RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Jumat, 02 Juli 2021

Cerpen - GARA GARA KOMPOR Karya : Airi Cha




   Selama bulan Ramadhan ini, aktifitas sebagai preman tukang palak dihentikan untuk sementara waktu. Semua itu semata-mata, agar ibadah para anggota khusuk dan tidak berlinangan air mata, eh dosa maksudnya. Sebagai gantinya tiap hari mulai jam delapan pagi, Iyem sang big bos mewajibkan kami untuk tadarusan meski yang dibaca Iqro tak apalah yang penting ikhlas. Setelahnya ganti berganti kami piket sebagai tukang masak untuk mempersiapkan menu berbuka dan santap sahur.

Sebenarnya jatah masak adalah giliran Yanie, tapi karena lagi lahiran ups salah, ulang tahun maksudnya jadi acara kuliner disorong Iyem pada Siti. Bos kata pengen ngasih kejutan spesial paket hemat buat tangan kanannya itu setelah nanti azan Magrib tiba. Dari pada bengong nungguin Siti masak, mumpung senggang ku pergunakan waktu buat ngojek. Itung-itung cari tambahan buat THR lebaran para bocah kampung KAN.

Sementara Yanie yang merasa dapat pahala runtuh, lebih memilih tiduran di kamar sambil berselancar di dunia maya. Dia kagak tahu bahwa hari ini ulang tahunnya, sebab mulai dua bulan lalu, Iyem menyembunyikan semua kalender yang ada. Termasuk kalender di aplikasi hp.

Si latah Yanih sepertinya lagi gandrung bercocok tanam beraneka jenis sayuran. Sampai-sampai tiap sejam sekali itu sayur disiram. Katanya biar gak kehausan. Dia kira itu pohon punya mulut dan tenggorokan apa? Bonsai membonsai juga dilakukannya. Sampai seminggu lalu dia berbisik di telinga Siti yang rada lelet kayak wifi lagi dipakai sekampung. Yanih kata pengen juga membonsai Iyem biar tambah antik. Untung saja cuma aku yang dengar meski Siti yang dibisikan. Lha kalau sampai big bos tahu bijimana? Bakal kiamat Kubro idup tu anak. Semua orang juga tahu, walau gak dibonsai Iyem kan emang udah permanen. Ya itu segitu, tu. Yang ngakunya kayak Diam Sosor, siapa yang berani bantah? Meski gak dilihat dari pucuk pohon cemara pun, gak ada tuh sirip-siripnya eh miripnya sama artis yang pernah kuojeki waktu syuting film Mayat-Mayat Cinta.

Memutuskan pulang ngojek lebih cepat. Pengen nyantai menunggu bedug Magrib. Kulihat di beranda big bos duduk nyantai dengan kaki di naikan ke atas meja. Bukan apa-apa, itu dilakukannya sebab kemarin malam mendadak Iyem kena serangan encok dan asam urat, belum lagi panunya kambuh seperti jamur yang tumbuh subur di musim penghujan. Jadi supaya terlihat emang lagi sakit, si bos minta kakinya dibalut sama perban. Sempat sih kutawarkan untuk membalut sekujur tubuhnya biar seperti mummi di zaman Firaun. Eh si bos malah ngamuk, dan kepalaku di pentung pakai centong, lalu semua anggota preman ikut-ikutan pula. Coba salahku di mana? Apa karena aku anak yatim-piatu? Pengen ngadu sama siapa? Eh kok jadi curhat.

Akhirnya setelah ku parkir Baday, aku berjalan menuju beranda.

"Napa cepat kali ko pulang, Doet?"

Nah, kalau bos udah tanya begini aku rada gimana gitu. Pengen terharu, tapi percuma juga. Bukannya malah disayang, ntar aku malah dijitak.

"Woiii! Bos tanya elu, Doet," Tiba-tiba Yanie muncul di ambang senja, eh pintu.

"Lemes," sahutku ogah-ogahan.

Iyem memberi kode pada Yanie untuk mendorong kursi rodanya menghampiriku. Kemarin Iyem maksa minta duduk di kursi roda. Katanya biar penyakitnya terlihat elit dan berkelas. Sumpah dah, kalau tidak karena takut mau saja rasanya kujitak kepala Iyem yang rada bundar. Pada hal kalau saja si bos tahu, panu itu penyakit berkelas lho. Zaman sekarang orang tu tidak takut lagi pada tatto di lengan preman, lebih takut lagi sama panu yang tumbuh tanpa perasaan di wajah, leher atau pun punggung. Namun mana berani aku bilang ke bos begitu.

"Kek mana, Doet. Udah ko belik yang kupesan?"

Si Bos sok pake logat Medan ngomong samaku. Aku memberi anggukan sebagai kode keras.

"Beli apa, Doet?"

Yanie penasaran ingin tahu.

"Beli sempak yang ada baling-baling kapal selamnya," jawabku ngaco.

"Siapa yang beli cempedak? Mau donk," timpal Siti yang tiba-tiba nonggol dari dapur kayak Jalang kung gak diundang hajatan. .

"Sempak Kak Siti, bukan cempedak," kataku rada ngenes.

"Oalaa, kok sampai tersedak sih. Makanya kalau makan jangan sak bijinya." Nasehatnya bak Ustadzah kultum.

"He, Siti! Masakan lu udah beres?"

Iyem mencoba menyudahi pembicaraan Jakarta-Bekasi ini.

"Tenang, Bos. Tadi sudah pakai Masako, tambah Ajinomoto, juga Royco," jawabnya lagi-lagi salah koneksi. Bayangkan sendiri dah, gimana nano-noninya itu masakan dibubuhi segala mantra perasa.

"Duh, Ti. Bos itu tanya masakan bukan penyedap." Yanie semakin semaput bukan semata karena Siti, tapi lebih disebabkan karena lapar.

"Tenang, Bu wakil bos, tak ada yang menyadap pembicaraan kita."

"Sudah, sudah. Mending lu lihat lagi masakan lu yang di kompor," perintah Iyem, agar Siti tidak semakin ngawur.

"Oh, opornya sudah masak. Setelahnya tadi Siti jerang kuali buat memanaskan minyak tuk meng...," kalimat Siti menggantung sebab kami mendengar Yanih bernyanyi ulang tahun dengan melengking dan pakai nada sumbang.

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga!"

Terang saja kami berlari menuju tempat asal suara, takutnya tuh anak kesurupan kelamaan nunggu acara buka puasa dan pecah balon diultah Yanie. Setibanya di dapur kami semua terperangah melihat Yanih yang kambuh latahnya sambil meniup kompor serta api dalam kuali yang mulai membumbung.

"Kebakaran, kebakaran," teriak Yanie piknik sambil hilir-mudik bawa koper kayak seterika belum panas.

"Bos, Mbak Yanie senang amat ya kita kasih kejutan selamat ulang tahun," ujar Siti salah sangka dan pastinya juga salah dengar.

"Mata mu picek, Ti. Lihat noh kompor dan kualimu. Tolooong!"

Iyem berteriak panik lupa sama jabatannya sebagai kepala preman yang ditakuti.

"Ambil kain basah Mbak Yanih," Perintahku pada Yanih yang asik tepuk tangan di depan kuali yang sudah mengepulkan asap dan api. Sebab kaget, secepat kilat dia berlari, dan kembali dengan seember air. Tanpa ba bi bu langsung disiram ke Iyem.

Byur....

"Yanih!"

Teriakan Iyem yang hanya bisa duduk tegang di kursi roda membahenol sejagat kampung.

"Buruan semua keluar," kataku linglung sebab api membesar, dan aku mendadak lupa di mana letak tabung gas.

Kami berlari mencari selamat, Siti yang biasanya tidak dengar tiba-tiba saja sembuh gendang telinganya.

"Tolong... kebakaran," teriak kami berbarengan tanpa malu lagi. Namun sepertinya tidak ada yang mendengar. Sebab bedug di mesjid bertalu, dan azan Magrib pun berkumandang. Mungkin takzil lebih menggoda ketimbang suara cempreng kami yang ngelangsa.

"Doet, Big Bos mana?"

Yanie baru tersadar begitu sampai di luar. Aku celingak-celinguk dengan gaya masih oon. Namun sejurus kemudian kami dikejutkan dengan asap hitam yang mengepul keluar dari pintu rumah.

"Tutup telinga, tiarap!"

Yanih berteriak lantang karena terkejut, mendadak kami ikut latah dan langsung nyosor nyium bumi. Apesnya tanpa diminta dalam doa, idung Yanie mendarat di eek Mi-Chan angsa yang sepupuan karib ma Siti. Semua memejamkan mata menunggu suara ledakan yang pasti akan terjadi.

Tunggu punya tunggu apa yang kami takutkan tidak terjadi. Dari asap yang mengepul terdengar suara batuk yang kami yakin adalah Iyem. Kami buru-buru bangkit untuk membantunya. Namun belum sempat kaki kami berdiri tegak, Iyem sudah mengaum seperti Harimau tidak kebagian jatah daging.

"Siti!"

Demi melihat Bos yang mirip Dakocan dicat hitam, kami segera ambil ancang-ancang buat lari. Namun sepertinya Iyem tahu niat kami.

"Eats, pada mau kemana?"

"Ndak ke mana-mana, Bos. Cuma mau ambil minum buat batalkan puasa," kataku harap-harap cemas.

"Jangan bohong, Doet!"

"Kue ultahnya kagak bolong, Bos. Kalau bolong itu donat," bela Siti meski tetap salah jaringan.

"Sudah, jangan takut. Sebab hari ini aku lagi baik hati, tidak sombong dan gemar menabung," kata Iyem tersenyum lepas.

"Benaran, Bos?"

Aku rada tidak percaya. Pasti ujung-ujungnya ada udang dalam rempeyek.

"Gimana caranya tu tabung bisa Bos jinaki?"

Lagi-lagi kuping Siti kambuh, menabung sama tabung kan beda hurup awal ya, we?

"Aku taruh kain basah, lalu api lambat laun padam," jelas Iyem gak pakai panjang kali lebar.

"Kami ndak ada yang sempat taruhan, Bos."

"Lu diem dah, Ti. Bos kata taruh alias letak eh lu dengar apa. Emang lu kira kita lagi di Las Vegas main judi," sela Yanie menahan dongkol.

"Selamat ulang Tahun, Sobat," ucap Iyem mengulurkan tangan.

"Tap, tapi," kata Yanie terbatah ingin mengatakan sesuatu. Namun tak bisa, hanya angka sebelas di lubang idung Yanie naik turun sebagai jawaban. Entah karena terharu, entah apalah aku juga tidak tahu.

"Mbak Yanih cepat ambil kue serta lilinnya," pintaku.

"Siap, ChaDoet."

Semangat empat lima Yanih berlari tanpa melihat lagi.

"Aduh, Biyung," teriak Iyem seketika.

"Kenapa Bingung, Bos?"

"Bukan bingung, kaki ku diinjek Yanih."

Iyem langsung mengelus kakinya yang setengah Mummi, ketika sejurus kemudian Yanih berlari kembali dengan tart di tangan.

"Hadeuuu!"

Lagi lagi Yanih menginjak kaki Iyem yang satunya.

Kemudian....

Bruk!

Plok.

Yanih jatuh, kue tart mendarat mulus tepat di wajah Yanie yang berdiri di hadapanku.

"Sitiii!"

Yanie berteriak sambil guling-guling di tanah. Menumpahkan kekesalannya pada saudara setanah airnya Mi-Chan.

Sementara Iyem bukan lagi sakit encok, ayannya pun ikutan kambuh akibat ulah Siti.

Yanih sendiri burusn repot memandikan sayurannya yang terkena cipratan kue ultah. Takut itu sayur terinfeksi virus corona.

"Mereka semua bahagia banget, ya, Dut."

"Suka ati pengelihatan dan pendengaranmu lah Kak Siti," jawabku sambil ngeloyor pergi.

"Siapa yang mati?"

Lagi-lagi kuping Siti ngedrop.

"Woiii, hari ini bukan ulang tahunku. Lebaran juga belom. Ntar Juni," teriak Yanie tiba-tiba.

Aku masih sempat mendengarnya sebelum Baday kulaju untuk mencari tempat membatalkan puasa.

Akibat keteledoran Siti semua rencana gagal Total. Entah siapa yang ultah tak diketahui, bos mungkin sudah waktunya masuk rumah jompo karena sudah pikun. Pun tidak bisa menyalahkan Siti sepenuhnya, sebab Iyemlah yang punya andil dalam hal ini. Seandainya saja dia tidak menyuruh Siti. Akh sudah lah, nasi sudah jadi bubur.

*****TAMAT*****

Cerpen –
GARA GARA KOMPOR
Karya : AIRI CHA
Pengojek Hati
2200.290621

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar