Di keesokan harinya tragedi itu terjadi, di hari Jumat siang yang gelap mencekam.
"Tolong, tolong, tolong... teriakan orang minta tolong dari belakang rumah Ibu Nurmilah membahana." Suara itu perlahan lenyap.
Ibu Nurmilah membuka pintu dapur dan ia menatap pemandangan yang tak biasa ke lereng bukit, tak jauh dari ujung kampung. Lereng bukit bergemuruh, Ibu Nurmilah menyaksikan tanah bergerak cepat menghantam rumah-rumah penduduk hingga tak bersisa.
"Astaghfirullahaladzim," ucap Ibu Nurmilah dalam hati. "Apakah ini kiamat sudah datang?" bisiknya lagi.
Suara yang dia dengar tadi di belakang rumahnya adalah Ibu Jelantik, Ibu jelantik berprofesi sebagai dukun beranak di kampung tersebut merangkap dukun pelet dan pengobatan apa saja. Ibu Jelantik setiap senja selalu rumahnya beraroma kemenyan, membuat Ibu Nurmilah sudah tak lagi kuat menahan aroma menyan setiap senja sebagai tetangganya bu Jelantik.
Pemuda-pemudi di kampung masih saja asyik dengan tontonan asusila di handphone yang lagi ramai-ramainya. Pemuda-pemudi kampung kesehariannya hanya bersolek, mabuk-mabukan, dan berkumpul di pos-pos siskamling serta di rumah-rumah kosong untuk dijadikan arena berpacaran bahkan kerap berbuat mesum.
Kampung itu benar-benar gelap dari cahaya agama, pantas saja alam sudah muak dengan tingkah laku penghuninya, hingga bencana memporakporandakan sebagian kampung itu dengan tanah longsor dan dihanyutkan ke sungai menuju muara. Bangkai-bangkai berserakan di mana-mana di sepanjang sungai bersama material-material kayu gelondongan dan kuningnya air sungai bercampur tanah.
Dan hujan itu reda, bencana menyisakan puing-puing duka di mata orang-orang meninjau lokasi. Ucapan istighfar yang tak putus-putus di mulut para pelancong dari mana-mana, menyaksikan satu kampung digerus air bah bercampur longsoran tanah.
Air mata Ibu Nurmilah membasahi sajadah, meminta ampun kehadirat Allah SWT, atas apa yang telah berlaku secara spontan di kampungnya.
"Untung hamba selamat ya, Allah, dari bencana ini?" lirih kasih Ibu Nurmilah kepada Maha Kekasih.
Ibu Nurmilah yang tinggal sebatang kara di sepinya kaki bukit membuat ia tetap kokoh pada keimanannya. Suaminya yang sudah meninggal dua dekade yang lalu, dan tak memiliki anak. Keluarganya yang lain sudah lupa daratan, Ibu Nurmilah dengan hidayah-Nya selalu menjalankan ibadah sampai tua.
Satu keingkaran akan dihabiskan oleh perjanjian Tuhan kepada manusia-manusia yang sudah melampaui batas, bencana itu tak berpintu. Dan tidak akan terjadi kiamat kepada hamba-hamba yang masih bertobat menyembah-Nya.
---------------------------------------TAMAT-----------------------------------
Fiksi –
BENCANA TAK BERPINTU
Karya : Romy Sastra
Jkt, 51019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar