RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Sabtu, 16 Oktober 2021

Cerpen - JANGAN HINA IBUKU Penulis : Visty Oktaviaa


   "Niaaa, Nia!!" Suara menggelegar Edi mengusik pagi. Jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh, tapi rumah megah itu sudah riuh.

"Iya Mas, ada apa?" Nia datang tergopoh-gopoh menyahut seruan Edi.

"Ada apa matamu pic*k!! Kamu gak liat rumah berantakan seperti ini?"

"Maaf Mas, adik lagi memasak. Jadi belum bisa beberes rumah. Hari ini Lisa masuk sekolah, jadi Nia siapkan sarapan sekaligus bekalnya."

"Halaaah, alasan!! Percuma aku bikin rumah mewah kalo berserakan sampah. Percuma juga punya istri, udah melarat lambat lagi."

"Maaf Mas ..."

"Maaf maaf ... Emang selesai dengan kata maaf? Bisa bersih sendiri ruangan ini hah?" Bentak Edi sembari menarik rambut Nia.

"Auuuu ... Sakit Mas ... Aduuuhh ...." Spontan Nia berteriak kesakitan, tangannya memegang rambut agar tidak tercerabut.

Bukannya kasihan dengan sang istri, Edi malah menendang bokong Nia sehingga membuatnya terjerembab. Nia mengaduh, diam tengkurap tanpa ingin melawan. Hujan jatuh di pipinya, bibir rapat menahan isak.

Melihat itu Edi tertawa-tawa, bau alkohol menguar menyesakkan dada, berlalu begitu saja memasuki kamar utama.

Ya, Edi yang semalam tidak pulang ternyata mabuk-mabukan di lapo tuak bli Kadek hingga pagi. Edi adalah anak pak Heru, retenir yang sukses mengembangbiakkan duit. Pak Heru sudah meninggal setahun yang lalu, seluruh warisan jatuh ke anak tunggal, Edi. Akibat pola asuh yang salah, Edi tumbuh menjadi pribadi yang pemalas, egois dan tidak beradab. Ibunya yang sudah tua pun kadang tak luput dari sasaran kemarahannya.

Sedang Nia adalah gadis ayu nan santun. Kemiskinan mengajarkan syukur di setiap kenikmatan. Dia tidak pernah mengeluh dan mampu berusaha sendiri untuk meraih apa yang diinginkan. Ayah dan ibunya meninggal karena kecelakaan semenjak ia kecil, dua orang kakak hidup di perantauan. Sedangkan Nia kecil diasuh nenek. Kakaknya hanya pulang ketika menikahkan Nia dengan Edi, hadir sebagai wali kemudian langsung pergi.

*****

   Ya Allah, Astagfirullah ...

Nia menjerit dalam hati, dosa apa yang membuatnya menjalani kehidupan seperti ini. Edi yang dulu romantis begitu manis merayu sang gadis. Kini setelah menjadi istri bukannya posisi ratu tapi babu yang diberikan.

Rumah dua lantai dengan lima buah kamar tidur dan tiga kamar mandi, ruang tamu dan ruang keluarga nan luas, serta perabot mewah harus dijaga kebersihannya. Lemari, kulkas, dapur, debu harus kabur darinya. Belum lagi ibu mertua yang semena-mena persis anaknya dan buah hati yang nurun bapaknya. Sungguh, cobaan yang luar biasa.

*****

   Ia bangkit, bukan sekali dua kali ia sakit. Disekanya netra, merapikan rambut lalu berjalan menuju kamar sang anak.

"Lis, Lisa sayang. Bangun nak nanti terlambat." Digoyangkan pelan tubuh mungil itu. Ia baru berusia lima tahun, sekolah TK nol kecil.

Nia menghela napas, gegas masuk ke kamar mandi. Menyalakan shower air, mengatur suhu panas. Setelah dirasa cukup, ia matikan shower. Dibuatnya susu hangat terlebih dahulu, lalu pelan-pelan dibuka baju Lisa. Dengan mata terpejam bibir Lisa menyedot dot, sedang ibunya menggendong dan memasukkan di bak mandi. Dengan telaten dibersihkan tubuh Lisa.

Selalu seperti itu jika sang anak akan mandi.

*****

   Tepat jam tujuh Lisa sudah siap berangkat ke sekolah. Ia akan dijemput oleh Bu Ani, gurunya yang tinggal di sebelah rumah. Bu Ani sukarela membersamai pulang pergi Lisa sekolah karena kasihan jika harus Nia yang melakukan. Mengingat Edi tak suka jika rumah belum bersih kinclong saat ia bangun.

*****

   Nia menatap kepergian anaknya ke sekolah, ia merasa begitu lelah, enam tahun memendam amarah. Sejak menikah hidupnya pilu,a Ia ingin istirahat sejenak.

*****

   "Njing eh njing, bangun!!" Lasmi menggoyangkan tubuh menantunya dengan ujung kaki. Di usia yang memasuki lima puluh delapan tahun, gurat kesombongan mengukir raut kerasnya. Baginya, Nia tak lebih dari seekor anjing yang harus menuruti perintah majikan.

"Ehhmmmm ..." Nia menggeliat sembari mengerjapkan mata.

"Ada apa Bu?"

"Bangun anj***g!!! Kamu gak liat matahari sudah di mana. Jam segini sudah molor, nih bajuku dicuci yang bersih. Pakai tangan ya, dengar? Pakai tangan." Bu Lasmi menekan dan mengulang perkataannya.

Nia melirik jam di dinding, sudah jam delapan rupanya. Lumayan juga tidurnya.

"Baik Bu." Nia beranjak sambil menerima uluran baju dari mertuanya.

*****

   Usai merendam baju Bu Lasmi dengan Molt* Nia lanjut beberes rumah sebelum suaminya bangun. Sepuluh menit lagi baru dikeringkan pakai mesin cuci. Saat ia menyapu garasi, didengarnya ibu mertua bercerita dengan tetangga. Ia menajamkan pendengaran.

"Saya itu heran sama si Nia, pagi-pagi sudah tidur. Apa gak diurusnya dulu anaknya sekolah, masa harus saya yang memandikan serta menyiapkan kebutuhan Lisa. Belum lagi masak untuk sarapan Edi, capek badan tua ini. Punya menantu malas kok begitu."

"Masa sih Bu? Setahu saya Nia anak yang rajin tuh" sahut Bu Endang

"Iya, wong kita-kita juga tahu seperti apa dulu gadisnya Nia. Gak neko-neko dan sangat santun. Andai saya punya anak lelaki sudah kujadikan menantu si Nia." Suara Bu Ita menimpali.

"Ah ibu-ibu ini ditipu sama casingnya Nia, aslinya sungguh hemmm ..." tukas Bu Lasmi sambil memonyongkan bibirnya.

"Eh, tahu gak ibu-ibu ini. Dulu ibunya si Nia kan pela**r, dan yang menghamili itu bukan suaminya. Entah siapa bapak aslinya. Dih, menjijikkan, mending kalo cantik, udah jelek, miskin, nyebarin penyakit lagi. Edi aja yang ngeyel, padahal saya tidak setuju punya besan pelac*r meski sudah koit." Bu Lasmi melanjutkan omongan pedasnya.

Nia yang menguping, menggenggam erat sapu. Gemuruh amarah memenuhi rongga dada, meledak tanpa bisa dicegah lagi. Ia ingat, dulu sebenarnya Bu Lasmi menyukai bapak, tapi bapak memilih ibu. Dari situ mungkin dendam bercokol, mulai dari tingkah semena-mena hingga fitnah disebar. Ia tak terima ibunya dihina.

"Cukup Bu ... Cukuuuuup. Aku terima segala perlakuan ibu juga anak ibu ke aku. Tapi aku tidak terima ibu menghina ibuku. Fitnah apalagi yang ibu tebar? Belum cukupkah ibu menghinaku? Menyakiti lahir dan batinku? Aku diam karena menghormati ibu. Jika seperti ini aku berhenti untuk jadi menantu dan babumu. Allah tidak tidur Bu, ingat umur. Jangan sampai ibu menyesal telah menghina dan memfitnah ibuku" teriak Nia sambil berkacak pinggang. Sapunya dibanting ke arah ibu mertua, mukanya merah padam tanda amarah menguasai.

Dihentakkan kaki, berlari memasuki rumah. Di kamar di lihatnya Edi pulas telentang. Segera disambarnya tas, dimasukkannya beberapa baju, dompet dan perangkat salat. Dipakainya sandal, berlalu di hadapan mertua yang menatap sinis.

Dulu demi Lisa ia bertahan, berharap keajaiban Tuhan. Anak semata wayang berubah haluan, tidak berwatak seperti bapaknya. Namun kini ia tak sanggup lagi, memilih pergi mencari damai. Diamnya dianggap lemah, santunnya dianggap pasrah, menurut dikira takut. Padahal Nia ingin berbakti pada suami, merawat mertua dan membahagiakan anak. Hanya itu keinginan di hati, keluarga kecil yang saling menyayangi. Selama ini Nia sendiri, saudara jauh kerabat jauh. Sesederhana itu pintanya di setiap doa. Mungkin Allah punya rencana, yang tak terduga di depan sana.


*****TAMAT*****

Cerpen –
JANGAN HINA IBUKU
Penulis : Visty Oktaviaa

VISTY OKTAVIAA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar