Dalam Serenada Kelabu
Gunung , perbukitan dan ilalang
Awan beringsut bergelombang
Kabut bertebaran menggenang
Angin membawa serta
Aroma rerumputan rambut ikalmu
Ketika hujan reda
Malam sudah larut
Gigil terasa menghanyut
Yang datang nestapa
Aroma melati menebar dari hutan biru
Cinta mendayung rindu
Aroma melati datang dari segala penjuru
Bunga melati bertebaran di ranjang pengantin
Aku bangkit dari tempat tidur
-dimana engkau kekasihku ?
***
Aroma rerumputan sehabis hujan
Dan angin yang mendesis
Berbayang tawamu
:bawalah aku sekali-kali ke gunung
Katamu
-kau pasti rindu vanda merah muda bukan ?
:vanda merah muda ya vanda merah muda
Saat cintaku bersemi bunga itu hadir selalu
Setiapkali ke gunung, kau selalu bawakan satu
Hingga berpuluh jumlahya
Aroma rerumputan sehabis hujan
Menelisik alur kenangan
Cinta bersemi cinta bermekaran
Tak ada habisnya air mata menggenang
Tak ada habisnya gelak tawa mengembang
Mencintamu adalah bahagia dan nestapa
Karena bersemayam di kalbu
Dan harus ada ketiadaan
-kau jangan pergi
Karena angin acapkali begitu mengigilkan
Katamu seperti tengah merenda ketakutan
Malam sudah demikian larut
Ada sedikit cahaya bulan
Di langit makin berawan
Udara hampa lahir dari sanubariku
Menjelma angin
Menggugurkan satu persatu kelopak melati
:bunga melati bunga pengantin kita
-aku selalu bawakan seperti Vanda yang kau suka
:bunga melati kesucian cinta kita
bawakan aku selalu
Biar malam-malam kita
Selalu di ranjang pengantin
Bunga vanda merah muda
Bawakan aku selalu
Biar ranjang pengantin
Memberikan kelembutan selalu
- Aku selalu bilang padamu bukan ?
Ketika aku ucap janji pengantinku
aku mulai menanam sebutir benih cintaku
barangkali setahun, sepuluh tahun bahkan seribu tahun
kemudian kita menuai sambil menikmati kerentaan
duduk-duduk di setiap ambang senja
Malam demikian larut
Separoh jiwa menggenapkan kesendirian
-Angin jangan kau singkap selimut isteriku
Karena ia akan menggigil
Suamimu
Temanggung, 14 Januari 2020
SURAT CINTAKU 2
Kau datang seperti berjuta embun, ketika hari-hari tak mampu kulewati
Ketika kebimbangan berdiri dipersimpangan jalan. Kau ulurkan tangan, kau ulurkan tangan, membawaku pergi dari masa-masa tenggelam. Batas-batas sepi terlewati bersamamu, menebas kekalutan , kau membawaku dalam biduk, yang tak henti terhempas gelombang, sampai kau berdirikan aku pada tumpuan keberanian, sampai kau menautkan aku pada sebuah tiang pancang untuk melangkah mendekati pelabuhan terakhir.
Tiga puluh enam tahun lalu, kau tebarkan benih-benih kehidupan, bersama cintaku terpaut, melewati batas-batas sunyi yang dulu begitu menakutkan. Kau tak pernah menepi dalam ketakberdayaan, kau tak pernah menepi dari kekalahan-kekalahan.
:Aku tahu kau demikian lelah, dan harus menyerah
Air mata terakhirmu kuhapus dengan kecupan-kecupan
Bersama anak-anak kita
Ketika kelelahan sampai ujung kehidupanmu
:itulah tanda cinta kami melepasmu pulang
Tiga puluh enam tahun lalu, kau seperti pelangi.Di sepanjang jalan kita, menebarkan warna warni di langit. Setiap senja, bayangmu menari-nari selalu, menghiasi angkasa raya bersama bermiliar bintang, suaranya bagai dawai biola anak kita. Liukannya bagai garis-garis estetika dipermukaan kanvas kehidupan anak-anak kita, buah yang jatuh dari pasang surutnya gelombang.
Aku tidak tahu siapakah yang mengutusmu datang padaku? Sebelumnya laut , angin dan gunung tak pernah mengabariku, tapi kau hadir merengkuhku. Kau hadir membuat aku memiliki keberanian mengayuh biduk naik turun di atas pasang surut gelombang. Dan cinta membuat aku tersedu, cinta membuatku jadi pengelana sunyi…ada ketakutan cinta menorehkan sajak-sajak kenangan , menorehkan sajak luka dan kata perpisahan.
: ketakutan memuncak ketika kupandang kedua bola matamu
Sebelum terpejam menggenangkan air mata . Kesedihan ataukah
kau tengah menunjukkan kasihmu pada anak-anak ? Ataukah kau
tengah menujukkan kebahagiaan bertemu dengan kekasih sejatimu?
Pagi ini, sunyi menghadirkanmu. Terasa bertahun tak bersua. Kau datang seperti tiga puluh enam tahun lalu, dengan cahaya mata yang teduh
: hapuslah air matamu
Katamu sambil membelai rambutku, seperti ketika kau belai pada waktu terakhirmu, aku memandangmu tanpa kata, kau membelai tanpa kata. Dingin yang menggigit ruang isolasi membuat aku dan anak-anak kita tak mampu mengucap sepatah kata, huruf alif sekalipun. Dan sebuah episode kehidupan berlaku, kau beringsut beranjak pulang.
Pagi ini aku kembali menulis surat padamu. Tulisan seorang lelaki kisut yang berlumur bayangan-bayangan hitam. Ada aroma melati dan kamboja, harumnya menebar pada sisa-sisa waktu yang terus menelanku.
: kau ajarkan padaku, hidup penuh senyuman dan kau baluri tubuh serta jiwaku dengan doa-doa yang begitu lama tak pernah kubaca. Di padang Arafah kau dekap aku dengan cintamu pada Nya. Harum tubuhmu di ujung hidungku selalu, seperti tengah membuka pintu ruang bercahaya. Disana ada sungai dan buah yang kau tanam setiap pertiga malammu.
-Suamimu- Januari 2020
Temanggung
SURAT CINTAKU 3
Rumah Sunyi
Rumah sunyi tak pernah sunyi karena kehadiran rindu
Kejujuran jejak setiap waktu berdetak menimang kenangan
Wahai perempuan sunyi –kau tengah mendayung dalam penantian
sebuah hari dimana aku juga ada disitu-
Di sebuah dermaga, aku bagai di sebuah dermaga tak berpenghuni
Hanya prasasati-prasasti yang menandai kita pernah bersama
Membacanya, aku seperti mendayung banyak peristiwa di setiap musim
-Aku ingin mengeja hari dengan cintamu, aku ingin menuliskan kalam-kalam
Di semesta, cintaku padamu , cintaku pada setiap orang untuk
menyembuhkan luka jiwa. Musim akan mencatatnya- katamu suatu ketika
Anggun memesona, merajut rindu, kau melepas senja
Dengan wajah menyungging seulas senyum meniti takdir Nya
Kembali kerumahmu. Beristirah panjang
Adakah kesunyian membelenggu rumahmu ?
Disini, rumah kita ada keretakan jiwa lelakimu
Rumah sunyi tak pernah sunyi
Dinding-dindingnya tak henti menyairkan catatan-catatan
Tentang gemercik pancuran setiap pertiga malam
suara percintaan sukma dengan semesta
tentang sedu sedan pengembaraan dalam sunyi
hingga engkau hanyut
hanyut dalam isak serta kata terbata kalam-kalam suci
Cinta mu setiap pertiga malam menjelmakan Rabi'ah al Adawiyah
pada jiwa gemetaran
aku jadi ingat setiap petiga malam di Aziziyah
mununggu penghambaan sempurna kita
kau tak henti…tak henti terbangkan sukma ke padang Arafah
:Jangan bersedih sayang kita akan kembali kesana bersama anak-anak
katamu
Semula aku berharap
semburat merah setiap pagi sebagai pertanda
kehidupan kita masih panjang
Tapi kita harus meniti kenyataan
Sebagai sebuah hakekat
Bahwa kita sebenarnya
Hanyalah-tak lebih sezarrah debu-
Tak mampu menunda
Seperseribu detik sekalipun
Datangnya waktu yang telah ditentukan
Rumah sunyi tak pernah sunyi
Karena ada monumen-monumen yang bicara selalu
-semalam aku teteskan air mata cintaku di altar masjid
La Tahzan..La Tahzan..
aku berdzikir selalu seperti kau minta,
Seperti ketika setiapkali kepalaku menyentuh tubuhmu
Menjelang hari-hari menuju sepi
Aku tak menyangka, genggaman-genggaman erat jemarimu
Menandai sebuah perpisahan panjang
Ketika itu darahmu masih demikian hangat sayang....
setiap huruf yang terucap mengalirkan kehangatan cinta
- kita memang begitu rapuh tapi tak boleh mudah roboh- kataku
Tapi hanya sekejap tarikan nafas terakhirmu
Membuat hatiku tidak berada di tempatnya
(surat ketiga ini aku tulis bukan untuk meratapi kepulanganmu
Namun hanya untuk menandai bahwa rumah kita
Adalah sebuah pelabuhan kecil tempat kita berlabuh sementara
sebelum semua kita tinggalkan menuju pelabuhan abadi-
Rinduku dan anak-anakmu selalu untuk mu)
Suamimu
Temanggung, 8 Januari 2020
SURAT CINTAKU 4
-Kehilangan seseorang
memang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata
Ia adalah dinding kekuatan bagiku
dan anak-anak kami, itulah alasannya
kenapa kami bisa tersenyum-
****
Seperti cahaya kunang-kunang menerabas hujan
Kau datang, suaranya selembut kepak sayap-sayapnya
Cintamu sehalus kabut sehabis hujan
Selembut ketulusan jiwa mengurai kekusutan
Demi melihat kebahagiaan orang-orang yang kita cintai
Cinta bukanlah apa-apa
Cinta adalah perjuangan tak berujung tanpa kelelahan
Ia adalah sepasang mata demikian lembut
Bercahaya mengajarkan harapan-harapan
Dengan keluar dari jasadmu
Kau menemukan kau yang sejati
Meniti hari tanpa kelelahan
Meninggalkan sebuah monumen kecil
Yang bertuliskan banyak hal
Setiapkali aku mengeja
aku berdzikir
Setiapkali berdzikir
Terkuncilah hatiku
Dan kaulah pengunci jiwaku
‘’Aku ingin mengajarkan pada anak-anak
Sebuah kehidupan’’ katamu suatu hari
Rentang waktu
kita dalam rentang waktu yang sama
kau menemukan cintamu bersama Rumi dan Rabi’ah
selaksa beban tertuang dalam hasrat rindumu
tak henti, tak henti menjelmakan waktu
dalam sedu sedan menautkan percintaan semesta
‘’Cintaku padamu karena cintaku pada Nya
kuingin Allah memberikan cinta padaku
bagi yang menyintai Nya
aku selalu minta
cintaku jatuh pada orang yang menyintai Nya
Kau telah memberikan cinta sejatimu padaku dan anak anak kita
Aku hanya berusaha mencari kunci pembuka kebahagiaan
yang kau hantarkan pada kami''
Membaca catatan-catatan cintamu
Semakin dalam perkabungan menikam-nikam
:Ya Rabb, aku alpa memberikannya
Terasa tanganmu mengusap rambutku yang mulai beruban
Kehangatan mengalir keseluruh nadi
kesiaan menjadi berbilang-bilang
Dan aku tertegun diam lepas dari pijakan
Ketika kau mengulang kembali
-membelai rambut dan wajahku
Dalam sebuah tatapan
beberapa menit sebelum perpisahan panjang-
Dan aku tulis surat ini
Saat pagi berselaput kabut dan gigil
Dalam usapan lembut suara ketulusan
Serenada putih kesepian hatiku
ketika fajar lewat
Suamimu
Temanggung, 13 Januari 2020
SURAT CINTAKU 5
Prosa Perkabungan Hati
Daun-daun kembali luruh, ilalang dan rerumputan terisak kehilangan embun aku menjelajah hari-hari pisau, menunggumu di beranda rumah, sepi yang gelisah tak juga menepi. Angin membuka jendela carakwala : Hari ini aku menunggumu, ingin bersamamu berbincang tentang laut dan gunung
-Jangan kau dekap nestapa, jiwamu yang retak kembalilah menguntai keindahan, antara duka, kesenyapan dan rindu— seperti ada suara berdesir di kedua telingaku
‘’Wahai angin dan sepi, jangan pernah menghempaskan aku ke lorong-lorong yang lebih gelap, beri kehangatan aku, dengan kalimat-kalimat mendebarkan- hari-hari makin menusuk hatiku yang ingin menjadi sungai, mengalirkan air dingin, menyanyikan gemercik antara bebatuan dan rerumputan, menebarkan aroma melati dengan kesejukan embun’’
Aku mulai penat, mendamba harapan tak pernah datang. –ah masih saja terdengar gemersik daun-daun luruh, masih terdengar burung-burung mengepakkan sayapnya : pertanda ini kali masih ada kehidupan.
‘’Engkau datang dengan mendekap gigilmu yang pasrah. Terbuai aku dalam mimpiku bersama gunung berkabut musim badai . Ini jiwa telah koyak – Sampaikah bisikku padamu atau lenyap dihempas angin dan lepas mendaki puncak gunung ?
Waktu mesti kita dekap selalu, membawa kita terus menapaki hari yang melaju. Aku tiba-tiba teringat sebuah kalimat yang kau tujukan padaku : Aku ingin membacakan sajak-sajakmu sambil menikmati lukisan-lukisan indahmu. Aku ingin menikmati satu lagu buah renungan anak kita, aku ingin..aku ingin bersamamu, bersama anak-anak kita mengalir dalam kehidupan yang aman dan sentosa.
-Aha …badai datang dari gunung, badai datang dari samodra, badai datang dari semesta, kau bakal terseret ketika luka terus menjadi luka, nestapa jadi nestapa,’’ kembali angin menerkamku dengan kalimat-kalimat sunyiku.
‘’Aku rindu laut, aku rindu gunung dan padang ilalang, aku rindu melewatkan sisa waktu bersama aroma pegunungan, berlarian mengenang masa belia, lalu mengenang masa-masa ketika ranjang pengantin berderit selalu bersama nafas kami menuliskan sajak-sajak cinta’’
- Ini musim badai, bukankah di pelabuhan kecilmu kau telah membangun ketenangan dan hampamu telah kau sirnakan dengan sepasang mata perempuan? Dan perempuanmu telah menepati janji melewatkan waktu menitiskan kehidupan —
‘’ Badai menyeretku ke pusaran tak bermakna, hati yang bergolak tertikam diam. Sisa-sisa masa purba kembali mendidih: kalau saja aku seorang kelasi, aku ingin kembali melaut, berlayar di atas gelombang. Lalu berhenti sejenak di pulau-pulau tak bernama. Mereguk gelisah lalu aku tuangkan dalam sajak-sajak, lalu kuberikan pada semua hati yang gundah’’
- Kau adalah pecundang dan penghianat terbesar, jiwa yang gelisah kau hianati dan ketika ketenangan telah kau genggam dan tergoncang kini kau ingin tinggal pergi pula, –
‘’Aha..badai gunung kau tak mengerti betapa jiwa gelisah adalah nafas dan darah para penyair, ketenangan hanyalah akan memburaikan impian dan menikam waktuku dengan jutaan pisau, ia akan lebih pedih. Dalam jiwa yang goncang ada ketenangan, di dalam jiwa yang goncang ada kepedihan di dalam jiwa yang goncang ada kebahagiaan. Wahai badai gunungku bawa aku pergi…bawa ke benua-benua tak bernama, ini rindu terus bergelayutan…bawalah serta jiwa tersiksaku.’’
-Kau akan kalah-
‘’Sebelum menapaki jalan menuju kemenangan dan mencapai puncak kemenangan, gelisah adalah jalan yang harus kutempuh. Ia akan merobek, Ia akan menikam dan ia pula yang akan memberikan seorang nakhoda bagiku buat melaut untuk melawan engkau….’’
-Jiwa mu telah pecah, itu adalah impian seorang kelasi yang tak lagi punya harapan, mimpimu akan karam, perahumu akan kandas,—
‘’Lihat wajahku yang penuh bilur, raba dadaku yang terus berdegup,itu adalah lukaku, aku siap arungi samodra.’’
-Aku siap habisi kau dengan derita—
Angin semilir, membuyarkan kedatangan badai gunung sore ini. Ah.. engkau datang, engkau datang dengan kata yang menyeretku untuk kembali melayari lautan tak bersuara: impian menyeretku makin jauh ke ceruk paling dalam.-Dimana engkau wahai kekasih hatiku? Di lautankah, di gunung atau di ceruk hatiku ?
(tulisan ini sebagai surat cintaku yang kesekian kalinya untukmu. Semoga engkau bahagia bersama kekasih hatimu sayang )
Suamimu
Temanggung, 15 Januari 2020
SURAT CINTAKU 6
Mendayung Doa-doa
Berkali-kali aku baca , berkali-kali aku baca
Arrahman, Alkahfi , Yasin dan attaubah
pagi dan malam
Di ranjang pengantin kita di ruang senyap
Lalu susul menyusul : Alfatihah
Berpuluh, beratus kali
Dalam air mata berharap
dalam remasan jari jemari mu
dalam tatapanmu yang menikam selalu
hingga terucap doa
-Allaahummaghfirlahaa, warhamhaa, wa ‘aafihaa, wa’fu ‘anhaa,…-
Surat terakhir kubaca di hari perkabungan selepas subuh
: Arrahman
Setiap membaca fa bi`ayyi ala`i rabbikuma tukadziban
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)
Berulang kehangatan seperti sungai mengaliri wajahku
Dan jatuh di tubuh lemahmu
-kau tahu, hatiku tak lagi di tempatku
Ingin rasanya jiwaku bersatu dengan jiwamu
Mengarungi samodra keindahan
Bersama yang maha pengasih
Bertahun ada kehidupan bersama cinta, rindu, dan bahagia
Lalu nikmat yang mana lagi yang bisa aku dustakan ?
Tapi redup matamu yang hendak segera melepas lelahmu
membuat seluruh nadi dan jiwaku berkunang-kunang
ketakberdayaanku menggenang
Pada detik-detik jelang keberangkatan
terlepas bersama berakhirnya tarikan nafasmu
Ya ..ya kita adalah tanah kering seperti tembikar
dan harus kembali ke tanah dan ruh kembali keasalnya
Duduk merenung bertapa menuangkan selaksa rasa
Ini hari penuh kata sajak terpanjang cinta penyair
Perih terkurung jiwamu yang lebih kuat dari jeruji besi
Dan sebagai penghalang keangkuhanku
Untuk meninggalkanmu
Mendayung doa-doa
seperti ketika kita
duduk bersanding jiwa
Di bawah matahari sore Arafah
Kita saling berkata dan mengaca diri
: kau tuntun aku membaca baris-baris
doa sepanjang sore itu
jiwaku seperti kau peluk dalam jiwamu
tak tertahankan berbutir air mata jatuh
-banyak hal bisa kita tahankan,
Tapi di tanah haram segalanya tumpah
Mengalir bersama berjuta jiwa pasrah
di Padang berbatu
lalu menyusur Muzdalifah
Mina hingga Masjidil Haram
Seperti yang lain
tak henti mengalirkan puisi-puisi cinta
Penuh harap dan kerinduan
Berarak dengan tubuh hanya berbalut ihram
Lalu kau genggam jiwaku
Berayun pada beribu kenangan
Jiwa kami terus berpelukan
kami menakar dan menimbang
Lalu mendayung doa-doa
: Ya Raab sucikan kembali kami
Mendayung doa-doa
Jiwa menjelma jadi ruang tak berpenghuni
Ya Raab….katakan sekali lagi
: fa bi`ayyi ala`i rabbikuma tukadziban
(suratku akan terus mengalir sayang
Kusimpan dalam diamku
Kusimpan di luasnya cakrawala
Dan di hati anak-anak kita )
Temanggung, 15 Januari 2020
Suamimu
SURAT CINTAKU 7
Rumah Kita
(Jangan menangis, Aduhai kenapa pergi! Dalam pemakamanku bagiku, ini lah pertemuan yang bahagia!)
-Jalaluddin Rumi –
Rumah kita pada bukit-bukit, ada sungai-sungai
Di hadapannya hijauan dan bebatuan menjulang
Demikian lama kita merenda benang-benang percintaan
Demikian lama kita melayari kehangatan
:tak kusangka mendadak dinding –dinding rumah kita terluka
Tiang-tiangnya jadi rapuh. Hilang separoh jiwa
Menggigil tak henti-henti
Rumah kita, hamparan karpet dan lukisan-lukisan
Pada setiap hujan yang runtuh, jelmakan riuh sunyi
Bersaksi atas nama perkabungan
Senyumanmu kau susun bertahun
Dalam bongkahan bongkahan embun
Sebelum siang mencuri rindu dari lukaku
:ijinkan sayang ijinkan hati dalam perkabungan
Rumah kita bersaksi dalam setiap bayangan
Rumah kita adalah huruf-huruf kelu
menghabiskan waktuku
Menghamba pada kehampaan absolut
Seperti tinggal dalam buaian pekatnya mendung
menanti hujan menjadi derai air mata
-Ya Rahman....Ya Rahim....pancarkan mata air. Ya Latif...Ya Latif......hembuskan angin lembut melalui lembah-lembah dan bukit-bukit bersama harumnya bunga rumput dan aroma dedaunan.-
--Apa yang kau urai dengan air matamu? Apa yang kau gantang dengan kepedihanmu? – katamu dalam bayangan kabut pagi
:Disini ada ngungun berkepanjangan, hujan seperti air mata
gunung yang mengiliri sungai-sungai, aku ingin hanyut
bersamanya
Hanyut sampai lautan, berdebur bersama ombak dan angin
Mengejarmu, menyeret dan membawa pergi jauh
--Kau masih saja membuat retak hidupmu tenggelam, kau masih saja berlumuran kerinduan mengurai gumpalan-gumpalan kabut. Tidurlah dengan sapuan semilir angin, hangat dalam pelukanku, aku selalu di sisimu di ranjang pengantin kita …aku masih ada di sisimu sayang –katamu melalui kisi-kisi jendela
Pada senyap rumah kita yang tak mau pergi
senja selalu memburuku dengan gelap dan gigil.
Aku tak mampu menepi
Inilah tempatku membuang sauh.
Unggun di rumah kita- tertimbun sajak
Perlahan api padam bersama luruhnya daun
Sepertinya aku mulai kedinginan
Matahari selalu demikian cepat meninggalkan senja
Rumah kita jadi persembunyian perkabungan panjang
-ijinkan aku terus tinggal sementara disini
Sampai tiba waktunya berkemas untuk pulang
Dan menunggu anak-anak menyapa rinduku
Rumah kita senjakala waktu
entah terbang kemana,entah terbang kemana
aku tersesat tak dapat mengepakkan sayap
Lalu terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan
Tidak ! aku tidak segera lari dari kepahitan
Hanya ingin melepas ketaksadaran diri
kemudian membiarkan keindahan Nya menjelma
dalam seluruh waktuku sambil mencari jalan
untuk berlutut mencium selalu gamis Nya-
(tak henti surat-surat cintaku mengalir
Padamu…hanya padamu )
Suamimu
Temanggung, 16 Januari 2020
SURAT CINTAKU 8
Terpatah-Patah Sayapku
Pada sebuah pagi, di depan mihrab
Di rakaat kedua
Suara imam tua membuat dadaku bergetar:
Alhaakumut takatzur…… khatta zurtumul maqaabir
-Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
sampai kamu masuk ke dalam kubur-
Hingga akhir kalam jiwaku terseok
Dalam rukuk dan sujud
Hingga akhir rakaat
Tak juga kudapat puisi
Tak juga kudapat diriku
Di sisa embun hanya kata-kata menyebar
Ingin kutangkap huruf-huruf
Dan menjadikan sebuah kisah
Pada subuh kesekian kalinya,
aku terbata-bata
Pada subuh kesekian kalinya
Engkau patahkan sayapku satu persatu
Untuk kesekian kalinya aku takzimkan jiwa ku
Air mataku adalah kesumatku
pada hati yang selalu merasa terkoyak
-Jiwaku tak henti-henti teremas….Ya Rabb ….ya Rabb…..hentikan ketakberdayaanku dengan bergumpal-gumpal rindu
rindu menghamba, rindu memahami kata-kata Mu
rindu memahami apa yang tengah Engkau berlakukan pada sisa waktuku—
Setiap subuh, aku selalu mengais harapan
Di hadapan Mu kadang air mataku, menderas seperti ketika aku bertamu
Di rumah Mu, di Arafah dan Mina
Pada setiap pagi selepas semburat merah matahari
Sepasang mata yang menghiasi seraut wajah
Untuk kesekian kali menghujam jantungku
:Engkau kekasih hatiku, api yang selalu menyalakan lentera
Menerangi setiap kali kegelapan menyelimuti jiwaku
Engkau kekasih hatiku yang tak henti menggantikan
sayap-sayapku yang patah.
Engkau kekasih hatiku yang tak henti menaburkan embun,
bagai beribu syair para pujangga, mengisi jiwa semesta
Engkau kekasih hatiku yang selalu merebahkan aku
Meniupkan angin gunung, menggerakkan bunga-bunga
dan membawa semerbak wanginya ke seluruh semesta
Membangunkan raga yang makin tak berjiwa
Engkau mengajarkan aku tentang hidup sederhana
Dan cinta bersahaja
Setiap selepas dhuha
Sunyi terasa menyayat
Seperti Dhuha terakhirmu
Sebelum kau menuju pergulatan
Antara ingin melepas kerinduanmu pada Nya
Dan tetap tinggal bersama ku dan anak-anak
-- Aku menyintaimu sayang
Aku sediakan satu ruang kosong untukmu
untuk duduk-duduk bersamaku
Ketika rindu memuncak-
Kudengar lagi bisikmu yang acapkali mematahkan sayap-sayapku
: Cintai aku jangan melebihi cintamu pada Nya
Hidup jangan melebihi takaran
Alhaakumut takatzur… khatta zurtumul maqaabir
Kau mengingatkanku berkali-kali
Suamimu
Temanggung, 20 januari 2020
SURAT CINTAKU 9
Dendang Asmara
1.
-Kutulis surat ini sambil rebahkan jiwa berserah
Kutulis surat karena suatu hari
Kau pernah bilang ingin membacakan sajak-sajakku-
Kubiarkan angin dan cahaya memilikimu
Kubiarkan semesta mendekapmu
Gelisah membuncah, menjelma larut malam
: Kau adalah sunyi hatiku
Kau adalah getaran jiwa semesta dan nyanyian rindu ku
Kutulis surat ini sambil kutikam sunyiku
Kubiarkan angin dan cahaya menjamahmu
: Kau adalah dukaku dalam nyanyian cinta yang panjang
Kau adalah nafasku dan urat nadi semestaku
Kau adalah penggetar langit dan bumi ketika kuucap janji
--pernikahan agung—
Kutulis surat ini ketika sunyi kembali menyergap
: Kau adalah rumah tinggalku yang memesona
Kau adalah tautan retak jiwa dan batinku
Kau adalah air mataku dalam tautan janji
Dan kau adalah samodra puisi
Kutulis surat ini
Karena kau dan aku tertaut dalam sebuah perjanjian suci
: Kau adalah kehidupan semerbak
Membawa tinggal di rumah impian
Berdendang asmara
lewat remang dan cahaya bulan yang alpa waktu
kita persembahkan cinta kita di atas altar berbalut sutera
****
2.
Di antara batu-batu hening
Seberkas sinar menembus rimbun dedaunan
Karena angin bercakap
Kemudian jatuh sehelai demi sehelai
Cahayapun pecah, -dimana kita ?-
Pada kuncup mawar, masih tersisa embun
Daun-daunnya kadang bergetar
: Kau dengarkah tetes embun jatuh
menyentuh rerumputan wahai engkau yang terkasih?
ia begitu lembut, selembut nafasku
yang meniupkan butir-butir puisi —
Awan dan langit setiap pagi
Seperti tak ada yang berkata-kata
Terasa begitu menggigit
Ruang-ruang kosong, angin pun mendadak membisu
Rintihan hati mengalir
Mendesak dada gemetar
: Kusampaikan desah laraku dengan lirih
agar engkau tak lagi mendengar
sampai alpa waktu dan kulupakan wajahku
*****
3.
Dengan mata remangku
Kusapu birunya langit
Paruh gagak menegak
Menikam matahari
Sejuta luka
Menguras beningnya cakrawala
--kenapa kau masih saja bersedih ?—
kata angin berdesir
:berderet kata kusempurnakan
Sebagai sajak terpanjangku
Untuk mewartakan
Bening cinta kepada semesta
Terbang kelangit tinggi
biarkan sajak-sajakku berburu kunang kunang
Di malam-malam ku tak bersuara
Untuknya kupersembahkan
Cahaya-cahaya kecil
Agar melihat wajahnya selalu
Dengan mata remangku
Kuhela angin untuk menepikan samodra kabut
: Ketika cahaya bersemburat
Tampak puing-puing berserak
Bersama kekalutan begitu mendebarkan
--baluri nestapa dengan ketetapan yang berlaku
Kau telah melewati rentang waktu
Bersama ukiran-ukiran berkisah
Tentang sebuah persekutuan suci-
Katamu sambil pergi meninggalkan gigil
****
4.
Setiap aku pulang dan menutup pintu
Mengemas cintaku yang melaut
Kusimpan rapat sambil menunggu waktu
Dalam kebimbangan mendekap hari beku
Lelah mataku menggenggam hati
:ah aku sempat pergi
Bersama jiwa runtuh
menebang cintaku
Dengan mimpi awan berarak
Angin lembut dan kebun bunga
Setiap aku pulang dan menutup pintu rapat-rapat
Di luar, seperti ada suara kaki-kaki terayun
Menapaki beranda menjelma bayangan sosok tak pernah lelah
Bersama suara daun bergesekan menebarkan penat
bayangan itu seperti masih enggan meninggalkan mimpinya
Ingin menyebrangi tepi-tepi waktunya
mengikuti jejak-jejak hati tertinggal
Setiap aku pulang dan menutup pintu
bersama daun jambu bercakap bisu
hanyut aku…hanyut dalam waktu
tak tahu kemana harus berlabuh
merebahkan kepasrahan atas keinginan menggapai hati
-Masihkah aku hanya debu tersapu angin
Sambil menghirup aroma cinta yang pergi ?-
Aku pulang dan menutup pintu
Berkata-kata sendiri
‘’Kususuri jalanku di bawah langit tak bertepi
Menapakkan telapak kaki yang pecah di atas bongkahan batu tersengat
Berdiri dibibir jurang, menatap matahari mengepakkan sayap
terbang bersama Icarus mengitari dinding matahari,
lalu membiarkan tubuh terbakar, jatuh berkeping dan sunyi…
---Bawalah aku terbang, bawalah aku pergi,
kan kubakar jiwa dan batinku di jalan paling sunyi—
Aku bersama daun jambu yang bisu
Menutup pintu
Menepi dari lintasan waktu
: hanya engkau
Yang ingin kuteguk
Hanya engkau
Aku menuggu dibalik pintu selalu
****
5.
Memang, ketika kita terjerat dalam ketiak sepasukan diam
Tak lagi mengerti –Kenapa sekelebat cahaya menjelma pisau
Berkilat dan menikam-nikam cakrawala-
Ketika senyumanmu hadir lagi
aku seperti tak mampu bangkit
Mewartakan gegap gempita hati lusuh
Lalu menghunus lembing tembaga
Lambung malam-malamku berdarah
membasah luka tak kunjung mengering
jiwa resah,gempita rindu makin tak bertuan
:kaulah sunyiku mengembang
kaulah rebana nestapaku tembang
****
6.
Sudah kututup pintu
Tapi kau selalu datang mengendap-endap
Tangan kananmu membawa sekelebat cahaya
Salam tabik kuucap
kau mau menemaniku lagi ?
Sunyi yang begitu pendiam
Mengantarku sampai hari samar
Menari dalam keterasingan pengelana
Untuk meneguk cinta memar
Rindu ketenangan yang senyap:
Cintaku terukir di batang duri-duri mawar
Setiap saat membuat jemariku berdarah
Cintaku terukir diurat-urat daun
Setiapkali tersiram embun
Menebarkan kehalusan dan keharuman semesta
Cintaku sekelebat bayang
Mengeja luka di arsy yang bergetar
Ketika musim cintaku bersemi
Kembali memaknai
Sekalimat janji ketika benih pertamakali kutabur
Rindu seperti makin menepikan
Nafas dan binar mataku dalam pencarian
Dimana aku mesti menunggu ?
Semilir angin mendung
Bergelayut selalu
di pundakku yang kelu
: Ya rabb…hatiku masih menangis
****
7.
Nestapamu ingin kurengkuh hari ini dengan nestapaku
Sambil mengenang ketika pertamakali kutaburkan benih
Mengawali perjalanan cinta kita yang haru
Waktu dan musim, menggerakkan jiwa
Mendebarkan dalam nyanyian petaka, kesumat dan cinta yang meronta
Diantara sungai-sungai yang mengalir ditubuh kita
Sejuta nafas nista kita, adalah nadi kehidupan
Ketidakpercayaan adalah masa bergerak
Menuju kesiaan abadi,
Hati yang batu adalah kematian sempurna
Menggoreskan luka di atas kanvas kebencian
Nestapamu….
Nestapamu adalah tangisku
Meliukkan resahku
Air matamu adalah debaran cinta yang tersia
Nestapaku…
Nestapaku adalah belati
Yang menusuk gelisah cintaku
Yang tersiakan menjadi sunyi
Hari ini kuarungi samodra luasku
Bersama cintaku bergerak
Di belantara wajahmu
Untuk merengkuh nestapamu
Waktu telah mencabik jiwaku –wahai istriku-
Mengalirlah dalam darahku, cintamu yang tersiakan
Menikam dalam keputusasaan menepati janji
: meliuk-liuklah aku dalam ruang penuh prahara
-pesonamu wahai, belahan jiwaku tebarkan anginmu-
Kalau aku berkaca, maka berkaca-kacalah batinku
Kalau aku berkata, maka berkata-katalah rekahan hati
Dengan bulir-bulir berkilau terus mengalir diantara dua alis matamu
: Aku seperti terkapar dalam genangan air matamu
Dalam nestapaku yang makin tak tertahan
Menghina diriku sendiri
Kali ini, kutatap lagi cakrawala luasku
ada suara memanggil-manggilku
Sayup, sesayup kerinduanku rebah di dadamu
Aku rindu padamu.
*
Suamimu
Temanggung, 23 januari 2020
SURAT CINTAKU 10
Prosa Perkabungan Hati 2
Pilihan adalah sebuah tanggung jawab, seperti ketika aku memutuskan memilih ibu dari anak-anakku, seperti ketika aku memilih keindahan menjadi jalan hidupku, seperti ketika aku memilih kegelisahan menjadi jalan untuk meraih impianku, seperti ketika aku memilih penderitaan untuk meraih kebahagiaanku.
Anak-anak kita telah memilih sebuah lorong dan memegang kunci untuk membuka pintu-pintu keindahan. Mereka telah memilih kehidupannya sendiri, dengan sebuah pilihan yang menjadi impian mereka. – Aha, malam-malam begini nyanyian mulut mungil anak-anak kita masih saja terdengar menyisir lapisan hati. Impian mereka melambung jauh menembus batas cakrawala tak henti, singgah di bintang yang satu ke bintang lainnya. Ketika menukik, suara-suara itu bermain dengan aroma bunga dan rerumputan
Nyanyian mulut mungil anak-anak kita, menembus hati dan jiwa menjelma menjadi kerisauan, sebab ketika nyanyian menjadi dewasa betapa mimpi-mimpi itu terasa seperti pisau, menyayat dengan keinginan untuk selalu berjumpa.
Seperti baru kemarin, anak pertama kita, setiap sore musim pancaroba mengajakku mengejar kupu-kupu kuning , menjaringnya lalu ia berlari-lari sambil berteriak –teriak menghampiri ibunya “ Ibu-ibu aku dapat..aku dapat !’’
Lalu memberikan satu ekor dan meminta dibuatkan sebuah sangkar kecil dari ruatan bambu untuk menyimpannya “ tolong simpan supaya aku setiap hari bisa menggambarnya, aku akan tangkap lagi bersama ayah …’’ Begitu hampir setiap pagi di musim kupu-kupu.
Anak kedua kita selalu tak mau diam, ia seperti seekor tupai berekor panjang. Selalu berlarian kesana kemari, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Impiannya beterbangan ‘’ Aku ingin langit biru selalu, aku ingin langit menjadi bagian hidupku..aku ingin melukis wajah ibu disana ..agar supaya selalu terkenang’’ katanya sambil berayun di pundak ku
Dan bidadari kecil kita, bernyanyi selalu, menari sambil mengedip-ngedipkan kedua bola matanya seperti kedua bola matamu yang bersinar terang. Ia tak henti berdendang ‘’ aku ingin terbang kemana-mana, mengarungi samodra singgah dari benua satu ke benua yang lain. Hidup itu indah bukan ? Aku ingin memetik dawainya satu persatu, akan kubuat sebuah komposisi persembahan bagi ibu, ayah dan kehidupan ‘’
Begitulah ihwal kerinduanku menghentak selalu, kerinduan padamu dan anak-anak kita. ‘’Mereka mulai dewasa, kelapak sayapnya mulai kuat menembus badai dan cakrawala- katamu suatu hari menikam jantungku.
Ya..mereka mulai dewasa, mereka adalah buah yang jatuh dari kasih ibu. Kau selalu membacakan cerita setiap jelang tidur mereka, kau mengajarkan membaca alif dan seterusnya, Kau membangun impian anak-anak dengan bahasa keindahan. Kau membangun jiwa dengan keyakinan : Hidup tak boleh diam, hidup tak boleh mudah kalah.Bukankah kita lahir dari sebuah ketakberdayaan ? Dan ketakberdayaan itu tak boleh jadi sebuah dinding yang mengurung kita.
Perbicangan itu sudah begitu lama, kini menjelma ngungun yang menyergap.Perbincangan itu menjalin kekuatan bagiku dan anak-anakku. Kau seperti ibuku, bermata embun, seperti puisi penyejuk hati.
--Mereka seperti kita, milik dirinya sendiri dan semesta. Sama seperti kita, tak ada kepemilikan sejati atas segala rupa, sama seperti kita , kelak akan tersayat kerinduan – katamu
--Akan sepedih luka tersayatkah atau sesunyi puncak gunung mati ?-
--Tak ada kepedihan sepedih kalau kita meratapi kepedihan, tak ada kesunyian sesunyi ketika kita tengelam dalam kesunyian- katamu
-Ah !- Aku hanya berdesah –itu kata-katamu bertahun lalu, kata-katamu saat kita dalam sebuah perjalanan penuh goncangan. Ketika perahu kita acapkali terayun ombak. Kata-kata itu kini menusuk-nusuk malamku- ya tak ada kepedihan sepedih ketika kita meratapi kepedihan dan kau mengatakan anak-anak bakal seperti kita, suatu hari tersayat kerinduan-
Ya ya ..aku tahu , aku paham hari ini, Biar kesedihan dalam kesenyapan, biar kepahitan dalam kesenyapan...kuberikan segalanya pada kehidupan ini, isteri dan anak-anak, tak ada yang kuminta, demikian pula dengan kematian. Mereka begitu saja hadir untukku, untuk kita semua. ,
Letih terus bergelayut, antara separoh bayang rembulan. Rindu seperti ini, terus berulang pada setiap risik daun yang jatuh tak kenal musim- -kapan anak-anak pulang menjengukmu ?-
Dari kejauhan, suara kalam-kalam merayap, seperti suaramu yang tersimpan di reranting dan dedaunan kembali menggetarkan semesta : Aku begitu mengenalnya, aku begitu mengenalnya- itu adalah pertiga malammu yang selalu kau jaga.
-aku mulai ingin tersenyum sekaligus menitiskan sisa api, untuk kunyalakan kembali mengikuti irama jejak langkah jiwa bercahaya. Jiwa yang tak pernah sunyi menjalin asmara dengan raabnya.
Dalam sepi yang ngungun, kucari alam bakaku yang makin bergelayutan. Setiapkali kutatap sepasang mata mu lewat lukisan anak kita, desiran selalu menapaki seluruh nadi , aku bilang : betapa tak ada yang bisa kita miliki, kecuali hati yang terus dirundung rindu dan aku harus menunggu
Biar kesenyapan dalam kepedihan, menapaki gurat-gurat wajah kita
Tangis dan bahagia menyungai, adalah hak semesta untuk menggurui kita dan berkata : berjalanlah setapak demi setapak supaya sampai dengan rajutan-rajutan kesejatian, lalu menggumpal dalam genggaman semesta hakekat menikam jantung dengan cinta dan kerinduan yang mendebarkan
Suamimu
Temanggung, 24 Januari 2020
SURAT CINTAKU 11
Prosa Perkabungan Hati 3
‘’La Tahzan Innallaha Ma'ana..’’
Bau tanah menyengat setelah hujan tadi siang. Segundukan tanah basah menggenang tenang sebuah nyanyian tanpa kata. Tak ada sisa tebaran bunga, karena kau memang ingin tak ada tabur bunga di atas kuburmu, kau tak ingin ada segala upacara menghantarmu pulang : Doa anak-anak yang selalu kurindukan dan cintamu menjadi selimut hangat untuk menahan gigil, katamu
-Kesendirian ini telah tercipta, ia meneguk rasa kasihku. Hanya berbatas jubah tipis antara ada dan tiada. Kesendirian merenggutku kembali, lalu melontarkan pada kedalaman sebuah keinginan. Aku ingin berbincang berlama –lama denganmu-Barangkali tentang anak-anak kita, atau tentang keterbengkelaian waktu atau tentang impian-impian sebelum mengakhiri perjalanan semu kita –
Lelah, membuatku sirna dalam ruang kelabu, ingin rasanya selalu bergelayut padamu, membuang kenangan . Musim Hujan kali ini, seperti mengguyur kekeringan hati atas kalimat-kalimat yang belum terucap. Akan jadikah badai puisi, mengalirkan sungai kata yang hanya terungkap hati ?
:La Tahzan, Innallaha Ma'ana.. kau berkali-kali mengatakan itu, kau berkali-kali membisikkannya setiap kali kita berbincang sebuah perpisahan.
-Aku tahu …aku tahu, kita tidak pernah sendirian. Kalaupun ada tetes-tetes air mengaliri kedua pipiku, hanya sebagai ungkapan sendu untuk membongkar rahasia yang selalu dikumandangkan sunyi. Sunyi yang menyatukan ruhku dengan ruhmu dalam satu naungan kekuasaan semesta.-
Kegelisahan, kepenatan dan ketakberdayaan, adalah bahasa terindah untuk mengungkapkan sebuah kesadaran, betapa kita sesungguhnya tiada, ada kembali tiada. Sebagai hakikat keberadaan kita, sejatinya kita selalu ada bersama Nya.
Aku tak kan lagi mengucap kata cinta yang bermakna perjalanan berbilur,atau ia melahirkan sebuah kesedihan. ia begitu menggetarkan, waktunya terus menarikan tarian sebuah persekutuan antara sedih dan bahagia, antara pertemuan dan perpisahan. Adalah waktu yang terus menandai tarian dan getaran jiwaku – hanya untukmu dan anak-anak kita-
Karena cinta, kegelapan yang semula menakutkan menjelma bintang gemintang.Kau disini, di tempat asal kejadian, menyandarkan perahu, beristirah dalam diam . Setiap ada rindu menjelma cahaya sepurnama sepasang mata anak perempuan kita yang berbinar ingin terbang keangkasa raya – anak-anak menggamit kita dalam kesadaran berpelukan dalam persekutuan jiwa yang terus mengatakan : hati adalah segalanya, sunyi sebagai bahasa terdalam untuk selalu menggamitmu dalam diam.
Hujan yang nyaris tiada henti kali ini, menggores-nggoreskan sajak mengiris diatas makam. Seperti sebuah senandung menyusuri bayang-bayang. Suara gelisah tak menemukan jalan pulang.
Betapa kebahagiaan mencintaimu seperti sejuta kunang-kunang menari menerangi kegelapan, diantara dahan dan dedaunan yang melambai-lambaikan tangan. Karena kebahagiaan menyintaimu segenap hasrat mempertemukanku dengan risau : La tahzan…… La tahzan ! katamu
-Tidak…aku tidak bersedih karena sebuah kematian, air mataku hanya
Menandai ada kerapuhan yang harus dipahami sebagai sebuah ketentuan
untuk menyadarkan ada sebuah kekuatan tertinggi, yang setiap orang tak
mampu menghalangi-
Kita telah begitu banyak meneguk liur kehidupan
Diantara gemertak jiwa-jiwa berpetualang,
Dan kita menyisipkan Impian dan harapan pada jalan setapak
Dan kita banyak temukan air mata tercecer
Dan kita selalu bertanya kapan bisa beristirah
Merenda desau angin lirih
Dan dinginnya embun
Lalu kita berdekapan
Dengan ketenangan
Setenang malam tahajjud?
Kau telah menemukan pelabuhan terakhirmu
Hujan yang nyaris tak pernah berhenti kali ini
Di atas makam kembali mengiris,
menjelma selempeng pisau
Mengendap-endap lalu mengintai selalu-aku tak ingin berlari
Aku ingin merasakan sakit, oleh sebab sakit memberikan ruang
untuk bercermin , kemudian mematut-matut diri sampai waktuku tiba
kembali berdampingan dalam keabadian.
Melihat kau bersama angin melambai-lambaikan tangan, jiwaku menyisir urat nadimu, dengan asmara yang begitu dalam
Dan angin yang berhembus selalu. Menandai detak-detak kehidupan masih belum berhenti -Aku disini mengenang semua kesepian dan gumpalan-gumpalan asa-
Aku hanya pandai bersajak, huruf demi huruf, adalah denyut kehidupan. Ada kekuatan, keberanian dan kepasrahan, ada sakit, risau dan harapan-harapan, untuk kehidupan anak-anak kita sebagai jalan menuju hari yang kau impikan
-Teguklah senyap dari sajak-sajakku
Oleh sebab, nafasku, mimpi dan harapan-harapan itu
Bergelayutan selalu di setiap kalam
Yang bertebaran di mega-mega
Kalam yang kutulis dengan tegakan huruf-huruf lelah
dengan kerisauan asmara dan rindu mendendam
Karena begitulah ketika aku menyintai kamu
Cakrawala yang telah menegakkan dan meruntuhkan kita
Kembali menaburkan kalam senandungku, di atas makam ini
Hatiku angin, hampa menebar sukma. Dan sukma merayap. Merayap dan lenyap. Hanya bibir ku yang gemetar mengucap kalam dalam bisu menikam !
Suamimu
Temanggung, 26 Januari 2020
Prosa -
SURAT CINTAKU
Karya : Mohammad As'adi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar