Di tengah malam seorang Emak muda menjerit sakit perut, ia memegang bahu suaminya. Suasana malam itu, suaminya panik melihat istri kesakitan mau melahirkan bayi yang dikandungnya. Tapi, itu hanyalah rasa mual-mual melilit menjelang waktunya tiba. Lahir ke dunia fana ini telanjang, hanya membawa senyuman dan tangis, ada yang diam seperti bingung tak tahu alam apa ini?
Sembilan bulan dalam kandungan, si jabang bayi disayang dibelai dari balik tirai jemari lembut kedua orang tua, tersekat oleh dinding rahim seorang Emak tak dihiraukan, terkadang sakit di perutnya melilit dari tendangan kaki si jabang bayi. Sedangkan si jabang terus tumbuh berkoloni mengabdi berada dalam masa fitrah bersama Tuhannya, bersaksi pada Rahman Rahim memuji lewat nadi dan jantung bertasbih.
"Pak, sebentar lagi anak kita lahir ke dunia,"
kata si Emak pada suaminya.
"Iya Mak, kita akan memiliki anak dari buah cinta kita, semoga anak kita lahir dengan selamat dan sehat." harap mereka dalam doa.
Tibalah pada masanya, si jabang bayi menangis keluar dari garbah. Tak berbaju hanya membawa tumpahan darah membuncah seperti gunung api memuntahkan lahar ke seantero lembah dan daratan yang ada. Miskin memang, kodrat si jabang keluar dari rahim tak berbaju seperti bernasib malang, terpancar dari raut wajah yang pasrah, hanya dibalut selembar kain usang. Ditingkahi tangan cekatan si dukun bayi di perkampungan kala itu.
Hari berlalu, bulan berganti tahun, ia jalanin hidup ini dengan riang. Si jabang bayi telah tumbuh remaja, bernama Jaka.
"Jaka?" seru Emaknya dengan penuh kasih sayang.
"Iya, Mak?" jawab Jaka pada Maknya.
"Jaka, kau sudah berumur tujuh tahun, Nak?!Sudah masanya sekolah, sekolahlah yang pintar ya, Jaka!" nasihat Maknya pada Jaka.
"Kelak kamu sudah dewasa, carilah ilmu yang bermanfaat yang bisa mengantarkan kehidupan masa depanmu bahagia dunia dan akhirat. Nasihat, doa dan harapan si bunda memacu semangat hidup si Jaka belajar dan terus belajar hari ke hari di awal sekolahnya. Jaka menatap wajah Emaknya seperti bulan meneduhi malam."
Di sela-sela waktu pulang sekolah, Jaka selalu membantu pekerjaan kedua orang tuanya di sawah dan di kebun. Dalam hati kecil si anak, betapa mulianya pekerjaan orang tuanya dari pagi hingga petang bergulat dengan lumpur sawah menari bersama ilalang tajam menusuk kaki si Ayah dan Ibu yang tak kenal menyerah mencari nafkah sebagai petani demi membesarkan serta menyekolahkan anak-anaknya. Batin si Jaka kecil mulai berkata-kata.
Singkat cerita...Gontai langkah si Jaka, pada detik-detik perpisahan kelulusan sekolahnya. Si Jaka dalam hasil rapor 'Sekolah Dasar' yang lumayan bagus, pas menduduki bangku kelas enam tahap akhir, Jaka jarang masuk sekolah demi membantu orang tuanya, ia akhirnya gak lulus dan gak bisa sekolah ke jenjang selanjutnya tingkat SLTP. Penyebab kedua orang tuanya Jaka tak mampu hidup dalam kemiskinan, bukan Jaka tak pintar. Karena itu tadi, si Jaka kecil seringkali tak masuk sekolah mengikuti mata pelajaran dari gurunya. Hari-hari Jaka banyak dia habiskan di sawah dan di ladang membantu pekerjaan orang tuanya. Meski orang tuanya kerap melarang membantu pekerjaan orang tuanya di sawah untuk terus sekolah! Jaka kecil meneteskan air mata melihat nasib orang tuanya berpanas-panasan dibakar matahari. Makanya jam sekolah Jaka sering dipakai di tengah sawah. Hingga study mata pelajaran jarang ia ikuti.
Berbilang masa terus melaju, remaja si Jaka kecil akhirnya putus sekolah. Karena kedua orang tua yang tak mampu membiayai si Jaka melanjutkan sekolahnya ke jenjang lebih tinggi. Sebab, faktor ekonomi kedua orang tuanya yang payah pada masa itu. Bersyukurlah anak-anak sekarang menempuh pendidikan sudah disediakan paket program pemerintah wajib belajar.
pinta Jaka pada Emaknya.
"Tapi, kau kan bisa nyambung sekolah lagi tahun depan, Jaka!?" sahut Emaknya.
"Tidak Mak, Jaka malu dengan adik-adik kelas, jika Jaka satu bangku dengan adik kelas itu."
"Lho ... lalu mau jadi apa kamu Jaka, kalau kau tak mau sekolah lagi!"
"Aku ingin berbakti sama Ayah dan Mak, mencari uang untuk membantu adik-adik nanti. Biarlah aku mengalah asal adikku bisa sekolah." pinta Jaka meyakinkan kedua orang tuanya.
Emaknya Jaka terpana, dadanya sesak, tiba-tiba air bening menetes di sela pipi Emak Jaka, sambil memeluk Jaka dengan hati yang sangat iba dan haru akan pernyataan buah hatinya.
Jaka si remaja kecil akhirnya pergi tinggalkan kampung halaman dan kedua orang tuanya merantau ke kota. Dapat usaha kecil-kecilan di kota. Jaka teringat janji pada Emaknya di kampung 'tuk membantu ayah dan Emak menyekolahkan adik-adiknya. Orang tua Jaka berbangga hati dapat kabar, ternyata anaknya si Jaka sukses di rantau berdagang kecil-kecilan dari asongan hingga punya lapak sendiri, tanpa berpendidikan sekolah tinggi, Jaka sudah bisa mengirimkan uang untuk kebutuhan orang tuanya di kampung.
Cermin –
JAKA KECIL YANG PUTUS SEKOLAH
Karya : Romy Sastra
Jakarta, 15-9-'20
Catatan: segelintir kisah pernah terjadi pada suatu kehidupan di masa yang lalu. Beda masa sekarang, tidak ada anak-anak bangsa yang tidak sekolah. Program pemerintah telah menyediakan anggaran untuk pendidikan siswa-siswi yang tak mampu wajib Belajar.
Yuukk, sekolah!!
Semangatlah belajar anak-anak generasi bangsa, raih cita-citamu! Mari menggapai suluh ke matahari, menanam cinta di mana kau berada, berbibit doa di setiap langkahmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar