Senin, 07 Maret 2016
Kumpulan Puisi Topan Kejora - MONOLOG SUMBING SAAT HUJAN
SUBUH DI RUMAH BESAR
Rumah besar ini terasa kian di hasak sepi
Tak peduli beroktaf-oktaf riuh panggilan suci
Merambat, mengetuk pintu-pintu terkunci
Sekeliling dunia lebih memilih bunuh diri
Tak kuasa lagi menghiba
Aku dan beberapa penjaga tak ingin sia-sia
Kemudian mulai meradak hikmat yang ada
: Doa pun menaiki tangga cahaya
Sujud demi sujud menghunjam bumi
Zikir demi zikir meluluhkan diri
Subuh di rumah suci ini
Ketuban pilu pecah sendiri
Ya Rahman, Ya Rahim ---- ampuni
Kedunguan kami!
----------------------------
Singkawang, Maret 2016.
MAR
Aduhai
Embun jantan telahpun turun berderai
Kini hidupmu dengan kisah yang lain
Tersebab sama menaruh hati
Diekor mata kita berjanji
Bersama hasratku yang sarat bertimbun
Sepanjang tamasya waktu berlapis suam
Hingga diam
Dengan rindu kenangan sebagai tilam
Mari
Sampai gigilku menjadi isyarat
Dan tak kuasa ku tolak seribu hendak
Hingga fatamorgana berdiri tegak
Usah taruh dendam pada keturunanku
Juga pada untung yang masih bersabung
Bahkan maafkanlah takdir buruk cuaca
Yang menaungi pondok kita
Di tengah huma
Tatkala aku tak lagi bersuara
Jangan teteskan air mata
Sebab adanya kita cuma bisa terima
Hingga segala jadi serba tidak terduga
Begitulah jika aku awal
Maka tidak aku mengakhirimu
Kalau kau akhir
Kenanglah aku bersamanu
Oleh itu adinda
Carilah langit dengan pintu terbuka
Sebab matahari tak perlu di sepuh
Namun anak-anak kita patikan tumbuh
Dengan perjanjian bintang yang cerlang
Lewat doa-doa mereka yang membentang
Rabbanagh fir lii waliwaalidayya
Itulah mata air kita
Mar, bukan air mata
---------------------------
Singkawang, Maret 2016.
MONOLOG SUMBING SAAT HUJAN
Besarlah air sudah pun berkecipak
Boleh jadi menghanyutkan setinggi tegak
Ada gelak bersimbah, ada yang mengharu
Sedang periuk senduk beradu sudahlah tentu!
-------------------
Singkawang, Maret 2016.
BUMI BERTUAH BERGAYUNG PATAH
Bumi nan elok permata intan
Bersunting bunga diagung-agungkan
Hinggakan terbang semangat diri
Hilang takut timbulkan berani kini
Di bumi bertuah ini nurani berlapis besi
Tak perduli kau bersumpah bermati-mati
Kasih bermuka-muka, sayang bergayung patah
Jika ada --- syukur, tidak pun sudah
Biar berambang hujan panas kutunggui
Sabar, rela, serangkai berjurai.
----------------------------------
Singkawang, 5 Maret 2016.
KENDURI
Matahari ranum di pelupuk mata,
Sebentar lagi membara kepala.
Belum habis menggebu. Dalam tuju,
Tak perlu sedu-sedan itu!
Adakah terdengar seruku berderai,
Dalam kehendak. Gaduh menghentak!
Laksana berzanji belumlah usai.
Ah! Terang bulan bintang bercaya
O, sudah ikrar sepatah dua
O, sama-sama, jangan kau lupa.
Seribu rempah, satu rasa!
--------------------
Singkawang, 02 Maret 2016.
SELFIE
Ada sebab
Semut di seberang terang
Gajah terpandang membayang
Tak berukuran!
Pada tampang
Sebarang pandang
Pipi tak mancung
Hidung tersurung-surung!
Syahdan
Jangan mengerdip
Sehingga terang dan angan
Tertuang gambar kelayakan
Dalam benak
Tidak beranjak!
------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
HATI YANG BASAH
Hati yang basah
Begitu saja mencurah
Dan tiada kecerdasan sanggah
Yang bisa buatnya menyalah
Sebab baginya susah-payah
Makanya kita menyerah
Hati yang basah
Sebab desahnya mustajabah
Bersimbah kasih berkawah
Mewabah harum aroma jannah
Lekas, lekaslah tadah
Selagi terjamah
Sudah bergalah-galah
Gairah sajakku yang payah
Tangkaplah di lidahku yang patah
Sampaikah aku sampailah kamu
: Ibumu, ibumu, ibumu
--- barulah Ayahmu!
---------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
MARI BUNG
Bung! Sudah cukup lama
Mereka tak kuasa kencing di celana
Sebab renta dan tak siapa mengenalnya!
Terlunta-lunta di Jakarta
Hingga ke kolong-kolong nusantara.
Mari Bung ajak mereka
Ngimpi di istana negara!
Oi, Bung! Ini aku pinjam suaranya;
Menangnya tuan dan nyonya siapa?
