RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Senin, 04 Juli 2022

“KIDUNG HATI AMRETA” MERAWATI MAY (Buku Puisi Sejarah Cinta Yang Panjang) Oleh : Handrawan Nadesul


   
Sahabat lawas saya Mas Irawan Massie, pernah agak ragu dulu melabel serumpunan puisi saya sebagai puisi romantik, sehubungan kompilasi puisi-puisi saya bernuansa cinta. Puisi beraroma romantik (romantic poem).

Saya mengingat-ingat kembali, membongkar khazanah puisi dunia, saya menemukan puluhan penyair dunia menulis puisi romantik. Saya tidak sendiri, dan tidak perlu bimbang apa masih layak tetap melanjutkan menulis puisi romantik. Tema romantik selalu hadir pada lintas usia.

Dimulai dengan karya-karya William Shakespeare, Pablo Neruda dengan sekitar 30 puisi cinta romantiknya, Maya Angelou, John Clare, Kahlil Gibran, Elizabeth Barret Browning, Christopher Marlowe, Oscar Wilde, Edmund Spencer, Omar Khayam, William Blake, Edgar Allan Poe, Emily Dickinson, Percy Bysshe Shelley, sampai Tu Fu, dan semua penyair dunia ini menuangkan puisi romantik dengan segala versinya, sampai pada usia sepuhnya.

Demikian pula adanya sekumpulan puisi Merawati May, yang sudah tidak remaja lagi, menuliskannya dalam buku puisi bertajuk Kidung Hati Amreta yang saya terima kemarin, lebih sebagai ungkapan sejarah cinta.

Cinta yang katakanlah multifungsi. Cinta dalam angan-angan, dalam imajinasi, dalam fantasi, cinta yang nyata, cinta yang kuyup, cinta yang meratap. Dan inilah dunia cinta May, yang terasakan miris dan getir. Melintas pula di sana cinta yang hampa, yang merajuk, yang menangguk harapan. Melimpah ruah tentang cinta. Sosok sejarah cinta seseorang.

Dalam buku puisi berkurun 4 tahunan, satu puisi tahun 2017, beberapa puisi bertitimangsa 2018, selebihnya dari 96 puisi ditulis 2021. Buku yang dipersiapkan sebagai hadiah ulang tahun perkawinan ke-21, bukan gadis ting-ting lagi.

Saya belum mengenal May sebagai individu maupun karya puisinya. Yang saya tahu banyak puisi ditampilkan di akun FB-nya. May penyair jebolan media sosial, alumni FB khususnya. Apa yang saya bisa tangkap pada buku puisi May setebal 132 halaman ini?

May menyanyikan cinta. Sudah disebut, kalau itu semua ungkapan tentang cinta. Menghayati puisi yang dijadikan judul bukunya, Kidung Hati Amreta, boleh jadi ini suara cinta yang getir, cinta yang tersedu, dan terasa perih.

May minta kita mendengarkannya ia sedang bernyanyi. Bisa jadi ada jeritan kecil di sana. Ada yang mengiris, ada permohonan selayaknya hati seorang wanita, yang peka terhadap sekitar, terhadap perasaannya sendiri, entah kepada siapa, entah untuk apa, tak selalu jelas itu semua ke mana dialamatkan.

Mengamati semua puisi May dalam buku ini, seakan tiada hari tanpa puisi. Tiada hari tanpa ungkapan cinta. Sekadar ingin memberi catatan saja untuk May, bahwa dia begitu produktif. Dalam satu hari pada 10 Agustus saja bisa 4 puisi dilahirkan.

Tidak banyak, kalau bukan langka, penyair yang sanggup melakukannya.

Menulis puisi sebanyak itu, saya menduga, berisiko terjebak menghadirkan puisi yang terlalu encer, dan kelewat longgar, mengingat idealnya puisi dilahirkan eloknya menempuh pengendapan. Bahkan belum tentu semua puisi setelah diendapkan waktu, masih dirasa laik untuk dihadirkan. Perlu butuh waktu untuk kembali ditilik. Mas Sapardi Djoko Damono melakukan itu, seingat saya.

Puisi ditulis memetik dahan membuang ranting. Bila tidak demikian, boleh jadi membawa penyair terantuk jebakan lain, saking kelewat rajin puisi ditulis. Jauh berbeda dengan prosa, sekali lagi, puisi perlu diendapkan, perlu disublimasi, dikristalisasi, kalau menginginkan puisi menyentuh pembacanya.

Dalam kodrat bersastra, ada beda antara produktif dengan kreatif, saya kira. Sebagai upaya exercises, tak salah menulis puisi lebih sering, lebih rajin. Tapi, hemat kita, tidak semua puisi hasil kerajinan berlatih, harus dipaksakan hadir. Menulis puisi tidak seinstant menulis buku harian.

Saya mengamati, secara teknis, dan berungkap, May sudah menguasai. Namun ihwal mengisinya, memilah kontennya, tidak semua selaiknya diangkat. Tidak serta-merta apa saja yang remeh temeh, laik jadi konten puisi, saya kira. Perlu rasa-pikir yang besar, yang dituangkan pada sudut yang kecil, supaya menukik, bukan menyebar sebagaimana prosa. Puisi tidak secerewet prosa.

Menulis puisi, bukan pula harus terjebak sekadar memadatkan kalimat dan memenggal-menggalkannya, melainkan memadatkan rasa-pikir yang hendak dituangkan. Perlu rasa-pikir yang lebih besar, lebih punya nilai, dibandingkan hanya untuk menulis prosa. Digigit kutu busuk, umpamanya, bisa jadi bahan prosa yang bagus, namun tidak laik untuk bahan puisi, saya kira.

Menuangkan semua apa saja yang ada dalam rasa-pikir dalam berpuisi, berisiko terjebak menuliskan hanya lirik. Prosa lirik sah saja, selama tidak kehilangan metafora. Kita tahu beberapa syarat diminta untuk mengindahkan puisi, yang membuatnya menjadi selalu elok menyentuh.

Bukan menuangkan samuderanya, melainkan ombaknya. Bukan menuangkan anginnya, melainkan rasa sejuknya. Bukan langitnya, melainkan birunya. Bukan rembulannya, melainkan nuansa purnamanya. Bukan cintanya melainkan rasa di baliknya. Begitu yang puisi minta, saya kira. May banyak menulis peristiwa, apa adanya, pemotret yang tekun.

Saya salut May begitu gigih, dan menyimpan potensi menulis puisi. Modal kepenyairannya sudah ia miliki, tinggal lebih menukik dalam menuliskan dan menuangkannya. Lebih cermat memilah oleh karena bukan apa saja rasa-pikir laik dijadikan puisi.

Puisi bukan saja butuh padat nilai, nilai yang besar, menjadi tidak indah kalau terlalu polos menuangkannya. Tanpa kekuatan metafora, pilihan kata, dan kepekaan rasa bahasa, puisi menjadi sangat telanjang, atau bukan puisi namanya.

Puisi bukan kalimat panjang yang secara struktur dikerat-kerat sehingga menyerupai sosok puisi. Ini jebakan yang berisiko menimpa penyair bila apa saja dalam rasa dan pikir dituangkan semuanya. Puisi juga harus terhindar dari maksud mendefinisikan. Puisi bukan definisi apapun.

Selamat buat May. Saya membaca, bagi May puisi sepertinya segalanya buat hidupnya. Penyair yang melanglang dan singgah ke mana saja kegiatan bersastra negeri hadir. Dalam tempo sangat singkat, May berkibar, dan May layak menjadi contoh bagaimana di tengah semarak di mana-mana ada saja yang tergerak menulis puisi, penyairnya hadir.

Salam puisi,
Handrawan Nadesul
“KIDUNG HATI AMRETA” MERAWATI MAY
Buku Puisi Sejarah Cinta Yang Panjang

HANDRAWAN
NADESUL










Ass wr wb,

Dear May,
Selamat sore. Saya kirim sekedar komentar atas bukumu KIDUNG HATI AMRETA. Semoga berkenan.

KIDUNG HATI AMRETA adalah judul buku kumpulan puisi yang ditulis Merawati May penyair dari Bengkulu.

Sesuai judulnya buku ini sebagian besar berisikan puisi-puisi yang bernada cinta. Tidak ada yang salah. Tema cinta memang sangat disukai para penyair, khususnya penyair pemula. Sebagai penyair yang produktif, May juga mencurahkan perasaannya pada puisi-puisi yang ditulisnya. Selain itu ada puisi tentang perjalanan dan anak desa yang juga merupakan tema-tema tipikal seorang penyair. Kalau saja untaian kata yang ditulis May lebih diresapi dan ditunggu beberapa waktu sebelum disampaikan puisi-puisi yang ada di buku ini akan sangat menarik. Sayangnya May kurang sabar untuk mengendapkan tulisannya sebelum disajikan. Tetapi bukan masalah utama. Perjalanan waktu dan pengalaman akan mendewasakan puisi-puisi yang mungkin akan segera hadir. Kekaguman akan tempat atau kota yang baru sekali dikunjungi juga dilukiskan lewat kata-kata indah oleh May. Akan lebih indah kalau May mempunyai waktu untuk meresapkan sebentar kekaguman tersebut sebelum dilontarkan sebagai puisi. Menulislah terus May. Dengan ketekunan menulis dan mengamati tulisan-tulisan yang telah disampaikan, karya-karyamu yang akan datang akan terasa lebih dewasa.

Prijono Tjiptoherijanto
Penyair dan Guru Besar Ilmu Ekonomi UI

Salam puisi,
Prijono T
FEB-UI
PRIJONO T


Tidak ada komentar:

Posting Komentar