Malam Kamis itu kami berempat akan bertandang ke rumah pacar. Sejak sore kami sudah berencana akan ngapel gadis-gadis itu di suatu kampung dengan jarak yang lumayan jauh. Agar lekas sampai, kami sepakat memotong jalan melalui jalan belakang. Melewati kebun dan sungai. Hujan rintik-rintik tak menyurutkan niat kami untuk bertemu kekasih hati.
"Motorku mogok, Wan!" seru Ali.
"Kamu lupa isi bensin paling," sahutku.
"Gak kok," sanggahnya.
Setelah menemukan masalah dan memperbaikinya, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama Edi berteriak. "Woy, rantai motorku putus!"
"Aduh apes...apes. Ada-ada aja." Aku menggerutu kesal. "Mana jalan licin banget pula."
"Sabar, demi pujaan hati," sahut Mustofa.
"Tapi aneh ya, kamu tadi kok sampe nabrak kucing. Untung gak mati." kataku.
"Aku tadi malah hampir lindes ular." Ali tak mau kalah menyahuti.
"Hemh...masih jauh lagi. Empat sungai, kita baru lewati dua sungai udah nemu macem-macem. Moga aja sampe sana selamet, ya."
Kami pun melanjutkan perjalanan melewati hutan. Anehnya kami terus berputar di tempat itu hingga 1 jam lamanya. Kami terpencar, salah satu kawanku si Ali terpisah dari rombongan. Kami mematikan mesin motor. Barulah kami tahu keberadaannya.
"Gue kesasar," kata Ali setelah kami berkumpul lagi.
"Iya, gue tahu, yo berangkat lagi."
Tiba-tiba terdengar ada suara wanita tertawa, tetapi tidak aku hiraukan. Sepertinya yang lain pun tidak mendengarnya.
"Kalian bisa ngaji, 'kan?" Rasa takut sudah mulai datang padaku.
"Ya bisalah, aneh aja lu ini, emang sekafir itu gak bisa ngaji?"
"Syukurlah, tapi saran gue jangan pisah lagi. Ya udah ayo lanjut."
"Wah, gimana ini? Lihat jalannya, turunan licin pula. Kira-kira bisa lewat nggak kita?" Wawan menghentikan sepeda motornya, lalu menunjuk jalan di depan kami.
Kembali aku mendengar suara perempuan tertawa. Kali ini salah satu temanku pun mendengarnya. Mereka mulai ketakutan, aku coba menenangkan dengan mengatakan jika itu hanya suara burung dan tidak perlu takut.
"Kita pulang aja, ya. Mana gerimis nggak berhenti lagi. Apes banget malam ini kita." Mustofa ikut mengeluh.
"Jangan pulang, setidaknya kalau kita nggak ke sana, kita mampir ke rumah Mila. Di sana kan enak bisa numpang ngopi. Lagian gue udah kenal deket sama bapaknya," kataku.
"Ya udah ayo lanjut dari pada ke sana, masih jauh mana jalan kaya gini. Huuuu b*b* doang!" Ali mengumpat kesal karena tidak jadi berjumpa dengan sang kekasih.
"Hust, jangan ngomong sembarangan, ini hutan!"
Suara tawa wanita itu semakin kencang, angin pun tiba-tiba berhembus sangat cepat hingga pepohonan ikut bergoyang.
Ternyata wanita itu ada di atas kepala kami, tertawa sambil mengayunkan kakinya di pelepah kelapa yang tersangkut di pohon randu. Semakin kami melihat, jubah dan rambutnya menjadi semakin panjang. Kami pun lari kocar-kacir dibuatnya.
Ali berlari sambil mengaji, Mustofa berteriak takbir, dan Wawan membaca doa sebelum makan.
Ali terjatuh di jalanan berlubang bekas gerobak sapi yang dipenuhi air. Tiba-tiba dia yang tadinya mengaji berubah membaca doa sebelum tidur.
"Woy, tunggu! Kok gue nggak bisa lari, tolongin gue dipegangin kunti ni!" Ali berteriak sambil terus berputar-putar mengelilingi lubang berisi air itu. Padahal tidak ada yang memeganginya. Spontan aku menarik tangannya, lalu lari secepat mungkin.
Sementara Mustofa tak kalah anehnya. Dia berlari memutari pohon kelapa sambil berteriak, "ada kunti...! Ada kunti...!" Wawan menarik tangan Amir, baru kami bisa lari menjauh.
"Gila! Kunti itu ngejar-ngejar kita, woy!" Terlihat wanita itu terus mengejar sambil tertawa di atas kami.
Dengan napas Senin Kamis, akhirnya sampai juga di perkampungan.
"Nah, motor kita gimana?"
"Biarin, mau dipake kunti kali!" sahutku masih dengan napas ngos-ngosan.
"Enak aja, biar kata motor gue suka mogok, itu motor banyak kenangannya tau!" Mustofa mengoceh tidak terima.
"Iya gue tau tuh motor pernah bawa si Runtah itu 'kan?"
"Enak aja cewek gue secantik itu lu bilang runtah. Muka lu kayak runtah!" jawabnya kesal.
"Ya udah gampang masalah motor mah diambil besok aja."
"Gak mau, pokoknya sekarang."
Dengan sangat terpaksa kami menuruti kemauan Mustofa. Namun ditemani oleh salah satu warga kampung itu, Mang Marsid. Berbekal senter kami bergegas ke sana.
Sesampainya di sana kami dibuat terheran-heran, mesin motor dalam keadaan menyala semua. Kami menjadi sedikit ragu dan takut. Tiba-tiba motor mengegas kencang sekali, spontan kami lari lagi.
Saking takutnya, Mang Marsid lari lalu memanjat pohon duku tanpa kami ketahui. Ternyata dia juga seorang penakut.
"Kok motor bisa ngegas sendiri, ya?"
"Gue yang tarik tadi," sahut Mustofa.
"Lah, kalo gitu ngapa lu ikut lari?"
"Liat lu pada lari ya gue ikut larilah."
Setelah tiba di perkampungan lagi, kami membasuh muka dan kaki. Di rumah Mang Marsid kami disuguhi kopi. Tak disangka, ternyata Mang Marsid punya anak gadis lumayan cantik.
Sambil ngopi dan memakan cemilan, kami menertawai kejadian yang baru saja dialami.
"Woy Bro, ini pengalaman bakal gue ceritain nanti kalo dah punya anak. Biar nanti anak gue kalo punya pacar jangan sama anak pelosok," kataku.
"Ya nggak papa anak pelosok. Kitanya aja yang ngapelnya malam. Coba kalo siang, aman-aman aja pastinya," Ali menimpali.
"Sebelum kalian, abis Isya ada yang lewat kebun itu pake motor. Dia ngerasa motornya itu berat banget. Nggak taunya lagi boncengin pocong," kata Mang Marsid membuat kami melongo dan saling bertatapan.
*****TAMAT*****
Cerpen –
WANITA MALAM
Penulis : Ririn Riyanti
Inspirasi by : Alsyafiq Abi
RIRIN RIYANTI |