Kamis, 10 Juli 2014
Kumpulan Puisi Topan Kejora - MENJELANG TERBENAM
Permisi mas Ahmed El Hasby.... Numpang menyandarkan lagi sebuah puisi sederhana ya? semoga rekan RPS berkenan...
DENGARLAH
tak aku seorang rumi
laksana sufi sarat madah maknawi
pun tak setara attar si penebar wangi
yang lebih memahami bijak bestari
membagi sayang tiada berbilang
membasuh kesuraman berkurun
hanya serpihan khayyam aku
murni menjadi segumpal empedu
demi kesempurnaan wujudku
dan pada bulan termegah ini
demi bilik-bilik di diriku yang sunyi
dan selaut pasang kasihku padamu
dengarlah wahai walau selintas
kecap lidahku petuah semelayu
lepas serupa denting gambus
yang merindu suara gendang
untuk sepotong lagu di dagu
melodi yang tak sempurna merdu
pun tak jejak di gemeretap syahdu
wahai kalian yang tidak memahami
jalan itu memang bukan ini dan itu
sabar adalah kunci amalanmu
dari hilangnya sebarang bunyi
hingga tertuang lagi silau matahari
selayaknya ganjaran tiada berbatas
mesti dikau fahami sebelum melintas
-----------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia, Ramadhan - 1435 H
— di Kota Singkawang.
MENJELANG TERBENAM
nikmat menyongsong jelang terbenam
bersama letupan hasrat terpendam
berganjar tempias hingga langit tujuh
antara juadah yang memanjakan lidah
pun antara gelas-gelas yang memeluh
untuk longgarkan lafas yang tercekat
sebagai kelayakan berkaitnya nikmat
yang sepatutnya engkau dapat
hadirnya tanpa alpa bersama tanda
pada nada yang dibentangkan sayap senja
tahniah
telah dikau mamah rupa-rupa
yaitu secuil petah serupa mereka
sebelum engkau dan sesudah kalian
yang berkebat penderitaan dan ketiadaan
namun bersulam kilau keteguhan iman
dan jika pada diriku juga dirimu
kerap kita sandingtandingkan
di senin dan kamis
demi setuang manis
tidaklah lebih dari sepotong awan
atas nama indah di kesenyapan
namun ingatlah wahai
usah lama bersulang bersimbah basah
sebab lengah menanda padah
hingga terlewatlah sebentang faedah
tuntaskanlah teraju ke ranah makkah
dengan rakaat dan janji berka’bah
untuk mempersunting hakiki
demi jodoh setelah mati
------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ; 1435 H.
Puisi ini terinspirasi dari nukilan yang dipersembahkan umi Hanom Ibrahim Lubis pada 7 Juli 3:24 – 3:26 dengan tajuk MUNAJAT RAMADHAN.
Semoga dan semoga saja rekan RPS berkenan...
AKU LIRIHKAN LAGI
karena jarak yang kian tersarung
sebab keinginan yang terus terasah
dan ketiadaanku yang melulurkan kepastian
serta tak mau berbagi dengan kehampaan
kau tahu
sebelum diriku terbujur kaku
dan hanya dikenal pada catatan berbatu
maka izinkanlah aku lirihkan kembali
nukilan yang barusan engkau semai
yang memang berkilau tak andai-andai
dalam munajat ramadhan yang terjurai
sebab itulah kini inginku pun tersadai
dalam doa-doa bersayap
harap mamahlah dalam senyap
ya Rahman ya Rahim
berkat ihram ramadhan yang tersarung
terkurunglah kami berbalut untung
berkat kebaikan-Mu yang melimpah-ruah
yang tak dapat kiranya kami sanggah
maka dengan segala kerendahan
sudilah dengarkan lirih pengharapan
duhai Engkau Yang Maha Mengabulkan
ya Fattahu ya Aliim
bantulah kami mengalirkan pedih
dalam tamsya syahdu bersimbah pelagi
atas kehendak yang mampir
menempelkan aromamu berlapis suam
pada jejak yang kami tinggalkan diam
hingga tak kekurangan kasih sayang-Mu
dan bantulah kami
memahami masnawi yang menyentuh hati
ya Rabbul Jalil
jangan biarkan kami dininabobokkan pulas
terkulai lemas terpasung di panas
hingga senja yang memungut subuh
terhadap nasib tak hendak mengeluh
sebab tak mau singgah ke pantai lidah
kami berlindung pada-Mu
saat gelap dan terang
sehingga mana mungkin
dari-Mu kami membangkang
ya Raafi ya Mu’izz
untuk air susu yang menimbus kemarau
dan halalkan jua tiap tetes peluh itu
yang atas izin-Mu
kami masih menapak di guratan waktu
berilah jerih payah itu ganjaran surga-Mu
pada yang ada dan telah tiada
sebab tiadalah kami dapat membalasnya
begitupun untuk kerabat dan sahabat
serta guru-guru kami yang hebat
satukanlah kami sekarang dan nanti
di rindang-Mu nan hakiki
ya Dzul Jalaali Wal Ikraam
di bulan yang merimbun
jejakan kami di seribu bulan
hingga ke perjanjian embun
panjangkanlah sua kami bermusim
jadikan air mata ini mata air
duhai Awwal wahai Aakhir
perkenankan kami pada kemenangan
hanya menuju kemenangan
--------------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ; 1435 H.
— di Kota Singkawang.
RINDUKANMU
rindukanmu kasih terkasih
asmara ini bak beralun ombak
deburannya bergolak gerak
tak dapat kutolak
buih berbuih mencecah rintih
pada saat tidak bersua
sebab jarak membatasi pandang
terbanglah rindu julang-menjulang
yang pada kedua kepaknya
ditumbuhi bulu-bulu janji setia
dengan warna patah-patahan igauan
alahai
pilin berpilin mengepang tanya
tak mungkin rancu dalam benda
tak mungkin rubuh dalam ada
aku kejar dikau lewat bunyi
mengepungmu lewat puisi-puisi
agar tak diterkam si nafas dengki
aduh mak senyumnya
bak tiara bertahta permata
decakku dihumban pesonanya
mencecah rindu menganak pasang
terpancang sayang jelang menjelang
makanya usaha dan doaku berenda renda
supaya kejora lekas memunggahkan bintang
datang berdulangan sirih dan pinang
------------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia ; 2014.
— di Kota Singkawang.
PADA RASA DAN DOA
dan inilah risau yang membumbung itu
ketika hari mendulang waktu
saat gelap dan terang menjuntai pilu
sebab terhempas tempias pintaku
kemudian mendesau di sekitar rumahmu
lalu melumut di dinding singgasanamu
kau tahu
jika remuk redam kau bicara gaza
maka perihku lebih luas dari samudera
jika air matamu menggenangi palestina
maka amarahku pun membadai di asia
kemudian melumat seantero arabia
tapi siapalah engkau dan aku
cuma kuasa merangkai sepasang rindu
yang memunggahkan duka cita benua
dengan doa-doa dan sayap patahnya
aku tahu engkau pun lebih tahu
kitalah jua yang suci dalam debu
sebab kita tak berlainan tuan
maka biar kubentangkan kenyataan
tersibak kesalahan menjadi pertanyaan:
kemenangan apa patut di kibarkan
bila beribu subuh tak tertunaikan
sedang berjuta ashar tak menggiurkan
terhadap isya pun terpamer kekaraman
maka marilah merapat menjunjung tadah
kita rentangkan tangan selebar arafah
memikul doa dengan al-misbahah
untuk tiap lembar nafas saudara di gaza:
Ya Hayyu Ya Qayyum,
Ya Hayyu Ya Qayyum,
Ya Hayyu Ya Qayyum,
seperti di Badar dan Khandaq dan Tabuk
titahkanlah ribuan malaikat-Mu mengamuk
Ya Hayyu Ya Qayyum,
ringankan penderitaan saudara kami di sana
tumbuhkan generasinya sehijau belantara raya
hingga padanya lebatlah Jihad fii Sabilillah
tautkan selalu kasih kami yang berka’bah
Ya Hayyu Ya Qayyum,
jangan biarkan kami diijabkabulkan acuh
pada kezaliman yang melibas sesyahadat kukuh
dan izinkan jiwaraga kaum ini meluruh
sebagai mujahidin mukhlisin atau syuhada
serta bebaskan kami dari fatamorgana
hingga buta pada segala marka
wahai Dzat yang mengolah surga dan neraka
ijabahlah sebab ini risau yang terpilih
amiin Ya Rabbal’alamiin saudaraku
tak lupa izinkan kupumpung nafasmu
yang pada engkau kasihku berkilau
wahai debu-debu sebelum berlalu
wahai suci yang senang bersembunyi
wahai sangsi yang memandang sesekali
wahai pikat yang setengah memberi
dan pengembara yang memahami kisah
akulah tempat khilaf melipatkan salah
-------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat;
Indonesia – Ramadhan: 1435 H.
— di Kota Singkawang.
SUSU UNTUK KALIAN
ini kutuang untuk kalian
perahan susu kambing arabica kesayangan
sebagai penyembuh dan penyubur kegigihan
sebab cakrawala dirampas bertujuh turunan
serta mega yang terburai ditabur kehitaman
reguklah wahai saudaraku
sambil berkejuran kita menukar haru
dan bersiasat dalam perjanjian berdarah
seperti masa saat berkah melimpah ruah
yang memutihkan mata firaun di laut merah
bukankah telah terdedah pada setiap sejarah
maka biarlah wahai ketuban pecah sendiri
dan memunggahkan aroma rummi
kemudian lindap di telapak hari
aduhai kawan yang memberiku kata
kaujulurkan tanganmu kelabu
hingga mana mungkin aku
melambaikan tangan kepadamu
apatah lagi meniadakanmu dalam ada
------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ; 1435 H.
— di Kota Singkawang.
KAMI TAKKAN KALAH
berkurun sudah
tapi kami tak pernah kalah
walau kau kepung dari segala arah
dan kau ciptakan kiamat tak sudah
menggurah Gaza dengan darah
tak sedetikpun kami menyerah
burung-burung besimu boleh akrobat
lalu memburaikan mega dan cakrawala
dengan warna yang kau pinjam dari neraka
dan kaki-kaki bajamu juga boleh melesat
kemudian mendedahkan kengerian terhebat
mengundang decak pilu hingga tujuh penjuru
lantaran dunia yakin betapa biadabnya kamu
namun hingga puas armada perangmu
berpesta pora di Gaza yang luka bernanah
tak terbetik pun lolongan mereka menyerah
hingga atas nama kemanusiaan
kami pun berbondong-bondong turun ke jalan
sebagian berdoa sebagian menyalakan lilin
sambil menahan perih kami yang berpilin
untuk tiap tetes darah dan luka menganga
untuk tiap butir air mata dan nyawa tak berdosa
yang kau tebar di setiap jengkal Gaza
yang pada mereka engkau paksakan menyerah
tapi kembali kau salah!
sebab mereka memang tak kenal kalah
adakah masih engkau diteropongmu?
para raja diraja dan jenderal di singgasana
yang padaku mengaku adidaya
jika kalian memiliki rasa manusia
maka pejamkanlah matamu yang buta
dan dengarlah wahai dengarlah
buluh perindu ibu-ibu Gaza
melantunkan sepotong lagu di dagu
sambil meniupi ubun-ubun bayi yang tersisa
begini kiranya senandungnya:
“tidur-tidurlah wahai kemala
buah hati kebanggaan ayahanda
walau pun udara beku seketika
dan langit hitam terbelah dua
kemudian tanah rekah berubah merah
gagah gagahlah jangan menyerah
nyatalah kita pemilik Gaza yang syah
dan kita takkan pernah kalah”
***
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ; 1435 H.
— di Kota Singkawang.
KANGEN
aku merantau dalam kasihmu semilir
demi menggusur sepiku dari hulu ke hilir
cuma ini bukan sekedar perkara kasih sayang
bukan pula tentang rindu yang lama melayang
ini adalah bagian dari halaman kegembiraan
dalam kitab yang berjudul impian dan harapan
sementara itu biarlah kutuliskan saja dulu
kerinduan dengan kesedihan bulan sepenggal
dan merangkainya di halaman yang masih tersisa
atau jika tak kuasa saat pagi dan petang menyapa
maka biarlah rindu terwakilkan lagu nestapa
menyamar kecipak pada lubuk bertakung seru
aku yakin engkau pun memahami kisah
seperti yang telah terdedah menjadi sejarah
bahwa jodoh tak pernah mendustai perkawinan
sebagaimana hidup tak pernah lalai pada kematian
maka dari itu lebatkan saja hujan munajat
dan jangan sampai gerak hatimu berkhianat
setidak-tidaknya ingatan tak kehilangan sasaran
aduhai dinda utusan kayangan
sebab mustajab malam seribu bulan
yang karenanya maka lena kukorbankan
jaga kutegakkan tak peduli engah kelelahan
terlaunglah semua rindu yang berhamburan
melambung hingga menembus awan kesekian
untuk merayu belas kasih Tuhan
demi desir kerinduanku yang berkelindan
---------------------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ; 1435 H.
— di Kota Singkawang.
LEBARANKAH DI TANAH DAN AWAN BERDARAH?
Satu Syawal kali ini bertakung sendu, adakah lebaran
di tanah dan awan berdarah?
Jelas terlihat kau mengetuk pintu bagi pemilik hati
dengan patah-patah ucapan dan sorot mata lembab
pun pada penaku yang tangkas mencari
kertas dan tinta.
Nampak olehku langitmu merah darah.
Dunia sedang dilanda kekalutan dan air mata
alam semesta merintih, tak terlihat dan terdengarkah?
sementara angin menggoncang-goncang jubahku
dan memelas.
Aku tak bisa acuh, kuyakin kau pun begitu.
Jika demikian adanya, mari kita berangkat malam nanti
lindap menembus kabut.
Akan lebih baik jika langkah kita dimamah rintik
agar tak meninggalkan jejak selamat jalan kepada mereka
yang tertidur pulas.
Satu Syawal kali ini bertakung sendu, adakah lebaran
di tanah dan awan berdarah?
Jelas terlihat perjalananmu beringsut di udara sengketa
menyepi dan terburai, terpampang jua
sekolah dan masjid dan rumahsakitmu diterjang sangsai
menciptakan amsal warna yang tak semestinya:
semerah saga.
Oh, jantungku berdebar!
-----------------------------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ; 1435 H.
— di Kota Singkawang.
TERINGAT AKU PESAN PUTIH
Teringat aku pesan putih dan tersebutlah
tujuhpuluh dua kali berantai iqamu al-shalah
Lalu kularut di al-muzammil duapuluh
terpesonalah di al-an’am satuempatsatu
terpacak di al-baqarah hingga berdarah
dan terobati oleh ketetapan at-taubah
dawat dan lidahku pun kelu bersanggah
Teringat aku pesan putih dan tersebutlah
tujuhpuluh dua kali berantai iqamu al-shalah
setiap akarnya mengakar menobat berkah
----------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Ramadhan ke-28; 1435 H.
— di Kota Singkawang.
SEMILIR TAKBIR
Semilir takbir,
membiakkan rindu
sungguh
detak dan rentak
lafas kemenangan itu
bak jantung bayi
parah pilu membasah
terkenangkanmu pasrah
sampai beroktaf serak
dalam puja-puji
berka’bah
Semilir takbir,
meriah usai gema Adzan
seperti
pancaran mata
malaikat-malaikat mungil
di sisiku dan kamu
yang tengah memahami
betapa megah dan syahdu
kemenangan ini
Semilir takbir,
dan ketuban rindu
pecahlah sudah
saat mereka bertanya:
“mana ayah
atau
kemana ibu”
sungguh
yang padaku dan kamu
hanya mampu
membenamkan sang kumala
dalam-dalam di dada
sembari lirih berkata:
“esok bangun pagi-pagi
dan kenakan pakaian barumu”
Semilir takbir,
ada wangi merasuk
ada tanya tak terjawab
terantuk qalbu
sebab merindu
seperti mengayuh perahu
menuju tepian jauh
------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat – Indonesia
Menuju 1 Syawal 1435 H.
SUATU PAGI DI GAZA SELEPAS HUJAN LETUSAN
Setelah hujan letusan meronda malam
langit kelabu turun dari mata air lebam
terdedah dendam berjuta siang malam,
takbir bergetar mengkafani jasad syuhada
mujahid muda menuliskan puisi di atasnya.
----------------------------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Syawal; 1435 H.
BAHASA TANJUNG
kulihat di cermin beralun
langit membuka dadanya
tatkala semilir merebah
membelai wajah bertakung
mengayun julung-julung
yang khusuk menyulam
koyakan yang tercabik
oleh dendam kesumat
dan tak pernah berjarak
bagai tombak ombak
aduhai biduk jiwaku
berlayarlah sudah
di cermin compang-camping
menuju dermaga harubiru
pada bentangan langit-Mu
yang terburai nafsu hitam
sisa umat akhir zaman
sukmaku meluruh
dan air mata menyaru
benang berdebu dan kaku
berwarna hitam berkedam
lalu ikut menyulam buih payau
dan bila mungkin berharap
keramahan tawar mencurah
dari langit berparas rajuk
saban pagi dan petang
yang semakin renta
tak peduli aku
siapa pun engkau
dengar dan dengarlah
yang zalim harus disanggah
tak ada kata mengalah
jika saudara seaqidah diratah
maka itu kusentuh hatimu
dengan lidah dan muncung
julung-julung tanjung
yang terasah dan runcing
oleh kerisauan membatu
inilah tahun amarah membadai
tanpa ampun kita babak-belur
maka jahanamlah engkau
yang tak mengenal diri
pun nasib saudaramu sendiri
sebab telah ditandai merah
pada keningmu dan aku
------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat;
Indonesia – 2014.
— di Kota Singkawang.
MENJEMPUTMU
Lautan teduh
waktu yang tepat
untuk menjemputmu.
Tapi dikau jauh, beribu jauh
mengundang gundah.
Cuaca sedang bersahabat
untuk mendayung sampan
demi menjemput impian dan harapan.
Namun, kupasti babak-belur
saat berada di tengah lautan
manakala syafaq melulur
sebab kemarau berpanjangan.
Wahai dikau yang menunggu
dan membuihkan rindu
tabahlah berarus waktu.
Bila hari itu tiba
tak kepalang camar memandang
sebab debaran kasihku memanjang
hingga nafas terakhir di hela.
------------------------------------
TWA,
Kalimantan Barat,
Indonesia – Syawal 1435 H.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Terima kasih sahabatku... :)
BalasHapusAlhamdulillah.. singgah di sini. Buat mu anakanda anugerah Allah pada mu untuk terus berkarya.
BalasHapus