Aku menatap ke depan, aku melihat jalan dengan penerangan dari gerbong kereta, dan Diya tanpa penerangan sedikit pun sesungguhnya dapat melihat benjolan di atas mataku, lantaran peristiwa yang baru saja ku alami.
"Wid",sapa Diya, "Hari mulai gelap", sambil mengusapkan tangannya pada celana jeans dan berdiri.
" Ayo Wid" kita pergi dan kita ikuti jalur kereta ini," Diya menarik tanganku dengan paksa.
"Ah, Jalur kereta yang halus seperti jalan menuju rumahku dulu.", tapi, apakah aku bisa sampai ke ujungnya lalu masuk ke suatu tempat, yang belum jelas siapa penghuninya?, tempat di mana empunya tak jelas menyukaiku.
"Wid", sapa Diya .
"Hati-hatilah melangkah, di depan kita ada sebuah jembatan, air sungai nya pun nampak hitam", di antara celah-celah bantalan rel, lagi-lagi Diya dengan tanganya menuntunku berjalan sepanjang rel kereta, sambil selalu menjaga keseimbangan.
Di kanan-kiri rel rawa-rawa terkurung dalam kabut yang mulai naik. Sementara mataku mulai perih dan perutku lapar.
"Ayolah Wid." kata Diya. "Kita harus berjalan terus untuk meninggalkan kenangan juga peristiwa apa saja yang pernah engkau-aku alami selama perjalanan hidup ini, tak perlu diingat lagi, bagaimana kita terbuang dan tersisihkan, bagaimana semua tampuk kesalahan terlontar ke pada kita, walau kita sendiri tak mengerti permasalahannya, bagaimana kita selalu di fitnah dan tak di beri kesempatan membela diri, bagai mana hati kita tersayat belati kepalsuan, aku juga masih merasakan rasa sakit yang kau rasakan akibat pukulan pukulan itu, aku mengerti lembamnya memang sudah hilang tapi sakitnya masih kau rasakan sampai detik ini, dan bagai mana pula kita harus pontang panting sendirian, bagai mana kita terlunta tak berdaya, terlalu banyak bagaimana-bagaimana yang lain tapi sudahlah Wid tutuplah memori itu!" kemudian dengan hati-hati Diya menuntunku untuk sesaat istirahat di salah satu stasiun kota lama.
Oh, Diya menarik nafas sambil sembari mengucapkan satu kalimat yang sering ia katakan, “ O, dunia yang sekarat ternyata kami adalah budak-budakmu ke mana pun kami pergi atau tinggal terlahir pilihan dan apakah cinta masih merupakan rasa getir terlezat yang tertunda?"
Akhirnya Aku dan widiya sampai pada bantalan jalur kereta terakhir di stasiun kota lama. Kemudian kami mencoba untuk tidur meski harus diselimuti ribuan nyamuk di tubuh kami dan dingin yang tak henti-hentinya mengajak kami untuk mengingat perjalanan yang belum selesai ini.
"Ini lah mati sebelum mati" fikir ku, dimana hidup hanya merupakan sebuah Fatwa,
Sedang perjalanan masih panjang, ini baru sepenggal kisah Peristiwa Satu Malam di dua ribu sembilan belas.
Sinar surya menyelusup masuk dari selah selah kaca jendela stasiun tua menjaga kan ku dari tidur tak bertuan di penggalan malam.
"Masih ada kereta yang akan lewat Wid" bisik Diya
"Ya Diya, life must go on" jawab ku.
--------------------------------TAMAT------------------------
Cermin –
Sepenggal kisah
PERISTIWA SATU MALAM
(Dialog suara hati dan sejatinya)
Karya : Ayu Ashari
Medan, 0305019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar