RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Rabu, 27 Oktober 2021

Cermin - MAR DAN ILHAM Penulis : Yuni Tri Wahyu


   Perempuan itu berjalan sesuka hati, tidak menengok kanan kiri. Senyumnya diiringi liur yang terus bersambung hingga menyentuh tanah. Orang menyebutnya "gila". Tidak!. ia waras hanya mengalami keterbelakangan mental.

Ayahnya seorang pembuat bilik dari bambu, ibunya bekerja sebagai buruh cuci di rumah gedongan. Ia mempunyai seorang kakak laki-laki, dua adik, perempuan dan laki-laki. Mereka tumbuh normal.

Kakaknya sudah berkeluarga dengan empat anak. Adik perempuan pun sudah berkeluarga dengan satu anak. Sementara adik laki-laki belum berumah tangga karena masih ingin leluasa membantu keuangan orang tua.

Suatu hari rumah dalam keadaan sepi, ibunya sudah berangkat bekerja, ayahnya sibuk membuat bilik di belakang rumah. Kebetulan ayahnya memanggil tukang service untuk mereparasi televisi. Tidak ada pikiran apapun karena tukang service itu adalah tetangganya. Perempuan terbelakang mental itu ( sebut saja, Mar ) mendekati tukang service, melihat dengan wajah lugunya. Ia berdiri di samping tukang service. Mungkin karena lelah ia duduk.

Inilah awal dari kesalahan itu. Mar duduk sesukanya, ternyata roknya tersingkap dan astagfirullahhalazim ia tidak memakai celana dalam, dan terlihatlah kemaluannya oleh tukang service. Entah setan apa yang merasuki hati hingga dia mampu berbuat tak senonoh, padahal dia punya istri. Dan Mar yang tak mengerti tidak bisa melawan sama sekali.

Beberapa bulan berlalu, ibu Mar mulai bertanya-tanya kenapa Mar tidak datang bulan dan bentuk tubuhnya berubah. Dihampiri Mar, dengan bahasa isyarat Mar bercerita tentang kejadian itu dan menuntun ibunya ke rumah tukang service. Semula dia tidak mengaku. Tapi Mar terus menunjuk dia hingga akhirnya mengakui juga.

Sembilan bulan berlalu, Mar pergi ke kamar mandi, tiba-tiba ia berteriak

"Emaaaakkk". Ibunya menghampiri, kepala bayi sudah nongol, segera menyuruh adik laki-laki Mar untuk memanggil paraji ( dukun beranak ). Alhamdulillah bayi laki-laki lahir dengan selamat dan tak kurang suatu apa. Di beri nama Ilham. ( saat kelahiran, ayah Mar sudah meninggal).

Ilham kecil adalah kebahagiaan buat ibunya Mar, diakuinya sebagai anak bukan cucu. Bapak biologis Ilham tak pernah memberi perhatian maka oleh ibu disebutlah Ilham sebagai anak yatim.

Kini Ilham sudah besar dan sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dan ibunya Mar sudah meninggal dunia. Adik Mar laki-laki yang menjadi orang tua Mar dan Ilham.

Bagaimana orang menyebut Mar gila?, bukankah laki-laki tukang service itu yang GILA?.

Ilham lekas besar nak, jaga dan lindungi Mar sebaik-baiknya, ia ibu kandungmu.
 *****TAMAT*****
Cermin -
MAR DAN ILHAM 
Penulis : Yuni Tri Wahyu
Tangerang, 15 Oktober 2021

YUNI TRI WAHYU




Cermin - KISAH CINTAKU Penulis : Merawati May


   Tuhan mempertemukan kita dalam satu titik yang dinamakan dumai,
Namum aku yakin dalam sebuah perjalanan kisah itu tertulis karena satu alasan
Entahlah, itu yang selalu ada dalam perjalananku.
Waktu berlalu dengan begitu cepat
Kisah selalu tertulis dalam sebuah kitab yang dinamakan cerita
Kadang hati selalu bertanya?
Apakah ini kisah yang sempurna?
Atau hanya sebatas majas dalam puisi saja?
Waktu adalah jarak yang terbentang luas dan terpisah oleh pulau.
Namun waktu selalu berjalan dengan lamban di saat hati mulai gundah
Waktu akan berjalan dengan cepat saat hati mulai merasuk bahagia.
Alkisah mulai diciptakan dalam satu rasa
Kadang rindu, kadang sedih dan bahagia
Namun dibalik semua itu selalu tersimpan tawa bahagia dan amarah yang entah apa alasannya.
Di sini kuhanya menunggu waktu
Entah kapan waktu itu akan tiba untuk berjumpa
Sedangkan dirimu di sana berpacu dengan waktu untuk menghujudkan mimpi
Dengan harapan menciptakan sebuah bahagia dalam sejarah perjalan panjang untuk kita.
Tuhan...
Masih adakah waktu untukku?
Untuk bersama merangkai indahnya mimpi
Atau akan selalu terpisah karena waktu dan jarak dalam sebuah perjuangan atas nama cinta.
Tuhan...
Izinkan mimpi dan harapan terhujud selalu dalam doa
Karena kuberharap dalam pinta berjumpa dengan sebuah pelukkan hangat di antara ikatan sakral-Mu.
*****TAMAT*****

Cermin-
KISAH CINTAKU
Penulis : Merawati May
Bengkulu, 2019
MERAWATI MAY


Kamis, 21 Oktober 2021

Cermin - PERAMPOK DAN JANDA Penulis : Merawati May


   Di sebuah dusun ada seorang janda yang kaya raya, belum memiliki anak, penampilannya selalu seksi dan terlihat menggairahkan. Informasi tersebut terdengar oleh seorang pemuda yang terkenal dengan gelar Sang Perampok Sejati.

Suatu hari, pemuda tersebut berniat untuk merampok rumah janda tersebut. Ketika ia berhasil memasuki rumah janda tersebut, ia kaget bukan kepalang. Ketika itu ia melihat janda tersebut tidur tanpa busana sehelai pun. Melihat kondisi tersebut, maka pemuda tersebut memiliki niat lain selain merampok isi rumah si janda.

Dengan perlahan ia menyelinap dari bawah tempat tidur si janda, tapi yang terjadi sebuah gelas yang ada di dekat tempat tidur itu tersenggol dan jatuh. Spontan si janda terbangun, dan pemuda itu pun langsung menodongkan golok ke leher dan mengancam janda tersebut.

Pemuda: “Jangan teriak, pilih NYAWA atau NYAMAN?” (Dengan nada menggertak).

Si janda: (Ketakutan, menjawab dengan lemas) “NYAMAN aja deh mas!”

Setelah ia berhasil memuaskan dirinya, pemuda itu pun segera keluar. Dan ketika ia mengenakan pakaiannya, melihat kondisi pemuda yang sedang lengah itu si janda langsung mengambil golok yang berada tepat di sebelahnya dan langsung menodong serta mengancam si pemuda tersebut dengan nada menggertak.

Si janda: “Mau PULANG, atau ULANG!”

*****TAMAT*****
Cermin -
PERAMPOK DAN JANDA
Penulis : Merawati May
Bengkulu, 2021

MERAWATI MAY


Sabtu, 16 Oktober 2021

Cermin – PUJON Penulis : Visty Oktaviaa


   Suatu pagi desa Nusa Ramai geger. Berawal sebuah teriakan wanita yang histeris. Aku yang baru selesai tadarus Alquran usai salat subuh, cepat-cepat melipat mukena.

"Nis, Nisa ..." Suara bang Jarwo terdengar dari teras, gegas aku berjalan keluar sembari memakai jilbab.

"Ada apa bang?"

"Itu ada ribut-ribut di rumah Mbak Rum, Abang mau ke sana. Kamu di rumah saja biar Abang yang cari tahu."

"Baik Bang."

Aku menutup pintu setelah bang Jarwo pergi. Menyapu, mencuci piring lalu memasak adalah rutinitas sehari-hari bahkan sebelum ibu meninggal. Aku empat bersaudara, anak pertama perempuan bernama Mustika Widia Sari, lalu bang Sujarno Widi Wibowo, bang Sujarwo Widi Harmoko dan aku Annisa Widia Wati. Yuk Tika sudah menikah dan ikut suaminya di Muara Dua, begitu pula dengan bang Jarno ikut istrinya di Alang Alang Lebar Palembang.

Aku dilahirkan di dusun kecil Nusa Ramai. Dusun yang asri dengan hasil padi nan melimpah. Ayah meninggal karena sakit saat bang Jarwo hendak lulus SMA. Itulah yang membuat bang Jarwo bekerja demi menghidupi aku dan ibu.

Yuk Tika hanya sesekali berkirim kabar, maklum di tempatnya sulit mendapatkan sinyal. Muara Dua itu pun pelosoknya, bukit-bukit nan hijau tanaman kopi. Entahlah aku belum pernah ke sana, hanya mendengar Ayuk yang bercerita. Hidup pun sederhana, sang suami bukanlah orang kaya tapi rajin bekerja.

Bang Jarno mungkin lebih beruntung, istrinya ialah anak orang kaya. Pemilik toko sembako yang lumayan besar, jadilah bang Jarno yang menjalankan bisnis toko itu. Tapi Abangku itu juga jarang berkabar, sibuk itu yang menjadi alasan. Entah, seolah lupa pada kami yang hidup di dusun.

Bang Jarwo satu-satunya yang peduli dengan pendidikanku. Aku baru kelas 2 SMP ketika ayah dipanggil Allah. Bekerja serabutan, kadang ya nyangkul atau nyemprot atau apapun yang orang suruh. Kami hidup apa yang ada cukup untuk hari ini entah esok. Dulu kami punya beberapa petak sawah. Tapi habis dijual untuk pengobatan ayah. Tapi kami anak-anaknya ikhlas, jadi tinggal tempat di mana rumah tegak itulah tanah yang kami punya.

"Hei Nisaaaaa ... Nih anak dipanggil-panggil kok diem aja, kesambet Lo?"

"Astagfirullahaladzim," Aku tersentak sambil mengelus dada. Bayangan masa lalu membuat kuping tak mendengar panggilan bang Jarwo.

"He he he ... Maaf Bang, Nisa melamun. Lama amat Abang di rumah Mbak Rum, emang ada apa?"

"Itu Nis, kamu tahu kan Mbak Rumaniyah lagi hamil?"

"Tahu Bang."

"Wetenge kempes, bayine ilang. (Perutnya kempes, bayinya hilang)." Bang Jarwo berbisik

"Apaaaaa!!!" Spontan aku berteriak sambil menutup mulut.

"Ssttttt!, Cangkemmu (Ssttttt! Mulutmu)" Bang Jarwo meletakkan telunjuknya di bibir.

"Kok bisa Bang?"

"Yo isolah, tuh buktinya."

"Gimana ceritanya?"

"Jadi gini ..."

*****

   POV Rumaniyah

"Kulo nuwun, Nduk ... Nduk Rum ..."

Aku tertegun, ya ini hampir magrib waktu surup orang bilang. Pamali bagiku yang sedang hamil untuk berada di luar rumah. Dan siapa orang yang memanggil itu? Suaranya seperti kenal ... Firasat tidak enak muncul di benak. Apalagi bang Juki belum pulang dari menjemput Emak. Perutku yang mulai mulas seperti hendak melahirkan membuat bang Juki menjemput Emak supaya bisa menemani kalau sudah waktunya.

"Sinten nggih?" Tanyaku sebelum membuka pintu.

"Aku Nduk, Mbah Yem."

Kening berkerut, Mbah Yem?

Bukannya beliau istri Mbah Surip yang katanya "orang pintar" itu?

"Onten nopo Mbah kok surup-surup mriki?(Ada apa Mbah kok surup-surup ke sini?)"

"Mbok dibukakne lawange to Nduk, Iki lho Mbah betakne pisang mateng. Mumpung urong kendalon menowo sampeyan pengen pisang goreng utowo ngolak. (Tolong pintunya dibuka to Nduk, ini lho Mbah bawakan pisang matang. Mumpung belum terlalu matang siapa tahu kamu ingin pisang goreng atau kolak."

"Owalah, nggih Mbah ..." Pintu kubuka sembari tersenyum. Tanganku terulur menerima pisang yang diberikan Mbah Yem.

Tangan keriput Mbah Yem ganti mengelus perutku. Sontak perasaanku was-was.

"Pun wayah e nggeh Nduk?"

"Emmm ... Nggih Mbah."

"Ya wes, Mbah wasul Nduk, didahar pisang e."

"Injih Mbah, matur nuwun."

Huffff aku bernapas lega melihat tubuh renta itu berjalan menjauh.

Suara deru motor mengalihkan perhatian dari pisang sesisir yang kupegang. Bang Juki datang membonceng emak, di depannya tas hitam lusuh milih emak bertengger.

"Assalamualaikum , Nduk." Emak mengulas senyum, tangannya terulur untuk salim.

"Waalaikumussalam Mak," kusambut tangannya dengan ciuman di punggung.

"Surup-surup kok nek jobo lho Rum"(Surup-surup kok di luar lho Rum?)" Tanya bang Juki, tangannya menenteng tas Emak.

"Iya Bang, Mbah Yem barusan ngasih pisang. Nih ..." Tanganku mengangkat pisang yang menguning dan gemuk-gemuk.

"Mbah Yem?" Kening bang Juki berkerut.

"Sudah ... Sudah ... Azan Maghrib tuh, ayo masuk dulu." Ibu menengahi percakapan kami.

Kami pun masuk tak lupa mengunci pintu. Usai salat Magrib, kami makan malam sambil bercengkerama. Lalu ibu pamit untuk menunaikan salat Isya dan langsung beristirahat.

Begitu juga aku dan bang Juki, sebelum tidur kucomot pisang sebiji pemberian Mbah Yem. Lumayan, buat cuci mulut sebelum gosok gigi.

Allahu Akbar Allahu Akbar!!!

Allahu Akbar Allahu Akbar!!!

Azan subuh berkumandang, kepalaku terasa sedikit pusing, badanku sakit, lelah seperti habis dari melakukan pekerjaan berat. Kupejamkan mata, sebentar lagi saja ah. Setelah merasa lebih baik, aku duduk pelan turun dari ranjang, maklum hamil tua.

Tunggu

Seperti ada yang salah

Ya, ada yang kurang

Perutku kok gak gendut?

"Abaaaaang ..." Aku berteriak histeris

POV Author

"Oeeek oeeekk ..."

"Alhamdulillah, selamat ya Bu, anaknya perempuan." Bidan Naya mengucapkan selamat pada pasiennya.

"Alhamdulillah ..." Ucap wanita yang berbaring lemah mengukir senyum.

Setelah beberapa jam menunggu akhirnya bayi mungil itu lahir sehat. Penantian tujuh tahun kini telah terbayar.

Meski ada hal mengganjal di hati bidan Naya, bagaimana mungkin bahkan sebulan yang lalu pasutri itu datang untuk USG dan rahim itu kosong, sungguh-sungguh kosong.
*****TAMAT*****

Cerita di atas hanya fiksi ya, itu yang menjadi alasan kenapa disarankan untuk ibu-ibu yang sedang hamil untuk tidak jujur dengan umur kandungannya. Semisal hamil empat bulan katakanlah tiga atau lima bulan.



Cermin (Cerita Mini) –
PUJON
Penulis : Visty Oktaviaa

VISTY OKTAVIAA



Cerpen - JANGAN HINA IBUKU Penulis : Visty Oktaviaa


   "Niaaa, Nia!!" Suara menggelegar Edi mengusik pagi. Jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi rumah megah itu sudah riuh.

"Iya Mas, ada apa?" Nia datang tergopoh-gopoh menyahut seruan Edi.

"Ada apa matamu pic*k!! Kamu gak liat rumah berantakan seperti ini?"

"Maaf Mas, adik lagi memasak. Jadi belum bisa beberes rumah. Hari ini Lisa masuk sekolah, jadi Nia siapkan sarapan sekaligus bekalnya."

"Halaaah, alasan!! Percuma aku bikin rumah mewah kalo berserakan sampah. Percuma juga punya istri, udah melarat lambat lagi."

"Maaf Mas ..."

"Maaf maaf ... Emang selesai dengan kata maaf? Bisa bersih sendiri ruangan ini hah?" Bentak Edi sembari menarik rambut Nia.

"Auuuu ... Sakit Mas ... Aduuuhh ...." Spontan Nia berteriak kesakitan, tangannya memegang rambut agar tidak tercerabut.

Bukannya kasihan dengan sang istri, Edi malah menendang bokong Nia sehingga membuatnya terjerembab. Nia mengaduh, diam tengkurap tanpa ingin melawan. Hujan jatuh di pipinya, bibir rapat menahan isak.

Melihat itu Edi tertawa-tawa, bau alkohol menguar menyesakkan dada, berlalu begitu saja memasuki kamar utama.

Ya, Edi yang semalam tidak pulang ternyata mabuk-mabukan di lapo tuak bli Kadek hingga pagi. Edi adalah anak pak Heru, retenir yang sukses mengembangbiakkan duit. Pak Heru sudah meninggal setahun yang lalu, seluruh warisan jatuh ke anak tunggal, Edi. Akibat pola asuh yang salah, Edi tumbuh menjadi pribadi yang pemalas, egois dan tidak beradab. Ibunya yang sudah tua pun kadang tak luput dari sasaran kemarahannya.

Sedang Nia adalah gadis ayu nan santun. Kemiskinan mengajarkan syukur di setiap kenikmatan. Dia tidak pernah mengeluh dan mampu berusaha sendiri untuk meraih apa yang diinginkan. Ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan semenjak ia kecil, dua orang kakak hidup di perantauan. Sedangkan Nia kecil diasuh nenek. Kakaknya hanya pulang ketika menikahkan Nia dengan Edi, hadir sebagai wali kemudian langsung pergi.

*****

   Ya Allah, Astagfirullah ...

Nia menjerit dalam hati, dosa apa yang membuatnya menjalani kehidupan seperti ini. Edi yang dulu romantis begitu manis merayu sang gadis. Kini setelah menjadi istri bukannya posisi ratu tapi babu yang diberikan.

Rumah dua lantai dengan lima buah kamar tidur dan tiga kamar mandi, ruang tamu dan ruang keluarga nan luas, serta perabot mewah harus dijaga kebersihannya. Lemari, kulkas, dapur, debu harus kabur darinya. Belum lagi ibu mertua yang semena-mena persis anaknya dan buah hati yang nurun bapaknya. Sungguh, cobaan yang luar biasa.

*****

   Ia bangkit, bukan sekali dua kali ia sakit. Disekanya netra, merapikan rambut lalu berjalan menuju kamar sang anak.

"Lis, Lisa sayang. Bangun nak nanti terlambat." Digoyangkan pelan tubuh mungil itu. Ia baru berusia lima tahun, sekolah TK nol kecil.

Nia menghela napas, gegas masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower air, mengatur suhu panas. Setelah dirasa cukup, ia matikan shower. Dibuatnya susu hangat terlebih dahulu, lalu pelan-pelan dibuka baju Lisa. Dengan mata terpejam bibir Lisa menyedot dot, sedang ibunya menggendong dan memasukkan di bak mandi. Dengan telaten dibersihkan tubuh Lisa.

Selalu seperti itu jika sang anak akan mandi.

*****

   Tepat jam tujuh Lisa sudah siap berangkat ke sekolah. Ia akan dijemput oleh Bu Ani, gurunya yang tinggal di sebelah rumah. Bu Ani sukarela membersamai pulang pergi Lisa sekolah karena kasihan jika harus Nia yang melakukan. Mengingat Edi tak suka jika rumah belum bersih kinclong saat ia bangun.

*****

   Nia menatap kepergian anaknya ke sekolah, ia merasa begitu lelah, enam tahun memendam amarah. Sejak menikah hidupnya pilu,a Ia ingin istirahat sejenak.

*****

   "Njing eh njing, bangun!!" Lasmi menggoyangkan tubuh menantunya dengan ujung kaki. Di usia yang memasuki lima puluh delapan tahun, gurat kesombongan mengukir raut kerasnya. Baginya, Nia tak lebih dari seekor anjing yang harus menuruti perintah majikan.

"Ehhmmmm ..." Nia menggeliat sembari mengerjapkan mata.

"Ada apa Bu?"

"Bangun anj***g!!! Kamu gak liat matahari sudah di mana. Jam segini sudah molor, nih bajuku dicuci yang bersih. Pakai tangan ya, dengar? Pakai tangan." Bu Lasmi menekan dan mengulang perkataannya.

Nia melirik jam di dinding, sudah jam delapan rupanya. Lumayan juga tidurnya.

"Baik Bu." Nia beranjak sambil menerima uluran baju dari mertuanya.

*****

   Usai merendam baju Bu Lasmi dengan Molt* Nia lanjut beberes rumah sebelum suaminya bangun. Sepuluh menit lagi baru dikeringkan pakai mesin cuci. Saat ia menyapu garasi, didengarnya ibu mertua bercerita dengan tetangga. Ia menajamkan pendengaran.

"Saya itu heran sama si Nia, pagi-pagi sudah tidur. Apa gak diurusnya dulu anaknya sekolah, masa harus saya yang memandikan serta menyiapkan kebutuhan Lisa. Belum lagi masak untuk sarapan Edi, capek badan tua ini. Punya menantu malas kok begitu."

"Masa sih Bu? Setahu saya Nia anak yang rajin tuh" sahut Bu Endang

"Iya, wong kita-kita juga tahu seperti apa dulu gadisnya Nia. Gak neko-neko dan sangat santun. Andai saya punya anak lelaki sudah kujadikan menantu si Nia." Suara Bu Ita menimpali.

"Ah ibu-ibu ini ditipu sama casingnya Nia, aslinya sungguh hemmm ..." tukas Bu Lasmi sambil memonyongkan bibirnya.

"Eh, tahu gak ibu-ibu ini. Dulu ibunya si Nia kan pela**r, dan yang menghamili itu bukan suaminya. Entah siapa bapak aslinya. Dih, menjijikkan, mending kalo cantik, udah jelek, miskin, nyebarin penyakit lagi. Edi aja yang ngeyel, padahal saya tidak setuju punya besan pelac*r meski sudah koit." Bu Lasmi melanjutkan omongan pedasnya.

Nia yang menguping, menggenggam erat sapu. Gemuruh amarah memenuhi rongga dada, meledak tanpa bisa dicegah lagi. Ia ingat, dulu sebenarnya Bu Lasmi menyukai bapak, tapi bapak memilih ibu. Dari situ mungkin dendam bercokol, mulai dari tingkah semena-mena hingga fitnah disebar. Ia tak terima ibunya dihina.

"Cukup Bu ... Cukuuuuup. Aku terima segala perlakuan ibu juga anak ibu ke aku. Tapi aku tidak terima ibu menghina ibuku. Fitnah apalagi yang ibu tebar? Belum cukupkah ibu menghinaku? Menyakiti lahir dan batinku? Aku diam karena menghormati ibu. Jika seperti ini aku berhenti untuk jadi menantu dan babumu. Allah tidak tidur Bu, ingat umur. Jangan sampai ibu menyesal telah menghina dan memfitnah ibuku" teriak Nia sambil berkacak pinggang. Sapunya dibanting ke arah ibu mertua, mukanya merah padam tanda amarah menguasai.

Dihentakkan kaki, berlari memasuki rumah. Di kamar di lihatnya Edi pulas telentang. Segera disambarnya tas, dimasukkannya beberapa baju, dompet dan perangkat salat. Dipakainya sandal, berlalu di hadapan mertua yang menatap sinis.

Dulu demi Lisa ia bertahan, berharap keajaiban Tuhan. Anak semata wayang berubah haluan, tidak berwatak seperti bapaknya. Namun kini ia tak sanggup lagi, memilih pergi mencari damai. Diamnya dianggap lemah, santunnya dianggap pasrah, menurut dikira takut. Padahal Nia ingin berbakti pada suami, merawat mertua dan membahagiakan anak. Hanya itu keinginan di hati, keluarga kecil yang saling menyayangi. Selama ini Nia sendiri, saudara jauh kerabat jauh. Sesederhana itu pintanya di setiap doa. Mungkin Allah punya rencana, yang tak terduga di depan sana.


*****TAMAT*****

Cerpen –
JANGAN HINA IBUKU
Penulis : Visty Oktaviaa

VISTY OKTAVIAA


Senin, 11 Oktober 2021

Cerpen dan Puisi - DIALOG SENJA Penulis : S Pandi Wijaya


 
   "Son ... "

"Kamu ... " ujarku, setelah ada beberapa detik terdiam.

"Sepertinya kita telah menjadi asing yah ... "

"Sudah terlalu lama memang. "

Aku sekejap menatap wajah sesal itu.

"Terlalu lama ... !?" aku gamang.

"Hehhm maaf. Harusnya aku sadar, mungkin semuanya sudah lampau, sudah terlupakan. "

Senyum itu ...

Wajah perempuan itu tidak banyak berubah, hanya matanya yang kehilangan binarnya.

"Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk jingga menghampiri senja. Bisa jadi hadirnya jingga hanya merusak heningnya senja. "

Binar di mata itu telah hilang.

"Atau malah sudah merusak juga nikmatnya rasa secangkir kopimu ... "

Mataku jatuh pada secangkir kopi di atas meja yang sempat sedikit tertumpah.
Malah sudah berkarat sebelum mengering.

"Maaf, sepertinya aku harus sadar diri. Jingga tidak semestinya selalu ada saat senja. Yah, seperti aku yang seharusnya tak ada lagi ... "

Akh, adalah aku selayak paku tak tercabut pada kayu. Serupa merapuhmu, aku pun sirna.

Akh, air matamu menghunjam jantungku ...

**********
Album Cerpen dan Puisi
DIALOG SENJA
Penulis : S Pandi Wijaya
SPW,
Pandeglang, 19052021
( Catatan Kelana Bodo )

S PANDI WIJAYA


Prosa - MENITI SEBUAH EKSTASE Penulis : Mohammad As'adi


   Tak terasa , hari terus bergulir. Waktu, aku terus berusaha memiliki waktu untuk diriku, kesepianku, kerinduanku . Ada kesadaran untuk mengenang sekaligus ingin melupakan. Tapi seperti angin yang tak pernah berhenti sekecil apapun semilirnya , ia , cinta itu selalu terasa menyentuh sekujur tubuhku dan acapkali menusuk pori-pori.Inilah derita paling dalam sampai mawar tak terasa wanginya, sampai jiwa kehilangan jiwanya.

Kesetiaanku mengunjungi ceruk jiwaku adalah kenestapaan . Dengan luka karena cinta kuseduh secawan air mata ,kulukisi sajak dengan kata bisu, merindu Engkau ,menangisi diriku yang tak pernah berani mengatakan : Aku menyintai Mu ya Raab

***

   Cinta adalah penderitaan dan wewangian, jangan pernah engkau mengatakannya. Sebab hanya jiwa yang mengerti kenapa betapa sakitnya ketika cinta tak lagi berhadapan –hadapan , karena hanya jiwalah yang mengerti betapa cahayanya menerangi sudut-sudut kegelapan paling tersembunyi sekalipun dan hanya jiwalah yang mampu memahami bahwa cinta adalah hidup dan hidup hanyalah sebuah jalan menuju keabadian : dengan cinta kita merendanya, seserpih demi seserpih harapan untuk meraih hakekat cinta termegah yang bersemayam hanya dalam jiwa yang menaungi semesta, karena Ia lah cinta yang sebenarnya, tak pernah tidur dan tak pernah mati.

***

Prosa –
MENITI SEBUAH EKSTASE
(Prosa untukmu)
Penulis : Mohammad As'adi
Temanggung 31012021




Catatan Mohammad As'adi

Hai perempuan bermata binar dengan senyum rembulan.Kaukah itu ?--lagi2 huruf R yg melintas..hhhhhhh

MOHAMMAD AS'ADI

Jumat, 08 Oktober 2021

Cermin - KISAH CINTA YANG TERTUNDA Penulis : Merawati May


   Pagi ini sinar matahari begitu indah di pucuk cemara, kuramukan secangkir kopi penuh cinta sebagai penghangat perut dan pelepas dahaga dengan sepotong roti bertaburkan mesis penuh doa.

Kuseruputi kopiku dengan nikmat, dunia terasa begitu indah
Alam begitu bersahabat dan angin pun terasa sepoi-sepoi mengelitik kulitku
Ku pandangi wajah serambi sampingku dengan hikmat untuk mengigat memory kisah cinta kita yang tertunda lewat dinding maya.

Tak terasa waktu terus bergulir, sudah sampai waktunya aku melangkah untuk merangkai recehku di ujung jalan itu
Dengan gontai kuselusuri jalan trotoal penuh kenang saat bersamamu
Sambil tersenyum lebar kulemparkan kepada setiap pengguna jalan sebagai salam hangat dari bibir ranumku.

Lalu langkahku terhenti pada satu titik
Sambil memandangi seluruh kondisi sisi jalan hatiku bergumam, di mana dia yang biasa aku sapa lewat maya?
Tak terlihat sedikit pun bayangannya
Apa lagi suara indahnya menyapaku lewat angin.
Semua terasa hilang dan sunyi kembali.

Dan, sampai waktunya untuk tidak mencari lagi
Kututup rapat-rapat hati dan pikiranku tentangnya
Kubuang semua kenang lewat maya sapa untuknya
Namun apa hendak di kata kisah yang tertunda kembali di buka atas goresan maya lewat sebait doa.

Dalam tanya aku selalu mencari sebuah jawaban yang tertulis
Namun semua hanya bisu dalam keterpurukan dan sandiwara maya.

*****

Cermin
KISAH CINTA YANG TERTUNDA
Penulis : Merawati May

Bengkulu, 2021

MERA WATI SE
(MERAWATI MAY)

Cerita Ringan - CATATAN SEBAIT PUISI Penulis : S Pandi Wijaya


  Selamat malam kekasih
Ini seprai kuning emas
Kusulam dari langit jantung
Tidurlah kekasih
Pada gumpalan busa
Kutumpuk dari purba rindu
........... mimpilah yang indah ........
Pada pelukku yang resah
Pada lelahku yang pasrah
Biar kudekap gundahmu
Biar kulumat gelisahmu

( Your Love " C " )

*****

   " Mata luh merah amat, Son !?" tanya Rina dengan tatapan menyelidik.
" Gua kelilipan, kena angin waktu naek motor, " jawab Sonata sekenanya.

" Bokis luh. Dasar anak sableng, " tukas Rina.

" Kenalin nih temen gua, " sambumgnya sembari menunjuk perempuan di sebelahnya dengan sudut matanya.

" Luh jadi makelar sekarang, Rin !?" seru Sonata bergurau
.
" Sableng luh !" rutuk Rina.

" Ini Sonata, Ra. Anak sableng, " bilangnya pada Ciswi Puspa Sari.

Sonata tau kalau Rina agak kesel, tapi senyum manis teman Rina itu, bikin dia gak peduli. Heehee, dasar sableng.

"Ciswi Puspa Sari, " ujar gadis itu seraya mengulurkan tangannya.

Sonata pun mengulurkan tangannya, tapi ...

"You cann't tought this .... "

" Sableng luh, Son !" seru Rina demi Ciswi terkejut karena Sonata menarik kembali tangannya sambil berkata itu, sebelum Ciswi menyentuh tangannya.

Peduli amat kalo Rina lebih marah, pikir Sonata yang konsen pada pertandingan Volly class metting antara kelasnya II.A3.1 dengan anak kelas II.A2. 
Nyaris kelasnya kalah mendapat perlawanan alot anak-anak kelas IPA itu. Meski menang tipis, tapi gengsi taruhannya. Di final lagi. Dan semacam lap story teman-teman Sonata mengitari lapangan merayakan kemenangan. Diam-diam ada yang ditenggak Sonata dari botol pipih kecil yang diambil dari saku celananya. Tapi Rina terlanjur melihatnya dan melotot padanya.

" Luh jangan maluin gua, Son !" ancam Rina.

" Just a little. Gua konsen kok, " jawab Sonata.

"Luh kenapa, Rin ? Sewot bener, " tanya Arief

"Biasa tuh anak sableng, nenggak, " bilang Rina dengan nada kesal.

"Biarinlah, ntar juga insyaf sendiri, " ujar Arief yang memang tau juga kelakuan Sonata.

" Ini Son, honor luh dari shooting kita kemaren, " Arief menyodori Sonata lima lembar uang sepuluh ribuan.

" Thank's Rief, " sambut Sonata. Lumayan buat beli .........

" Awas luh kalo dipake buat beli botol !" ancam Arief, seperti sudah membaca pikiran Sonata.

Sonata meringis kena skak.

" Son, luh temenin dulu Ciswi. Ajak ngobrol kek. Pokoknya jangan maluin gua, " bilang Rina

" Sini selembar, buat gua beli baso, " ujarnya lagi dengan cepat menyambar selembar uang di tangan Sonata.

Kampreet ....!!! rutuk Sonata cuma bisa memandang Rina berlalu.

Yang bikin kesel bukan karena Rina mengambil uangnya, tapi dia tinggalkan Ciswi begitu saja. Bikin Sonata gatal ga jelas. 
Itu cewek diem aja lagi ditinggal Rina, sesal Sonata. Terpaksa Sonata menemani gadis itu.

" Ee... kamu temannya Rina ?" Sonata terpaksa, kaku membuka percakapan.

Ciswi menjawab dengan anggukan.

" Kamu nunggu Rina ?" tanya Sonata. Dan akhirnya merasa bodoh sendiri dengan pertanyaannya itu.

" Iya, " angguk Ciswi.

" Rina ga bilang mau ke mana ?"

Ciswi menggeleng.


Rina bilang udah lewat malem, nulisnya ntar aja dilanjutkan lagi, heehee ...

*****
   Sonata kebingungan ya ditinggal Rina, pake ninggalin temen ceweknya lagi. Bikin kaku Sonata.

Bingung Sonata mencari bahan pembicaraan. Sesekali mengutuk Rina dalam hati.
Kampret, ke mana tuh anak !? Lama bener lagi perginya, rutuk Sonata.

" Ee, kamu nggak sekolah di sini kan ?" tanya Sonata memecah kebisuan.

" Saya sekolah di SMA Widuri Kebayoran Lama, " jawab Ciswi.

" Jauh juga dari sini. "

" Rina ajak saya ke sini. Bilangnya ada acara class meetting dan kelasnya bertanding di final hari ini, " jelas Ciswi.

" Di sekolah kamu memang ga ada acara seperti ini ?" tanya Sonata.

Ciswi menjawab dengan senyum menggeleng. 
Plong, Sonata merasa lega melihat Rima kembali entah dari mana.

" Gila, sambel si Boim pedes sekali hari ini, " ujar Rina sembari menyeka keringat di dahinya.

" Kamu dari mana, Rin ?" tanya Ciswi menyambut.

" Biasa Cis, " jawab Rina tak jelas, " eh, kamu diapain sama si Sonata ? Anak sableng ini ga macem-macem kan !?" selidiknya lagi.

Ciswi cuma senyum menjawab.

" Ok, besok kamu ke mari lagi kan !?"

" Asal kamu jemput aja, Rin. "

" Sip...!" Rina mengacungkan jempolnya.

" Son, besok siapin lagi jatah gua. Ok !?" ujar gadis itu lagi pada Sonata. 
Sonata tak peduli, tapi dia jadi gerah juga.

" Jatah apaan sih Rin ?" tanya Ciswi.

" Biasalah. Cabut yuk, " bilang Rina tak menjawab pertanyaan Ciswi malah mengajak Ciswi pergi.

Ciswi mengangguk setuju.

" Mari Son, pamit dulu, " ujar gadis itu dengan khas senyum manisnya berpamitan pada Sonata.

Sonata cuma diam seperti tak acuh, cuma memandang Rina dan gadis itu menjauh.


Payahnya, hampir separuh malam Sonata tak bisa tidur. Senyum Ciswi tiba-tiba saja mengusik. Hal yang tidak pernah dirasakannya selama ini. Siang itu di sekolah agak sepi. Segala aktivitas sepertinya mati, padahal di aula sedang mempersiapkan panggung untuk acara kesenian. Pertama untuk lomba di kesenian antar kelas. Puncaknya untuk malam perpisahan atau pelepasan siswa yang berhasil lulus ujian. Payah, mungkin gua yang salah pilih tempat, batin Sonata. Tiba-tiba dirasakannya hal yang selama ini bungkam di hatinya. Ada hal yang bikin gelisah.

Masih teringat Sonata kata-kata sang Embun,

" Tulislah sebaris kalimat bila hatimu gelisah, Sonataku. Jadikan puisi bila kegelisahan itu membuatmu kian resah. "

Kata-kata yang diucapkan Ning, sebelum pergi meninggalkan Sonata. 
Ada rona sendu di mata Sonata. Entah siapa Ning yang mampu membuat anak sableng itu menggenangkan air di pelupuk matanya. Lalu dengan sadar ditulisnya apa yang berkecamuk di hatinya. Tapi setiap terangkai satu kalimat, setiap itu pula dicoretnya lagi. Begitu dan begitu berulang, hingga pada akhirnya selesai juga terangkai beberapa bait.

Sonata tak menyadari bila ada seseorang berdiri di belakangnya. Dan tak sadar juga malam telah larut juga ya. Istirahat dulu ya, biar besok kembali bugar buat beraktivitas. 

Yah, orang itu adalah Ciswi Puspa Sari.
" Sedang buat puisi-kah ... ?" tanya gadis itu menghampiri Sonata.

" Ee ... anu, nggak kok. Cuma iseng aja, " Sonata agak rikuh.

Ciswi cuma senyum melihat sikap Sonata.
" Rina bilang, kamu pinter bikin puisi. Cerpen juga. Rina juga bilang, mading sekolah terasa hambar tanpa goresan kamu, " jelas Ciswi.

" Si Rina ga usah didengerin, " timpal Sonata.

Jangan-jangan tuh kampret ceritain semua tentang gua lagi, batin Sonata.

" Ga usah malu dan disembunyikan bila kita memang punya kemampuan itu, " ujar Ciswi,

" jarang kan orang yang punya kemampuan tapi juga diakui orang, " lanjutnya berujar.

Sonata cuma menarik nafas. Ada makna yang sama seperti yang diucapkan Ning dulu. Sonata pun mengerti maksud ucapan Ciswi. Menatap mata Ciswi sekejap, Sonata membatin; kalo aja lu tau, gua bikin goresan tentang luh, Cis ...
Tapi Sonata cuma menghela nafas panjang.

" Besok ada lomba vokal grup ya ?" tanya Ciswi.

" Yah .... " sahut Sonata sembari melepas pelan nafas panjangnya. Lega karena Ciswi tak lagi mendesakan keingin-tahuannya.

" Orang luar boleh ikut menyaksikan ?"

" Asal tertib dan ga bikin ribut aja. Bebas. "

" Bisa lihat kamu baca puisi dong, " ujar Ciswi antusias.

" Gua dateng aja ga pasti, apalagi buat baca puisi, " sahut Sonata cuek.

" Tapi kelas kamu juga ikut lomba kan ?" tanya Ciswi.

Sonata menjawab dengan anggukan.

Sonata juga tak menyangka kalau Ciswi yang kelihatan pendiam, bisa terus nyerocos bicara. Dan Sonata sesekali mencuri pandang demi melihat senyum gadis itu. Kalo aja lu sadari, kehadiran dan senyum itu udah bikin koyak kalbu gua. Malah rasanya gua sulit buat ngatur nafas, batin Sonata. Dan nyatanya Sonata datang juga menyaksikan acara lomba itu, hanya demi melihat senyum gadis itu lagi.

Dua jenis lomba akan diselenggarakan, vocal grup dan pembacaan puisi. Dan aula yang cukup besar itu riuh oleh keceriaan yang menghiasi gelar perlombaan itu.
Satu per satu kelas menunjukan kebolehannya dalam lomba vokal grup dan puisi itu. Sonata sendiri sepertinya memang tak tertarik pada kedua lomba itu. Alasannya datang cuma satu, untuk melihat senyum Ciswi.

Tapi tiba-tiba ......
" Sonata ... Sonata ... Sonata .... !" seru hampir seisi ruang.

Karuan Sonata celingukan. Si kampret Rina malah menarik lengan Sonata. Dan MC acara dirasa konyol oleh Sonata karena ikut memintanya naik panggung. Sialnya lagi Sonata tidak punya persiapan sama sekali. Dikutuknya MC dan Rina yang konyol, yang membuatnya terpaksa naik panggung dengan kebingungan. Untungnya Sonata ingat yang diselipkan di saku jeans-nya.

" Sebelumnya maaf, puisi ini, tepatnya goresan ini belum punya judul. Mudah-mudahan ada bersedia memberi sarannya, " ujar Sonata sembari berusaha menguasai groginya.

" Son, gua iringin pake gitar yah !?" seru Dedy Rudy Hartono, jagoan gitar clasic.
 

Petikannya pada senar gitar clasic nyaris sempurna.

Tanpa disadarinya mata Sonata mencari-cari satu sosok. Sulit juga dirasakan suaranya keluar.

Ahk, Ciswi di sana, bersebelahan Rina.

Sonata mulai meresapi denting senar yang dipetik Dedy dan mulai membalut jiwanya. Meluncur juga suara dari mulutnya, membacakan yang dia tulis kemarin.
Keresahan ini buat siapa ... ?

Dengan sayap patah
Cinta yang coba kutawarkan

Keresahan ini buatmu, kekasih
Cinta yang kutawarkan padamu
Yang mampu gundahkan malamku
Yang mampu percikan lagi asa

Keresahan ini
Cinta yang kutawarkan padamu
Ingin mendekap pasrahmu
Dengan pelukku yang gerah
Dengan sayap yang juga patah

Ahk, harus kupelajari satu puisi lagi
Harus kurenungi lagi ...
...
Yah, harus direnungi lagi, sebab malam sudah larut. Istirahat dulu. 

*****TAMAT*****

Belajar nulis cerita ringan
Episode Tentang Petualang
CATATAN SEBAIT PUISI
Penulis : S Pandi Wijaya (SPW)
Pandeglang, 04072019
(Catatan Kelana Bodo)




Catatan Kelana Bodo

Aku teman sepimu, nona
Mesti aku benci,
Sebab banyak yang mencibiri
Tapi aku nikmati itu

Aku teman sepimu, nona
Tempat keluhmu, tempat lelahmu luruh
Usai tawari rasa, usai berbagi hati separuh
Tapi, aku nikmati itu

Aku hanya teman sepimu, nona
Yah, aku hanya teman sepimu
Pencatat aksara kusammu
Pendengar cakap kelammu

SPW,
Pandeglang, 28072019



Catatan Kelana Bodo

Maka langitpun menangis
Setelah kuhimpun awan hitamnya
Dan airmatanya biar tenggelamkan aku
Melarungkan jiwaku ke lautan lara

Oi... engkau jangan meragu...
Telah kuikhlaskan kau hapus tentangku
Dari catatan langit jiwamu
Dan pejamkan saja matamu
Saat aku melangkah berlalu

05112018



Catatan Kelana Bodo

Aku dan nyaliku
Jiwa yang tak pernah diam
Sujud pada-Mu
Bukan tersebab takut
Atau karena enggan
Dan bukan karena apa

Aku dan nyaliku
Rapuh dihadap-Mu
Hanya mampu meminta-minta
Atas ridho dan ikhlas-Mu
Dalam setiap hela nafasku
Berserah ditilam sajadah
Pada 2/3 malam berbasuh linangan
Di raka'at tahajud.......

( Nyaliku Tahajud )
~ Bait Kelana Bodo
24102018



Catatan Kelana Bodo

Hhmmm......
Apa yang kau sembunyikan, dinda..
Jangan sembunyikan senyummu

Haahaahaaa, merona merah pipimu
Oi...Oi...dungplak dungdung plak dungdung
Dindaku malu-malu....
Oi..dinda, masih bekas sisa cumbumu semalam

Haahahaaa......
Dindaku sayang...terima kasih....
Karena kau merasa bahagia denganku

( Bahagia-ku )
~ Gurau Kelana Bodo ~
22102018



Catatan Kelana Bodo

Lalu, aku harus bilang apa.....

Memujimu karena aku pemujamu
Oi...Oi...jangan Merajuk
Nanti kau kugaruk...
Sampai kau mabuk

Hahahaaa, sini dinda biar kupeluk
Lebih hangat dari sekedar pepuisiku
Jangan lepas sebelum kau puas....
~ Masih Gurau Kelana Bodo ~

21102018

S PANDI WIJAYA


Prosa - SURAT CINTAKU Karya : Mohammad As'adi



SURAT CINTAKU 1
Dalam Serenada Kelabu


Gunung , perbukitan dan ilalang
Awan beringsut bergelombang
Kabut bertebaran menggenang
Angin membawa serta
Aroma rerumputan rambut ikalmu

Ketika hujan reda
Malam sudah larut
Gigil terasa menghanyut
Yang datang nestapa

Aroma melati menebar dari hutan biru
Cinta mendayung rindu
Aroma melati datang dari segala penjuru
Bunga melati bertebaran di ranjang pengantin

Aku bangkit dari tempat tidur
-dimana engkau kekasihku ?

***
Aroma rerumputan sehabis hujan
Dan angin yang mendesis
Berbayang tawamu
:bawalah aku sekali-kali ke gunung
Katamu

-kau pasti rindu vanda merah muda bukan ?

:vanda merah muda ya vanda merah muda
Saat cintaku bersemi bunga itu hadir selalu
Setiapkali ke gunung, kau selalu bawakan satu
Hingga berpuluh jumlahya

Aroma rerumputan sehabis hujan
Menelisik alur kenangan
Cinta bersemi cinta bermekaran
Tak ada habisnya air mata menggenang
Tak ada habisnya gelak tawa mengembang
Mencintamu adalah bahagia dan nestapa
Karena bersemayam di kalbu
Dan harus ada ketiadaan

-kau jangan pergi
Karena angin acapkali begitu mengigilkan
Katamu seperti tengah merenda ketakutan

Malam sudah demikian larut
Ada sedikit cahaya bulan
Di langit makin berawan
Udara hampa lahir dari sanubariku
Menjelma angin
Menggugurkan satu persatu kelopak melati

:bunga melati bunga pengantin kita

-aku selalu bawakan seperti Vanda yang kau suka

:bunga melati kesucian cinta kita
bawakan aku selalu
Biar malam-malam kita
Selalu di ranjang pengantin
Bunga vanda merah muda
Bawakan aku selalu
Biar ranjang pengantin
Memberikan kelembutan selalu

- Aku selalu bilang padamu bukan ?
Ketika aku ucap janji pengantinku
aku mulai menanam sebutir benih cintaku
barangkali setahun, sepuluh tahun bahkan seribu tahun
kemudian kita menuai sambil menikmati kerentaan
duduk-duduk di setiap ambang senja

Malam demikian larut
Separoh jiwa menggenapkan kesendirian
-Angin jangan kau singkap selimut isteriku
Karena ia akan menggigil

Suamimu
Temanggung, 14 Januari 2020




SURAT CINTAKU 2

Kau datang seperti berjuta embun, ketika hari-hari tak mampu kulewati
Ketika kebimbangan berdiri dipersimpangan jalan. Kau ulurkan tangan, kau ulurkan tangan, membawaku pergi dari masa-masa tenggelam. Batas-batas sepi terlewati bersamamu, menebas kekalutan , kau membawaku dalam biduk, yang tak henti terhempas gelombang, sampai kau berdirikan aku pada tumpuan keberanian, sampai kau menautkan aku pada sebuah tiang pancang untuk melangkah mendekati pelabuhan terakhir.

Tiga puluh enam tahun lalu, kau tebarkan benih-benih kehidupan, bersama cintaku terpaut, melewati batas-batas sunyi yang dulu begitu menakutkan. Kau tak pernah menepi dalam ketakberdayaan, kau tak pernah menepi dari kekalahan-kekalahan.
:Aku tahu kau demikian lelah, dan harus menyerah
Air mata terakhirmu kuhapus dengan kecupan-kecupan
Bersama anak-anak kita
Ketika kelelahan sampai ujung kehidupanmu
:itulah tanda cinta kami melepasmu pulang

Tiga puluh enam tahun lalu, kau seperti pelangi.Di sepanjang jalan kita, menebarkan warna warni di langit. Setiap senja, bayangmu menari-nari selalu, menghiasi angkasa raya bersama bermiliar bintang, suaranya bagai dawai biola anak kita. Liukannya bagai garis-garis estetika dipermukaan kanvas kehidupan anak-anak kita, buah yang jatuh dari pasang surutnya gelombang.

Aku tidak tahu siapakah yang mengutusmu datang padaku? Sebelumnya laut , angin dan gunung tak pernah mengabariku, tapi kau hadir merengkuhku. Kau hadir membuat aku memiliki keberanian mengayuh biduk naik turun di atas pasang surut gelombang. Dan cinta membuat aku tersedu, cinta membuatku jadi pengelana sunyi…ada ketakutan cinta menorehkan sajak-sajak kenangan , menorehkan sajak luka dan kata perpisahan.

: ketakutan memuncak ketika kupandang kedua bola matamu
Sebelum terpejam menggenangkan air mata . Kesedihan ataukah
kau tengah menunjukkan kasihmu pada anak-anak ? Ataukah kau
tengah menujukkan kebahagiaan bertemu dengan kekasih sejatimu?

Pagi ini, sunyi menghadirkanmu. Terasa bertahun tak bersua. Kau datang seperti tiga puluh enam tahun lalu, dengan cahaya mata yang teduh
: hapuslah air matamu
Katamu sambil membelai rambutku, seperti ketika kau belai pada waktu terakhirmu, aku memandangmu tanpa kata, kau membelai tanpa kata. Dingin yang menggigit ruang isolasi membuat aku dan anak-anak kita tak mampu mengucap sepatah kata, huruf alif sekalipun. Dan sebuah episode kehidupan berlaku, kau beringsut beranjak pulang.
Pagi ini aku kembali menulis surat padamu. Tulisan seorang lelaki kisut yang berlumur bayangan-bayangan hitam. Ada aroma melati dan kamboja, harumnya menebar pada sisa-sisa waktu yang terus menelanku.
: kau ajarkan padaku, hidup penuh senyuman dan kau baluri tubuh serta jiwaku dengan doa-doa yang begitu lama tak pernah kubaca. Di padang Arafah kau dekap aku dengan cintamu pada Nya. Harum tubuhmu di ujung hidungku selalu, seperti tengah membuka pintu ruang bercahaya. Disana ada sungai dan buah yang kau tanam setiap pertiga malammu.

-Suamimu- Januari 2020
Temanggung




SURAT CINTAKU 3
Rumah Sunyi


Rumah sunyi tak pernah sunyi karena kehadiran rindu
Kejujuran jejak setiap waktu berdetak menimang kenangan
Wahai perempuan sunyi –kau tengah mendayung dalam penantian
sebuah hari dimana aku juga ada disitu-

Di sebuah dermaga, aku bagai di sebuah dermaga tak berpenghuni
Hanya prasasati-prasasti yang menandai kita pernah bersama
Membacanya, aku seperti mendayung banyak peristiwa di setiap musim
-Aku ingin mengeja hari dengan cintamu, aku ingin menuliskan kalam-kalam
Di semesta, cintaku padamu , cintaku pada setiap orang untuk
menyembuhkan luka jiwa. Musim akan mencatatnya- katamu suatu ketika

Anggun memesona, merajut rindu, kau melepas senja
Dengan wajah menyungging seulas senyum meniti takdir Nya
Kembali kerumahmu. Beristirah panjang
Adakah kesunyian membelenggu rumahmu ?
Disini, rumah kita ada keretakan jiwa lelakimu

Rumah sunyi tak pernah sunyi
Dinding-dindingnya tak henti menyairkan catatan-catatan
Tentang gemercik pancuran setiap pertiga malam
suara percintaan sukma dengan semesta
tentang sedu sedan pengembaraan dalam sunyi
hingga engkau hanyut
hanyut dalam isak serta kata terbata kalam-kalam suci

Cinta mu setiap pertiga malam menjelmakan Rabi'ah al Adawiyah
pada jiwa gemetaran
aku jadi ingat setiap petiga malam di Aziziyah
mununggu penghambaan sempurna kita
kau tak henti…tak henti terbangkan sukma ke padang Arafah
:Jangan bersedih sayang kita akan kembali kesana bersama anak-anak
katamu

Semula aku berharap
semburat merah setiap pagi sebagai pertanda
kehidupan kita masih panjang
Tapi kita harus meniti kenyataan
Sebagai sebuah hakekat
Bahwa kita sebenarnya
Hanyalah-tak lebih sezarrah debu-
Tak mampu menunda
Seperseribu detik sekalipun
Datangnya waktu yang telah ditentukan

Rumah sunyi tak pernah sunyi
Karena ada monumen-monumen yang bicara selalu
-semalam aku teteskan air mata cintaku di altar masjid
La Tahzan..La Tahzan..
aku berdzikir selalu seperti kau minta,
Seperti ketika setiapkali kepalaku menyentuh tubuhmu
Menjelang hari-hari menuju sepi

Aku tak menyangka, genggaman-genggaman erat jemarimu
Menandai sebuah perpisahan panjang
Ketika itu darahmu masih demikian hangat sayang....
setiap huruf yang terucap mengalirkan kehangatan cinta
- kita memang begitu rapuh tapi tak boleh mudah roboh- kataku
Tapi hanya sekejap tarikan nafas terakhirmu
Membuat hatiku tidak berada di tempatnya

(surat ketiga ini aku tulis bukan untuk meratapi kepulanganmu
Namun hanya untuk menandai bahwa rumah kita
Adalah sebuah pelabuhan kecil tempat kita berlabuh sementara
sebelum semua kita tinggalkan menuju pelabuhan abadi-
Rinduku dan anak-anakmu selalu untuk mu)

Suamimu
Temanggung, 8 Januari 2020




SURAT CINTAKU 4

-Kehilangan seseorang
memang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata
Ia adalah dinding kekuatan bagiku
dan anak-anak kami, itulah alasannya
kenapa kami bisa tersenyum-

****

Seperti cahaya kunang-kunang menerabas hujan
Kau datang, suaranya selembut kepak sayap-sayapnya
Cintamu sehalus kabut sehabis hujan
Selembut ketulusan jiwa mengurai kekusutan

Demi melihat kebahagiaan orang-orang yang kita cintai
Cinta bukanlah apa-apa
Cinta adalah perjuangan tak berujung tanpa kelelahan
Ia adalah sepasang mata demikian lembut
Bercahaya mengajarkan harapan-harapan

Dengan keluar dari jasadmu
Kau menemukan kau yang sejati
Meniti hari tanpa kelelahan
Meninggalkan sebuah monumen kecil
Yang bertuliskan banyak hal
Setiapkali aku mengeja
aku berdzikir
Setiapkali berdzikir
Terkuncilah hatiku
Dan kaulah pengunci jiwaku

‘’Aku ingin mengajarkan pada anak-anak
Sebuah kehidupan’’ katamu suatu hari

Rentang waktu
kita dalam rentang waktu yang sama
kau menemukan cintamu bersama Rumi dan Rabi’ah
selaksa beban tertuang dalam hasrat rindumu
tak henti, tak henti menjelmakan waktu
dalam sedu sedan menautkan percintaan semesta

‘’Cintaku padamu karena cintaku pada Nya
kuingin Allah memberikan cinta padaku
bagi yang menyintai Nya
aku selalu minta
cintaku jatuh pada orang yang menyintai Nya
Kau telah memberikan cinta sejatimu padaku dan anak anak kita
Aku hanya berusaha mencari kunci pembuka kebahagiaan
yang kau hantarkan pada kami''

Membaca catatan-catatan cintamu
Semakin dalam perkabungan menikam-nikam
:Ya Rabb, aku alpa memberikannya

Terasa tanganmu mengusap rambutku yang mulai beruban
Kehangatan mengalir keseluruh nadi
kesiaan menjadi berbilang-bilang
Dan aku tertegun diam lepas dari pijakan
Ketika kau mengulang kembali
-membelai rambut dan wajahku
Dalam sebuah tatapan
beberapa menit sebelum perpisahan panjang-

Dan aku tulis surat ini
Saat pagi berselaput kabut dan gigil
Dalam usapan lembut suara ketulusan
Serenada putih kesepian hatiku
ketika fajar lewat

Suamimu
Temanggung, 13 Januari 2020




SURAT CINTAKU 5
Prosa Perkabungan Hati


Daun-daun kembali luruh, ilalang dan rerumputan terisak kehilangan embun aku menjelajah hari-hari pisau, menunggumu di beranda rumah, sepi yang gelisah tak juga menepi. Angin membuka jendela carakwala : Hari ini aku menunggumu, ingin bersamamu berbincang tentang laut dan gunung

-Jangan kau dekap nestapa, jiwamu yang retak kembalilah menguntai keindahan, antara duka, kesenyapan dan rindu— seperti ada suara berdesir di kedua telingaku

‘’Wahai angin dan sepi, jangan pernah menghempaskan aku ke lorong-lorong yang lebih gelap, beri kehangatan aku, dengan kalimat-kalimat mendebarkan- hari-hari makin menusuk hatiku yang ingin menjadi sungai, mengalirkan air dingin, menyanyikan gemercik antara bebatuan dan rerumputan, menebarkan aroma melati dengan kesejukan embun’’

Aku mulai penat, mendamba harapan tak pernah datang. –ah masih saja terdengar gemersik daun-daun luruh, masih terdengar burung-burung mengepakkan sayapnya : pertanda ini kali masih ada kehidupan.

‘’Engkau datang dengan mendekap gigilmu yang pasrah. Terbuai aku dalam mimpiku bersama gunung berkabut musim badai . Ini jiwa telah koyak – Sampaikah bisikku padamu atau lenyap dihempas angin dan lepas mendaki puncak gunung ?

Waktu mesti kita dekap selalu, membawa kita terus menapaki hari yang melaju. Aku tiba-tiba teringat sebuah kalimat yang kau tujukan padaku : Aku ingin membacakan sajak-sajakmu sambil menikmati lukisan-lukisan indahmu. Aku ingin menikmati satu lagu buah renungan anak kita, aku ingin..aku ingin bersamamu, bersama anak-anak kita mengalir dalam kehidupan yang aman dan sentosa.

-Aha …badai datang dari gunung, badai datang dari samodra, badai datang dari semesta, kau bakal terseret ketika luka terus menjadi luka, nestapa jadi nestapa,’’ kembali angin menerkamku dengan kalimat-kalimat sunyiku.


‘’Aku rindu laut, aku rindu gunung dan padang ilalang, aku rindu melewatkan sisa waktu bersama aroma pegunungan, berlarian mengenang masa belia, lalu mengenang masa-masa ketika ranjang pengantin berderit selalu bersama nafas kami menuliskan sajak-sajak cinta’’

- Ini musim badai, bukankah di pelabuhan kecilmu kau telah membangun ketenangan dan hampamu telah kau sirnakan dengan sepasang mata perempuan? Dan perempuanmu telah menepati janji melewatkan waktu menitiskan kehidupan —

‘’ Badai menyeretku ke pusaran tak bermakna, hati yang bergolak tertikam diam. Sisa-sisa masa purba kembali mendidih: kalau saja aku seorang kelasi, aku ingin kembali melaut, berlayar di atas gelombang. Lalu berhenti sejenak di pulau-pulau tak bernama. Mereguk gelisah lalu aku tuangkan dalam sajak-sajak, lalu kuberikan pada semua hati yang gundah’’

- Kau adalah pecundang dan penghianat terbesar, jiwa yang gelisah kau hianati dan ketika ketenangan telah kau genggam dan tergoncang kini kau ingin tinggal pergi pula, –

‘’Aha..badai gunung kau tak mengerti betapa jiwa gelisah adalah nafas dan darah para penyair, ketenangan hanyalah akan memburaikan impian dan menikam waktuku dengan jutaan pisau, ia akan lebih pedih. Dalam jiwa yang goncang ada ketenangan, di dalam jiwa yang goncang ada kepedihan di dalam jiwa yang goncang ada kebahagiaan. Wahai badai gunungku bawa aku pergi…bawa ke benua-benua tak bernama, ini rindu terus bergelayutan…bawalah serta jiwa tersiksaku.’’

-Kau akan kalah-

‘’Sebelum menapaki jalan menuju kemenangan dan mencapai puncak kemenangan, gelisah adalah jalan yang harus kutempuh. Ia akan merobek, Ia akan menikam dan ia pula yang akan memberikan seorang nakhoda bagiku buat melaut untuk melawan engkau….’’

-Jiwa mu telah pecah, itu adalah impian seorang kelasi yang tak lagi punya harapan, mimpimu akan karam, perahumu akan kandas,—

‘’Lihat wajahku yang penuh bilur, raba dadaku yang terus berdegup,itu adalah lukaku, aku siap arungi samodra.’’

-Aku siap habisi kau dengan derita—

Angin semilir, membuyarkan kedatangan badai gunung sore ini. Ah.. engkau datang, engkau datang dengan kata yang menyeretku untuk kembali melayari lautan tak bersuara: impian menyeretku makin jauh ke ceruk paling dalam.-Dimana engkau wahai kekasih hatiku? Di lautankah, di gunung atau di ceruk hatiku ?

(tulisan ini sebagai surat cintaku yang kesekian kalinya untukmu. Semoga engkau bahagia bersama kekasih hatimu sayang )

Suamimu
Temanggung, 15 Januari 2020




SURAT CINTAKU 6
Mendayung Doa-doa


Berkali-kali aku baca , berkali-kali aku baca
Arrahman, Alkahfi , Yasin dan attaubah
pagi dan malam
Di ranjang pengantin kita di ruang senyap
Lalu susul menyusul : Alfatihah

Berpuluh, beratus kali
Dalam air mata berharap
dalam remasan jari jemari mu
dalam tatapanmu yang menikam selalu
hingga terucap doa
-Allaahummaghfirlahaa, warhamhaa, wa ‘aafihaa, wa’fu ‘anhaa,…-

Surat terakhir kubaca di hari perkabungan selepas subuh
: Arrahman
Setiap membaca fa bi`ayyi ala`i rabbikuma tukadziban
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)
Berulang kehangatan seperti sungai mengaliri wajahku
Dan jatuh di tubuh lemahmu
-kau tahu, hatiku tak lagi di tempatku
Ingin rasanya jiwaku bersatu dengan jiwamu
Mengarungi samodra keindahan
Bersama yang maha pengasih
Bertahun ada kehidupan bersama cinta, rindu, dan bahagia
Lalu nikmat yang mana lagi yang bisa aku dustakan ?
Tapi redup matamu yang hendak segera melepas lelahmu
membuat seluruh nadi dan jiwaku berkunang-kunang
ketakberdayaanku menggenang
Pada detik-detik jelang keberangkatan
terlepas bersama berakhirnya tarikan nafasmu
Ya ..ya kita adalah tanah kering seperti tembikar
dan harus kembali ke tanah dan ruh kembali keasalnya

Duduk merenung bertapa menuangkan selaksa rasa
Ini hari penuh kata sajak terpanjang cinta penyair
Perih terkurung jiwamu yang lebih kuat dari jeruji besi
Dan sebagai penghalang keangkuhanku
Untuk meninggalkanmu

Mendayung doa-doa
seperti ketika kita
duduk bersanding jiwa
Di bawah matahari sore Arafah
Kita saling berkata dan mengaca diri
: kau tuntun aku membaca baris-baris
doa sepanjang sore itu
jiwaku seperti kau peluk dalam jiwamu
tak tertahankan berbutir air mata jatuh

-banyak hal bisa kita tahankan,
Tapi di tanah haram segalanya tumpah
Mengalir bersama berjuta jiwa pasrah
di Padang berbatu
lalu menyusur Muzdalifah
Mina hingga Masjidil Haram
Seperti yang lain
tak henti mengalirkan puisi-puisi cinta
Penuh harap dan kerinduan
Berarak dengan tubuh hanya berbalut ihram
Lalu kau genggam jiwaku
Berayun pada beribu kenangan

Jiwa kami terus berpelukan
kami menakar dan menimbang
Lalu mendayung doa-doa
: Ya Raab sucikan kembali kami

Mendayung doa-doa
Jiwa menjelma jadi ruang tak berpenghuni
Ya Raab….katakan sekali lagi
: fa bi`ayyi ala`i rabbikuma tukadziban

(suratku akan terus mengalir sayang
Kusimpan dalam diamku
Kusimpan di luasnya cakrawala
Dan di hati anak-anak kita )

Temanggung, 15 Januari 2020
Suamimu




SURAT CINTAKU 7
Rumah Kita


(Jangan menangis, Aduhai kenapa pergi! Dalam pemakamanku bagiku, ini lah pertemuan yang bahagia!)
-Jalaluddin Rumi –


Rumah kita pada bukit-bukit, ada sungai-sungai
Di hadapannya hijauan dan bebatuan menjulang
Demikian lama kita merenda benang-benang percintaan
Demikian lama kita melayari kehangatan
:tak kusangka mendadak dinding –dinding rumah kita terluka
Tiang-tiangnya jadi rapuh. Hilang separoh jiwa
Menggigil tak henti-henti

Rumah kita, hamparan karpet dan lukisan-lukisan
Pada setiap hujan yang runtuh, jelmakan riuh sunyi
Bersaksi atas nama perkabungan
Senyumanmu kau susun bertahun
Dalam bongkahan bongkahan embun
Sebelum siang mencuri rindu dari lukaku

:ijinkan sayang ijinkan hati dalam perkabungan
Rumah kita bersaksi dalam setiap bayangan
Rumah kita adalah huruf-huruf kelu
menghabiskan waktuku
Menghamba pada kehampaan absolut
Seperti tinggal dalam buaian pekatnya mendung
menanti hujan menjadi derai air mata

-Ya Rahman....Ya Rahim....pancarkan mata air. Ya Latif...Ya Latif......hembuskan angin lembut melalui lembah-lembah dan bukit-bukit bersama harumnya bunga rumput dan aroma dedaunan.-

--Apa yang kau urai dengan air matamu? Apa yang kau gantang dengan kepedihanmu? – katamu dalam bayangan kabut pagi

:Disini ada ngungun berkepanjangan, hujan seperti air mata
gunung yang mengiliri sungai-sungai, aku ingin hanyut
bersamanya
Hanyut sampai lautan, berdebur bersama ombak dan angin
Mengejarmu, menyeret dan membawa pergi jauh

--Kau masih saja membuat retak hidupmu tenggelam, kau masih saja berlumuran kerinduan mengurai gumpalan-gumpalan kabut. Tidurlah dengan sapuan semilir angin, hangat dalam pelukanku, aku selalu di sisimu di ranjang pengantin kita …aku masih ada di sisimu sayang –katamu melalui kisi-kisi jendela

Pada senyap rumah kita yang tak mau pergi
senja selalu memburuku dengan gelap dan gigil.
Aku tak mampu menepi
Inilah tempatku membuang sauh.
Unggun di rumah kita- tertimbun sajak
Perlahan api padam bersama luruhnya daun
Sepertinya aku mulai kedinginan
Matahari selalu demikian cepat meninggalkan senja
Rumah kita jadi persembunyian perkabungan panjang
-ijinkan aku terus tinggal sementara disini
Sampai tiba waktunya berkemas untuk pulang
Dan menunggu anak-anak menyapa rinduku

Rumah kita senjakala waktu
entah terbang kemana,entah terbang kemana
aku tersesat tak dapat mengepakkan sayap
Lalu terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan
Tidak ! aku tidak segera lari dari kepahitan
Hanya ingin melepas ketaksadaran diri
kemudian membiarkan keindahan Nya menjelma
dalam seluruh waktuku sambil mencari jalan
untuk berlutut mencium selalu gamis Nya-

(tak henti surat-surat cintaku mengalir
Padamu…hanya padamu )

Suamimu
Temanggung, 16 Januari 2020




SURAT CINTAKU 8
Terpatah-Patah Sayapku


Pada sebuah pagi, di depan mihrab
Di rakaat kedua
Suara imam tua membuat dadaku bergetar:
Alhaakumut takatzur…… khatta zurtumul maqaabir

-Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
sampai kamu masuk ke dalam kubur-

Hingga akhir kalam jiwaku terseok
Dalam rukuk dan sujud
Hingga akhir rakaat
Tak juga kudapat puisi
Tak juga kudapat diriku
Di sisa embun hanya kata-kata menyebar
Ingin kutangkap huruf-huruf
Dan menjadikan sebuah kisah

Pada subuh kesekian kalinya,
aku terbata-bata
Pada subuh kesekian kalinya
Engkau patahkan sayapku satu persatu
Untuk kesekian kalinya aku takzimkan jiwa ku
Air mataku adalah kesumatku
pada hati yang selalu merasa terkoyak

-Jiwaku tak henti-henti teremas….Ya Rabb ….ya Rabb…..hentikan ketakberdayaanku dengan bergumpal-gumpal rindu
rindu menghamba, rindu memahami kata-kata Mu
rindu memahami apa yang tengah Engkau berlakukan pada sisa waktuku—

Setiap subuh, aku selalu mengais harapan
Di hadapan Mu kadang air mataku, menderas seperti ketika aku bertamu
Di rumah Mu, di Arafah dan Mina
Pada setiap pagi selepas semburat merah matahari
Sepasang mata yang menghiasi seraut wajah
Untuk kesekian kali menghujam jantungku
:Engkau kekasih hatiku, api yang selalu menyalakan lentera
Menerangi setiap kali kegelapan menyelimuti jiwaku
Engkau kekasih hatiku yang tak henti menggantikan
sayap-sayapku yang patah.
Engkau kekasih hatiku yang tak henti menaburkan embun,
bagai beribu syair para pujangga, mengisi jiwa semesta
Engkau kekasih hatiku yang selalu merebahkan aku
Meniupkan angin gunung, menggerakkan bunga-bunga
dan membawa semerbak wanginya ke seluruh semesta
Membangunkan raga yang makin tak berjiwa
Engkau mengajarkan aku tentang hidup sederhana
Dan cinta bersahaja

Setiap selepas dhuha
Sunyi terasa menyayat
Seperti Dhuha terakhirmu
Sebelum kau menuju pergulatan
Antara ingin melepas kerinduanmu pada Nya
Dan tetap tinggal bersama ku dan anak-anak
-- Aku menyintaimu sayang
Aku sediakan satu ruang kosong untukmu
untuk duduk-duduk bersamaku
Ketika rindu memuncak-

Kudengar lagi bisikmu yang acapkali mematahkan sayap-sayapku
: Cintai aku jangan melebihi cintamu pada Nya
Hidup jangan melebihi takaran
Alhaakumut takatzur… khatta zurtumul maqaabir
Kau mengingatkanku berkali-kali

Suamimu
Temanggung, 20 januari 2020




SURAT CINTAKU 9
Dendang Asmara


1.
-Kutulis surat ini sambil rebahkan jiwa berserah
Kutulis surat karena suatu hari
Kau pernah bilang ingin membacakan sajak-sajakku-

Kubiarkan angin dan cahaya memilikimu
Kubiarkan semesta mendekapmu
Gelisah membuncah, menjelma larut malam
: Kau adalah sunyi hatiku
Kau adalah getaran jiwa semesta dan nyanyian rindu ku

Kutulis surat ini sambil kutikam sunyiku
Kubiarkan angin dan cahaya menjamahmu
: Kau adalah dukaku dalam nyanyian cinta yang panjang
Kau adalah nafasku dan urat nadi semestaku
Kau adalah penggetar langit dan bumi ketika kuucap janji
--pernikahan agung—

Kutulis surat ini ketika sunyi kembali menyergap
: Kau adalah rumah tinggalku yang memesona
Kau adalah tautan retak jiwa dan batinku
Kau adalah air mataku dalam tautan janji
Dan kau adalah samodra puisi

Kutulis surat ini
Karena kau dan aku tertaut dalam sebuah perjanjian suci
: Kau adalah kehidupan semerbak
Membawa tinggal di rumah impian
Berdendang asmara
lewat remang dan cahaya bulan yang alpa waktu
kita persembahkan cinta kita di atas altar berbalut sutera

****

2.

Di antara batu-batu hening
Seberkas sinar menembus rimbun dedaunan
Karena angin bercakap
Kemudian jatuh sehelai demi sehelai
Cahayapun pecah, -dimana kita ?-

Pada kuncup mawar, masih tersisa embun
Daun-daunnya kadang bergetar
: Kau dengarkah tetes embun jatuh
menyentuh rerumputan wahai engkau yang terkasih?
ia begitu lembut, selembut nafasku
yang meniupkan butir-butir puisi —

Awan dan langit setiap pagi
Seperti tak ada yang berkata-kata
Terasa begitu menggigit
Ruang-ruang kosong, angin pun mendadak membisu
Rintihan hati mengalir
Mendesak dada gemetar
: Kusampaikan desah laraku dengan lirih
agar engkau tak lagi mendengar
sampai alpa waktu dan kulupakan wajahku

*****

3.

Dengan mata remangku
Kusapu birunya langit
Paruh gagak menegak
Menikam matahari

Sejuta luka
Menguras beningnya cakrawala
--kenapa kau masih saja bersedih ?—
kata angin berdesir

:berderet kata kusempurnakan
Sebagai sajak terpanjangku
Untuk mewartakan
Bening cinta kepada semesta
Terbang kelangit tinggi

biarkan sajak-sajakku berburu kunang kunang
Di malam-malam ku tak bersuara
Untuknya kupersembahkan
Cahaya-cahaya kecil
Agar melihat wajahnya selalu

Dengan mata remangku
Kuhela angin untuk menepikan samodra kabut
: Ketika cahaya bersemburat
Tampak puing-puing berserak
Bersama kekalutan begitu mendebarkan

--baluri nestapa dengan ketetapan yang berlaku
Kau telah melewati rentang waktu
Bersama ukiran-ukiran berkisah
Tentang sebuah persekutuan suci-
Katamu sambil pergi meninggalkan gigil

****

4.

Setiap aku pulang dan menutup pintu
Mengemas cintaku yang melaut
Kusimpan rapat sambil menunggu waktu
Dalam kebimbangan mendekap hari beku

Lelah mataku menggenggam hati
:ah aku sempat pergi
Bersama jiwa runtuh
menebang cintaku
Dengan mimpi awan berarak
Angin lembut dan kebun bunga

Setiap aku pulang dan menutup pintu rapat-rapat
Di luar, seperti ada suara kaki-kaki terayun
Menapaki beranda menjelma bayangan sosok tak pernah lelah

Bersama suara daun bergesekan menebarkan penat
bayangan itu seperti masih enggan meninggalkan mimpinya
Ingin menyebrangi tepi-tepi waktunya
mengikuti jejak-jejak hati tertinggal


Setiap aku pulang dan menutup pintu
bersama daun jambu bercakap bisu
hanyut aku…hanyut dalam waktu
tak tahu kemana harus berlabuh
merebahkan kepasrahan atas keinginan menggapai hati
-Masihkah aku hanya debu tersapu angin
Sambil menghirup aroma cinta yang pergi ?-

Aku pulang dan menutup pintu
Berkata-kata sendiri
‘’Kususuri jalanku di bawah langit tak bertepi
Menapakkan telapak kaki yang pecah di atas bongkahan batu tersengat
Berdiri dibibir jurang, menatap matahari mengepakkan sayap
terbang bersama Icarus mengitari dinding matahari,
lalu membiarkan tubuh terbakar, jatuh berkeping dan sunyi…
---Bawalah aku terbang, bawalah aku pergi,
kan kubakar jiwa dan batinku di jalan paling sunyi—

Aku bersama daun jambu yang bisu
Menutup pintu
Menepi dari lintasan waktu
: hanya engkau
Yang ingin kuteguk
Hanya engkau
Aku menuggu dibalik pintu selalu

****

5.

Memang, ketika kita terjerat dalam ketiak sepasukan diam
Tak lagi mengerti –Kenapa sekelebat cahaya menjelma pisau
Berkilat dan menikam-nikam cakrawala-

Ketika senyumanmu hadir lagi
aku seperti tak mampu bangkit
Mewartakan gegap gempita hati lusuh
Lalu menghunus lembing tembaga

Lambung malam-malamku berdarah
membasah luka tak kunjung mengering
jiwa resah,gempita rindu makin tak bertuan
:kaulah sunyiku mengembang
kaulah rebana nestapaku tembang

****

6.

Sudah kututup pintu
Tapi kau selalu datang mengendap-endap
Tangan kananmu membawa sekelebat cahaya

Salam tabik kuucap
kau mau menemaniku lagi ?

Sunyi yang begitu pendiam
Mengantarku sampai hari samar
Menari dalam keterasingan pengelana
Untuk meneguk cinta memar

Rindu ketenangan yang senyap:
Cintaku terukir di batang duri-duri mawar
Setiap saat membuat jemariku berdarah

Cintaku terukir diurat-urat daun
Setiapkali tersiram embun
Menebarkan kehalusan dan keharuman semesta

Cintaku sekelebat bayang
Mengeja luka di arsy yang bergetar
Ketika musim cintaku bersemi
Kembali memaknai
Sekalimat janji ketika benih pertamakali kutabur

Rindu seperti makin menepikan
Nafas dan binar mataku dalam pencarian
Dimana aku mesti menunggu ?

Semilir angin mendung
Bergelayut selalu
di pundakku yang kelu
: Ya rabb…hatiku masih menangis

****
7.

Nestapamu ingin kurengkuh hari ini dengan nestapaku
Sambil mengenang ketika pertamakali kutaburkan benih
Mengawali perjalanan cinta kita yang haru

Waktu dan musim, menggerakkan jiwa
Mendebarkan dalam nyanyian petaka, kesumat dan cinta yang meronta
Diantara sungai-sungai yang mengalir ditubuh kita
Sejuta nafas nista kita, adalah nadi kehidupan

Ketidakpercayaan adalah masa bergerak
Menuju kesiaan abadi,
Hati yang batu adalah kematian sempurna
Menggoreskan luka di atas kanvas kebencian

Nestapamu….
Nestapamu adalah tangisku
Meliukkan resahku
Air matamu adalah debaran cinta yang tersia

Nestapaku…
Nestapaku adalah belati
Yang menusuk gelisah cintaku
Yang tersiakan menjadi sunyi

Hari ini kuarungi samodra luasku
Bersama cintaku bergerak
Di belantara wajahmu
Untuk merengkuh nestapamu

Waktu telah mencabik jiwaku –wahai istriku-
Mengalirlah dalam darahku, cintamu yang tersiakan
Menikam dalam keputusasaan menepati janji
: meliuk-liuklah aku dalam ruang penuh prahara
-pesonamu wahai, belahan jiwaku tebarkan anginmu-

Kalau aku berkaca, maka berkaca-kacalah batinku
Kalau aku berkata, maka berkata-katalah rekahan hati
Dengan bulir-bulir berkilau terus mengalir diantara dua alis matamu
: Aku seperti terkapar dalam genangan air matamu
Dalam nestapaku yang makin tak tertahan
Menghina diriku sendiri

Kali ini, kutatap lagi cakrawala luasku
ada suara memanggil-manggilku
Sayup, sesayup kerinduanku rebah di dadamu
Aku rindu padamu.

*
Suamimu
Temanggung, 23 januari 2020




SURAT CINTAKU 10
Prosa Perkabungan Hati 2


Pilihan adalah sebuah tanggung jawab, seperti ketika aku memutuskan memilih ibu dari anak-anakku, seperti ketika aku memilih keindahan menjadi jalan hidupku, seperti ketika aku memilih kegelisahan menjadi jalan untuk meraih impianku, seperti ketika aku memilih penderitaan untuk meraih kebahagiaanku.

Anak-anak kita telah memilih sebuah lorong dan memegang kunci untuk membuka pintu-pintu keindahan. Mereka telah memilih kehidupannya sendiri, dengan sebuah pilihan yang menjadi impian mereka. – Aha, malam-malam begini nyanyian mulut mungil anak-anak kita masih saja terdengar menyisir lapisan hati. Impian mereka melambung jauh menembus batas cakrawala tak henti, singgah di bintang yang satu ke bintang lainnya. Ketika menukik, suara-suara itu bermain dengan aroma bunga dan rerumputan

Nyanyian mulut mungil anak-anak kita, menembus hati dan jiwa menjelma menjadi kerisauan, sebab ketika nyanyian menjadi dewasa betapa mimpi-mimpi itu terasa seperti pisau, menyayat dengan keinginan untuk selalu berjumpa.

Seperti baru kemarin, anak pertama kita, setiap sore musim pancaroba mengajakku mengejar kupu-kupu kuning , menjaringnya lalu ia berlari-lari sambil berteriak –teriak menghampiri ibunya “ Ibu-ibu aku dapat..aku dapat !’’

Lalu memberikan satu ekor dan meminta dibuatkan sebuah sangkar kecil dari ruatan bambu untuk menyimpannya “ tolong simpan supaya aku setiap hari bisa menggambarnya, aku akan tangkap lagi bersama ayah …’’ Begitu hampir setiap pagi di musim kupu-kupu.

Anak kedua kita selalu tak mau diam, ia seperti seekor tupai berekor panjang. Selalu berlarian kesana kemari, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Impiannya beterbangan ‘’ Aku ingin langit biru selalu, aku ingin langit menjadi bagian hidupku..aku ingin melukis wajah ibu disana ..agar supaya selalu terkenang’’ katanya sambil berayun di pundak ku

Dan bidadari kecil kita, bernyanyi selalu, menari sambil mengedip-ngedipkan kedua bola matanya seperti kedua bola matamu yang bersinar terang. Ia tak henti berdendang ‘’ aku ingin terbang kemana-mana, mengarungi samodra singgah dari benua satu ke benua yang lain. Hidup itu indah bukan ? Aku ingin memetik dawainya satu persatu, akan kubuat sebuah komposisi persembahan bagi ibu, ayah dan kehidupan ‘’

Begitulah ihwal kerinduanku menghentak selalu, kerinduan padamu dan anak-anak kita. ‘’Mereka mulai dewasa, kelapak sayapnya mulai kuat menembus badai dan cakrawala- katamu suatu hari menikam jantungku.

Ya..mereka mulai dewasa, mereka adalah buah yang jatuh dari kasih ibu. Kau selalu membacakan cerita setiap jelang tidur mereka, kau mengajarkan membaca alif dan seterusnya, Kau membangun impian anak-anak dengan bahasa keindahan. Kau membangun jiwa dengan keyakinan : Hidup tak boleh diam, hidup tak boleh mudah kalah.Bukankah kita lahir dari sebuah ketakberdayaan ? Dan ketakberdayaan itu tak boleh jadi sebuah dinding yang mengurung kita.

Perbicangan itu sudah begitu lama, kini menjelma ngungun yang menyergap.Perbincangan itu menjalin kekuatan bagiku dan anak-anakku. Kau seperti ibuku, bermata embun, seperti puisi penyejuk hati.

--Mereka seperti kita, milik dirinya sendiri dan semesta. Sama seperti kita, tak ada kepemilikan sejati atas segala rupa, sama seperti kita , kelak akan tersayat kerinduan – katamu
--Akan sepedih luka tersayatkah atau sesunyi puncak gunung mati ?-
--Tak ada kepedihan sepedih kalau kita meratapi kepedihan, tak ada kesunyian sesunyi ketika kita tengelam dalam kesunyian- katamu

-Ah !- Aku hanya berdesah –itu kata-katamu bertahun lalu, kata-katamu saat kita dalam sebuah perjalanan penuh goncangan. Ketika perahu kita acapkali terayun ombak. Kata-kata itu kini menusuk-nusuk malamku- ya tak ada kepedihan sepedih ketika kita meratapi kepedihan dan kau mengatakan anak-anak bakal seperti kita, suatu hari tersayat kerinduan-

Ya ya ..aku tahu , aku paham hari ini, Biar kesedihan dalam kesenyapan, biar kepahitan dalam kesenyapan...kuberikan segalanya pada kehidupan ini, isteri dan anak-anak, tak ada yang kuminta, demikian pula dengan kematian. Mereka begitu saja hadir untukku, untuk kita semua. ,

Letih terus bergelayut, antara separoh bayang rembulan. Rindu seperti ini, terus berulang pada setiap risik daun yang jatuh tak kenal musim- -kapan anak-anak pulang menjengukmu ?-

Dari kejauhan, suara kalam-kalam merayap, seperti suaramu yang tersimpan di reranting dan dedaunan kembali menggetarkan semesta : Aku begitu mengenalnya, aku begitu mengenalnya- itu adalah pertiga malammu yang selalu kau jaga.
-aku mulai ingin tersenyum sekaligus menitiskan sisa api, untuk kunyalakan kembali mengikuti irama jejak langkah jiwa bercahaya. Jiwa yang tak pernah sunyi menjalin asmara dengan raabnya.

Dalam sepi yang ngungun, kucari alam bakaku yang makin bergelayutan. Setiapkali kutatap sepasang mata mu lewat lukisan anak kita, desiran selalu menapaki seluruh nadi , aku bilang : betapa tak ada yang bisa kita miliki, kecuali hati yang terus dirundung rindu dan aku harus menunggu

Biar kesenyapan dalam kepedihan, menapaki gurat-gurat wajah kita
Tangis dan bahagia menyungai, adalah hak semesta untuk menggurui kita dan berkata : berjalanlah setapak demi setapak supaya sampai dengan rajutan-rajutan kesejatian, lalu menggumpal dalam genggaman semesta hakekat menikam jantung dengan cinta dan kerinduan yang mendebarkan

Suamimu
Temanggung, 24 Januari 2020




SURAT CINTAKU 11
Prosa Perkabungan Hati 3


‘’La Tahzan Innallaha Ma'ana..’’

Bau tanah menyengat setelah hujan tadi siang. Segundukan tanah basah menggenang tenang sebuah nyanyian tanpa kata. Tak ada sisa tebaran bunga, karena kau memang ingin tak ada tabur bunga di atas kuburmu, kau tak ingin ada segala upacara menghantarmu pulang : Doa anak-anak yang selalu kurindukan dan cintamu menjadi selimut hangat untuk menahan gigil, katamu

-Kesendirian ini telah tercipta, ia meneguk rasa kasihku. Hanya berbatas jubah tipis antara ada dan tiada. Kesendirian merenggutku kembali, lalu melontarkan pada kedalaman sebuah keinginan. Aku ingin berbincang berlama –lama denganmu-Barangkali tentang anak-anak kita, atau tentang keterbengkelaian waktu atau tentang impian-impian sebelum mengakhiri perjalanan semu kita –

Lelah, membuatku sirna dalam ruang kelabu, ingin rasanya selalu bergelayut padamu, membuang kenangan . Musim Hujan kali ini, seperti mengguyur kekeringan hati atas kalimat-kalimat yang belum terucap. Akan jadikah badai puisi, mengalirkan sungai kata yang hanya terungkap hati ?

:La Tahzan, Innallaha Ma'ana.. kau berkali-kali mengatakan itu, kau berkali-kali membisikkannya setiap kali kita berbincang sebuah perpisahan.

-Aku tahu …aku tahu, kita tidak pernah sendirian. Kalaupun ada tetes-tetes air mengaliri kedua pipiku, hanya sebagai ungkapan sendu untuk membongkar rahasia yang selalu dikumandangkan sunyi. Sunyi yang menyatukan ruhku dengan ruhmu dalam satu naungan kekuasaan semesta.-

Kegelisahan, kepenatan dan ketakberdayaan, adalah bahasa terindah untuk mengungkapkan sebuah kesadaran, betapa kita sesungguhnya tiada, ada kembali tiada. Sebagai hakikat keberadaan kita, sejatinya kita selalu ada bersama Nya.

Aku tak kan lagi mengucap kata cinta yang bermakna perjalanan berbilur,atau ia melahirkan sebuah kesedihan. ia begitu menggetarkan, waktunya terus menarikan tarian sebuah persekutuan antara sedih dan bahagia, antara pertemuan dan perpisahan. Adalah waktu yang terus menandai tarian dan getaran jiwaku – hanya untukmu dan anak-anak kita-

Karena cinta, kegelapan yang semula menakutkan menjelma bintang gemintang.Kau disini, di tempat asal kejadian, menyandarkan perahu, beristirah dalam diam . Setiap ada rindu menjelma cahaya sepurnama sepasang mata anak perempuan kita yang berbinar ingin terbang keangkasa raya – anak-anak menggamit kita dalam kesadaran berpelukan dalam persekutuan jiwa yang terus mengatakan : hati adalah segalanya, sunyi sebagai bahasa terdalam untuk selalu menggamitmu dalam diam.

Hujan yang nyaris tiada henti kali ini, menggores-nggoreskan sajak mengiris diatas makam. Seperti sebuah senandung menyusuri bayang-bayang. Suara gelisah tak menemukan jalan pulang.

Betapa kebahagiaan mencintaimu seperti sejuta kunang-kunang menari menerangi kegelapan, diantara dahan dan dedaunan yang melambai-lambaikan tangan. Karena kebahagiaan menyintaimu segenap hasrat mempertemukanku dengan risau : La tahzan…… La tahzan ! katamu

-Tidak…aku tidak bersedih karena sebuah kematian, air mataku hanya
Menandai ada kerapuhan yang harus dipahami sebagai sebuah ketentuan
untuk menyadarkan ada sebuah kekuatan tertinggi, yang setiap orang tak
mampu menghalangi-

Kita telah begitu banyak meneguk liur kehidupan
Diantara gemertak jiwa-jiwa berpetualang,
Dan kita menyisipkan Impian dan harapan pada jalan setapak
Dan kita banyak temukan air mata tercecer
Dan kita selalu bertanya kapan bisa beristirah
Merenda desau angin lirih
Dan dinginnya embun
Lalu kita berdekapan
Dengan ketenangan
Setenang malam tahajjud?
Kau telah menemukan pelabuhan terakhirmu

Hujan yang nyaris tak pernah berhenti kali ini
Di atas makam kembali mengiris,
menjelma selempeng pisau
Mengendap-endap lalu mengintai selalu-aku tak ingin berlari
Aku ingin merasakan sakit, oleh sebab sakit memberikan ruang
untuk bercermin , kemudian mematut-matut diri sampai waktuku tiba
kembali berdampingan dalam keabadian.

Melihat kau bersama angin melambai-lambaikan tangan, jiwaku menyisir urat nadimu, dengan asmara yang begitu dalam
Dan angin yang berhembus selalu. Menandai detak-detak kehidupan masih belum berhenti -Aku disini mengenang semua kesepian dan gumpalan-gumpalan asa-

Aku hanya pandai bersajak, huruf demi huruf, adalah denyut kehidupan. Ada kekuatan, keberanian dan kepasrahan, ada sakit, risau dan harapan-harapan, untuk kehidupan anak-anak kita sebagai jalan menuju hari yang kau impikan
-Teguklah senyap dari sajak-sajakku
Oleh sebab, nafasku, mimpi dan harapan-harapan itu
Bergelayutan selalu di setiap kalam
Yang bertebaran di mega-mega
Kalam yang kutulis dengan tegakan huruf-huruf lelah
dengan kerisauan asmara dan rindu mendendam
Karena begitulah ketika aku menyintai kamu

Cakrawala yang telah menegakkan dan meruntuhkan kita
Kembali menaburkan kalam senandungku, di atas makam ini
Hatiku angin, hampa menebar sukma. Dan sukma merayap. Merayap dan lenyap. Hanya bibir ku yang gemetar mengucap kalam dalam bisu menikam !

Suamimu
Temanggung, 26 Januari 2020


Prosa -
SURAT CINTAKU
Karya : Mohammad As'adi

MOHAMMAD
AS'ADI