RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Rabu, 26 Oktober 2022

Cerpen - KISAH PILU Penulis : Ririn Riyanti


     Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan Dariel makin dekat. Tidak dapat dipungkiri jika hatiku cukup terhibur dengan kehadirannya. Ini sedikit bisa mengobati luka karena patah hati, walau nyatanya hati ini masih utuh untuk Adam. Hanya beruntungnya sudah tidak lagi terlalu down.

Mungkin benar kata pepatah jika mencinta sekedarnya saja, jika membenci pun sekedarnya saja jangan berlebihan. Cinta yang berlebihan akan sangat sakit jika putus dan akan jadi benci. Benci yang berlebihan pun bisa berubah jadi cinta. Tidak ada yang tahu rahasia hati. Hanya Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Hari ini aku pulang latihan karate cukup kesorean, hampir maghrib. Kali ini bukan Dariel yang antar pulang, karena dia tidak ikut persatuan. Aku pulang diantar Adam.

Aku sempat berpikir sudah tidak ada getaran lagi di dada saat berada di dekatnya. Nyatanya masih terasa cukup kuat. Bahkan aku sampai bingung mau bicara apa, maka jadilah kami hanya diam seribu bahasa.

Begitu memasuki ruang tamu panti, aku dikejutkan dengan kehadiran Bu Aisyah di tengah anak-anak. Beliau sedang sibuk berbagi hadiah untuk mereka. Aku hanya menyapa sekedarnya karena harus segera mandi dan sholat maghrib.

"Kakak, Kakak." Mila si kecil datang menghampiri saat aku sedang menyiapkan makan malam.

"Ya, ada apa Mila?" tanyaku dengan tangan masih membawa piring ke tikar di lantai untuk kami makan dibantu Didin dan Yoga yang membawa minum.

"Tadi kita semua dapat hadiah baju baru, lho dari Bu Aisyah. Bu Aisyah baik ya, Kak?" celetuk gadis kecil itu membuatku tersenyum.

"Doakan apa untuk Bu Aisyah, Sayang?" Aku mengetest kebiasaan anak-anak.

"Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk Bu Aisyah," ucap Mila memanjatkan doa yang disambut kata amin oleh saudara-saudaranya.

*******. *******

     "Dian, ada yang ingin Ibu ceritakan denganmu juga Bunda dan Bu Aminah. Kamu ada waktu untuk kita bicara, kan?" tanya Bu Aisyah kala kami selesai mencuci piring usai makan malam.

Kami duduk di ruang tamu. Bu Aisyah bilang suaminya akan menyusul nanti. Saat ini sedang bekerja katanya.

Bu Aisyah masih belum bicara, hanya beberapa kali menghela nafas panjang seperti begitu sesak dadanya.

"Dian, Bunda dan Bu Aminah, saya ingin cerita tentang putri saya. Saya selalu sedih bila merindukannya. Tapi saya butuh teman untuk berbagi," ucap Bu Aisyah dengan air mata mulai mengalir di pipinya.

"Ceritakanlah, Bu. Kami siap mendengarkannya." Bu Aminah mengusap lembut punggung tangan Bu Aisyah.

"Kami menikah hampir delapan tahun lamanya baru bisa memiliki momongan. Kami sangat bahagia. Setelah USG, bayi kami dinyatakan berjenis kelamin perempuan. Karena liputan bahagia itu kami seperti mendapatkan cahaya. Maka begitu lahir, kami sepakat memberinya nama Bintang Cahaya Hati yang kini jadi nama perusahaan." Beliau berhenti sejenak untuk menarik nafas.

"Pasca melahirkan secara sesar karena ada pengangkatan kista di rahim, kami check up medis untuk mengetahui keadaan rahim saya pasca operasi. Sepulang dari rumah sakit, di tengah jalan kami dihadang penjahat yang mengincar nyawa kami. Beruntung kala itu ada warga yang baru pulang dari ladang secara berkelompok lewat dan menolong kami." Terlihat beliau masih cukup tenang meski masih terus menangis.

"Namun sebelum warga datang, saya sudah menyuruh pengasuh Bintang untuk membawa lari bayi kami agar selamat dari penjahat. Tapi ternyata dia justru ikut terlibat dalam kasus itu. Setelah semua tertangkap, saya sangat syok. Ternyata dia membuang bayi kami dan lupa kemana membuangnya." Bu Aisyah menangis terisak-isak sampai terlihat sesak. Aku memberinya minum air putih hingga sedikit lebih tenang.

Kami masih duduk di sekitar Bu Aisyah menunggu beliau bercerita lagi. Bunda sempat memeluknya untuk memberi kekuatan. Sebagai seorang wanita Bunda mengerti apa yang dirasakan Bu Aisyah. Karena Bunda pernah bercerita jika dulu Bunda juga pernah hamil namun keguguran. Aku yakin rasa keduanya bisa saja sama.

"Tiga tahun pasca melahirkan saya harus melakukan operasi pengangkatan rahim. Karena ternyata kista yang sudah diangkat itu justru meninggalkan sel kanker yang cukup ganas. Saya kehilangan semangat hidup karena kedua kejadian itu. Apalagi sekian lama mencari, kami masih belum menemukan putri kami yang hilang."

Bu Aisyah tampak semakin sedih dan terlihat jelas jika beliau benar-benar terluka. Berulang kali dihirupnya oksigen, lalu dikeluarkan perlahan untuk menetralkan emosinya. Kuakui kemampuan Bu Aisyah dalam mengendalikan emosi sangatlah baik.

"Akhirnya keluarga memutuskan untuk mengadopsi bayi sebagai pelipur lara kami. Anak itu juga perempuan. Gadis manis yang pintar dan ceria, namun cukup manja. Kehadirannya benar-benar mampu membuat saya tersenyum dan tertawa meski tetap berdoa agar bisa kembali bertemu putri kandung saya."

"Tapi, itu pun tidak berlangsung lama. Di usia sebelas tahun atau tepatnya tiga tahun lalu, gadis manis itu meninggal karena kecelakaan. Saya sangat sedih. Sedih sekali. Mengapa Allah tak mengizinkan saya untuk memiliki anak meski bukan dari rahim saya sendiri. Sejak saat itu saya kesulitan untuk makan dan tidur. Saya merasa Allah tidak adil pada saya."

Bu Aisyah tidak sanggup lagi bercerita. Karena terlalu kuat menangis hingga akhirnya tubuh Bu Aisyah tergeletak tak sadarkan diri, beliau pingsan. Sungguh begitu berat hidup yang harus dialami Bu Aisyah.

Aku bersimpati padanya. Kuusap air matanya yang terus mengalir meski dalam keadaan tidak sadar. Tanpa sadar aku mencium kening wanita yang selalu tampil elegan itu. Tiba-tiba terasa ada desiran halus di dada. Ada yang berbeda dalam diriku. Tapi apa?

Saat kami tengah berusaha menyadarkan Bu Aisyah, terdengar suara seseorang mengucap salam dan kami menjawabnya segera.

"Sayang, kamu kenapa?" Seorang pria paruh baya setengah berteriak melihat Bu Aisyah yang tidak sadarkan diri. Aku yakin dia suaminya, Ahmad Zulkarnain.

Pria itu fokus membangunkan istrinya. Hingga tak lama Bu Aisyah pun bangun. "Alhamdulillah," seru kami serentak karena bahagia.

Mendapati istrinya sadar, pria tadi langsung memeluk dan menciumi wajah istrinya bertubi-tubi. Aku bisa melihat dengan jelas betapa besar cinta pria itu pada istrinya. Semoga kelak aku juga bisa mendapatkan suami sebaik suami Bu Aisyah.

Pria itu mengenalkan dirinya sebagai suami Bu Aisyah. Kami pun memperkenalkan diri sebagai pengasuh dan anak di panti ini. Saat melihatku, dia terdiam cukup lama. Seakan memandangku penuh kerinduan. Entah siapa yang dilihatnya dalam diriku.

Tiba-tiba dia memelukku erat bahkan hingga tidak bisa melepaskan diri. Aku sampai kesulitan bernapas saking kencang pelukannya.

Pria yang kini kami panggil Pak Ahmad, menangis tergugu sangat lama sambil terus memeluk tubuhku. Aku merasakan kembali hal yang sama seperti saat mencium kening Bu Aisyah.

"Ya Allah, apa artinya ini?' batinku. Sementara air mata ikut mengalir bersama air mata Pak Ahmad, dan kulihat Bu Aisyah pun ikut menangis penuh haru.

"Bintang.. Bintang.. Bintang..."

Berulang kali Pak Ahmad menyebutkan nama itu kala memelukku. Aku yang tak mengerti hanya menurut saja diam dan ikut menangis dalam pelukannya.

"Bintang... Bintang... Bintangku...kamu di sini, Nak?"

*****TAMAT*****

Cerpen –
KISAH PILU
Penulis : Ririn Riyanti
21 Oktober 2022

RIRIN RIYANTI


Tidak ada komentar:

Posting Komentar