RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Jumat, 02 Desember 2022

Cerpen - KISAH GADIS PELIPUR LARA Penulis : Ririn Riyanti


 
   "Ma, katanya aku punya adik angkat, dimana kamarnya?" tanyaku pada Mama ketika kami tengah santai duduk di ruang keluarga sambil menonton talk show di tv.

Mama menunjuk sebuah pintu di samping kamar Oma. Terus terang aku sangat penasaran seperti apa sosok Tiara gadis pelipur lara keluargaku setelah mereka kehilangan diriku saat bayi.

Aku tumbuh dan dibesarkan di sebuah panti asuhan setelah warga menemukanku yang masih berupa bayi merah berselimut basah di tepi sungai tak jauh dari panti. Kata Mama aku adalah korban penculikan oleh saingan bisnis Papa dan membuangku ke sembarang arah saat dikejar polisi.

Mama mengajakku melangkah menuju kamar yang dulu pernah menjadi tempat beradu Tiara dalam mimpinya. Mama membuka pintu kamar dan memasukinya. Aku pun perlahan mengikutinya dari belakang.

Mama duduk di tepi ranjang single dengan seprai berwarna biru yang katanya warna kesukaannya.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar ini. Nuansanya hampir sama dengan kamar milikku hanya bedanya di kamar ini ada banyak sekali figura berukuran kecil. Aku mendekati dan mengamati foto-foto itu. Ada banyak gambar seorang anak perempuan dari bayi sampai beranjak remaja.

"Itulah adikmu." Aku mendengar namun tidak menoleh ketika Mama memperkenalkan sosok di dalam figura dan masih sibuk memperhatikan gadis kecil itu.

Bayi gemoy dengan pipi chubby tanpa rambut terlihat jelas lipatan tubuhnya yang hanya menggunakan popok sekali pakai. Bayi itu tengah duduk dengan tangan hendak meraih mainan di depannya. Tampak wajahnya ceria dan tertawa lebar. Imut sekali.

Aku beralih pada figura berwarna hitam yang menampilkan gambar seorang anak kecil tengah mengayuh sepeda dengan wajah riang ditemani Oma. Sepertinya dia sedang belajar mengendarai sepeda karena masih menggunakan sepeda roda empat.

Dalam figura berwarna merah tampak anak kecil mengenakan seragam SD lengkap dengan topi dan dasi. Aku perkirakan usianya saat itu sekitar 8 tahun. Gambar ini pun ia tampak ceria dengan tangan memegang corn es krim miliknya.

Di figura kayu bermotif daun gadis yang sama sedang duduk di bangku panjang sebuah taman. Di depannya ada sebuah danau jernih. Juga dengan wajah ceria sambil menikmati permen kapas berwarna pink dengan ukuran cukup besar untuk anak seusia dirinya.

Gadis ini benar-benar menempatkan dirinya sebagai pelipur lara keluarga angkatnya. Gadis berambut lurus itu tampak sangat menikmati waktu bersama keluarga yang membesarkan dirinya.

"Apa dia selalu tersenyum?" tanyaku tanpa menoleh dan masih memandangi gambar-gambar lainnya.

"Iya. Wajahnya selalu tersenyum walau sedang sakit. Dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah merepotkan walau dia gadis yang manja," ujar Mama terdengar serak seperti menahan tangisnya.

"Dia gadis yang ceria dan bawel. Dia suka jalan-jalan, kemana pun dia mau. Dia suka makan ikan bakar tanpa tambahan bumbu apapun. Dia... dia...." Mama tak sanggup lagi bercerita tentang gadis kecil dalam figura itu. Aku berbalik dan langsung memeluk tubuh wanita yang telah melahirkanku itu.

"Dia takut gelap dan tidak bisa tidur kalau tidak ditemani. Dan dia sekarang sendiri di tempat gelap....."

Mama berusaha meneruskan ceritanya dengan terisak-isak, bahkan tubuhnya bergetar. Pilu sekali rasanya mengalami kehilangan putrinya dua kali. Aku ikut menitikkan air mata seakan aku ikut mengalaminya.

Cukup lama Mama menangis dalam pelukanku. Aku bisa mengerti jika luka kehilangan seorang putri yang pernah menjadi pelipur lara sulit terobati walau satu putrinya telah kembali.

"Maaf, Mama sudah buatmu tidak nyaman karena menceritakan adikmu," kata Mama seraya mengendurkan pelukannya lalu mengusap air mata di pipinya.

"Ceritakan saja aku ingin mendengarnya. Aku ingin tahu seperti apa adikku yang manis itu," jawabku seraya menunjuk figura di dinding kamar ini.

"Apa kamu tidak cemburu dengan kasih sayang kami padanya?" Aku menggeleng dan tersenyum.

Mama menarik nafas dalam dan mengeluarkannya pelan-pelan. Mama tampak berusaha menguasai emosinya cukup lama. Kesedihan itu masih tampak sangat jelas di mataku.

"Dulu Mama dan Papa baru pulang dari luar kota. Saat melewati semak-semak kami melihat seorang gadis yang masih berseragam SMA membawa kantong kresek berwarna hitam dan membuangnya di semak-semak itu. Yang aneh, baju dan roknya ada noda darah yang cukup banyak dan jalannya tampak kesulitan. Ada seorang pria yang menemani gadis itu, yang juga masih berseragam SMA." Mama menghela nafas mengatur kembali emosinya.

"Setelah kedua remaja tadi pergi, kami turun dari mobil dan menghampiri kantong kresek yang dibuang remaja tadi. Papa mengambil kantong yang berlumuran darah itu dan membukanya.....," Mama kembali menangis dan terbata-bata meneruskan kalimatnya, "Ada bayi yang baru dilahirkan lengkap dengan noda darah dan tali pusar yang belum dipotong. Bayi itu telanjang dan menangis kencang saat Papa membuka kantong itu, mungkin karena dingin terkena angin."

Aku memberi wanita tercantikku segelas air putih dan diminumnya serta mengusap air matanya.

"Melihat bayi merah itu Mama teringat kamu yang juga dibuang oleh baby sittermu, Mama jadi iba dan ingin membawanya pulang. Tapi sebelum itu kami bawa bayi mungil itu ke klinik terdekat untuk mendapat penanganan medis. Beruntung bayi itu sehat dan bisa segera dibawa pulang."

"Kami sepakat untuk mengadopsi bayi tak berdosa itu. Dan ternyata semua keluarga setuju karena mereka tahu jika kami masih bersedih atas kehilanganmu dan juga rahim Mama. Mereka ingin bayi malang itu bisa menjadi bayi yang beruntung karena dilimpahi kasih sayang kami. Ternyata memang benar, bayi malang itu bisa menempatkan dirinya sebagai pelipur hati kami. Hingga akhir hayatnya dia tetap tersenyum. Maaf bukan maksud kami menggantikanmu dengan yang lain, tapi nurani kami memanggil untuk merawat bayi tak berdosa itu.

Kata Mama di usia Tiara yang keempat tahun mereka bertemu ibu kandung Tiara. Dia terkejut dan menangis tak mengira bayi yang dibuangnya ternyata masih hidup dan merasa menyesal telah membuang bayinya. Setelah itu dia sering datang untuk menjenguk putrinya dan membawakan banyak barang untuk menyenangkan hati gadis malang itu.

Sementara sang ayah pergi dengan wanita lain setelah beberapa bulan Tiara dibuang dan hilang ditelan bumi.

"Kamu tahu siapa yang telah menyebabkan dia meninggal?" pertanyaan Mama mengusik hatiku penasaran.

"Ayah kandungnya," ujar Mama dengan mata merah penuh amarah.

Akhh!

Ayahnya? Bagaimana bisa? Aku menutup mulut saking terkejutnya sampai berseru dengan nada suara cukup tinggi dan jantungku berasa berhenti berdetak.

Dia akhirnya mengetahuinya dari si ibu tapi tidak mau pernikahannya terganggu oleh hadirnya Tiara, jadi dia berusaha menyingkirkannya. Aku tak habis pikir dengan kegilaan ayah kandung Tiara. Sungguh biadab !

Pria kejam itu dipenjara seumur hidup untuk kematian putrinya, karir serta pernikahannya pun hancur. Dia pantas mendapatkannya karena membunuh putrinya hingga dua kali.

'Adikku sayang nasibmu sungguh malang. Semoga di sana kamu bahagia,' doaku untuk Tiara Nugraha adikku, pelipur lara keluargaku.

Mama berpesan padaku agar bisa menjaga diri dan kehormatan sebagai seorang wanita. Sebab apapun alasannya, wanita adalah pihak yang akan selalu dirugikan. Sama halnya dengan Ibu kandung Tiara yang berulang kali gagal menikah sebab masa lalunya yang pernah hamil di luar nikah membuang bayi yang baru saja dilahirkannya. Meski setiap orang punya kenangan, namun masa lalu seperti ini sungguh teramat dihinakan.


*****TAMAT*****


Cerpen –
KISAH GADIS PELIPUR LARA
Penulis : Ririn Riyanti

RIRIN RIYANTI


Rabu, 30 November 2022

Cerpen - WANITA MALAM Penulis : Ririn Riyanti


    Malam Kamis itu kami berempat akan bertandang ke rumah pacar. Sejak sore kami sudah berencana akan ngapel gadis-gadis itu di suatu kampung dengan jarak yang lumayan jauh. Agar lekas sampai, kami sepakat memotong jalan melalui jalan belakang. Melewati kebun dan sungai. Hujan rintik-rintik tak menyurutkan niat kami untuk bertemu kekasih hati.

"Motorku mogok, Wan!" seru Ali.

"Kamu lupa isi bensin paling," sahutku.

"Gak kok," sanggahnya.

Setelah menemukan masalah dan memperbaikinya, kami pun melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama Edi berteriak. "Woy, rantai motorku putus!"

"Aduh apes...apes. Ada-ada aja." Aku menggerutu kesal. "Mana jalan licin banget pula."

"Sabar, demi pujaan hati," sahut Mustofa.

"Tapi aneh ya, kamu tadi kok sampe nabrak kucing. Untung gak mati." kataku.

"Aku tadi malah hampir lindes ular." Ali tak mau kalah menyahuti.

"Hemh...masih jauh lagi. Empat sungai, kita baru lewati dua sungai udah nemu macem-macem. Moga aja sampe sana selamet, ya."

Kami pun melanjutkan perjalanan melewati hutan. Anehnya kami terus berputar di tempat itu hingga 1 jam lamanya. Kami terpencar, salah satu kawanku si Ali terpisah dari rombongan. Kami mematikan mesin motor. Barulah kami tahu keberadaannya.

"Gue kesasar," kata Ali setelah kami berkumpul lagi.

"Iya, gue tahu, yo berangkat lagi."

Tiba-tiba terdengar ada suara wanita tertawa, tetapi tidak aku hiraukan. Sepertinya yang lain pun tidak mendengarnya.

"Kalian bisa ngaji, 'kan?" Rasa takut sudah mulai datang padaku.

"Ya bisalah, aneh aja lu ini, emang sekafir itu gak bisa ngaji?"

"Syukurlah, tapi saran gue jangan pisah lagi. Ya udah ayo lanjut."

"Wah, gimana ini? Lihat jalannya, turunan licin pula. Kira-kira bisa lewat nggak kita?" Wawan menghentikan sepeda motornya, lalu menunjuk jalan di depan kami.

Kembali aku mendengar suara perempuan tertawa. Kali ini salah satu temanku pun mendengarnya. Mereka mulai ketakutan, aku coba menenangkan dengan mengatakan jika itu hanya suara burung dan tidak perlu takut.

"Kita pulang aja, ya. Mana gerimis nggak berhenti lagi. Apes banget malam ini kita." Mustofa ikut mengeluh.

"Jangan pulang, setidaknya kalau kita nggak ke sana, kita mampir ke rumah Mila. Di sana kan enak bisa numpang ngopi. Lagian gue udah kenal deket sama bapaknya," kataku.

"Ya udah ayo lanjut dari pada ke sana, masih jauh mana jalan kaya gini. Huuuu b*b* doang!" Ali mengumpat kesal karena tidak jadi berjumpa dengan sang kekasih.

"Hust, jangan ngomong sembarangan, ini hutan!"

Suara tawa wanita itu semakin kencang, angin pun tiba-tiba berhembus sangat cepat hingga pepohonan ikut bergoyang.

Ternyata wanita itu ada di atas kepala kami, tertawa sambil mengayunkan kakinya di pelepah kelapa yang tersangkut di pohon randu. Semakin kami melihat, jubah dan rambutnya menjadi semakin panjang. Kami pun lari kocar-kacir dibuatnya.

Ali berlari sambil mengaji, Mustofa berteriak takbir, dan Wawan membaca doa sebelum makan.

Ali terjatuh di jalanan berlubang bekas gerobak sapi yang dipenuhi air. Tiba-tiba dia yang tadinya mengaji berubah membaca doa sebelum tidur.

"Woy, tunggu! Kok gue nggak bisa lari, tolongin gue dipegangin kunti ni!" Ali berteriak sambil terus berputar-putar mengelilingi lubang berisi air itu. Padahal tidak ada yang memeganginya. Spontan aku menarik tangannya, lalu lari secepat mungkin.

Sementara Mustofa tak kalah anehnya. Dia berlari memutari pohon kelapa sambil berteriak, "ada kunti...! Ada kunti...!" Wawan menarik tangan Amir, baru kami bisa lari menjauh.

"Gila! Kunti itu ngejar-ngejar kita, woy!" Terlihat wanita itu terus mengejar sambil tertawa di atas kami.

Dengan napas Senin Kamis, akhirnya sampai juga di perkampungan.

"Nah, motor kita gimana?"

"Biarin, mau dipake kunti kali!" sahutku masih dengan napas ngos-ngosan.

"Enak aja, biar kata motor gue suka mogok, itu motor banyak kenangannya tau!" Mustofa mengoceh tidak terima.

"Iya gue tau tuh motor pernah bawa si Runtah itu 'kan?"

"Enak aja cewek gue secantik itu lu bilang runtah. Muka lu kayak runtah!" jawabnya kesal.

"Ya udah gampang masalah motor mah diambil besok aja."

"Gak mau, pokoknya sekarang."

Dengan sangat terpaksa kami menuruti kemauan Mustofa. Namun ditemani oleh salah satu warga kampung itu, Mang Marsid. Berbekal senter kami bergegas ke sana.

Sesampainya di sana kami dibuat terheran-heran, mesin motor dalam keadaan menyala semua. Kami menjadi sedikit ragu dan takut. Tiba-tiba motor mengegas kencang sekali, spontan kami lari lagi.

Saking takutnya, Mang Marsid lari lalu memanjat pohon duku tanpa kami ketahui. Ternyata dia juga seorang penakut.

"Kok motor bisa ngegas sendiri, ya?"

"Gue yang tarik tadi," sahut Mustofa.

"Lah, kalo gitu ngapa lu ikut lari?"

"Liat lu pada lari ya gue ikut larilah."

Setelah tiba di perkampungan lagi, kami membasuh muka dan kaki. Di rumah Mang Marsid kami disuguhi kopi. Tak disangka, ternyata Mang Marsid punya anak gadis lumayan cantik.

Sambil ngopi dan memakan cemilan, kami menertawai kejadian yang baru saja dialami.

"Woy Bro, ini pengalaman bakal gue ceritain nanti kalo dah punya anak. Biar nanti anak gue kalo punya pacar jangan sama anak pelosok," kataku.

"Ya nggak papa anak pelosok. Kitanya aja yang ngapelnya malam. Coba kalo siang, aman-aman aja pastinya," Ali menimpali.

"Sebelum kalian, abis Isya ada yang lewat kebun itu pake motor. Dia ngerasa motornya itu berat banget. Nggak taunya lagi boncengin pocong," kata Mang Marsid membuat kami melongo dan saling bertatapan.

*****TAMAT*****

Cerpen –
WANITA MALAM
Penulis : Ririn Riyanti
Inspirasi by : Alsyafiq Abi

RIRIN RIYANTI


Jumat, 28 Oktober 2022

Cermat - SEBUAH TANGAN Penulis : Ririn Riyanti

     Rumah baru di dekat bekas bendungan itu masih terasa dingin. Perapian yang biasa digunakan untuk memasak dan menghangatkan rumah belum dinyalakan sejak ditinggali beberapa hari ini. Suasana sekitar rumah itupun sangat sejuk dan alami dengan beberapa rumpun bambu di tebing yang berada di samping kiri.

Malam yang semakin larut terasa dingin menusuk tulang karena hujan sejak kemarin baru saja reda sore tadi. Zul seorang diri, sementara Nadia sang kakak bersama suami dan anaknya tengah berada di luar daerah. Ada undangan pertemuan dengan keluarga besar suaminya.

"Hemh... dingin banget," kata Zul sambil mengusap lengan atasnya. Pemuda itu tengah meringkuk di atas dipan kamarnya bersama selembar selimut usang yang menutup hampir seluruh tubuh.

"Kok ada bau orang bikin kolak, ya? Enak sekali malam-malam dingin gini makan kolak panas." Zul bergumam sendiri. Dalam benaknya terbayang sepiring kolak pisang atau ubi masih berasap. Teman dingin yang menyenangkan dan mengenyangkan, pikir Zul.

Tak lama kemudian tangannya terasa ada yang menyentuh. Siapa? Aku 'kan sendirian, gumamnya dalam hati.

Tap! Zul mencengkeram erat tangan yang menyentuhnya itu. Dia tidak ingin kecolongan, bisa saja itu adalah seorang maling yang mencoba mengetahui apakah dia sudah tidur atau belum.

Tapi kemudian Zul menyadari ada yang aneh. Tangan itu terlalu besar dan berbulu sangat lebat. Dia yakin tidak ada seorang pun yang dikenalnya memiliki tangan seperti itu.

"Astaghfirullahal adzim!"

Zul segera melepaskan cengkeramannya, melompat dari dipan, lalu berjalan sangat cepat melewati jalan yang berada di atas tanggul ke arah timur. Setibanya di tempat tujuan, pria itu segera menggedor rumah Irfan sahabatnya. Dengan secepat kilat Zul masuk ke dalam kamar milik Irfan, lalu duduk dengan napas yang masih naik turun.

"Ada gendruwo pegang tanganku!" Zul bercerita tanpa diminta dengan lengkap dari a sampai z.

"Kamu jalan sendirian ke sini tidak menabrak apapun?" tanya Irfan tak percaya.

Zul mengangguk. Sementara Irfan menatap sahabatnya dalam keterpukauan. Zul seorang pria yang kehilangan pengelihatan permanen karena glukoma.

*****

Cermat (cerita malam Jumat)
SEBUAH TANGAN
Penulis : Ririn Riyanti
RIRIN RIYANTI



Rabu, 26 Oktober 2022

Cerpen - KISAH PILU Penulis : Ririn Riyanti


     Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan Dariel makin dekat. Tidak dapat dipungkiri jika hatiku cukup terhibur dengan kehadirannya. Ini sedikit bisa mengobati luka karena patah hati, walau nyatanya hati ini masih utuh untuk Adam. Hanya beruntungnya sudah tidak lagi terlalu down.

Mungkin benar kata pepatah jika mencinta sekedarnya saja, jika membenci pun sekedarnya saja jangan berlebihan. Cinta yang berlebihan akan sangat sakit jika putus dan akan jadi benci. Benci yang berlebihan pun bisa berubah jadi cinta. Tidak ada yang tahu rahasia hati. Hanya Allah Yang Maha Membolak-balikkan Hati.

Hari ini aku pulang latihan karate cukup kesorean, hampir maghrib. Kali ini bukan Dariel yang antar pulang, karena dia tidak ikut persatuan. Aku pulang diantar Adam.

Aku sempat berpikir sudah tidak ada getaran lagi di dada saat berada di dekatnya. Nyatanya masih terasa cukup kuat. Bahkan aku sampai bingung mau bicara apa, maka jadilah kami hanya diam seribu bahasa.

Begitu memasuki ruang tamu panti, aku dikejutkan dengan kehadiran Bu Aisyah di tengah anak-anak. Beliau sedang sibuk berbagi hadiah untuk mereka. Aku hanya menyapa sekedarnya karena harus segera mandi dan sholat maghrib.

"Kakak, Kakak." Mila si kecil datang menghampiri saat aku sedang menyiapkan makan malam.

"Ya, ada apa Mila?" tanyaku dengan tangan masih membawa piring ke tikar di lantai untuk kami makan dibantu Didin dan Yoga yang membawa minum.

"Tadi kita semua dapat hadiah baju baru, lho dari Bu Aisyah. Bu Aisyah baik ya, Kak?" celetuk gadis kecil itu membuatku tersenyum.

"Doakan apa untuk Bu Aisyah, Sayang?" Aku mengetest kebiasaan anak-anak.

"Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik untuk Bu Aisyah," ucap Mila memanjatkan doa yang disambut kata amin oleh saudara-saudaranya.

*******. *******

     "Dian, ada yang ingin Ibu ceritakan denganmu juga Bunda dan Bu Aminah. Kamu ada waktu untuk kita bicara, kan?" tanya Bu Aisyah kala kami selesai mencuci piring usai makan malam.

Kami duduk di ruang tamu. Bu Aisyah bilang suaminya akan menyusul nanti. Saat ini sedang bekerja katanya.

Bu Aisyah masih belum bicara, hanya beberapa kali menghela nafas panjang seperti begitu sesak dadanya.

"Dian, Bunda dan Bu Aminah, saya ingin cerita tentang putri saya. Saya selalu sedih bila merindukannya. Tapi saya butuh teman untuk berbagi," ucap Bu Aisyah dengan air mata mulai mengalir di pipinya.

"Ceritakanlah, Bu. Kami siap mendengarkannya." Bu Aminah mengusap lembut punggung tangan Bu Aisyah.

"Kami menikah hampir delapan tahun lamanya baru bisa memiliki momongan. Kami sangat bahagia. Setelah USG, bayi kami dinyatakan berjenis kelamin perempuan. Karena liputan bahagia itu kami seperti mendapatkan cahaya. Maka begitu lahir, kami sepakat memberinya nama Bintang Cahaya Hati yang kini jadi nama perusahaan." Beliau berhenti sejenak untuk menarik nafas.

"Pasca melahirkan secara sesar karena ada pengangkatan kista di rahim, kami check up medis untuk mengetahui keadaan rahim saya pasca operasi. Sepulang dari rumah sakit, di tengah jalan kami dihadang penjahat yang mengincar nyawa kami. Beruntung kala itu ada warga yang baru pulang dari ladang secara berkelompok lewat dan menolong kami." Terlihat beliau masih cukup tenang meski masih terus menangis.

"Namun sebelum warga datang, saya sudah menyuruh pengasuh Bintang untuk membawa lari bayi kami agar selamat dari penjahat. Tapi ternyata dia justru ikut terlibat dalam kasus itu. Setelah semua tertangkap, saya sangat syok. Ternyata dia membuang bayi kami dan lupa kemana membuangnya." Bu Aisyah menangis terisak-isak sampai terlihat sesak. Aku memberinya minum air putih hingga sedikit lebih tenang.

Kami masih duduk di sekitar Bu Aisyah menunggu beliau bercerita lagi. Bunda sempat memeluknya untuk memberi kekuatan. Sebagai seorang wanita Bunda mengerti apa yang dirasakan Bu Aisyah. Karena Bunda pernah bercerita jika dulu Bunda juga pernah hamil namun keguguran. Aku yakin rasa keduanya bisa saja sama.

"Tiga tahun pasca melahirkan saya harus melakukan operasi pengangkatan rahim. Karena ternyata kista yang sudah diangkat itu justru meninggalkan sel kanker yang cukup ganas. Saya kehilangan semangat hidup karena kedua kejadian itu. Apalagi sekian lama mencari, kami masih belum menemukan putri kami yang hilang."

Bu Aisyah tampak semakin sedih dan terlihat jelas jika beliau benar-benar terluka. Berulang kali dihirupnya oksigen, lalu dikeluarkan perlahan untuk menetralkan emosinya. Kuakui kemampuan Bu Aisyah dalam mengendalikan emosi sangatlah baik.

"Akhirnya keluarga memutuskan untuk mengadopsi bayi sebagai pelipur lara kami. Anak itu juga perempuan. Gadis manis yang pintar dan ceria, namun cukup manja. Kehadirannya benar-benar mampu membuat saya tersenyum dan tertawa meski tetap berdoa agar bisa kembali bertemu putri kandung saya."

"Tapi, itu pun tidak berlangsung lama. Di usia sebelas tahun atau tepatnya tiga tahun lalu, gadis manis itu meninggal karena kecelakaan. Saya sangat sedih. Sedih sekali. Mengapa Allah tak mengizinkan saya untuk memiliki anak meski bukan dari rahim saya sendiri. Sejak saat itu saya kesulitan untuk makan dan tidur. Saya merasa Allah tidak adil pada saya."

Bu Aisyah tidak sanggup lagi bercerita. Karena terlalu kuat menangis hingga akhirnya tubuh Bu Aisyah tergeletak tak sadarkan diri, beliau pingsan. Sungguh begitu berat hidup yang harus dialami Bu Aisyah.

Aku bersimpati padanya. Kuusap air matanya yang terus mengalir meski dalam keadaan tidak sadar. Tanpa sadar aku mencium kening wanita yang selalu tampil elegan itu. Tiba-tiba terasa ada desiran halus di dada. Ada yang berbeda dalam diriku. Tapi apa?

Saat kami tengah berusaha menyadarkan Bu Aisyah, terdengar suara seseorang mengucap salam dan kami menjawabnya segera.

"Sayang, kamu kenapa?" Seorang pria paruh baya setengah berteriak melihat Bu Aisyah yang tidak sadarkan diri. Aku yakin dia suaminya, Ahmad Zulkarnain.

Pria itu fokus membangunkan istrinya. Hingga tak lama Bu Aisyah pun bangun. "Alhamdulillah," seru kami serentak karena bahagia.

Mendapati istrinya sadar, pria tadi langsung memeluk dan menciumi wajah istrinya bertubi-tubi. Aku bisa melihat dengan jelas betapa besar cinta pria itu pada istrinya. Semoga kelak aku juga bisa mendapatkan suami sebaik suami Bu Aisyah.

Pria itu mengenalkan dirinya sebagai suami Bu Aisyah. Kami pun memperkenalkan diri sebagai pengasuh dan anak di panti ini. Saat melihatku, dia terdiam cukup lama. Seakan memandangku penuh kerinduan. Entah siapa yang dilihatnya dalam diriku.

Tiba-tiba dia memelukku erat bahkan hingga tidak bisa melepaskan diri. Aku sampai kesulitan bernapas saking kencang pelukannya.

Pria yang kini kami panggil Pak Ahmad, menangis tergugu sangat lama sambil terus memeluk tubuhku. Aku merasakan kembali hal yang sama seperti saat mencium kening Bu Aisyah.

"Ya Allah, apa artinya ini?' batinku. Sementara air mata ikut mengalir bersama air mata Pak Ahmad, dan kulihat Bu Aisyah pun ikut menangis penuh haru.

"Bintang.. Bintang.. Bintang..."

Berulang kali Pak Ahmad menyebutkan nama itu kala memelukku. Aku yang tak mengerti hanya menurut saja diam dan ikut menangis dalam pelukannya.

"Bintang... Bintang... Bintangku...kamu di sini, Nak?"

*****TAMAT*****

Cerpen –
KISAH PILU
Penulis : Ririn Riyanti
21 Oktober 2022

RIRIN RIYANTI


Pentifraf - JUMAT TERAKHIR Penulis : RIRIN RIYANTI


     Hari Jumat Shera bersama suami dan anaknya pergi ke rumah orang tuanya. Sebelum menghadapi hari-hari sibuk, dia memutuskan menjenguk sang ibu yang sedang sakit. Mereka bertiga berkendara sepeda motor butut keluaran tahun 2005. "Ini, Bu. Aku cuma bawa buah salak." Shera meletakkan satu kantong plastik berisi buah salak kesukaan ibunya tepat di sisi ranjang. "Harusnya bukan cuma ini yang kamu bawa." Begitulah, ibunya tak pernah bersikap lembut padanya.

Segala hal Shera lakukan di sana. Melayani ibunya juga membantu membereskan rumah. Biasanya tangan sang ibu sibuk tak bisa diam melihat seisi rumah yang berantakan. Meski kerap diperlakukan kurang baik, Shera tak pernah protes. Baginya, walau tak pernah melahirkannya, tetapi wanita itu telah sangat berjasa membesarkannya.

Selepas Dzuhur mereka pamit pulang. Perjalanan jauh kembali ditempuh dengan kecepatan 60 KM/jam. Ini suami Shera lakukan agar bisa segera sampai rumah sebelum hujan mengguyur, karena langit terlihat semakin menggelap. Akibat kelelahan dan kurang istirahat, Shera merasakan kantuk luar biasa. Berkali-kali matanya terpejam, dan di jalanan menanjak tiba-tiba tubuh Shera terhenyak ke belakang. Beruntung tangannya sempat meraih baju suaminya, dan dia terselamatkan. Andai itu tak dapat dia lakukan, hari itu adalah Jumat terakhir untuknya. "Hati-hati di jalan, Jumat depan kamu harus ke sini lagi." Ucapan ibunya terngiang, seakan sebagai doa penyelamat.

******TAMAT***

Pentifraf (cerpen tiga paragraf) –
JUMAT TERAKHIR
Penulis : Ririn Riyanti
24Oktober 2022

RIRIN RIYANTI


Selasa, 25 Oktober 2022

Cerpen – SAHABAT Penulis : Sri R

     Dea dan Dini adalah dua sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Mereka bersahabat sejak masih anak-anak hingga kini keduanya menginjak dewasa.
Masing-masing punya cerita yang berbeda, seperti juga hari ini mereka saling bercerita, mengisahkan perjalanan hidup dan kisah kasihnya.

Dengan menarik nafas panjang Dea yang mulai bercerita. "Ah.. Aku bingung Din menghadapi kehidupan ini. Kehidupan yang semakin hari semakin tidak ku mengerti."

"Emangnya kenapa, kamu sampai punya pikiran seperti itu?" Tanya Dini kepada Dea. Dini tak mengerti maksud omongan Dea.

"Iya hidup ini Din, aku kadang bingung memilih apa yang mesti bagiku dan jalan mana yang harus aku tempuh. Terkadang ingin aku berlari dari kehidupan yang tidak ku mengerti ini, semua yang aku lakukan seakan tidak ada artinya lagi."

"Aku susah Din, susah untuk melangkah kemana aku harus pergi mencari kehidupan aku yang sebenarnya ."

Sambil memegang pundak Dea, Dini mencoba menenangkan dan meyakinkan perasaan sahabatnya itu. "Kamu tidak boleh putus asa begitu Dea! Dosa lho, justru sebaliknya dalam menghadapi hidup ini kita mesti kuat dan harus berusaha untuk bisa keluar dari masalahmu!"

"Iya sih." jawab Dea

"Tapi bagaimana caranya Din ?"

"Oke oke." jawab Dini.

"Kamu coba deh solat, serahkan dan pasrahkan dirimu dengan setulus hati kepada Alloh. Berdoalah memohon ampun dan petunjuk dari yang maha kuasa. Kalau kamu bisa pasrah dengan segenap hatimu, insya Alloh doa - doamu akan didengar Alloh swt.Gimana Dea, kamu siap melaksanakan itu?"

Dea tidak langsung menjawab. Dea hanya tersenyum, pandangannya yang kosong menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang berpikir dan menerawang jauh.

Rambutnya yang sebahu bergerai di tiup angin. Terlihat jelas di wajah sahabatnya itu seperti kebingungan dan kesepian. Melihat begitu, Dini sebagai sahabat Dea sejak kecil, tak tega melihat apa yang sedang dirasakan dan dialami sahabatnya itu. Dini tak mau melihat Dea bersedih terus menerus.

Akhirnya sambil menggandeng sahabatnya itu berkata," sudah- sudah gak usah diterusin ceritanya"! Dini menyadarkan Dea dari kesedihannya. Lebih baik kita jalan aja, cari angin, kali aja dengan begitu hati dan perasaanmu bisa tenang..

"Giman setuju?"

Dea mengangguk, tanda setuju. Terlintas di wajah DIni rasa gembira ketika Dea mau diajak jalan olehnya. Keduanya seraya berdiri kemudian berlalu meninggalkan tempat kenangan yang biasa mereka singgahi. Mereka menuju rumah makan yang tempatnya tidak jauh dari tempat kenangan mereka.

"Mau pesen apa ?" Dini menawarkan menu makanan kepada Dea. 

" Jus sirsak aja," jawab Dea. 

"Terus makannya apa ?" Dini bertanya lagi.

"Ah gak usah. Aku tidak lapar, Kalau kamu laper kamu aja yang makan aku enggak." Dea malah berbalik menyuruh Dini makan. 

"Kalau begitu ya sudah kita pesen minum aja." Dini pun memesan dua buah jus dan makanan ringan.

Akhirnya Dea kembali tersenyum dan tertawa, mungkin sedikit demi sedikit apa yang d katakan Dini bisa merubah suasana hati Dea dan bisa.melupalan masalahnya. Dininpun bahagia dan bersyukur melihat sahabatnya ceria kembali. Keduanya asyik dengan ceritanya masing-masing dan merekapun larut dalam kebersamaan.

*****TAMAT*****

Cerpen –
SAHABAT
Penulis : Sri R
Bandung, Oktober 2022

SRI R


Jumat, 08 Juli 2022

Kajian Sastra Syamsul Rizal (Tok Laut) - PUISI

 


PUISI

Puisi adalah alat pengungkapan pikiran, perasaan dan sebagai alat ekspresi. Karya sastra merupakan bentuk komunikasi yang tidak terlepas dari empat pendekatan yakni

1. Pendekatan objektif (objective criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada karya sastra,
2. Pendekatan ekspresif (expressive criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada penulis,
3. 3.Pendekatan mimetik (mimetic criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan terhadap semesta/alam,
4. Pendekatan pragmatik (pragmatic criticism), yaitu kajian sastra yang menitik beratkan pada pembaca.

Pendekatan ekspresif telah dikembangkan menjadi psikologi sastra dan antropologi sastra. Oleh karena itu, secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam bahasa Inggris, puisi ini adalah poetry yang erat dengan -poet dan -poem. Mengenai kata poet yang berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang mampu memasuki alam metafisis menuju alam makrifah. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Definisi puisi yang dikemukakan para penyair romantik Inggris sebagai berikut;
• Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.

• Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.

• Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.

• Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturut-turut secara teratur).

• Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah, bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan panca indera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.

UNSUR – UNSUR PUISI

Secara sederhana, batang tubuh puisi terbentuk dari beberapa unsur, yaitu kata, larik, bait, bunyi, dan makna. Kelima unsur ini saling mempengaruhi keutuhan sebuah puisi. Secara singkat bisa diuraikan sebagai berikut:

• Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi) yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain. Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik.

• Larik (atau baris) mempunyai pengertian berbeda dengan kalimat dalam prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frase, bisa pula seperti sebuah kalimat. Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buat, tapi pada puisi baru tak ada batasan.

• Bait merupakan kumpulan larik yang tersusun harmonis. Pada bait inilah biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik dalam sebuah bait biasanya empat buah, tetapi pada puisi baru tidak dibatasi.

• Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi yang ditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Sedangkan irama (ritme) adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek, dan keras lembut ucapan bunyi. Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait), tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.

• Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata, pembentukan larik dan bait. Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah misi penulis puisi disampaikan.
Adapun secara lebih detail, unsur-unsur puisi bisa dibedakan menjadi dua struktur, yaitu struktur batin dan struktur fisik. Struktur batin puisi, atau sering pula disebut sebagai hakikat puisi, meliputi hal-hal sebagai berikut:

• Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.

• Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan psikologisnya.

• Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca.

• Amanat/tujuan/maksud (itention), sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.

STRUKTUR FISIK PUISI

Sedangkan struktur fisik puisi, atau terkadang disebut pula metode puisi, adalah sarana-sarana yang digunakan oleh penyair untuk mengungkapkan hakikat puisi. Struktur fisik puisi meliputi hal-hal sebagai berikut.

• Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.

• Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata.

• Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair.

• Kata kongkret, yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan atau lambang.

• Bahasa figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/ meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapun macam-macam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks, antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.

• Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme, dan metrum.
Secara etimologi kata Psikologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno Psyche dan Logos. Kata psyche berarti “jiwa, roh, atau sukma”, sedangkan kata logos berarti “ilmu”. Jadi, psikologi secara harfiah berarti ilmu jiwa, atau ilmu yang objek kajiannya adalah jiwa

Psikologi Sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan, sebagaimana Sosiologi Refleksi, Psikologi Sastra pun mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan.

Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh 3 pendekatan sekaligus. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang mengkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya

Pendekatan ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya pada ekspresi perasaan atau tempramen penulis (Abrams, 1981: 189). Informasi tentang penulis memiliki peranan yang sangat penting dalam kajian dan apresiasi sastra. Penilaian terhadap karya seni ditekankan pada keaslian dan kebaruan (Teew, 1984: 163-165).

Pendekatan ini dititik beratkan pada eksistensi pengarang sebagai pencipta karya seni. Sejauh manakah keberhasilan pengarang dalam mengekspresikan ide-idenya. Karena itu, tinjauan ekspresif lebih bersifat spesifik. Dasar telaahnya adalah keberhasilan pengarang mengemukakan ide-idenya yang tinggi, ekspresi emosinya yang meluap, dan bagaimana dia mengkomposisi semuanya menjadi satu karya yang bernilai tinggi. Komposisi dan ketepatan peramuan unsur-unsur ekspresif di sini akhirnya menjadi satu unsur sentral dalam penilaian. Karya sastra yang didasari oleh kekayaan penjelmaan jiwa yang kompleks tentunya mempunyai tingkat kerumitan komposisi yang lebih tinggi dibanding dengan karya sastra yang kering dengan dasar jelmaan jiwa.

Psikologi sastra adalah suatu kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Sebagaimana wawasan yang telah lama menjadi pegangan umum dalam dunia sastra, psikologi sastra juga memandang bahwa sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang diabdikan untuk kepentingan estetis. Karya sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya ternuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun suasana rasa/emosi Roekhan (dalam Aminuddin, 1990:88-91).

Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan psikologi. Antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional, demikian menurut Darmanto Yatman (Aminuddin, 1990:93). Pengarang dan psikolog kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Keduanya mampu menangkap kejiwaan manusia secara mendalam. Perbedaannya, jika pengarang mengungkapkan temuannya dalam bentuk karya sastra, sedangkan psikolog sesuai keahliannya mengemukakan dalam bentuk formula teori-teori psikologi.

Oleh : Syamsul Rizal (Tok Laut)
Tanjungbalai,Sumatera Utara
Kamis, 11 Juli 2013

SYAMSUL RIZAL
(TOK LAUT)


Senin, 04 Juli 2022

“KIDUNG HATI AMRETA” MERAWATI MAY (Buku Puisi Sejarah Cinta Yang Panjang) Oleh : Handrawan Nadesul


   
Sahabat lawas saya Mas Irawan Massie, pernah agak ragu dulu melabel serumpunan puisi saya sebagai puisi romantik, sehubungan kompilasi puisi-puisi saya bernuansa cinta. Puisi beraroma romantik (romantic poem).

Saya mengingat-ingat kembali, membongkar khazanah puisi dunia, saya menemukan puluhan penyair dunia menulis puisi romantik. Saya tidak sendiri, dan tidak perlu bimbang apa masih layak tetap melanjutkan menulis puisi romantik. Tema romantik selalu hadir pada lintas usia.

Dimulai dengan karya-karya William Shakespeare, Pablo Neruda dengan sekitar 30 puisi cinta romantiknya, Maya Angelou, John Clare, Kahlil Gibran, Elizabeth Barret Browning, Christopher Marlowe, Oscar Wilde, Edmund Spencer, Omar Khayam, William Blake, Edgar Allan Poe, Emily Dickinson, Percy Bysshe Shelley, sampai Tu Fu, dan semua penyair dunia ini menuangkan puisi romantik dengan segala versinya, sampai pada usia sepuhnya.

Demikian pula adanya sekumpulan puisi Merawati May, yang sudah tidak remaja lagi, menuliskannya dalam buku puisi bertajuk Kidung Hati Amreta yang saya terima kemarin, lebih sebagai ungkapan sejarah cinta.

Cinta yang katakanlah multifungsi. Cinta dalam angan-angan, dalam imajinasi, dalam fantasi, cinta yang nyata, cinta yang kuyup, cinta yang meratap. Dan inilah dunia cinta May, yang terasakan miris dan getir. Melintas pula di sana cinta yang hampa, yang merajuk, yang menangguk harapan. Melimpah ruah tentang cinta. Sosok sejarah cinta seseorang.

Dalam buku puisi berkurun 4 tahunan, satu puisi tahun 2017, beberapa puisi bertitimangsa 2018, selebihnya dari 96 puisi ditulis 2021. Buku yang dipersiapkan sebagai hadiah ulang tahun perkawinan ke-21, bukan gadis ting-ting lagi.

Saya belum mengenal May sebagai individu maupun karya puisinya. Yang saya tahu banyak puisi ditampilkan di akun FB-nya. May penyair jebolan media sosial, alumni FB khususnya. Apa yang saya bisa tangkap pada buku puisi May setebal 132 halaman ini?

May menyanyikan cinta. Sudah disebut, kalau itu semua ungkapan tentang cinta. Menghayati puisi yang dijadikan judul bukunya, Kidung Hati Amreta, boleh jadi ini suara cinta yang getir, cinta yang tersedu, dan terasa perih.

May minta kita mendengarkannya ia sedang bernyanyi. Bisa jadi ada jeritan kecil di sana. Ada yang mengiris, ada permohonan selayaknya hati seorang wanita, yang peka terhadap sekitar, terhadap perasaannya sendiri, entah kepada siapa, entah untuk apa, tak selalu jelas itu semua ke mana dialamatkan.

Mengamati semua puisi May dalam buku ini, seakan tiada hari tanpa puisi. Tiada hari tanpa ungkapan cinta. Sekadar ingin memberi catatan saja untuk May, bahwa dia begitu produktif. Dalam satu hari pada 10 Agustus saja bisa 4 puisi dilahirkan.

Tidak banyak, kalau bukan langka, penyair yang sanggup melakukannya.

Menulis puisi sebanyak itu, saya menduga, berisiko terjebak menghadirkan puisi yang terlalu encer, dan kelewat longgar, mengingat idealnya puisi dilahirkan eloknya menempuh pengendapan. Bahkan belum tentu semua puisi setelah diendapkan waktu, masih dirasa laik untuk dihadirkan. Perlu butuh waktu untuk kembali ditilik. Mas Sapardi Djoko Damono melakukan itu, seingat saya.

Puisi ditulis memetik dahan membuang ranting. Bila tidak demikian, boleh jadi membawa penyair terantuk jebakan lain, saking kelewat rajin puisi ditulis. Jauh berbeda dengan prosa, sekali lagi, puisi perlu diendapkan, perlu disublimasi, dikristalisasi, kalau menginginkan puisi menyentuh pembacanya.

Dalam kodrat bersastra, ada beda antara produktif dengan kreatif, saya kira. Sebagai upaya exercises, tak salah menulis puisi lebih sering, lebih rajin. Tapi, hemat kita, tidak semua puisi hasil kerajinan berlatih, harus dipaksakan hadir. Menulis puisi tidak seinstant menulis buku harian.

Saya mengamati, secara teknis, dan berungkap, May sudah menguasai. Namun ihwal mengisinya, memilah kontennya, tidak semua selaiknya diangkat. Tidak serta-merta apa saja yang remeh temeh, laik jadi konten puisi, saya kira. Perlu rasa-pikir yang besar, yang dituangkan pada sudut yang kecil, supaya menukik, bukan menyebar sebagaimana prosa. Puisi tidak secerewet prosa.

Menulis puisi, bukan pula harus terjebak sekadar memadatkan kalimat dan memenggal-menggalkannya, melainkan memadatkan rasa-pikir yang hendak dituangkan. Perlu rasa-pikir yang lebih besar, lebih punya nilai, dibandingkan hanya untuk menulis prosa. Digigit kutu busuk, umpamanya, bisa jadi bahan prosa yang bagus, namun tidak laik untuk bahan puisi, saya kira.

Menuangkan semua apa saja yang ada dalam rasa-pikir dalam berpuisi, berisiko terjebak menuliskan hanya lirik. Prosa lirik sah saja, selama tidak kehilangan metafora. Kita tahu beberapa syarat diminta untuk mengindahkan puisi, yang membuatnya menjadi selalu elok menyentuh.

Bukan menuangkan samuderanya, melainkan ombaknya. Bukan menuangkan anginnya, melainkan rasa sejuknya. Bukan langitnya, melainkan birunya. Bukan rembulannya, melainkan nuansa purnamanya. Bukan cintanya melainkan rasa di baliknya. Begitu yang puisi minta, saya kira. May banyak menulis peristiwa, apa adanya, pemotret yang tekun.

Saya salut May begitu gigih, dan menyimpan potensi menulis puisi. Modal kepenyairannya sudah ia miliki, tinggal lebih menukik dalam menuliskan dan menuangkannya. Lebih cermat memilah oleh karena bukan apa saja rasa-pikir laik dijadikan puisi.

Puisi bukan saja butuh padat nilai, nilai yang besar, menjadi tidak indah kalau terlalu polos menuangkannya. Tanpa kekuatan metafora, pilihan kata, dan kepekaan rasa bahasa, puisi menjadi sangat telanjang, atau bukan puisi namanya.

Puisi bukan kalimat panjang yang secara struktur dikerat-kerat sehingga menyerupai sosok puisi. Ini jebakan yang berisiko menimpa penyair bila apa saja dalam rasa dan pikir dituangkan semuanya. Puisi juga harus terhindar dari maksud mendefinisikan. Puisi bukan definisi apapun.

Selamat buat May. Saya membaca, bagi May puisi sepertinya segalanya buat hidupnya. Penyair yang melanglang dan singgah ke mana saja kegiatan bersastra negeri hadir. Dalam tempo sangat singkat, May berkibar, dan May layak menjadi contoh bagaimana di tengah semarak di mana-mana ada saja yang tergerak menulis puisi, penyairnya hadir.

Salam puisi,
Handrawan Nadesul
“KIDUNG HATI AMRETA” MERAWATI MAY
Buku Puisi Sejarah Cinta Yang Panjang

HANDRAWAN
NADESUL










Ass wr wb,

Dear May,
Selamat sore. Saya kirim sekedar komentar atas bukumu KIDUNG HATI AMRETA. Semoga berkenan.

KIDUNG HATI AMRETA adalah judul buku kumpulan puisi yang ditulis Merawati May penyair dari Bengkulu.

Sesuai judulnya buku ini sebagian besar berisikan puisi-puisi yang bernada cinta. Tidak ada yang salah. Tema cinta memang sangat disukai para penyair, khususnya penyair pemula. Sebagai penyair yang produktif, May juga mencurahkan perasaannya pada puisi-puisi yang ditulisnya. Selain itu ada puisi tentang perjalanan dan anak desa yang juga merupakan tema-tema tipikal seorang penyair. Kalau saja untaian kata yang ditulis May lebih diresapi dan ditunggu beberapa waktu sebelum disampaikan puisi-puisi yang ada di buku ini akan sangat menarik. Sayangnya May kurang sabar untuk mengendapkan tulisannya sebelum disajikan. Tetapi bukan masalah utama. Perjalanan waktu dan pengalaman akan mendewasakan puisi-puisi yang mungkin akan segera hadir. Kekaguman akan tempat atau kota yang baru sekali dikunjungi juga dilukiskan lewat kata-kata indah oleh May. Akan lebih indah kalau May mempunyai waktu untuk meresapkan sebentar kekaguman tersebut sebelum dilontarkan sebagai puisi. Menulislah terus May. Dengan ketekunan menulis dan mengamati tulisan-tulisan yang telah disampaikan, karya-karyamu yang akan datang akan terasa lebih dewasa.

Prijono Tjiptoherijanto
Penyair dan Guru Besar Ilmu Ekonomi UI

Salam puisi,
Prijono T
FEB-UI
PRIJONO T


Kamis, 23 Juni 2022

Cerpen - SEPENGGAL TANYA DALAM KECEWA Penulis : Riri Eka Putri


 

   Pagi itu saat gerimis mulai membasahi jalan. Jarum jam menunjukan pukul 0.8 pagi. Dengan malas kulangkahkan kaki kekamar mandi. Ada rasa malas menyeruak di hati. Tapi hari ini aku harus hadir karena tuntutan pekerjaan dikantor. Cuaca semakin dingin gerimis berubah menjadi rintik hujan membuatku semakin malas untuk beranjak dari duduk ku.

Tiba - tiba telefon itu bordering.
“Assalamu'alaikum Pe”, begitu suara terdengar dari seberang sana.

Kemudian telefon di tutup. Dalam bingung hati bertanya....ada apa ya???

Satu jam kemudian SMS bordering. Ah.....ada apa ini?? Pertanyaan dan tuduhan bertubi menyerangku. Rintik hujan semakin deras. Sederas airmata yg mengalir di pipi. Aku semakin bingung dengan semua tuduhan yang tak beralasan.

“Pe.....”, tiba - tiba sebuah sentuhan mengusap pipi.

“Pe ada apa? Kenapa matamu sembab?”

Pe semakin terisak saat pelukan hangat itu mendekapnya. Pe melihatkan SMS itu pada orang terkasihnya. Ada kecewa saat itu ketika kepercayaan di sia siakan ketika tuduhan seperti terdakwa. Entah apa yang terukir dipikiran mereka sehingga begitunya mereka memusuhi Pe tanpa harus bertanya dulu.

Pe bingung, terbesit tanya dalam kecewa. Ujian apa lagi ini? Pe menyadari setiap yang beriman itu pasti di uji. Pe tak pernah menyalahi takdir namun begitulah roda kehidupan.

Hari berlalu waktupun berganti pe berusaha untuk tetap tegar dg semua ini. Dia hanya selalu teringat akan masa masa indahnya dulu ,waktu masih bersama orang tua yang mencintainya. Hidupnya yang selalu bahagia jauh dari kesedihan, namun itulah hidup. Saat orang lain tak bisa menilai. Hanya mendengar dari mulut ke mulut tanpa harus mencari kebenaran.

Pe satu pesanku untuk mu. Bersabarlah karena kebenaran itu akan terungkap. Dan biarkan waktu membuktikan semuanya
Didunia engkau kalah akhirat adalah kehidupan mu. Tetap istiqamah.....Selalulah menjaga ukhuwah.

*****TAMAT*****

Cerpen –
SEPENGGAL TANYA DALAM KECEWA
Penulis : Riri Eka Putri


Cerpen - KENANGAN ITU Penulis : Riri Eka Putri


   
Sisa hujan semalam masih membasahi jalan. Kupercepat langkah ini menuju perantara Rumah Sakit , suara itu masih terngiang di telingaku, ketika kumelewati ruangan operasi.

Ops hampir saja ruang pendaftaran itu terlewati.
“Ada yang bisa dibantu dek?”, sebuah suara mendekatiku dengan tanpa basa basi.

Aku pun mengangguk,”iya bu,"
Aku masih bengong berdiri diruang pendaftaran tiba tiba, kenangan itu kembali mengusiku.
“Ini anak ibu ya?”, dokter itu bertanya sambil menunjuk ke arahku,

“Iya dok, anak perempuan saya satu satunya, karena dia saya bertahan untuk menjalani pengobatan ini. Dokter? berapa lama saya bisa bertahan?”

“Itu semua tergantung semangat ibu ya. Semoga pemeriksaan hari ini berjalan lancar.” Dengan tetap semangat kuyakini itu, dalam hati semua akan baik baik saja.

“Sekolah dimana anak ibu ya?”, tiba tiba dokter itu bertanya lagi,

“Di sekolah kejuruan dok.”

“Di kota ini bu?”, suara itu kembali terdengar lirih.

“Iya dok, ini baru nyampe pagi ini.”

“Ooo semoga ada yang bisa merawat ibu nanti ya.....”

“Dek?”, suara itu kembali membuyarkan lamunanku.

“Eh iya bu”, tanpa kusadari aku telah hanyut bersama masa lalu,sehingga aku sendiri lupa kalau ada urusan ke Rumah sakit ini,

“Ma'af dek untuk hari ini pelayanan Rumah sakit sudah tutup esok saja kembali ke sini lagi ya?”

Dengan masih berharap aku pun beranjak pergi dengan perasaan galau dan aku memutuskan untuk kembali pulang.

*****

   Kenangan itu selalu saja menjadi selimut tidurku. Hari berlalu, waktu berganti, wajah ayu itu selalu dekat di ingatanku. Perempuan tegar yang teramat baik bahkan semua orang mengakui kebaikan beliau. Perempuan yang kupanggil Mama
yang selalu membimbingku dan setia mengajariku madrasah bagi kami. Perempuan yang paling istimewa di mata papa, namun Allah lebih menyayangi beliau.

*****

  Mama...., sejuta cinta telah kau persembahkan ke arena hidupku dulu. Kini telah berbuah tanggung jawab yang membuat hidupku berarti. Lima tahun bukan waktu yang singkat untukmu berjuang melawan kesakitan karena Ca Mamae yg menggerogoti tubuhmu. Mama selalu berjuang demi kami anak - anak mama, namun takdir itu tetap berkata lain. Kini kenangan demi kenangan itu selalu menari di sudut mimpi.

Terimakasih Mama telah menjadi ibu yang terbaik buat kami.

*****TAMAT*****
Cerpen –
KENANGAN ITU
Penulis : Riri Eka Putri
PADANG 3 september 2016


Kamis, 19 Mei 2022

Cerpen - SANG FAKIR Penulis : NengIcha


   Jingga senja menghiasi taman kota. Hamparan mega nyaris memenuhi lempeng cakrawala.

Betapa keindahan nian melenakan jiwa, dan semua atas anugerah kebesaran Sang Pencipta, untuk sebuah kehidupan di alam semesta.

Aku sangat menyukai keindahan alam, tapi kurasa tidak semua orang demikian. Ada pemandangan berbeda di taman kota, aku melihat sesosok gadis tersedu di bangku sudut taman kota. Sebenarnya aku teramat ingin menghampirinya, tapi... Ah sudahlah!! Paling-paling juga diputusin pacarnya. Dan aku berlalu tanpa menghampiri gadis itu.

Telah larut malam, betapa perutku berteriak meminta jatah, sedari siang kurasa aku belum bertemu nasi. Aku memutuskan untuk keluar mencari makanan, niatnya mencari nasi goreng yang ada di samping taman kota. Batapa terkejutnya aku, gadis yang tersedu di bangku sudut taman sejak sore tadi masih juga duduk di sana, bahkan masih memeluk tangisnya. Dan aku memutuskan untuk menghampirinya

"Neng sudah malam Neng, Neng engga pulang?"

Tanpa membalas sepatah kata dia hanya melihatku dengan mata merah seakan menahan bara di dadanya.

"Neng, Neng kenapa? Putus cinta? Sudahlah Neng, cowok di dunia gak cuma satu Neng" aku coba membujuk dia.

"Kamu siapa? Kamu tau apa tentang hidupku?" ungkapnya.

Ternyata dia masih bisa menjawabku, meski dengan nada ketus, dan aku pun menyambung percakapan.

"Soal cinta hanya soal dunia, ingatlah keluarga, yang pasti mencintaimu sepenuh jiwa, Neng mau aku antar pulang?" ungkapku.

"Tidak, aku tak akan pulang, seandainya aku beranjak dari kursi ini, berarti aku akan menghampiri kematianku" jawabnya.

"Astaghfirullahal 'Adzim, Neng sadar Neng, Istighfar!"

Ya Tuhan, betapa kaget aku atas ungkapannya. Mungkin sebaiknya aku ajak dia pulang ke rumahku dulu, sekadar untuk membujuk waktu, agar mau sedikit menghapus tangis gadis itu, setidaknya untuk malam itu.

"Neng, ikut aku pulang yuk! Sebentar lagi ada Satpol PP keliling, seandainya Neng masih di sini, aku yakin Neng akan dibawa" ungkapku.

Sepertinya bualanku mampu membujuknya, dan dia tersedia ikut aku pulang

****

   Betapa pagi yang sangat dingin, mungkin karena mentari belum sematkan senyumnya kala itu.

Iya, mungkin terlalu pagi untuk aku mendamba senyum mentari. Namun betapa cemas aku akan gadis itu, sedari malam rasanya aku susah untuk pejamkan mata. Aku takut terjadi sesuatu karena kenekatan dia yang tak bisa terkontrol, jadi sepagi itu aku memutuskan untuk menghampiri kamarnya.

"Neng, Neng masih tidur?" sembari perlahan aku mengetuk pintu kamarnya.

"Masuklah, pintu gak terkunci" dia pun menyahut.

Perlahan aku buka pintu dan kudapati dia sedang duduk dengan mata merah melebam, aku rasa dia tak tidur semalam.

"Neng gak tidur semalam?"

Aku mencoba untuk bertanya memastikan, namun tak ada pun dia menjawab, dia hanya menggelengkam kepalanya.

"Mungkin sebaiknya Neng mandi dulu terus ganti baju, di lemari samping Neng itu ada banyak baju yang bisa dipakai. Dan aku rasa baju Neng telah kotor, sedari kemarin siang Neng engga pulang bukan?" ungkapku.

"Iya" dengan sangat singkat dia menjawab.

Semalam aku menceritakan bahwa kamar yang dia pakai itu adalah kamar adikku yang baru nikah, dan telah ikut suaminya.

Aku menyiapkan makanan seadanya dari dapur, dan mie instan adalah alternatif yang paling simple. Beberapa saat sebelum aku masak mie, aku menghampiri gadis itu untuk mengajaknya makan bersama.

"Setelah mandi silahkan Neng ke meja makan yang ada di ruang tengah" ucapku.

Sejenak aku menunggu, hingga akhirnya gadis itu keluar dari kamar mandi dan langsung menuju meja makan. Dan aku persilahkan dia untuk menyantap hidangan yang telah aku siapkan.

Meski tak terlalu banyak yang dia makan, setidaknya perutnya tak terlalu kosong.

****

   Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB, seharusnya aku bersiap-siap untuk berangkat kerja saat itu. "Lalu bagaimana dengan gadis ini?" sejenak aku berfikir, dan aku putuskan untuk tidak ke kantor hari itu. Sembari makan, aku menghubungi beberapa karyawan untuk memberi kabar ketidak hadiranku hari itu.

Rasa penasaran bercampur kasihan mendorongku untuk ingin menanyakan sesuatu pada gadis itu.

Sembari makan, aku coba mendekatinya, untuk tahu gemuruh apa yang ada dalam dadanya, tentang siapa dia, bahkan siapa keluarganya.

"Neng, aku Radit, boleh aku tahu nama Neng?" tanyaku.

"Devi" dengan sangat singkat dia menjawab.

"Neng sedang ada masalah?" tanyaku.

"Iya, pacarku meninggalkan aku" jawabnya.

Aku tak menyangka, aku akan melihat pemandangan seperti itu. Betapa ketegaran telah ada dalam raut wajahnya, sangat berbeda dengan keadaannya saat kemarin.

"Engkau bertengkar dengan pacarmu?" tanyaku lagi.

"Tidak, tak ada aku bertengkar dengan dia" dia pun menjawab.

"Lalu?" tanyaku kembali.

"Aku punya seorang kekasih, telah lima tahun kita tinggal bersama dalam satu atap, bahkan satu kamar, dua bulan lalu dia berpamit pulang menengok Ibunya di Medan" sepenggal cerita darinya.

"Lalu?" tanyaku dengan seribu penasaran.

"Kemarin pagi aku telfon dia, dia pun mengangkat telfon dari aku, namun yang kudapati adalah suasana yang begitu ramai, saat aku tanya sedang ada apa di rumahnya, justru dia meminta maaf padaku, dan bilang itu adalah acara resepsi pernikahan dia. Dan dia langsung memblokir nomer ponselku" ceritanya lagi.

Oh Tuhan, sungguh aku tak sanggup melanjutkan percakapan. Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya gadis ini.

****

Di pagi itu, dia bercerita banyak hal tentang diri dan perjalanan hidupnya, bahkan dia menyatakan betapa kehancuran atas diri dan masa depannya.

Entah apa yang kurasa saat itu, sungguh rasa kasihan mendorongku untuk melakukan sesuatu.

Aku berniat untuk menikahinya, untuk menyelamatkan kehormatan dia dan keluarganya.

Dan dia pun bersedia untuk menikah dengan aku.

Selang dua bulan kami pun melangsungkan pernikahan. Dan benar saja, satu bulan kemudian dia hamil. Aku tak pernah berpikir panjang tentang hal macam-macam. Aku menikahinya, lalu dia hamil. Aku anggap janin itu adalah anakku.

Kami membina keluarga kecil yang bahagia, Aku, Devi dan Naura buah hati kami.

Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Kebahagiaan kami berlangsung dengan sangat singkat. Satu tahun kami merasakan kebahagiaan. Di tahun berikutnya, yakni tahun 2014, perusahanku mengalami kebangkrutan, aku menafkahi keluarga kecilku dengan bekerja seadanya, kuli bangunan atau apa saja yang penting halal bagiku.

Aku masih bisa mensyukuri sekecil apa pun rizki yang Tuhan beri untuk aku dan keluargaku, namun sepertinya tidak dengan Devi istriku. Aku melihatnya sangat menderita dengan keadaan ini. Pun sifatnya kini berubah total, dia menjadi seorang pemarah, kasar, bahkan terhadap anaknya.

Di suatu pagi, aku memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta, Devi pun mengizinkan. Dan keesokan hari pun aku berangkat. Aku bekerja seandainya di sana, yang penting bisa mengirim sedikit uang untuk belanja istriku di rumah.

****

   Beberapa bulan aku mengadu nasib di Jakarta dengan bekerja seandainya sembari mencari lowongan kerja yang tepat buat aku. Meski nominal sedikit, aku masih bisa mengirim untuk makan anak dan istriku.

Hampir tiga bulan aku di Jakarta, namun tak juga mendapat pekerjaan yang cocok buat aku. Rasa lelah membebani jiwa, terlebih rasa rindu terhadap anak dan istri yang tengah menanti di Brebes kampung halamanku. Dan aku mutuskan untuk pulang, dan berusaha membangunkan lagi usahaku yang di sana.

Akhir pekan nanti, aku akan pulang dan memulai lagi usaha di Brebes.

Malam itu aku berkemas, seusai shalat subuh aku langsung berangkat pulang, menuju rindu-rinduku yang ada di kampung halaman. Setelah sampai di rumah, ternyata yang kudapati rumahku kosong.

Dan akhirnya aku pergi ke rumah orang tuaku, yang tak jauh dari rumahku, namun ternyata mereka juga tak menahu tentang anak dan istriku. Saat itu, tanpa berpikir panjang aku langsung berangkat ke Rembang rumah mertuaku, yang kuyakini mereka ada di sana. Namun ternyata semua di luar dugaanku, mereka pun tak ada di sana. Hanya ada Ibu mertua yang memberikan amplop panjang kepadaku, dan menyuruhku kembali pulang.

Iya, aku langsung berpamir untuk pulang, meski dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Aku pulang, namun belum sampai di rumah, rasa yang tak karuan ini memaksaku untuk membuka isi amplop panjang tersebut.

Di tengah perjalanan aku berhenti di sebuah tikungan, aku membuka amplop itu, dan betapa terkejutnya aku, surat yang ada dalam amplop itu adalah surat pengajuan cerai.

Lemas seketika badanku. Terasa seakan nyawa lepas dari raga. Aku tak mampu, aku tak mampu. Aku tak mampu hadapi ini semua. Mengapa Tuhan memberiku cobaan yang begitu besarnya.

Apakah Tuhan terlalu menyayangi aku?

Atau Tuhan terlalu membenci aku?

****TAMAT****

Cerpen
SANG FAKIR
Penulis : NengIcha
PURI, 23-04-2022

Diangkat dari kisah nyata seorang sahabat maya