Kok bisa-bisanya lupa legiun tua,
Padahal dulu rambut kita
Pernah sama hitamamnya
Sekarang pun sama putihnya
Sama merah dulu runcing bambu kita!
Dulu nasib juga samarata
Ya, sama-sama putar kepala
Menerjang kota-kota semerah saga,
Menempah maut kita di asin pertama!
Ini kali senja terasa semakin cepat saja
Kau pun paling cuma bisa ketawa
Sebab terkatup sudah mata
Maka habislah bicara!
Alahai Bung, kau di sana
Nyamankah dalam keranda?
---------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
KAIL DAN JORAN
Sebab hidup adalah pilihan
Makanya di pagi buta telah kusiapkan umpan
Bersama kail dan joran untuk menempah ikan
Kuabaikan puting-beliung, panas dan hujan
Sehingga tak dapat terbayangkan
Cuaca mengaduk segara demi impian
Tapi, ragam tujuan berakhir di pengakhiran
Tergantung umpan-umpan keriangan fikiran
Yang mengajangi kail dan joran asin lautan
Lalu membiakkan untung atau kesialan
Seperti ucapan dan tulisan
Tak mungkin habis di badan
Kail dan joran lumayan lama kujulurkan
Hingga pikat menyerahkan perlawanan
Ketika berbagai kemungkinan jawaban
Akhirnya kusudahi dengan belaian
Dan mengecupnya di mata ikan
-----------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
BAGAIMANA MUNGKIN
telah terpampang rahasia kebajikan
melebihi nikmat rakaat dan dahaga,
hingga bagaimana mungkin lezatnya
aku buang percuma?
tak mustahil pula telah engkau tunaikan
: menyambungkan persaudaraan terputus,
mempertemukan soraksorai yang terpisah,
menjembatani gerakgerik meriah saadah,
membendung tafarruq mengejawantah!
(Ya Allah, ampuni riuhku)
ya salam, padamu selawatku
wahai jemari tahiyat yang berdetak
wahai suara zikir hati yang sendiri
bagaimana mungkin melangit tinggi,
jika buritan dan kemudi
tak saling puji?
------------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
TAUBAT
genggaman kodrat
gegas sebelum melesat
gema terlambat.
--------------------------
Singkawang, Maret 2016.
MENUJU PULANG
Yang kusyukuri selalu ada
dengan gema perjanjian suara
seutuhnya itu peluang semesta
kembara kita sehasta fana.
Yang menggetarkan itu ada
dengan pesona, suka, duka, luka,
dan bertangkap pasi di muka
jadi pilu pada akhirnya.
Yang meniadakan dalam ada
dengan kata-kata bernyawa
hingga aku bukan siapa-siapa
dan ketiadaan itu pun sempurna.
Yang selalu lupa juga ada
dengan minus cahaya hati
tak mengenal diri, merugi
jika kembali, sekedar kembali,
hidup tiada memberi arti.
Jalan sendiri sepi kutiti.
------------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
DI PASAR SAJAK
: hari puisi sedunia
Di keramaian luahan
dan makna bertaburan
hilir-mudik permisalan
kau tawar cuma tecehan.
Di etalase kesetiaan
dan takaran kehidupan
tak matahari, tak bulan
letak harganya di kaki tuhan.
Di label kepiawaian
dan kecerdasan kata-kataku
kau tafsir sajakku, jadi ungu
di keranjang sampah, sia-sia,
dan ke antah-berantah, perginya.
Makanya ambil saja ini percuma.
------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
LUMER
Aduhai, meski meneguk langit
meneguk lagi karena haus
tetap leleh peluhku
(ini musim menguras peluh).
Sebab peluhku adalah
peluh rahasia tuhan
peluh berkilauan
peluh penyubur asuhan
peluh penawar haus bayi-bayiku
peluh yang belum selesai diteteskan
pelan-pelan mengalir di sungai angan
peluang menghidupi ikan-ikan
sampai talkin waktu
selunglai aku
dinihilkan.
------------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
DODOI
"Timang-timang, anakku sayang," nyanyinya
menggetarkan jagat raya. Jagat kau dan aku.
Ketika kau mencari terang di paras itu
huruf-huruf menyala dalam fitrah
semarak sepanjang kasih.
"Timang-timang, jangan menangis," pujukmu
sambil mengusir gerombolan kunang-kunang
di mataku. Paling tidak begitulah jika kumulai
dahaga air suci dari puting kehidupan.
Mengalir ke syaraf dan nadi, menghijaukan
kembali taman hatiku. Hingga risalah hening
membentang seperti malam sebening
batu nisan.
"Timang-timang, cahyaku sayang," nyanyian
halus itu terdengar terputus-putus. Kenangan
masa kecil itu seperti perahu yang berlayar
dalam kabut. Menyerak riak sangat perlahan,
sangat hati-hati. Saat tiada angin dini hari.
Ah, hatiku ini terbalut sedih. Meski
masih ada pagi.
"Timang-timang," milikmukah itu?
-------------------------------------
Singkawang, Maret 2016.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar