RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Jumat, 08 Juli 2022

Kajian Sastra Syamsul Rizal (Tok Laut) - PUISI

 


PUISI

Puisi adalah alat pengungkapan pikiran, perasaan dan sebagai alat ekspresi. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi yang tidak terlepas dari empat pendekatan yakni

1. Pendekatan objektif (objective criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada karya sastra,
2. Pendekatan ekspresif (expressive criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada penulis,
3. 3.Pendekatan mimetik (mimetic criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan terhadap semesta/alam,
4. Pendekatan pragmatik (pragmatic criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada pembaca.

Pendekatan ekspresif telah dikembangkan menjadi psikologi sastra dan antropologi sastra. Oleh karena itu, secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, puisi ini adalah poetry yang erat dengan -poet dan -poem. Mengenai kata poet yang berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang mampu memasuki alam metafisis menuju alam makrifah. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Definisi puisi yang dikemukakan para penyair romantik Inggris sebagai berikut;
• Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

• Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

• Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

• Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).

• Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah, bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

UNSUR – UNSUR PUISI

Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik, bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut:

• Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.

• Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.

• Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.

• Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

• Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut:

• Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

• Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

• Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca.

• Amanat/tujuan/maksud (itention), sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

STRUKTUR FISIK PUISI

Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.

• Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

• Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

• Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

• Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang.

• Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/ meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapun macam-macam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

• Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum.
Secara etimologi kata Psikologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno Psyche dan Logos. Kata psyche berarti “jiwa, roh, atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi, psikologi secara harfiah berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa

Psikologi Sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan, sebagaimana Sosiologi Refleksi, Psikologi Sastra pun mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan.

Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh 3 pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya

Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams, 1981: 189). Informasi tentang penulis memiliki peranan yang sangat penting dalam kajian dan apresiasi sastra. Penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan (Teew, 1984: 163-165).

Pendekatan ini dititik beratkan pada eksistensi pengarang sebagai pencipta karya seni. Sejauh manakah keberhasilan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya. Karena itu, tinjauan ekspresif lebih bersifat spesifik. Dasar telaahnya adalah keberhasilan pengarang mengemukakan ide-idenya yang tinggi, ekspresi emosinya yang meluap, dan bagaimana dia mengkomposisi semuanya menjadi satu karya yang bernilai tinggi. Komposisi dan ketepatan peramuan unsur-unsur ekspresif di sini akhirnya menjadi satu unsur sentral dalam penilaian. Karya sastra yang didasari oleh kekayaan penjelmaan jiwa yang kompleks tentunya mempunyai tingkat kerumitan komposisi yang lebih tinggi dibanding dengan karya sastra yang kering dengan dasar jelmaan jiwa.

Psikologi sastra adalah suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).

Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi. Antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional, demikian menurut Darmanto Yatman (Aminuddin, 1990:93). Pengarang dan psikolog kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Keduanya mampu menangkap kejiwaan manusia secara mendalam. Perbedaannya, jika pengarang mengungkapkan temuannya dalam bentuk karya sastra, sedangkan psikolog sesuai keahliannya mengemukakan dalam bentuk formula teori-teori psikologi.

Oleh : Syamsul Rizal (Tok Laut)
Tanjungbalai,Sumatera Utara
Kamis, 11 Juli 2013

SYAMSUL RIZAL
(TOK LAUT)


Senin, 04 Juli 2022

“KIDUNG HATI AMRETA” MERAWATI MAY (Buku Puisi Sejarah Cinta Yang Panjang) Oleh : Handrawan Nadesul


   
Sahabat lawas saya Mas Irawan Massie, pernah agak ragu dulu melabel serumpunan puisi saya sebagai puisi romantik, sehubungan kompilasi puisi-puisi saya bernuansa cinta. Puisi beraroma romantik (romantic poem).

Saya mengingat-ingat kembali, membongkar khazanah puisi dunia, saya menemukan puluhan penyair dunia menulis puisi romantik. Saya tidak sendiri, dan tidak perlu bimbang apa masih layak tetap melanjutkan menulis puisi romantik. Tema romantik selalu hadir pada lintas usia.

Dimulai dengan karya-karya William Shakespeare, Pablo Neruda dengan sekitar 30 puisi cinta romantiknya, Maya Angelou, John Clare, Kahlil Gibran, Elizabeth Barret Browning, Christopher Marlowe, Oscar Wilde, Edmund Spencer, Omar Khayam, William Blake, Edgar Allan Poe, Emily Dickinson, Percy Bysshe Shelley, sampai Tu Fu, dan semua penyair dunia ini menuangkan puisi romantik dengan segala versinya, sampai pada usia sepuhnya.

Demikian pula adanya sekumpulan puisi Merawati May, yang sudah tidak remaja lagi, menuliskannya dalam buku puisi bertajuk Kidung Hati Amreta yang saya terima kemarin, lebih sebagai ungkapan sejarah cinta.

Cinta yang katakanlah multifungsi. Cinta dalam angan-angan, dalam imajinasi, dalam fantasi, cinta yang nyata, cinta yang kuyup, cinta yang meratap. Dan inilah dunia cinta May, yang terasakan miris dan getir. Melintas pula di sana cinta yang hampa, yang merajuk, yang menangguk harapan. Melimpah ruah tentang cinta. Sosok sejarah cinta seseorang.

Dalam buku puisi berkurun 4 tahunan, satu puisi tahun 2017, beberapa puisi bertitimangsa 2018, selebihnya dari 96 puisi ditulis 2021. Buku yang dipersiapkan sebagai hadiah ulang tahun perkawinan ke-21, bukan gadis ting-ting lagi.

Saya belum mengenal May sebagai individu maupun karya puisinya. Yang saya tahu banyak puisi ditampilkan di akun FB-nya. May penyair jebolan media sosial, alumni FB khususnya. Apa yang saya bisa tangkap pada buku puisi May setebal 132 halaman ini?

May menyanyikan cinta. Sudah disebut, kalau itu semua ungkapan tentang cinta. Menghayati puisi yang dijadikan judul bukunya, Kidung Hati Amreta, boleh jadi ini suara cinta yang getir, cinta yang tersedu, dan terasa perih.

May minta kita mendengarkannya ia sedang bernyanyi. Bisa jadi ada jeritan kecil di sana. Ada yang mengiris, ada permohonan selayaknya hati seorang wanita, yang peka terhadap sekitar, terhadap perasaannya sendiri, entah kepada siapa, entah untuk apa, tak selalu jelas itu semua ke mana dialamatkan.

Mengamati semua puisi May dalam buku ini, seakan tiada hari tanpa puisi. Tiada hari tanpa ungkapan cinta. Sekadar ingin memberi catatan saja untuk May, bahwa dia begitu produktif. Dalam satu hari pada 10 Agustus saja bisa 4 puisi dilahirkan.

Tidak banyak, kalau bukan langka, penyair yang sanggup melakukannya.

Menulis puisi sebanyak itu, saya menduga, berisiko terjebak menghadirkan puisi yang terlalu encer, dan kelewat longgar, mengingat idealnya puisi dilahirkan eloknya menempuh pengendapan. Bahkan belum tentu semua puisi setelah diendapkan waktu, masih dirasa laik untuk dihadirkan. Perlu butuh waktu untuk kembali ditilik. Mas Sapardi Djoko Damono melakukan itu, seingat saya.

Puisi ditulis memetik dahan membuang ranting. Bila tidak demikian, boleh jadi membawa penyair terantuk jebakan lain, saking kelewat rajin puisi ditulis. Jauh berbeda dengan prosa, sekali lagi, puisi perlu diendapkan, perlu disublimasi, dikristalisasi, kalau menginginkan puisi menyentuh pembacanya.

Dalam kodrat bersastra, ada beda antara produktif dengan kreatif, saya kira. Sebagai upaya exercises, tak salah menulis puisi lebih sering, lebih rajin. Tapi, hemat kita, tidak semua puisi hasil kerajinan berlatih, harus dipaksakan hadir. Menulis puisi tidak seinstant menulis buku harian.

Saya mengamati, secara teknis, dan berungkap, May sudah menguasai. Namun ihwal mengisinya, memilah kontennya, tidak semua selaiknya diangkat. Tidak serta-merta apa saja yang remeh temeh, laik jadi konten puisi, saya kira. Perlu rasa-pikir yang besar, yang dituangkan pada sudut yang kecil, supaya menukik, bukan menyebar sebagaimana prosa. Puisi tidak secerewet prosa.

Menulis puisi, bukan pula harus terjebak sekadar memadatkan kalimat dan memenggal-menggalkannya, melainkan memadatkan rasa-pikir yang hendak dituangkan. Perlu rasa-pikir yang lebih besar, lebih punya nilai, dibandingkan hanya untuk menulis prosa. Digigit kutu busuk, umpamanya, bisa jadi bahan prosa yang bagus, namun tidak laik untuk bahan puisi, saya kira.

Menuangkan semua apa saja yang ada dalam rasa-pikir dalam berpuisi, berisiko terjebak menuliskan hanya lirik. Prosa lirik sah saja, selama tidak kehilangan metafora. Kita tahu beberapa syarat diminta untuk mengindahkan puisi, yang membuatnya menjadi selalu elok menyentuh.

Bukan menuangkan samuderanya, melainkan ombaknya. Bukan menuangkan anginnya, melainkan rasa sejuknya. Bukan langitnya, melainkan birunya. Bukan rembulannya, melainkan nuansa purnamanya. Bukan cintanya melainkan rasa di baliknya. Begitu yang puisi minta, saya kira. May banyak menulis peristiwa, apa adanya, pemotret yang tekun.

Saya salut May begitu gigih, dan menyimpan potensi menulis puisi. Modal kepenyairannya sudah ia miliki, tinggal lebih menukik dalam menuliskan dan menuangkannya. Lebih cermat memilah oleh karena bukan apa saja rasa-pikir laik dijadikan puisi.

Puisi bukan saja butuh padat nilai, nilai yang besar, menjadi tidak indah kalau terlalu polos menuangkannya. Tanpa kekuatan metafora, pilihan kata, dan kepekaan rasa bahasa, puisi menjadi sangat telanjang, atau bukan puisi namanya.

Puisi bukan kalimat panjang yang secara struktur dikerat-kerat sehingga menyerupai sosok puisi. Ini jebakan yang berisiko menimpa penyair bila apa saja dalam rasa dan pikir dituangkan semuanya. Puisi juga harus terhindar dari maksud mendefinisikan. Puisi bukan definisi apapun.

Selamat buat May. Saya membaca, bagi May puisi sepertinya segalanya buat hidupnya. Penyair yang melanglang dan singgah ke mana saja kegiatan bersastra negeri hadir. Dalam tempo sangat singkat, May berkibar, dan May layak menjadi contoh bagaimana di tengah semarak di mana-mana ada saja yang tergerak menulis puisi, penyairnya hadir.

Salam puisi,
Handrawan Nadesul
“KIDUNG HATI AMRETA” MERAWATI MAY
Buku Puisi Sejarah Cinta Yang Panjang

HANDRAWAN
NADESUL










Ass wr wb,

Dear May,
Selamat sore. Saya kirim sekedar komentar atas bukumu KIDUNG HATI AMRETA. Semoga berkenan.

KIDUNG HATI AMRETA adalah judul buku kumpulan puisi yang ditulis Merawati May penyair dari Bengkulu.

Sesuai judulnya buku ini sebagian besar berisikan puisi-puisi yang bernada cinta. Tidak ada yang salah. Tema cinta memang sangat disukai para penyair, khususnya penyair pemula. Sebagai penyair yang produktif, May juga mencurahkan perasaannya pada puisi-puisi yang ditulisnya. Selain itu ada puisi tentang perjalanan dan anak desa yang juga merupakan tema-tema tipikal seorang penyair. Kalau saja untaian kata yang ditulis May lebih diresapi dan ditunggu beberapa waktu sebelum disampaikan puisi-puisi yang ada di buku ini akan sangat menarik. Sayangnya May kurang sabar untuk mengendapkan tulisannya sebelum disajikan. Tetapi bukan masalah utama. Perjalanan waktu dan pengalaman akan mendewasakan puisi-puisi yang mungkin akan segera hadir. Kekaguman akan tempat atau kota yang baru sekali dikunjungi juga dilukiskan lewat kata-kata indah oleh May. Akan lebih indah kalau May mempunyai waktu untuk meresapkan sebentar kekaguman tersebut sebelum dilontarkan sebagai puisi. Menulislah terus May. Dengan ketekunan menulis dan mengamati tulisan-tulisan yang telah disampaikan, karya-karyamu yang akan datang akan terasa lebih dewasa.

Prijono Tjiptoherijanto
Penyair dan Guru Besar Ilmu Ekonomi UI

Salam puisi,
Prijono T
FEB-UI
PRIJONO T