Jumat, 10 Januari 2014
Kumpulan Syair Dion Syaif Saen-AKSARA YANG SEPI
Kanal kanal itu masih seperti sejak aku masih kanak kanak, ditumbuhi lumut dan jangkungnya rumput, dengan becek sana sani, bau menyergap hidung, naman sebongkah batu merah telah terlihat, tembok pelapisnya sudah pupus dikikis air bah dan arah hulu Gunung yang membentang bagai terbaring, yah, aku dilahirkan dan dibesarkab disini, tempatku orang orang mengatakannya kumuh dan kumal, hendy berjalan sembari menatap jejak
------------------------
Bukankah telah tujuh malam berangsurnya kedermawanan bulan?
Sepinang anak anak Nabi yang bersemayam di dua sisi zaman, yang berkutat pada kesetiaan sebuah parawinya?
Teralamat surga?
Neraka? Atau hanya mengawang awang, diantara Tujuan mutlak?
Seperih apa tat kala iblis menuduh kita musyrik, dan syirik? Lalu kita marah mengadu ke Tuhan. Atau kekasih Perempuan yang telah kita lama idamankan.
-------------------------
Lonceng kematian itu terdengar lagi
Anai anai terbang landai digesek Anak hari yang terpental di lorong waktu
Malaikat menghampiri
Anak anak hamba
Anak anak Tuhan
Bergembala dengan sesamanya
Ustas bergaya seperti badut
Bichu masih botak dan polos
Para budayawannya berbicara mencampur adukkan silsilah dan peringai adat. Senimannya masih saja ber ereksi sepi.Tahukah kau hari apa ini
Dion Syaif Saen
Haruskah kusembunyi
Dibalik aksara aksara yang menyepi
Atau sakit oleh kedustaan
Sementara butuh untuk melengkapi aksaranya sendiri?
Atau menghentikan angin diatas cemara? Yang meliuk liuk menggoda setangkai bunga?
Kau pasti marah
Dan enggan membacakannya
Sebab aku telah lama menjadi abjad aksara yang terduyun menggulum lidah lidah munafik.
Tahukah engkau aku telah lama mengincar matamu? Diam dan dengarlah"
---------------------
Melati disudut Hujan
dion syaif saen
Berlari, dengan temali kecil ditangannya,"
sanur menjadi terbiasa dengan hujan.
Namun kaki kakinya tandus dengan tanah.
dikerumunan banyak orang dengan tergesa gesa dia melewatinya
dan tidak ikut membaur, padahal yang lebih penting'
dia berlari sampai dua ujung gang dan setapak sawah di lewati,
menyeberangi anak anak sungai, dan meneduhkan teriknya dbawah Bunga melati Penanda harinya makin bersepuh kawanan awan dan Lembut gairah tanah
yang mulai ditanami kacang dan sayuran. Tetapi hari itu, segurai gulai hidup.
"sanur harus mampu betah dan sampai sebelum hari memintal kearah barat.
kemudian menggeser angin kehulu,
melatipun terkulai disepinya waktu
perlahan mencari matahari, kemudian bergeser kearah tandusnya jiwa manusia
pada sedepahnya jarak bunga dan daun, pergilah anak bulan ke-malam berikutnya.
menawan perawan, baru tumbuh pualam dadanya, atau putih bersih kelopak matanya
kemunculan bulu kelenjar tipisnya. Andaikan saja wulan merindu,
kemana Sanur"? hendak berkisah dengan pengalamannya diantara melati yang pasrah dengan Hujan.
kelamin diajak bergairah
antara petaka dan hal hal tabuh yang diperankan
sama dengan purnama, yang terbentuk dengan lingkaran bulan
sebuah cahaya menambatkannya dari arah Matahari, menggulir ajakan Sufi, pada Pintu pintu Nabi,dan kiyai telah tertutup diujung ujung lidah pen-Doa sert pen-Dosa.
raganya tergagap, jiwanya berlawanan dengan pikir,
sementara bathin mengurai Surga, menghapalkan ayat ayat tengtang Dajjal dan Iblis
sampai dimana kita? sanur menjadi alur kisah yang menjadi primadona, bulan bergeser, banyak anak awam merasa sesuatu itu telah ada sebelum tubuh lain dan raga yang telah ada kini mati bersunut kembali kealam yang termisteri.
banyak orang orang yang pandai
mengerti tengtang kisah para pejuang pejuang islam dan kebenaran
menjadi menfatwakan unsur unsur tata nilai.
merasa lebih benar, dan lebih memberikan sugesti terhadap orang orang yang belum pandai menuai padi padi yang menguning, tanpa tahu buah buah ranum yang pekat, atau sudah mengkal dan manis rasa dan kelenjar kelanjar yang menjadi kaidah Nilai dan keperasaan kita sebagai hamba.
aku menemukan tubuh ini tergeletak kembali. mati bersilam padam purnama
tak bergerak, jiwanya pergi ketandusnya sesama jiwa yang busuk dan berbau dengki
Melati disudut Hujan
kawanan manusia berhujat, saling mengeluarkan ludah dan kemudian dijilati kembali
kuajak berguru dengan alam dan kupu kupu, dia malah justru pangling menghadapkan tubuh dan pikirannya kearah sombongnya dunia dan matinya disudut purnama yang dia sendiri tak memahami kemuliaan Tuhan terhadap kasih sayangNya kepada hamba hambaNya.
aku mengenal juga tabiat
tabiat tabiat yang kaku, lidahnya gemulai bagai penari centil dan seksi
dan aku tahu, nampak wajahnya seperti senyuman yang bercampur kedustaannya
sebab aku mengetahui unsur unsur tabiat. percayalah bahwa hukum melati itu ada
meski bersama derai hujan.!
mereka berseteru, bersepakat,bersama sama
merekatkan, bagai kendali hidup yang tak berpisah, hanya karena [ersoalankecil
mereka tunggang langgang berdecak kagum, dalam buatan nafsu nafsu kesyirikan
dalam wajah wajah yang kosong, dan menutupi dengan topeng topeng bengal
yang meniupkan bagai ruh kejahatan yang memekikkan telinga iblis yang berkawan
Sanur", kembali tersadar, lalu diam diam menikam melati dengan duri duri kedustaan
di batas Tubuhnya yang bergairah ingin memeliharanya, namun Hujan mendahuluinya
--------------------------
Bissmillahirrahmanirrahim
Subuh yang dingin
Aku memulai
Aku terhitung malam malam
Aku terjaga Tuhan
Aku bermunajat tengtang kehidupan didua sisi.
Ritual ini aku memulai
Atas Izin Tuhan Allah Djlalu
Aku serahkan bukan semata untukku
Namun untuk orang yang telah merias duniaku, dan orang yang telah menjadi bagian keberadaanku dikehidupan yang bergairah dan dengan air mata
Semoga kulihat kebiasaan itu untuk kembali
Oleh DION SYAIF SAEN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar