Suatu pagi desa Nusa Ramai geger. Berawal sebuah teriakan wanita yang histeris. Aku yang baru selesai tadarus Alquran usai salat subuh, cepat-cepat melipat mukena.
"Nis, Nisa ..." Suara bang Jarwo terdengar dari teras, gegas aku berjalan keluar sembari memakai jilbab.
"Ada apa bang?"
"Itu ada ribut-ribut di rumah Mbak Rum, Abang mau ke sana. Kamu di rumah saja biar Abang yang cari tahu."
"Baik Bang."
Aku menutup pintu setelah bang Jarwo pergi. Menyapu, mencuci piring lalu memasak adalah rutinitas sehari-hari bahkan sebelum ibu meninggal. Aku empat bersaudara, anak pertama perempuan bernama Mustika Widia Sari, lalu bang Sujarno Widi Wibowo, bang Sujarwo Widi Harmoko dan aku Annisa Widia Wati. Yuk Tika sudah menikah dan ikut suaminya di Muara Dua, begitu pula dengan bang Jarno ikut istrinya di Alang Alang Lebar Palembang.
Aku dilahirkan di dusun kecil Nusa Ramai. Dusun yang asri dengan hasil padi nan melimpah. Ayah meninggal karena sakit saat bang Jarwo hendak lulus SMA. Itulah yang membuat bang Jarwo bekerja demi menghidupi aku dan ibu.
Yuk Tika hanya sesekali berkirim kabar, maklum di tempatnya sulit mendapatkan sinyal. Muara Dua itu pun pelosoknya, bukit-bukit nan hijau tanaman kopi. Entahlah aku belum pernah ke sana, hanya mendengar Ayuk yang bercerita. Hidup pun sederhana, sang suami bukanlah orang kaya tapi rajin bekerja.
Bang Jarno mungkin lebih beruntung, istrinya ialah anak orang kaya. Pemilik toko sembako yang lumayan besar, jadilah bang Jarno yang menjalankan bisnis toko itu. Tapi Abangku itu juga jarang berkabar, sibuk itu yang menjadi alasan. Entah, seolah lupa pada kami yang hidup di dusun.
Bang Jarwo satu-satunya yang peduli dengan pendidikanku. Aku baru kelas 2 SMP ketika ayah dipanggil Allah. Bekerja serabutan, kadang ya nyangkul atau nyemprot atau apapun yang orang suruh. Kami hidup apa yang ada cukup untuk hari ini entah esok. Dulu kami punya beberapa petak sawah. Tapi habis dijual untuk pengobatan ayah. Tapi kami anak-anaknya ikhlas, jadi tinggal tempat di mana rumah tegak itulah tanah yang kami punya.
"Hei Nisaaaaa ... Nih anak dipanggil-panggil kok diem aja, kesambet Lo?"
"Astagfirullahaladzim," Aku tersentak sambil mengelus dada. Bayangan masa lalu membuat kuping tak mendengar panggilan bang Jarwo.
"He he he ... Maaf Bang, Nisa melamun. Lama amat Abang di rumah Mbak Rum, emang ada apa?"
"Itu Nis, kamu tahu kan Mbak Rumaniyah lagi hamil?"
"Tahu Bang."
"Wetenge kempes, bayine ilang. (Perutnya kempes, bayinya hilang)." Bang Jarwo berbisik
"Apaaaaa!!!" Spontan aku berteriak sambil menutup mulut.
"Ssttttt!, Cangkemmu (Ssttttt! Mulutmu)" Bang Jarwo meletakkan telunjuknya di bibir.
"Kok bisa Bang?"
"Yo isolah, tuh buktinya."
"Gimana ceritanya?"
"Jadi gini ..."
*****
POV Rumaniyah
"Kulo nuwun, Nduk ... Nduk Rum ..."
Aku tertegun, ya ini hampir magrib waktu surup orang bilang. Pamali bagiku yang sedang hamil untuk berada di luar rumah. Dan siapa orang yang memanggil itu? Suaranya seperti kenal ... Firasat tidak enak muncul di benak. Apalagi bang Juki belum pulang dari menjemput Emak. Perutku yang mulai mulas seperti hendak melahirkan membuat bang Juki menjemput Emak supaya bisa menemani kalau sudah waktunya.
"Sinten nggih?" Tanyaku sebelum membuka pintu.
"Aku Nduk, Mbah Yem."
Kening berkerut, Mbah Yem?
Bukannya beliau istri Mbah Surip yang katanya "orang pintar" itu?
"Onten nopo Mbah kok surup-surup mriki?(Ada apa Mbah kok surup-surup ke sini?)"
"Mbok dibukakne lawange to Nduk, Iki lho Mbah betakne pisang mateng. Mumpung urong kendalon menowo sampeyan pengen pisang goreng utowo ngolak. (Tolong pintunya dibuka to Nduk, ini lho Mbah bawakan pisang matang. Mumpung belum terlalu matang siapa tahu kamu ingin pisang goreng atau kolak."
"Owalah, nggih Mbah ..." Pintu kubuka sembari tersenyum. Tanganku terulur menerima pisang yang diberikan Mbah Yem.
Tangan keriput Mbah Yem ganti mengelus perutku. Sontak perasaanku was-was.
"Pun wayah e nggeh Nduk?"
"Emmm ... Nggih Mbah."
"Ya wes, Mbah wasul Nduk, didahar pisang e."
"Injih Mbah, matur nuwun."
Huffff aku bernapas lega melihat tubuh renta itu berjalan menjauh.
Suara deru motor mengalihkan perhatian dari pisang sesisir yang kupegang. Bang Juki datang membonceng emak, di depannya tas hitam lusuh milih emak bertengger.
"Assalamualaikum , Nduk." Emak mengulas senyum, tangannya terulur untuk salim.
"Waalaikumussalam Mak," kusambut tangannya dengan ciuman di punggung.
"Surup-surup kok nek jobo lho Rum"(Surup-surup kok di luar lho Rum?)" Tanya bang Juki, tangannya menenteng tas Emak.
"Iya Bang, Mbah Yem barusan ngasih pisang. Nih ..." Tanganku mengangkat pisang yang menguning dan gemuk-gemuk.
"Mbah Yem?" Kening bang Juki berkerut.
"Sudah ... Sudah ... Azan Maghrib tuh, ayo masuk dulu." Ibu menengahi percakapan kami.
Kami pun masuk tak lupa mengunci pintu. Usai salat Magrib, kami makan malam sambil bercengkerama. Lalu ibu pamit untuk menunaikan salat Isya dan langsung beristirahat.
Begitu juga aku dan bang Juki, sebelum tidur kucomot pisang sebiji pemberian Mbah Yem. Lumayan, buat cuci mulut sebelum gosok gigi.
Allahu Akbar Allahu Akbar!!!
Allahu Akbar Allahu Akbar!!!
Azan subuh berkumandang, kepalaku terasa sedikit pusing, badanku sakit, lelah seperti habis dari melakukan pekerjaan berat. Kupejamkan mata, sebentar lagi saja ah. Setelah merasa lebih baik, aku duduk pelan turun dari ranjang, maklum hamil tua.
Tunggu
Seperti ada yang salah
Ya, ada yang kurang
Perutku kok gak gendut?
"Abaaaaang ..." Aku berteriak histeris
POV Author
"Oeeek oeeekk ..."
"Alhamdulillah, selamat ya Bu, anaknya perempuan." Bidan Naya mengucapkan selamat pada pasiennya.
"Alhamdulillah ..." Ucap wanita yang berbaring lemah mengukir senyum.
Setelah beberapa jam menunggu akhirnya bayi mungil itu lahir sehat. Penantian tujuh tahun kini telah terbayar.
Meski ada hal mengganjal di hati bidan Naya, bagaimana mungkin bahkan sebulan yang lalu pasutri itu datang untuk USG dan rahim itu kosong, sungguh-sungguh kosong.
*****TAMAT*****
Cerita di atas hanya fiksi ya, itu yang menjadi alasan kenapa disarankan untuk ibu-ibu yang sedang hamil untuk tidak jujur dengan umur kandungannya. Semisal hamil empat bulan katakanlah tiga atau lima bulan.
Cermin (Cerita Mini) –
PUJON
Penulis : Visty Oktaviaa
VISTY OKTAVIAA |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar