Betapa keindahan nian melenakan jiwa, dan semua atas anugerah kebesaran Sang Pencipta, untuk sebuah kehidupan di alam semesta.
Aku sangat menyukai keindahan alam, tapi kurasa tidak semua orang demikian. Ada pemandangan berbeda di taman kota, aku melihat sesosok gadis tersedu di bangku sudut taman kota. Sebenarnya aku teramat ingin menghampirinya, tapi... Ah sudahlah!! Paling-paling juga diputusin pacarnya. Dan aku berlalu tanpa menghampiri gadis itu.
Telah larut malam, betapa perutku berteriak meminta jatah, sedari siang kurasa aku belum bertemu nasi. Aku memutuskan untuk keluar mencari makanan, niatnya mencari nasi goreng yang ada di samping taman kota. Batapa terkejutnya aku, gadis yang tersedu di bangku sudut taman sejak sore tadi masih juga duduk di sana, bahkan masih memeluk tangisnya. Dan aku memutuskan untuk menghampirinya
"Neng sudah malam Neng, Neng engga pulang?"
Tanpa membalas sepatah kata dia hanya melihatku dengan mata merah seakan menahan bara di dadanya.
"Neng, Neng kenapa? Putus cinta? Sudahlah Neng, cowok di dunia gak cuma satu Neng" aku coba membujuk dia.
"Kamu siapa? Kamu tau apa tentang hidupku?" ungkapnya.
Ternyata dia masih bisa menjawabku, meski dengan nada ketus, dan aku pun menyambung percakapan.
"Soal cinta hanya soal dunia, ingatlah keluarga, yang pasti mencintaimu sepenuh jiwa, Neng mau aku antar pulang?" ungkapku.
"Tidak, aku tak akan pulang, seandainya aku beranjak dari kursi ini, berarti aku akan menghampiri kematianku" jawabnya.
"Astaghfirullahal 'Adzim, Neng sadar Neng, Istighfar!"
Ya Tuhan, betapa kaget aku atas ungkapannya. Mungkin sebaiknya aku ajak dia pulang ke rumahku dulu, sekadar untuk membujuk waktu, agar mau sedikit menghapus tangis gadis itu, setidaknya untuk malam itu.
"Neng, ikut aku pulang yuk! Sebentar lagi ada Satpol PP keliling, seandainya Neng masih di sini, aku yakin Neng akan dibawa" ungkapku.
Sepertinya bualanku mampu membujuknya, dan dia tersedia ikut aku pulang
****
Betapa pagi yang sangat dingin, mungkin karena mentari belum sematkan senyumnya kala itu.
Iya, mungkin terlalu pagi untuk aku mendamba senyum mentari. Namun betapa cemas aku akan gadis itu, sedari malam rasanya aku susah untuk pejamkan mata. Aku takut terjadi sesuatu karena kenekatan dia yang tak bisa terkontrol, jadi sepagi itu aku memutuskan untuk menghampiri kamarnya.
"Neng, Neng masih tidur?" sembari perlahan aku mengetuk pintu kamarnya.
"Masuklah, pintu gak terkunci" dia pun menyahut.
Perlahan aku buka pintu dan kudapati dia sedang duduk dengan mata merah melebam, aku rasa dia tak tidur semalam.
"Neng gak tidur semalam?"
Aku mencoba untuk bertanya memastikan, namun tak ada pun dia menjawab, dia hanya menggelengkam kepalanya.
"Mungkin sebaiknya Neng mandi dulu terus ganti baju, di lemari samping Neng itu ada banyak baju yang bisa dipakai. Dan aku rasa baju Neng telah kotor, sedari kemarin siang Neng engga pulang bukan?" ungkapku.
"Iya" dengan sangat singkat dia menjawab.
Semalam aku menceritakan bahwa kamar yang dia pakai itu adalah kamar adikku yang baru nikah, dan telah ikut suaminya.
Aku menyiapkan makanan seadanya dari dapur, dan mie instan adalah alternatif yang paling simple. Beberapa saat sebelum aku masak mie, aku menghampiri gadis itu untuk mengajaknya makan bersama.
"Setelah mandi silahkan Neng ke meja makan yang ada di ruang tengah" ucapku.
Sejenak aku menunggu, hingga akhirnya gadis itu keluar dari kamar mandi dan langsung menuju meja makan. Dan aku persilahkan dia untuk menyantap hidangan yang telah aku siapkan.
Meski tak terlalu banyak yang dia makan, setidaknya perutnya tak terlalu kosong.
****
Waktu menunjukkan pukul 06.00 WIB, seharusnya aku bersiap-siap untuk berangkat kerja saat itu. "Lalu bagaimana dengan gadis ini?" sejenak aku berfikir, dan aku putuskan untuk tidak ke kantor hari itu. Sembari makan, aku menghubungi beberapa karyawan untuk memberi kabar ketidak hadiranku hari itu.
Rasa penasaran bercampur kasihan mendorongku untuk ingin menanyakan sesuatu pada gadis itu.
Sembari makan, aku coba mendekatinya, untuk tahu gemuruh apa yang ada dalam dadanya, tentang siapa dia, bahkan siapa keluarganya.
"Neng, aku Radit, boleh aku tahu nama Neng?" tanyaku.
"Devi" dengan sangat singkat dia menjawab.
"Neng sedang ada masalah?" tanyaku.
"Iya, pacarku meninggalkan aku" jawabnya.
Aku tak menyangka, aku akan melihat pemandangan seperti itu. Betapa ketegaran telah ada dalam raut wajahnya, sangat berbeda dengan keadaannya saat kemarin.
"Engkau bertengkar dengan pacarmu?" tanyaku lagi.
"Tidak, tak ada aku bertengkar dengan dia" dia pun menjawab.
"Lalu?" tanyaku kembali.
"Aku punya seorang kekasih, telah lima tahun kita tinggal bersama dalam satu atap, bahkan satu kamar, dua bulan lalu dia berpamit pulang menengok Ibunya di Medan" sepenggal cerita darinya.
"Lalu?" tanyaku dengan seribu penasaran.
"Kemarin pagi aku telfon dia, dia pun mengangkat telfon dari aku, namun yang kudapati adalah suasana yang begitu ramai, saat aku tanya sedang ada apa di rumahnya, justru dia meminta maaf padaku, dan bilang itu adalah acara resepsi pernikahan dia. Dan dia langsung memblokir nomer ponselku" ceritanya lagi.
Oh Tuhan, sungguh aku tak sanggup melanjutkan percakapan. Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya gadis ini.
****
Di pagi itu, dia bercerita banyak hal tentang diri dan perjalanan hidupnya, bahkan dia menyatakan betapa kehancuran atas diri dan masa depannya.
Entah apa yang kurasa saat itu, sungguh rasa kasihan mendorongku untuk melakukan sesuatu.
Aku berniat untuk menikahinya, untuk menyelamatkan kehormatan dia dan keluarganya.
Dan dia pun bersedia untuk menikah dengan aku.
Selang dua bulan kami pun melangsungkan pernikahan. Dan benar saja, satu bulan kemudian dia hamil. Aku tak pernah berpikir panjang tentang hal macam-macam. Aku menikahinya, lalu dia hamil. Aku anggap janin itu adalah anakku.
Kami membina keluarga kecil yang bahagia, Aku, Devi dan Naura buah hati kami.
Namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Kebahagiaan kami berlangsung dengan sangat singkat. Satu tahun kami merasakan kebahagiaan. Di tahun berikutnya, yakni tahun 2014, perusahanku mengalami kebangkrutan, aku menafkahi keluarga kecilku dengan bekerja seadanya, kuli bangunan atau apa saja yang penting halal bagiku.
Aku masih bisa mensyukuri sekecil apa pun rizki yang Tuhan beri untuk aku dan keluargaku, namun sepertinya tidak dengan Devi istriku. Aku melihatnya sangat menderita dengan keadaan ini. Pun sifatnya kini berubah total, dia menjadi seorang pemarah, kasar, bahkan terhadap anaknya.
Di suatu pagi, aku memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta, Devi pun mengizinkan. Dan keesokan hari pun aku berangkat. Aku bekerja seandainya di sana, yang penting bisa mengirim sedikit uang untuk belanja istriku di rumah.
****
Beberapa bulan aku mengadu nasib di Jakarta dengan bekerja seandainya sembari mencari lowongan kerja yang tepat buat aku. Meski nominal sedikit, aku masih bisa mengirim untuk makan anak dan istriku.
Hampir tiga bulan aku di Jakarta, namun tak juga mendapat pekerjaan yang cocok buat aku. Rasa lelah membebani jiwa, terlebih rasa rindu terhadap anak dan istri yang tengah menanti di Brebes kampung halamanku. Dan aku mutuskan untuk pulang, dan berusaha membangunkan lagi usahaku yang di sana.
Akhir pekan nanti, aku akan pulang dan memulai lagi usaha di Brebes.
Malam itu aku berkemas, seusai shalat subuh aku langsung berangkat pulang, menuju rindu-rinduku yang ada di kampung halaman. Setelah sampai di rumah, ternyata yang kudapati rumahku kosong.
Dan akhirnya aku pergi ke rumah orang tuaku, yang tak jauh dari rumahku, namun ternyata mereka juga tak menahu tentang anak dan istriku. Saat itu, tanpa berpikir panjang aku langsung berangkat ke Rembang rumah mertuaku, yang kuyakini mereka ada di sana. Namun ternyata semua di luar dugaanku, mereka pun tak ada di sana. Hanya ada Ibu mertua yang memberikan amplop panjang kepadaku, dan menyuruhku kembali pulang.
Iya, aku langsung berpamir untuk pulang, meski dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Aku pulang, namun belum sampai di rumah, rasa yang tak karuan ini memaksaku untuk membuka isi amplop panjang tersebut.
Di tengah perjalanan aku berhenti di sebuah tikungan, aku membuka amplop itu, dan betapa terkejutnya aku, surat yang ada dalam amplop itu adalah surat pengajuan cerai.
Lemas seketika badanku. Terasa seakan nyawa lepas dari raga. Aku tak mampu, aku tak mampu. Aku tak mampu hadapi ini semua. Mengapa Tuhan memberiku cobaan yang begitu besarnya.
Apakah Tuhan terlalu menyayangi aku?
Atau Tuhan terlalu membenci aku?
****TAMAT****
Cerpen –
SANG FAKIR
Penulis : NengIcha
PURI, 23-04-2022
Diangkat dari kisah nyata seorang sahabat maya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar