?

Tepuk jidat itu berganti tepuk pantat. Ah, yang duduk di kursi empuk kok kecolongan seperti orang mabuk? Mungkin engkau yang di sana makan di resto cepat saji atau ikut sebagai penimbun sembako ajang bisnis bersama srigala berbulu domba?

Ah, anjing tetanggaku gak menyalak lagi karena resah, dia pun dicatut namanya di mulut punggawa. Yakult itu rasanya asem bercampur gula serta susu buat kesehatan pencernaan usus dan lambung, tapi pak Yakult di sana buat aku bingung analogi narasinya asem juga bikin tanda tanya bedebah.

Di belahan dunia sana bangsa eropa, Rusia versus Ukraina tabuh genderang perang sedang kecamuk. Mulut ibu-ibu ditutup sama suaminya. Bu, jangan berisik perang dunia ketiga sebentar lagi tiba. Cepat masak ah, aku lapar. Nanti panci itu ikut melayang ke tong sampah. Jika minyak langka, rebus aja makanan itu lebih sehat mengurangi kolesterol kita. Menunggu solusi menteri yang bijak tapi geli, seperti yang lalu dan masanya tiba cabe langka kita disuruh buat kebun nanam cabe di halaman rumah, hahaha. Loh, minyak langka apakah air mentah bisa buat minyak goreng curah? Lucu mak ooii....

Goreng kerupuk kok jadi ciut.

*****TAMAT*****

anekdot
TEPUK JIDAT MINYAK GORENG LANGKA
Penulis : Romy Sastra
Jakarta, 27 Februari 2022. 15,31



Prosais Suyatri Yatri - ISTANAKU


Rumah terasa pengap dan sesak menekan dada, batin tersiksa. Di kamar-kamar tergeletak boneka-boneka kuyup air mata menatap sayu dengan cahaya redup hampir padam.

Halaman tak begitu luas namun sulit menghirup udara segar, napas pun ditakar segala aturan ditukar dan jiwa menjadi lekar yang terbuang dari cengkeraman akarakar kepongahan. Kesaksian pagar ringkih berdinding ketidakberdayaan menjadikan tiang-tiang runtuh dalam diam.
Maka gagal menjadi pemicu angkara dan pusara kian memanggil dalam gigil aksara tanpa suara

Lgp, 03032022
Suyatri Yatri

SUYATRI YATRI