Kalau terlalu open sama mulut orang, bisa-bisa kita mati berdiri. Hidup gak tenang, makan gak kenyang, rugilah kalok perut sampai keroncongan.
Kayak kisah awak, gini lah ceritanya. Namanya jugak udah berumur dan masih bersahabat karib dengan kesendirian. Jadi yang namanya menjawab pertanyaan setiap pergi ke pesta undangan, hukumnya itu wajib. Kalok gak dijawab salah, dijawab juga tambah salah.
Yang anehnya tiap mau kondangan selalu jumpa sama orang yang sama. Pada hal udah bela-belain cari jalan dan jam yang beda saat undangan. Namun tetap aja ketemu. Baik lagi di pesta, saat pulang atau berpapasan di jalan. Pertanyaanya selalu sama.
"Kapan nyusulnya? Jangan sampai dunia kiamat, lho," katanya sambil tertawa seakan bercanda. Pada hal kalok mau suujon yang ngejeknya dia ke awak. Kan awak bisa tau dari gestur tubuh dan tarikan bibirnya.
"Gak akan kiamat, Makcik. Soalnya terompet sangkakalanya masih ditempah," balas awaklah gak mau kalah.
Lain waktu ketemu lagi.
"Anakku aja udah gendong. Masa ko belum juga. Apa nunggu cucuku disunat baru ko nyusul." Cerocosnya lagi kayak mercon cabe.
"Cocoklah Makcik, sekalian Awak nunggu dia lajang aja. Siapa tau nanti awak jadi cucu menantu Makcik," sindir awaklah gak mau kalah mop.
Tanpa ba bi bu cepat-cepat dia ninggali awak sendiri. Gondok kali kayaknya dia.
Kapan hari jumpa lagi.
"Sampek langit ujan es pon ko belum juga ngundang makan enak. Udah pengen kali Makcik makan rendang di pestamu," sindirnya kek gak pernah makan daging aja.
"Perkara makan rendang, ini hari juga bisanya awak belikan nasi bungkus di rumah makan Padang buat, Makcik. Mau?" Tantang awak lah. Seperti yang sudah-sudah langsung dia ngeloyor pergi.
Lain waktu kami jumpa di tempat tetangga kemalangan. Rasanya ingin kali balas sindirannya kemarin-marin itu, tapi awak ingat pulak pesan orang tua. Jangan pernah membalas perbuatan orang lain kepada kita, biar saja Tuhan yang balas. Jadinya awak diam saja saat berpapasan dan duduk dengannya sampai yasinan selesai.
Setelah mayat dikubur barenglah kami pulang sama beberapa orang sambil ngobrol.
"Besok ke rumah Makcik, ya," ajaknya.
"Ada acara apa, Makcik?" Penasaran lah awak dengan ajakannya.
"Apa Makcik mau nyusul almarhumah tadi?" Celoteh kawan awak tanpa basa-basi dan pake perasaan.
"Yang ko kiranya aku udah bauk bangke, sampek ko suruh nyusul. Gak jadi lah aku ngundang kelian," katanya dengan emosi tingkat sesepuh sambil buru-buru ambil langkah seribu.
Sepeninggalan makcik tawa mereka meledak.
"Kenak kali dia tadi. Kalok gak kerjanya nyindir terus," celetuk seseorang.
Awak cuma senyam-senyum. Sambil membayangkan muka makcik yang tadi merah padam kayak kepiting rebus, sangkin dongkolnya dia diminta nyusul menghadap illahi.
*****
Cerpen –
AKU DAN TETANGGA
Penulis : Airi Cha
Pengojek Hati
1706.080322
Tidak ada komentar:
Posting Komentar