Ketika Bu Suriati tiba di sawah, dia berdendang ke arah mata angin.
"Berembuslah duhai hari! Kirimkan kesejukan ke dada yang resah ini. Bawalah gumpalan awan menurunkan hujan di tanah yang kemarau ini."
"Tuhan, kenapa kami selalu gagal panen di setiap tahun. Apakah tanah yang tak subur di musim kemarau selalu tiba, atau dosa-dosa yang semakin merajalela. Hingga, kebun sawah dan tumbuh-tumbuhan tak dapat hidup, ataukah orang-orangnya yang tak lagi bersahabat, lupa norma adat dan akidah di kampung ini? Ampunkan kami ya Allah, kalau itu yang terjadi." keluh dan doa Ibu Suriati di pematang sawah menatap langit.
Sudah beberapa tahun Ibu Suriati dengan suaminya menggarap sawah di desa untuk kelangsungan hidup dan anak-anaknya yang mulai remaja. Ada yang masih sekolah, ada yang baru balita. Dan panen itu selalu tak mendapatkan hasil yang diharapkan.
"Pak, kita selalu gagal panen, dan anak-anak kita sudah mulai tumbuh dewasa, kita 'kan punya kebun karet di rimba? Bagaimana kalau sebaiknya bapak menyadap karet kembali ke rimba untuk biaya hidup dan biaya anak-anak kita ke sekolah." pinta Bu Suriati, dan juga salah satu anak sulung Pak Sardi di senja hari.
Pak Sardi hanya bergeming, menatap istri dan anak-anaknya di atas tikar makan sehabis waktu Magrib, dan hanya mengangguk menjawab saran istrinya. Air mata Pak Sardi jatuh ke dalam, tertelan bersama ikan asin dan sambal yang pedas, sepedas hidup yang ia rasakan membesarkan anak-anaknya.
Keesokan paginya, Pak Sardi bangun selesai solat Subuh. Pak Sardi mengajak anak sulungnya tersebut ke rimba, hendak menyadap pohon karet yang sudah lama ia tinggalkan karena hasilnya tak seberapa, disebabkan harga getah karet sangat murah dibeli pengepul getah.
Di tengah pendakian rimba menuju kebun karet miliknya. Pak Sardi dan anaknya si Buyung terengah-engah menaklukan pendakian menuju kebun karet miliknya. Pak Sardi bertanya pada si Buyung.
"Anakku Buyung si sulung, ketika kau besar nanti, ingat pesan bapak ya, nak?! Jangan kau lupakan jerih payah orang tuamu di masa tua. Ingatkan kepada adik-adikmu nanti! Jika ada rezeki lebih di mana pun kamu berada dan dengan siapa pun kamu menikah, bantulah ibu dan bapakmu walau sepersen pun kau beri, meski setiap tahun apalagi setiap bulan. Betapa ibu dan bapak merasa memiliki anak-anak yang berguna, setidaknya doa pun bapak harapkan pertanda kau tetap ibadah."
Singkat cerita, setelah dewasa. Sebagian anak-anak Bu Suriati pergi merantau, dan yang lainnya berusaha di kampung.
Selang beberapa tahun kemudian, si Buyung dan adik-adiknya teringat curhat bapaknya di masa muda di punggung bukit di desanya.
Kini, anak-anak Bu Suriati dan Pak Sardi sudah berumah tangga semuanya. Hidup anak-anaknya selalu merasa kekurangan sepanjang hari di dalam rumah tangga. Padahal hidup di rantau, anak-anak itu sudah berulangkali mendapatkan kesempatan menjadi pedagang yang sukses dari perniagaannya, dan anak-anaknya yang di kampung juga memiliki kesempatan yang sama berkat pendidikan disekolahkan oleh kedua orang tuanya dengan keterampilan yang berbeda-beda. Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan rezeki yang didapatkan demi kelangsungan hidupnya masing-masing. Entah bagaimana anak-anak Ibu Suriati dan Pak Sardi mengelola keuangan di dalam rumah tangga untuk kemajuan masa depannya. Hingga mereka selalu merasa kekurangan, dan pada akhirnya, anak-anak itu mengeluh pada orang tuanya yang sudah tua, karena tak punya modal usaha. Sedangkan Bu Suriati dan Pak Sardi tinggal bersama anak bungsunya di kampung.
Ironis, di masa umur Ibu Suriati dan Pak Sardi yang kian senja. Anak-anak mereka masih saja mengemis meminjam uang pada orang tuanya untuk berbagai alasan keperluan modal usaha ke orang tuanya. Hidup dan sehat aja orang tuanya sudah bersyukurlah anak-anak itu semestinya. Orang tua petani, bukan pensiunan pegawai negeri yang memiliki penghasilan bulanan apa lagi simpanan.
Salah seorang anaknya, meminta uang ke orang tua yang sudah renta atas nama pinjam buat modal usaha, tak diberi. Cerca dan caci maki menggunung di dada anak yang tak tahu di untung. Membuat hati kedua orang tuanya teriris.
Flashback, di masa mereka masih kecil untuk menyekolahkan anak-anak Bu Suriati dan Pak Sardi, kedua orang tua itu sudah payah. Hidupnya seperti kaki di kepala, dan kepala di kaki, jerih, pediiiihhh ....
Di suatu malam, suara parau dari sudut rumah, doa-doa Bu Suriati seperti menggemparkan langit, hujan turun sederas-derasnya. Sederas air mata Bu Suriati di tengah malam buta. Memohon ke Yang Maha Kuasa:
"Ya Ilahi, bukakanlah pintu rezeki bagi anak-anak hamba di mana saja mereka berada."
Doa itu di puncak ikhtiar yang menggelegar diiringi petir malam di seantero alam.
Malam tenggelam, sayup-sayup suara azan Subuh terdengar, hujan mulai reda. Sungai di kampungnya banjir bah tiba-tiba.
Terdengar suara, dum, dum, dum.... Gemuruh bebatuan dan kayu-kayu gelondongan hanyut dari hulu sungai mengirimkan ke muara dan berlabuh di samudra.
Ibu Suriati jantungan, dapur di belakang rumahnya hanyut karena hujan semalam.
Ibu Suriati kepayahan menghela napas melihat Pak Sardi menyelematkan sisa-sisa perabotan yang hanyut dibawa air bah dan Pak Sardi ikut tenggelam dan hanyut meninggal di ganasnya air yang melanda. Pak Sardi akhirnya ditemukan oleh warga dengan tubuh yang sangat mengenaskan berjarak 5 KM dari kampungnya. Ibu Suriati pun meninggal di pagi buta karena serangan jantung melihat dapur rumah hanyut bersama suaminya, dan disaksikan anak, cucu serta menantunya. Pagi hingga siang, berita bencana itu menyebar ke mana-mana. Malang tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak bak kata pepatah.
Kabar musibah itu sampai ke perantauan, diterima oleh anak-anak Bu Suriati dan Pak Sardi. Salah satu anak mereka yang selalu meminta uang pada orang tuanya berteriak:
"Ampunkan aku Buu ... Bapaaakk ...!!! Aku yang tak berbakti ini maafkanlah, yang selalu menyusahkan dan tak berguna." teriakkan salah satu anaknya itu terlambat sudah. Nasi sudah jadi bubur, badannya di rantau tak bisa pulang kampung melihat orang tuanya terakhir kali. Hanya air mata penyesalan di batu nisan, seminggu setelah kedua orang tuanya dimakamkan, baru bisa pulang karena tak punya uang untuk pulang secara tiba-tiba dapat kabar duka. Tangis di tanah merah anak itu, getarkan sekujur tubuh yang pasrah.
"Ibu, bapak, maafkan anakmu yang tak sempat memelukmu terakhir kalinya ...."
Cermin –
AMPUNKAN AKU, BU
Penulis : Romy Sastra
Jakarta, 27-8-'20
Salam takziah dipanjatkan pada Ilahi, dan dikirimkan kepada kedua orang tuanya di tanah merah yang basah oleh air mata.
Aamiin, aamiin, ya rabbal alamin.