Dengan malas aku menggeliat, nikmat sekali tidurku malam ini. Menikmati liburanku di rumah nenek, di kampungku.
Sayup terdengar suara nenek, membangunkan. "Santi, bangun sayang… kita berangkat pagi ya, jadi ikut nenek ke hutan?"
"Iya nek jadi dong kangen pengen liat pemandangan alam." Jawabku sambil melempar selimut dan tergesa melangkah ke kamar mandi.
Sudah lama aku tidak pulang ke kampungku di Sumatra Barat, kampungku yang indah dengan pemandangan alamnya. Kesempatan liburan inilah aku pergunakan untuk pulang kampung sekalian menjenguk nenekku.
"Kita bawa bekal untuk makan siang ya, supaya tak lapar nanti di hutan."Ucap nenek sambil terus memasukkan bekal siang ke dalam rantang.
"ya nek makan di hutan pasti nikmat, ada saungnya ya nek?" Jawabku.
"Ada yang dulu dibuat oleh kakek, nenek merawatnya dengan baik agar nyaman untuk beristirahat, kamu bisa duduk menikmati pemandangan dari saung."
Tak sabar aku ingin segera sampai di hutan, terbayang keindahan pemandangan alam di tepi hutan perbukitan.
"yuk nek aku sudah siap, kita berangkat." Pintaku pada nenek
"Iya selagi masih pagi udara masih sejuk." Nenek menimpal.
*****
Tidak sampai satu jam berjalan sudah berada di tepi hutan. Aku tertegun menatap indahnya pemandangan."Jangan berhenti dulu, kita naik ke atas sedikit lagi, diatas pemandangannya lebih indah."
"Oke nek aku sudah tak sabar lagi."
Tak lama berjalan sampailah di ladang nenek, di pinggir perbukitan banyak tumbuh-tumbuhan tanaman nenek. Nenek berkeliling untuk memeriksanya, sementara aku asyik dengan ponsel mengabadikan pemandangan. Setelah puas memotret, aku bersandar menikmati sepoi sejuk angin perbukitan, memandangi daun- daun yang bergoyang. Sayup aku bernyanyi, kupandangi daun waru yang melambai tertiup angin, melayang jatuh tepat di sisiku.
"hei ...jangan melamun," tiba-tiba seorang pemuda tampan menyapaku.
"kau, kau ...siapa? Aku menjawab, terkejut.
'Aneh, kenapa tiba tiba ada dia disini?' hatiku berkata.
"Siapa kamu?" tanyaku berusaha biasa, tak ingin terlihat gugup.
"kamu lama pergi,lupa padaku? Aku kekasihmu Riyan.Lihat! Ini cincin pertunangan kita,ada namamu di sini."
Dia menaruh cincin di telapak tanganku dan menggenggamnya untuk beberapa saat dengan sorot mata yang tajam penuh kerinduan. Kuperhatikan cincin polos indah itu, tertulis nama Ratih. Kepala seakan berdenyut, semakin bingung.
Ratih teman sekolahku, kenapa namanya ada pada cincin ini?
"Riyan, aku bukan Ratih dia …" Kata-kata ku tersekat, tak lanjut bicara.
Aku melihat sekitar… kemana dia? Mengapa tiba-tiba menghilang?
"Riyan!"
Setengah berteriak aku memanggil,panik. Sebuah elusan dingin pada tengkuk menambah rasa panik aku.
"Riyan!"
Setengah berteriak aku memanggil,panik. Sebuah elusan dingin pada tengkuk menambah rasa panik aku.
"Duh, nenek bikin aku kaget."
Aku terdiam sejenak masih mengingat kejadian tadi,begitu nyata 'tak mungkin itu mimpi' kata hatiku.
"Nek, lihat pemuda berkemeja putih? Tampan wajahnya." Aku bertanya pada nenek, penasaran.
"Dari pagi kita cuma berdua, tak ada orang datang kesini. Mungkin kamu mimpi San, kamu tertidur nyenyak, nenek tak tega membangunkan, Yuuukkk ...pulang hari mulai petang."
Aneh cincin ini ada di genggaman, aku tak berani bilang pada nenek, nanti saja di rumah akan ku ceritakan.
*****
Berjalan berdua tanpa berkata-kata, di keheningan senja tibalah kembali di rumah nenek."Cantik, mandi sayang, biar segar.Nenek lihat dari tadi kamu murung, kapok ya main ke hutan."
"Enggak, Santi senang di hutan indah pemandangannya." Aku menjawab sekenanya, sambil melangkah ke kamar mandi.
Air mengguyur tubuhku terasa menyegarkan. Perasaan masih kalut penuh tanda tanya. 'Bagaimana bisa cincin ini nyata, bukan sebuah mimpi,aku harus bagaimana?'
Tiba-tiba terpikir untuk menghubungi Ratih by phone,bergegas aku keluar kamar mandi menuju ke kamar tidur untuk berganti pakaian,hari hampir malam. Kunyalakan lampu kamar terlihat jelas cincin yang tadi kusimpan diatas meja rias, tergeletak. Kuambil cincin dan kugenggam, sambil kuraih ponselku yang kutaruh berdekatan. Aku mulai mencari nama temanku Ratih, pada ponselku.
Agak lama mencarinya, sudah lama tak saling berkabar, sehubungan kesibukan masing masing.
"Halo… " Kusapa Ratih setelah nomor tersambung.
" Ini aku Santi, apa kabarmu Ratih? Sudah lama kita tak jumpa, aku baru kemarin tiba di rumah nenek. untuk berlibur disini dan menjenguk Nenek."
Terdengar jawaban dari Ratih. "Santi kebetulan kamu datang, aku kangen kamu San.Besok pagi aku ke rumah nenek kamu ya."
Suara Ratih terdengar parau. "Oke datanglah besok pagi aku tunggu ya."
Aku menyetujui bertemu Ratih besok pagi.
*****
Keesokan hari tanpa menunggu terlalu lama Ratih muncul dengan wajah yang kusut, terlihat kurus dan sayu, aku betul-betul pangling."Ratih kamu kenapa kelihatan pucat, sakit ya?"
Aku tak sabar menunggu jawaban Ratih. Alih-alih bicara, Ratih malah menghambur ke pelukanku, menangis tersedu.
"Ratih tolong di jawab, kamu kenapa? Apa yang terjadi padamu?"
Perlahan Ratih mulai bicara tanpa melepaskan pelukannya dariku. "Aku lagi berkabung, Riyan calon suamiku meninggal dunia, ini adalah hari ketujuh wafatnya."
Seperti disambar petir aku terkejut bukan kepalang. Kupeluk Ratih lebih erat lagi. "Tenangkan dirimu, ceritakan padaku bagaimana semua ini bisa terjadi,
untuk mengurangi beban perasaanmu."
Perlahan Ratih mulai bisa menguasai perasaannya dan mulailah dengan ceritanya.
"Setahun lalu aku mengenal Riyan, pria tampan dan baik hati. Kami berkenalan di medsos, intens berhubungan melalui medsos, bertelepon dan video call. Lebih kurang setahun berjalan mulus,menyenangkan. Kami berjanji untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius.
Hingga datanglah Riyan seminggu yang lalu menjumpaiku, bermaksud melamarku.
Riyan pun mengutarakan maksudnya pada ayahku, tanpa diduga-duga ternyata ayahku menolak dan sangat marah mendengar permohonan lamaran dari Riyan.Ayah tidak yakin hubungan yang berawal dari medsos bisa menjadi pasangan hidup yang baik. Dengan hati hancur Riyan pulang ke kotanya, tak kalah hancurnya hatiku mendengar berita pesawat yang ditumpanginya jatuh di tebing perbukitan hutan itu, semua korban tidak ada yang selamat."
Bak disambar petir mendengar penuturan Ratih, walaupun begitu aku berusaha untuk tetap tenang.
Aku bicara perlahan, tersendat. "Innalillahi wainnailaihi rojiun, sabar ya Ratih ikhlaskan, banyak-banyaklah kirim doa untuknya. Aku turut berduka cita."
Ratih mengangguk perlahan, terlihat mulai tenang. "lihatlah Riyan titip cincin ini untukmu, dia sangat mencintaimu Ratih."
Aku serahkan cincin yang sedari tadi sudah kusiapkan. Dengan terheran-heran Ratih menerima cincin yang bertuliskan namanya. "Apa kalian saling mengenal?"
Ratih bertanya seakan tak sabar menunggu jawaban. Aku hanya mengangguk perlahan. Tidak mungkin aku harus menceritakan bahwa cincin itu di beri Riyan di tepi hutan dekat tebing perbukitan.
--------------------------------TAMAT-------------------------------
Cermin –
MISTERY CINCIN PERTUNANGAN
Karya :Tati Kartini
Jakarta 24 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar