Senin, 15 Juni 2015
Kumpulan Puisi Topan Kejora - PUK AMAI AMAI
PUK AMAI-AMAI
Betapa di antara berjuta dendang, hanya ini cara melagukan kasihku,
iringimu ke negeri yang kita impikan. Orang dididik untuk percaya
negeri tujuan memang idaman kebahagiaan itu.
Seperti kisah nenek-moyang
yang mengalir damai bersama mata air. “Jangan tutup mata kepala,
juga tidak mata batinmu. Jangan mudah percaya ajaran muka dua,
jangan berkeruyuk bangga.
Boleh juga coba-coba, tapi jangan coba-coba.
Kenali rumahmu, wajah dan resam tubuh sendiri di kaca itu.
Hapalkan lagu yang kudesahkan di bantalmu,
jangan pernah lupa sesuku pun!”
Demi waktu hilang datang lagu berlagu. Mungkin,
dendang ini semakin parah. Walhasil,
biar sepimu yang membangkitkan napasku kembali.
Betapa binalnya ini dendang,
itukah takdir otak orang berkuping sepasang,
lirik kasih dan sayang bergelimang dalam muntahan sendiri. Sentimental?
Apa boleh buat, hanya batang kayu yang tak punya sentimen.
Kau, negeri bahagia, setiap di antara kupu-kupu itu adalah juga milikmu.
Juga setiap tetes susu antara dua samudra itu.
Memandangi langit pun hakmu. Dengar, untukmu,
tak kubiarkan engkau haus dan lapar sendiri sehabis birahi.
------------------
Borneo – Indonesia, Mei 2015.
BALADA UNGU
Aku menghidu surga dari dada nusantara, menggelitik
tanya mengotakkan yang dikata. Terlanjur kuhirup aromanya,
hatipun tumpah padamu. Berharap, jadilah selayang balada rindu.
Cengkoknya, tertawan senyap dan berserabut di akar rumput.
Menabung sejuk kalimat yang tak kunjung lesap.
Memandangmu dengan cinta jadi apa adanya. Lebih bicara.
Ingin kuhentikan waktu, tatkala kenangan melintas manja.
Kemudian terdedahlah rona hijau di pipimu. Ada gema tawa,
pun anak petani terlelap. Berhias sebutir nasi di dagu.
Tapi tunggu dulu, kenapa kemudian mereka berubah termangu?
Oalah, cangkulnya patah dan sampannya pecah!
Mestinya tak perlu sendu sewaktu mantera kau taruh di kail dan jala,
Dan kemana gerangan sawah ladang mereka? Wahai,
apa daya, nyata itu sekedar nyanyiku yang tertikam sendawa.
Orang bilang ini tanah surga. Tongkat dan kayu jadi tanaman,
ikan udang menghampiri dirimu. Tapi, kenapa Ibu?
Bercak merah di lehermu kini semakin hitam membiru?
Kami terapung dalam tanya, dipulaukan kelu. Maka maafkan anakmu,
Ibu. Balada ini kemudian sekedar jadi sepantun ungu.
---------------------------------------------
Borneo – Indonesia, Juni 2015.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar