Aku termanggu di teras, pandangan nanar pada pepohonan di sekitar rumah. Entah apa penyebab mentari yang tadinya terik tiba-tiba meredup. Pikiran melayang ke sana kemari, beberapa kali aku keluar masuk rumah ingin mengambil sesuatu, tetapi lupa, bingung pada diri sendiri. Meraih kunci kontak, hanya dalam beberapa detik motor tua warisan bapak telah menyala. Namun hati urung untuk mengendarainya, kembali aku duduk di kursi bambu yang mulai keropos.
Akhirnya kaki melangkah tanpa tujuan. Tepat dipersimpangan aku berdiri bersama orang-orang yang sedang menunggu angkutan umum sesuai jurusan. Bingung hendak kemana, beberapa remaja putri terlihat berdandan centil. Busana yang mereka kenakan seakan sengaja ingin menggoda kaum adam. Aku memperhatikan satu persatu dari mereka mencuri dengar pembicaraan yang tak jauh dari mahkluk bernama laki-laki.
"Itu angkutannya," teriak seorang remaja berkaos pink, padu padan dengan rok hitam di atas lutut. Pada jarak yang tidak begitu dekat kendaraan yang dinanti terlihat.
Mereka melambaikan tangan ke arah angkutan yang melaju, dan angkutan itu menepi. Naik satu persatu, aku mengikuti tanpa tau kemana tujuan. Kebetulan belum ada penumpang selain kami maka aku bebas memilih duduk dipojokkan. Mereka tak henti-hentinya berbicara aku hanya duduk layaknya pendengar budiman. Sesekali waktu melirik pada para gadis yang masih bau kencur itu.
Angkutan terus melaju membelah jalanan menuju pusat kota, deretan ruko-ruko sepanjang jalan mengaburkan pandangan. Angin sepoi dari kaca jendela yang sedikit terbuka mengundang kantuk. Tak tertahankan lagi sejenak aku terlelap sampai kendaraan berhenti secara tiba-tiba. Aku terjaga, dan tidak ada sesuatu apa pun yang terjadi. Kendaraan kembali melaju perlahan, terasa hening. Para gadis belia mendadak bisu, mencoba memperhatikan dan mencari tau apa gerangan. Tanpa terduga mereka serentak menatap ke arahku.
"Ya Tuhan," desisku tertahan sambil mendekap mulut tak percaya, mata seketika terbelalak. Apa yang terjadi dengan mereka aku tak tau, atau kah pengelihatanku yang terganggu. Entahlah, tapi wajah mereka mendadak begitu menakutkan.
"Pinggir, Bang!"
Kompak para gadis meminta pada sopir untuk menepi membuat aku terjaga.
"Ternyata hanya mimpi," lirih aku berkata.
Seperi terhipnotis lagi-lagi aku mengikuti mereka setelah turun dari angkutan dan berjalan memasuki sebuah Mall terbesar di kota. Melangkah tanpa tujuan, mulanya aku tidak perduli pada orang-orang yang berpapasan. Namun lama-kelamaan terasa ada keanehan. Mereka mempunyai ekspresi yang nyaris sama, penuh kesedihan dan dalam ketakutan. Aku terus saja melangkah di antara bangsawan-bangsawan kota. Aroma tubuh mereka jelas punya kelas berbeda denganku, tapi entah kenapa lama-kelamaan aroma itu menusuk hidung dan berbau tak sedap. Kepala dibuat pusing, perut serasa dikocok-kocok. Ingin muntah, tetapi tidak bisa, takut dan malu sebab akan jadi tontonan. Seseorang mendekat, pandanganku mendadak kabur tidak mampu membedakan laki-laki atau perempuan kah yang dihadapan.
"Kamu baik-baik saja?" Nada suaranya terdengar prihatin.
Ia menyentuh bahuku. Aku mengangkat wajah untuk melihatnya.
"Tidak jangan mendekat," kataku sedikit takut. Ia terus maju, aku mundur untuk menghindari, dan tanpa sengaja menubruk seseorang di belakang.
"Maaf," ucapku spontan.
Orang itu hanya mengangguk, dan lagi-lagi aku terkejut. Rautnya sama seperti orang tadi, menakutkan.
"Tidak!"
Aku menjerit histeris.
Sekeliling menatap padaku, mereka satu persatu mendekat. Aku ketakutan dan ingin muntah. Mereka bau amis darah, pakaian compang-camping. Bahkan dari mereka ada yang wajahnya tidak hancur tanpa mata, hidung, dan mulut.
Seseorang mencekal pergelangan tanganku, wajahnya lebih menyeramkan dari lainnya. Ada belatung berlompatan dari luka pada mata kiri. Hidungnya pun mengeluarkan darah berbau busuk.
"Lepaskan aku!"
Meminta dan terus meronta. Orang-orang semakin ramai mendekat, rasa takut menghinggapi dan isi perutku seakan diaduk-aduk.
Entah kekuatan dari mana mendadak aku mampu melepaskan diri dari cekalan orang tersebut. Hanya satu yang terlintas dalam pikiran harus bisa menjauh. Berlari menuruni anak tangga. Mereka yang berada di eskalator memandangiku, wajah mereka sama menyeramkan dengan tubuh beraroma bangkai.
Mendadak beberapa orang mendekat menghalangi langkahku. Dalam kebingungan hanya doa menjadi senjata andalan. Tidak tahu harus bagaimana caranya terlepas dari para zombie. Ya, aku baru tersadar terjebak bersama Zombie di pusat perbelanjaan. Tiba-tiba aku merasa lantai tempat berpijak bergetar. Perut semakin mual, kepala pusing, pandangan mulai nanar. Tangan para Zombie mengapai-gapai tubuhku, kepanikan mulai melanda hanya bisa menyebut nama Tuhan berulang-ulang.
Seseorang dengan sigap menarik tanganku kami lalu berlari bersama. Tujuan adalah pintu keluar, menyempatkan diri melihat pada wajah sang penolong, ia sama sepertiku tidak mengerikan dan tidak berbau. Lalu kami berpapasan dengan beberapa orang yang juga tidak terlihat seperti Zombie. Perut bertambah mual saat bertabrakan dengan seseorang yang berwajah dipenuhi nanah dan belatung, karena kaget aku terjatuh. Namun segera bangkit dan berlari lagi, terasa ada guncangan dan nyaris terpeleset di lantai. Terpisah dari sang penolong membuat aku kebingungan, terlupa di mana letak pintu-pintu untuk sesegera mungkin dapat keluar dari tempat menakutkan ini.
Setelah berkeliling ke sana-sini, akhirnya menemukan pintu dan menghirup udara bebas. Isi perut keluar, bersamaan dengan itu sebuah suara maha dahsyat terdengar menggema dan membuat tubuh terlempar, telinga serasa berdengung. Pandangan gelap seketika dan hening tanpa suara-suara yang sempat terdengar memilukan.
Ada rasa perih di dahi, dan rasa sakit di kaki. Aku membuka mata perlahan, samar-samar terdengar suara riuh-reda dan orang-orang terlihat sibuk dengan wajah panik. Aku mengumpulkan sisa ingatan sesaat sebelum hilang kesadaran. Bangkit lalu melangkah perlahan menuju bangunan yang telah porak poranda. Burung-burung seakan berputar-putar di atas kepala, tidak mengerti pada apa yang terjadi. Tetesan darah mengaburkan pandangan mata kiri saat seseorang menghampiri.
"Syukurlah kamu selamat, Nona," katanya antusias.
"Ada apa ini?" Aku bertanya dalam ketidakmengertian.
"Bom."
Terperangah tanpa tau apa yang harus diperbuat.
"Lalu bagaimana dengan orang-orang di dalam sana?" Tak dapat kusebunyikan rasa khawatir.
Ia hanya menggeleng dan tertunduk sedih. Tak lama dua orang paramedis menghampiri. Mereka membersihkan luka disekitar wajahku tanpa berkata. Lelaki itu berniat pergi, aku mencegahnya untuk mengucap terima kasih. Kujabat erat tangannya, tapi mendadak aku melihat kilasan episode sebelum gedung ini luluh lantak. Tergambar jelas lelaki itu meletakkan sesuatu pada sudut-sudut tertentu sebelum akhirnya gedung ini porak-poranda.
"Kau ...," terhenti kata-kataku, lelaki itu menatap kosong.
"Kau salah satu dari mereka yang melakukan aksi bom," lanjutku ragu.
Pemuda seumuranku itu tersentak seketika.
"Kenapa kau lakukan, dan mengapa kau menolongku?"
"Entahlah," katanya seperti dalam kebingungan.
"Kenapa tidak kau biarkan aku mati bersama mereka?"
"Aku tidak bisa, aku berubah pikiran. Namun semua terlambat." Ia menjawab lirih dengan sesal mendalam.
"Apa penyebabnya?" Rasa penasaran menghinggapi hati.
"Kau!"
"Aku?"
"Ya, Kau. Wajahmu seperti Ibuku. Saat melihatmu hatiku seketika luluh. Aku mencoba memberi tau keamanan, tapi tidak bertemu. Sementara waktu tidak mau menunggu. Aku memilih mencarimu, agar kau tidak menjadi korban," ucapnya tertunduk sedih.
"Kau harus menyerahkan diri. Jika tidak, aku yang akan melaporkanmu." Kalimat itu meluncur begitu saja.
"Laporkanlah. Aku menunggu di sini," katamu tertunduk sedih.
Aku melangkah tanpa menghiraukanmu, mencari keamanan yang bisa segera membantu, terlupa pada kebaikanmu. Ada rasa berkecamuk dalam diri, orang-orang yang kutemui seakan tidak saling perduli. Aku terus menyusuri lokasi, hingga kaki tersandung, dan tubuh terjerembab menimpah sesosok. Segera bangkit ada ketakutan dalam diri sebab menemukan mayat. Dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran kucoba membalik tubuh yang tergeletak tak lagi bernyawa.
"Ya Tuhan!"
Aku nyaris tidak percaya.
Seketika lidah kelu tidak mampu berkata apa pun. Di hadapan yang terbaring kaku adalah lelaki yang beberapa saat lalu bebicara denganku. Tangan gemetar saat kuusap wajahnya. Ada embun di pelupuk yang akhirnya berderai menjadi rinai membasah pipi. Ntah berapa lama menangis sampai orang-orang menemukanku.
Lalu sejak hari itu tidak ada sepatah kata lagi yang terlontar dari bibir. Aku menjadi pesakit dan dianggap kekasih tersangka yang turut andil dalam aksi pengeboman.
*****TAMAT*****