RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Jumat, 28 Oktober 2022

Cermat - SEBUAH TANGAN Penulis : Ririn Riyanti

     Rumah baru di dekat bekas bendungan itu masih terasa dingin. Perapian yang biasa digunakan untuk memasak dan menghangatkan rumah belum dinyalakan sejak ditinggali beberapa hari ini. Suasana sekitar rumah itupun sangat sejuk dan alami dengan beberapa rumpun bambu di tebing yang berada di samping kiri.

Malam yang semakin larut terasa dingin menusuk tulang karena hujan sejak kemarin baru saja reda sore tadi. Zul seorang diri, sementara Nadia sang kakak bersama suami dan anaknya tengah berada di luar daerah. Ada undangan pertemuan dengan keluarga besar suaminya.

"Hemh... dingin banget," kata Zul sambil mengusap lengan atasnya. Pemuda itu tengah meringkuk di atas dipan kamarnya bersama selembar selimut usang yang menutup hampir seluruh tubuh.

"Kok ada bau orang bikin kolak, ya? Enak sekali malam-malam dingin gini makan kolak panas." Zul bergumam sendiri. Dalam benaknya terbayang sepiring kolak pisang atau ubi masih berasap. Teman dingin yang menyenangkan dan mengenyangkan, pikir Zul.

Tak lama kemudian tangannya terasa ada yang menyentuh. Siapa? Aku 'kan sendirian, gumamnya dalam hati.

Tap! Zul mencengkeram erat tangan yang menyentuhnya itu. Dia tidak ingin kecolongan, bisa saja itu adalah seorang maling yang mencoba mengetahui apakah dia sudah tidur atau belum.

Tapi kemudian Zul menyadari ada yang aneh. Tangan itu terlalu besar dan berbulu sangat lebat. Dia yakin tidak ada seorang pun yang dikenalnya memiliki tangan seperti itu.

"Astaghfirullahal adzim!"

Zul segera melepaskan cengkeramannya, melompat dari dipan, lalu berjalan sangat cepat melewati jalan yang berada di atas tanggul ke arah timur. Setibanya di tempat tujuan, pria itu segera menggedor rumah Irfan sahabatnya. Dengan secepat kilat Zul masuk ke dalam kamar milik Irfan, lalu duduk dengan napas yang masih naik turun.

"Ada gendruwo pegang tanganku!" Zul bercerita tanpa diminta dengan lengkap dari a sampai z.

"Kamu jalan sendirian ke sini tidak menabrak apapun?" tanya Irfan tak percaya.

Zul mengangguk. Sementara Irfan menatap sahabatnya dalam keterpukauan. Zul seorang pria yang kehilangan pengelihatan permanen karena glukoma.

*****

Cermat (cerita malam Jumat)
SEBUAH TANGAN
Penulis : Ririn Riyanti
RIRIN RIYANTI



Rabu, 26 Oktober 2022

Cerpen - KISAH PILU Penulis : Ririn Riyanti


     Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan Dariel makin dekat. Tidak dapat dipungkiri jika hatiku cukup terhibur dengan kehadirannya. Ini sedikit bisa mengobati luka karena patah hati, walau nyatanya hati ini masih utuh untuk Adam. Hanya beruntungnya sudah tidak lagi terlalu down.

Mungkin benar kata pepatah jika mencinta sekedarnya saja, jika membenci pun sekedarnya saja jangan berlebihan. Cinta yang berlebihan akan sangat sakit jika putus dan akan jadi benci. Benci yang berlebihan pun bisa berubah jadi cinta. Tidak ada yang tahu rahasia hati. Hanya Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Hari ini aku pulang latihan karate cukup kesorean, hampir maghrib. Kali ini bukan Dariel yang antar pulang, karena dia tidak ikut persatuan. Aku pulang diantar Adam.

Aku sempat berpikir sudah tidak ada getaran lagi di dada saat berada di dekatnya. Nyatanya masih terasa cukup kuat. Bahkan aku sampai bingung mau bicara apa, maka jadilah kami hanya diam seribu bahasa.

Begitu memasuki ruang tamu panti, aku dikejutkan dengan kehadiran Bu Aisyah di tengah anak-anak. Beliau sedang sibuk berbagi hadiah untuk mereka. Aku hanya menyapa sekedarnya karena harus segera mandi dan sholat maghrib.

"Kakak, Kakak." Mila si kecil datang menghampiri saat aku sedang menyiapkan makan malam.

"Ya, ada apa Mila?" tanyaku dengan tangan masih membawa piring ke tikar di lantai untuk kami makan dibantu Didin dan Yoga yang membawa minum.

"Tadi kita semua dapat hadiah baju baru, lho dari Bu Aisyah. Bu Aisyah baik ya, Kak?" celetuk gadis kecil itu membuatku tersenyum.

"Doakan apa untuk Bu Aisyah, Sayang?" Aku mengetest kebiasaan anak-anak.

"Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk Bu Aisyah," ucap Mila memanjatkan doa yang disambut kata amin oleh saudara-saudaranya.

*******. *******

     "Dian, ada yang ingin Ibu ceritakan denganmu juga Bunda dan Bu Aminah. Kamu ada waktu untuk kita bicara, kan?" tanya Bu Aisyah kala kami selesai mencuci piring usai makan malam.

Kami duduk di ruang tamu. Bu Aisyah bilang suaminya akan menyusul nanti. Saat ini sedang bekerja katanya.

Bu Aisyah masih belum bicara, hanya beberapa kali menghela nafas panjang seperti begitu sesak dadanya.

"Dian, Bunda dan Bu Aminah, saya ingin cerita tentang putri saya. Saya selalu sedih bila merindukannya. Tapi saya butuh teman untuk berbagi," ucap Bu Aisyah dengan air mata mulai mengalir di pipinya.

"Ceritakanlah, Bu. Kami siap mendengarkannya." Bu Aminah mengusap lembut punggung tangan Bu Aisyah.

"Kami menikah hampir delapan tahun lamanya baru bisa memiliki momongan. Kami sangat bahagia. Setelah USG, bayi kami dinyatakan berjenis kelamin perempuan. Karena liputan bahagia itu kami seperti mendapatkan cahaya. Maka begitu lahir, kami sepakat memberinya nama Bintang Cahaya Hati yang kini jadi nama perusahaan." Beliau berhenti sejenak untuk menarik nafas.

"Pasca melahirkan secara sesar karena ada pengangkatan kista di rahim, kami check up medis untuk mengetahui keadaan rahim saya pasca operasi. Sepulang dari rumah sakit, di tengah jalan kami dihadang penjahat yang mengincar nyawa kami. Beruntung kala itu ada warga yang baru pulang dari ladang secara berkelompok lewat dan menolong kami." Terlihat beliau masih cukup tenang meski masih terus menangis.

"Namun sebelum warga datang, saya sudah menyuruh pengasuh Bintang untuk membawa lari bayi kami agar selamat dari penjahat. Tapi ternyata dia justru ikut terlibat dalam kasus itu. Setelah semua tertangkap, saya sangat syok. Ternyata dia membuang bayi kami dan lupa kemana membuangnya." Bu Aisyah menangis terisak-isak sampai terlihat sesak. Aku memberinya minum air putih hingga sedikit lebih tenang.

Kami masih duduk di sekitar Bu Aisyah menunggu beliau bercerita lagi. Bunda sempat memeluknya untuk memberi kekuatan. Sebagai seorang wanita Bunda mengerti apa yang dirasakan Bu Aisyah. Karena Bunda pernah bercerita jika dulu Bunda juga pernah hamil namun keguguran. Aku yakin rasa keduanya bisa saja sama.

"Tiga tahun pasca melahirkan saya harus melakukan operasi pengangkatan rahim. Karena ternyata kista yang sudah diangkat itu justru meninggalkan sel kanker yang cukup ganas. Saya kehilangan semangat hidup karena kedua kejadian itu. Apalagi sekian lama mencari, kami masih belum menemukan putri kami yang hilang."

Bu Aisyah tampak semakin sedih dan terlihat jelas jika beliau benar-benar terluka. Berulang kali dihirupnya oksigen, lalu dikeluarkan perlahan untuk menetralkan emosinya. Kuakui kemampuan Bu Aisyah dalam mengendalikan emosi sangatlah baik.

"Akhirnya keluarga memutuskan untuk mengadopsi bayi sebagai pelipur lara kami. Anak itu juga perempuan. Gadis manis yang pintar dan ceria, namun cukup manja. Kehadirannya benar-benar mampu membuat saya tersenyum dan tertawa meski tetap berdoa agar bisa kembali bertemu putri kandung saya."

"Tapi, itu pun tidak berlangsung lama. Di usia sebelas tahun atau tepatnya tiga tahun lalu, gadis manis itu meninggal karena kecelakaan. Saya sangat sedih. Sedih sekali. Mengapa Allah tak mengizinkan saya untuk memiliki anak meski bukan dari rahim saya sendiri. Sejak saat itu saya kesulitan untuk makan dan tidur. Saya merasa Allah tidak adil pada saya."

Bu Aisyah tidak sanggup lagi bercerita. Karena terlalu kuat menangis hingga akhirnya tubuh Bu Aisyah tergeletak tak sadarkan diri, beliau pingsan. Sungguh begitu berat hidup yang harus dialami Bu Aisyah.

Aku bersimpati padanya. Kuusap air matanya yang terus mengalir meski dalam keadaan tidak sadar. Tanpa sadar aku mencium kening wanita yang selalu tampil elegan itu. Tiba-tiba terasa ada desiran halus di dada. Ada yang berbeda dalam diriku. Tapi apa?

Saat kami tengah berusaha menyadarkan Bu Aisyah, terdengar suara seseorang mengucap salam dan kami menjawabnya segera.

"Sayang, kamu kenapa?" Seorang pria paruh baya setengah berteriak melihat Bu Aisyah yang tidak sadarkan diri. Aku yakin dia suaminya, Ahmad Zulkarnain.

Pria itu fokus membangunkan istrinya. Hingga tak lama Bu Aisyah pun bangun. "Alhamdulillah," seru kami serentak karena bahagia.

Mendapati istrinya sadar, pria tadi langsung memeluk dan menciumi wajah istrinya bertubi-tubi. Aku bisa melihat dengan jelas betapa besar cinta pria itu pada istrinya. Semoga kelak aku juga bisa mendapatkan suami sebaik suami Bu Aisyah.

Pria itu mengenalkan dirinya sebagai suami Bu Aisyah. Kami pun memperkenalkan diri sebagai pengasuh dan anak di panti ini. Saat melihatku, dia terdiam cukup lama. Seakan memandangku penuh kerinduan. Entah siapa yang dilihatnya dalam diriku.

Tiba-tiba dia memelukku erat bahkan hingga tidak bisa melepaskan diri. Aku sampai kesulitan bernapas saking kencang pelukannya.

Pria yang kini kami panggil Pak Ahmad, menangis tergugu sangat lama sambil terus memeluk tubuhku. Aku merasakan kembali hal yang sama seperti saat mencium kening Bu Aisyah.

"Ya Allah, apa artinya ini?' batinku. Sementara air mata ikut mengalir bersama air mata Pak Ahmad, dan kulihat Bu Aisyah pun ikut menangis penuh haru.

"Bintang.. Bintang.. Bintang..."

Berulang kali Pak Ahmad menyebutkan nama itu kala memelukku. Aku yang tak mengerti hanya menurut saja diam dan ikut menangis dalam pelukannya.

"Bintang... Bintang... Bintangku...kamu di sini, Nak?"

*****TAMAT*****

Cerpen –
KISAH PILU
Penulis : Ririn Riyanti
21 Oktober 2022

RIRIN RIYANTI


Pentifraf - JUMAT TERAKHIR Penulis : RIRIN RIYANTI


     Hari Jumat Shera bersama suami dan anaknya pergi ke rumah orang tuanya. Sebelum menghadapi hari-hari sibuk, dia memutuskan menjenguk sang ibu yang sedang sakit. Mereka bertiga berkendara sepeda motor butut keluaran tahun 2005. "Ini, Bu. Aku cuma bawa buah salak." Shera meletakkan satu kantong plastik berisi buah salak kesukaan ibunya tepat di sisi ranjang. "Harusnya bukan cuma ini yang kamu bawa." Begitulah, ibunya tak pernah bersikap lembut padanya.

Segala hal Shera lakukan di sana. Melayani ibunya juga membantu membereskan rumah. Biasanya tangan sang ibu sibuk tak bisa diam melihat seisi rumah yang berantakan. Meski kerap diperlakukan kurang baik, Shera tak pernah protes. Baginya, walau tak pernah melahirkannya, tetapi wanita itu telah sangat berjasa membesarkannya.

Selepas Dzuhur mereka pamit pulang. Perjalanan jauh kembali ditempuh dengan kecepatan 60 KM/jam. Ini suami Shera lakukan agar bisa segera sampai rumah sebelum hujan mengguyur, karena langit terlihat semakin menggelap. Akibat kelelahan dan kurang istirahat, Shera merasakan kantuk luar biasa. Berkali-kali matanya terpejam, dan di jalanan menanjak tiba-tiba tubuh Shera terhenyak ke belakang. Beruntung tangannya sempat meraih baju suaminya, dan dia terselamatkan. Andai itu tak dapat dia lakukan, hari itu adalah Jumat terakhir untuknya. "Hati-hati di jalan, Jumat depan kamu harus ke sini lagi." Ucapan ibunya terngiang, seakan sebagai doa penyelamat.

******TAMAT***

Pentifraf (cerpen tiga paragraf) –
JUMAT TERAKHIR
Penulis : Ririn Riyanti
24Oktober 2022

RIRIN RIYANTI


Selasa, 25 Oktober 2022

Cerpen – SAHABAT Penulis : Sri R

     Dea dan Dini adalah dua sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Mereka bersahabat sejak masih anak-anak hingga kini keduanya menginjak dewasa.
Masing-masing punya cerita yang berbeda, seperti juga hari ini mereka saling bercerita, mengisahkan perjalanan hidup dan kisah kasihnya.

Dengan menarik nafas panjang Dea yang mulai bercerita. "Ah.. Aku bingung Din menghadapi kehidupan ini. Kehidupan yang semakin hari semakin tidak ku mengerti."

"Emangnya kenapa, kamu sampai punya pikiran seperti itu?" Tanya Dini kepada Dea. Dini tak mengerti maksud omongan Dea.

"Iya hidup ini Din, aku kadang bingung memilih apa yang mesti bagiku dan jalan mana yang harus aku tempuh. Terkadang ingin aku berlari dari kehidupan yang tidak ku mengerti ini, semua yang aku lakukan seakan tidak ada artinya lagi."

"Aku susah Din, susah untuk melangkah kemana aku harus pergi mencari kehidupan aku yang sebenarnya ."

Sambil memegang pundak Dea, Dini mencoba menenangkan dan meyakinkan perasaan sahabatnya itu. "Kamu tidak boleh putus asa begitu Dea! Dosa lho, justru sebaliknya dalam menghadapi hidup ini kita mesti kuat dan harus berusaha untuk bisa keluar dari masalahmu!"

"Iya sih." jawab Dea

"Tapi bagaimana caranya Din ?"

"Oke oke." jawab Dini.

"Kamu coba deh solat, serahkan dan pasrahkan dirimu dengan setulus hati kepada Alloh. Berdoalah memohon ampun dan petunjuk dari yang maha kuasa. Kalau kamu bisa pasrah dengan segenap hatimu, insya Alloh doa - doamu akan didengar Alloh swt.Gimana Dea, kamu siap melaksanakan itu?"

Dea tidak langsung menjawab. Dea hanya tersenyum, pandangannya yang kosong menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang berpikir dan menerawang jauh.

Rambutnya yang sebahu bergerai di tiup angin. Terlihat jelas di wajah sahabatnya itu seperti kebingungan dan kesepian. Melihat begitu, Dini sebagai sahabat Dea sejak kecil, tak tega melihat apa yang sedang dirasakan dan dialami sahabatnya itu. Dini tak mau melihat Dea bersedih terus menerus.

Akhirnya sambil menggandeng sahabatnya itu berkata," sudah- sudah gak usah diterusin ceritanya"! Dini menyadarkan Dea dari kesedihannya. Lebih baik kita jalan aja, cari angin, kali aja dengan begitu hati dan perasaanmu bisa tenang..

"Giman setuju?"

Dea mengangguk, tanda setuju. Terlintas di wajah DIni rasa gembira ketika Dea mau diajak jalan olehnya. Keduanya seraya berdiri kemudian berlalu meninggalkan tempat kenangan yang biasa mereka singgahi. Mereka menuju rumah makan yang tempatnya tidak jauh dari tempat kenangan mereka.

"Mau pesen apa ?" Dini menawarkan menu makanan kepada Dea. 

" Jus sirsak aja," jawab Dea. 

"Terus makannya apa ?" Dini bertanya lagi.

"Ah gak usah. Aku tidak lapar, Kalau kamu laper kamu aja yang makan aku enggak." Dea malah berbalik menyuruh Dini makan. 

"Kalau begitu ya sudah kita pesen minum aja." Dini pun memesan dua buah jus dan makanan ringan.

Akhirnya Dea kembali tersenyum dan tertawa, mungkin sedikit demi sedikit apa yang d katakan Dini bisa merubah suasana hati Dea dan bisa.melupalan masalahnya. Dininpun bahagia dan bersyukur melihat sahabatnya ceria kembali. Keduanya asyik dengan ceritanya masing-masing dan merekapun larut dalam kebersamaan.

*****TAMAT*****

Cerpen –
SAHABAT
Penulis : Sri R
Bandung, Oktober 2022

SRI R