RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Selasa, 12 Agustus 2014

Kumpulan Puisi Topan Kejora-KEKASIHKU, DIMANA DIRIMU ?


KUTULIS SURAT UNTUKMU SEWAKTU MATI LAMPU

Ini surat untukmu,
kutulis saat azan magrib tersungkur
manakala tenaga PLN semakin lesu darah.
Kau tahu,
walau begitu tetap kami rapatkan shaf
dan selalu teguh pada lima wasiat
pada sila pertamamu itu:
“Ketuhanan yang Maha Esa”.

Kau juga pasti tahu,
kini Garudamu tak segagah dulu
yang disegani para kerabat se-Asia
hingga belantara nun jauh di sana.
Kalau tak salah daku,
sewaktu alutista dan CN-25 remaja
dan serdadu kita wibawanya tiada tara
selalu siaga jaga dunia dari sengketa
dengan panji Non Blok berpayung PBB.

Tapi itu cerita dulu,
waktu orasimu selalu jadi buluhperindu
hingga kakek nenekku menjadi garang
berjuang walau dengan sebilah bambu.
Ya, memang itu cerita lalu
itu pun waktu Irian Jaya masih satu
masanya kita bergelimang harta
dan punya banyak cadangan devisa
hingga saudaraku tak perlu menjadi babu!
Seingatku, itu masa-masa seragam SD
anak dan cucumu masih baru.

Tapi tunggu,
aku punya kabar gembira buatmu!
Bahwa kami baru saja usai kenduri
gempitanya hingga ke kolong negeri
mencecah di seantero bumi.
Bahkan riuhnya kini semakin gaduh
dengan aransemen musik khas
ejek-ejek berlanggam saling tuduh.

Biasalah itu dalam album kompilasi
demokrasi dan reformasi.
Dan di negeri yang kata guruku
gemah ripah loh jinawi dan sebagainya itu
kabarnya menurut koran serta televisi
bakal melahirkan satu lagi antologi puisi
yang tak kalah merdu mendayu
dengan tajuk:
“Gurindam Rajuk Radja di MK”
nantikan saja terbit perdananya olehmu
jangan lelah kau menunggu!

Ini surat untukmu,
kutulis hingga lilin kehabisan sumbu.
Semoga saja lekas sampai di tanganmu
sebelum teks Proklamasi dibacakan.
Selanjutnya, “tau ah, GELAP!”

----------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Syawal; 1435 H.





KEKASIHKU, DI MANA DIRIMU
?

Bulan tua merendah sudah
bayangan gunung menghampiri
bisu bagai hantu.
Kekasihku, di mana dirimu?

Ah, hatiku terasa ngilu
bagaikan tertanam selumbar
manakala cahya bulan menyambar!
Kekasihku, di mana dirimu?

Kenapa tak turun saja hujan,
agar isak pedih terhumban
petir yang berkejaran!

Kuseru namamu penuh pilu.
Kuseru namamu dalam sendu.
Merindumu memedih qalbu.
Kekasihku, di mana dirimu?

Dengan dahi keemasan
pantulan dingin cahya bulan
sesosok puisi sedang merenungi
takaran kepahitan hidupnya.

-------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Syawal 1435 H.




MERDEKA DI BATAS NEGARA

Usah tanyakan siapa mereka
atau berapa banyak jumlahnya.
Pastinya mereka bukan anak tentara
dan bukan dari kalangan bocah manja.
Yang pasti kau malu dibuatnya
manakala lengkingnya menusuk angkasa
terpacak tegap dendangkan “Indonesia Raya”
dan serumpun puja gempita bangsa.

Mereka terlahir di rahim keheningan hutan
putera-puteri yang mendamba perubahan
di sepanjang detak nadi kemerdekaan.
Mereka bagai mimpi seorang pengembara
ketika melihat tepian di tengah samudera
dan selalu patuh pada nahkodanya
yang kerap bermantera tipu daya.

Usah lagi persoalkan kesetiaannya
atau kesungguhan mereka bela negara.
Pastinya mereka laksana kain perca
bukan batik sutera di istana kaca.
Yang pasti kau merinding dibuatnya
kala sorot matanya bagai kilau permata
serta hanya tahu ilmu lima sila
serta pekik satu Indonesia.

Ketika engkau mulai kehilangan segala tanda
akan sejengkal huruf yang tak terbaca
maka tanyakan pada mereka di sebalik awan
dipagari hutan bermukim di ketinggian
dimana pun ia berdiri dan kau jumpai
yakin aku jawabnya pasti
indah dan mulia:
“MERDEKA atau MATI!”

----------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Syawal; 1435 H.




KESUMBA

kesumba sukaduka
takdirnya warnai makna

kesumba seumur dunia
merdeka atau pun terlunta
berbunga dari bunganya
warnakan qalam tak berjangka

makanya kesumba berharga
jadi maka jadilah dia bernyawa

-----------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat;
Indonesia – 1435 H.




ENAM PULUH SEMBILAN TAHUN


Enam puluh sembilan tahun
jika itu usia manusia
maka langitnya berubah warna
keperakan, tak kuasa kueja rupa.
Lelaki membaca nasib tanpa kira-kira
manakala wanita merias wajahnya
hanya sebatas pada nama
sedang bayang mereka meraup doa-doa.

Enam puluh sembilan tahun
jika itu negara merdeka
pecahlah sudah selingkaran punca
warnanya mewabah ke mana-mana.
Rakyat mengulum mantera
menabung untung yang dipilih angkasa.
Raja seperti biasa menghidupi masa
bagai mematutkan angan dan cita-cita
sedang politisi dan lain sebagainya
menyambut dengan suara
serta teriakan berbusa-busa.

Enam puluh sembilan tahun
nyatanya selalu dimaknai tiada beda.
Lagunya sama, “sorak-sorai bergembira”
hingga semua acara tutup usia
di irama “tanah airku” menyayat sukma.
Mungkin agar kita selalu bertimbang nyawa
walau di cakrawala mana pun berada
tak serupa kacang lupa kulitnya.

Enam puluh sembilan tahun
sepantasnya tidak lagi mereka-reka
atau meluru sampai ke penghabisan rasa
hanya demi merayu sekerat cinta
di tanah tumpah darah kita.
Itu pun andai segenap pemimpin bangsa
paripurna berkitab bijak pada UUD 1945
serta Pancasila sebagai falsafah purba
tanpa pura-pura.

-------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Syawal; 1435 H.




TENTANG SEBUTIR NASI DI DAGUMU


Nak, demi Tuhanmu,
jangan pernah lalai mengenang
sebutir nasi di dagumu.

Kemarilah nak,
berkejuran di sisiku sebentang sayang
sambil kita melepas siang memanjang.
Sebab bebas zamanmu telah terpancang
maka baik engkau hayati kisah terang
tentang sebutir nasi di dagumu.

Dengarlah wahai kumala,
tiap tetes manis yang kau rasa
bukan semata ayah giat bekerja
serta ketulusan ibumu
menanak nasi untuk kita.
Itu karena buah redha-Nya
pun kegigihan pejuang kemerdekaan
yang demi masa angan jadi nyata
hingga ini hari membuahlah ranum
sebutir nasi di dagumu.

Nak, demi ayah dan ibu,
jangan pernah ragu
katakan itu pada anak cucumu.

---------------------------------------
Topan Wahyudi Asri,
Kalimantan Barat;
Indonesia – Syawal 1435 H.




BIAR KATANYA

Biar katanya,
aku menopang yang tiada.
Kuanggap dia tak pahami kita.

Biar katanya,
segala milikmu adalah sisa
tak peduli aku apa dan di mana
asal dikau menjadi lembut jiwa.

Biar katanya,
aku luput membaca tanda
sebab tak bisa bedakan warna.
Bagiku dikau huruf yang menyala.

Biar katanya,
aku memaknai rasa dengan cuma.
Namun hingga malam palingkan muka
dikaulah pikat penyandera mata.

Biar katanya,
bersamaku engkau tak bahagia.
Sementara telah kita rekat makna
mari kita satukan angan dan cita-cita.

Biar katanya,
sebab nyata dan demi masa
dikau sungguh mempesona.

------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – 1435 H.





TENTANG SEBUTIR NASI DI DAGUMU


Nak, demi Tuhanmu,
jangan pernah lalai mengenang
sebutir nasi di dagumu.

Kemarilah nak,
berkejuran di sisiku sebentang sayang
sambil kita melepas siang memanjang.
Sebab bebas zamanmu telah terpancang
maka baik engkau hayati kisah terang
tentang sebutir nasi di dagumu.

Dengarlah wahai kumala,
tiap tetes manis yang kau rasa
bukan semata ayah giat bekerja
serta ketulusan ibumu
menanak nasi untuk kita.
Itu karena buah redha-Nya
pun kegigihan pejuang kemerdekaan
yang demi masa angan jadi nyata
hingga ini hari membuahlah ranum
sebutir nasi di dagumu.

Nak, demi ayah dan ibu,
jangan pernah ragu
katakan itu pada anak cucumu.

---------------------------------------
Topan Wahyudi Asri,
Kalimantan Barat;
Indonesia – Syawal 1435 H.




KUPU-KUPU SALJU

kibasan sayapmu
mencetak guratan beku

tatkala salju mencair
dan alam bersemi lagi
kupu-kupu salju
khusyuk menandu rindu

sebab itu ia pesona di putih
yang tak kuasa memilih

--------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia @ Agustus 2014.




PENUTUP YANG BUKAN JUGA PENUTUP

Akhirnya kecipak disisir angin
Dan runsingku mulai surut. Setelah keinginan
Tertanam di rahimmu yang gembur. Mencecah jawaban
Setenang cahaya sang rembulan: mewah berpendaran
Menganakan janji dan harapan

Aksara jadi setangkai bunga
Hingga berhektar-hektar aromanya. Menobat berkah
Dan menghidupi masa tiada terkira: dawat dan lidah
Tak bersanggah. Sementara telah kita rekat makna
Maka rapatkan dekapanmu. Melayari waktu
Karena aku tak akan menamatkan rinduku

-----------------------------------------------------
TWA;
Borneo – Indonesia.
@2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar