RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 14 April 2022

BEDAH PUISI EKO WINDARTO


WAJAH GEOPOLITIK DUNIA

wajah muda mudi bercahaya remang-remang sampai ujungnya
Sumpah Pemuda dan Pancasila lupa dijaga
anak-anak super otaknya dibiarkan meninggalkan hatinya
ahklaq tak lagi bisa bicara
budi luhur dan akar budaya tak kuasa melawan pendusta
sebab tak mau merunut huruf dalam hukum agama
hingga masuk lobang yang sama sampai akhir cerita

wajah geopolitik dunia bopeng semua
hanya segelintir naga-naga durjana yang menguasai segalanya di dunia
aku sampai heran kenapa kehidupan kita ternoda mereka
sungguh aku tak percaya
zaman Gajah Mada lebih cerlang dari zaman melenia

Batu, 1952018

Dekade 1990 an, tembok Berlin telah runtuh di makan usia " Timur dan Barat", era kesengsaraan menghadirkan kemiskinan telah berakhir, menuju dunia techne, seperti ramalan ahli futurologi. Nasionalisme dan sistem kepercayaan menjadi pertentangan yang semakin tajam, terutama setelah kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS.

Ramalan adanya suasana ketergantungan komersial dan teknologi menujum pada surga virtual melalui penyebaran pasar dan teknologi global _berteriak lantang kalau sesuatu akan terjadi dan berbeda dengan sebelumnya.

Dari Indonesia sampai Wasington DC, kepercayaan umat diasosiasikan dengan geopolitik kawasan tertentu bukan semangat nasionalisme yang dianggap usang dan tidak sesuai dengan iman.

Seperti yang terjadi saat ini yaitu bahwa pandemi covid 19 telah memporak-porandakan seluruh dunia. Tak bisa dipungkiri lagi, pandemi ini melukai dan menghantui ekonomi global dalam jangka waktu cukup panjang. Juga tidak menutup kemungkinan dunia akan resesi dan mengalami downtur yang lebih dalam.

Mungkin Francis Fukuyama dan Samuel Hungtinton benar dalam karyanya monumental masing masing The End Of History and the Last Man dan The Clash Of Civilizations and the Remaking of World Order, menghadirkan paradigma menerjemahkan sumber sumber konflik pasca perang dunia. Atau mungkin pascacorona bisa memperkuat nilai kemanusiaan dan kebersamaan dalam memperbaiki kesalahan-kesalahan atau kemungkinan-kemungkinan untuk saling mensupport dalam membangun perekonomian global. Semoga dunia kapitalis menyadari atas keserakahannya selama ini.

Pandangan Fukuyama menyebut demokrasi liberal menjadi pertanda berakhirnya evolusi ideologis manusia dan bentuk akhir pemerintahan : membentuk apa yang disebut nya sebagai akhir sejarah. Hutington memandang konflik pasca Perang Dingin tidak berasal dari perbedaan ideologi, politik, maupun ekonomi, tetapi sesuatu yang lebih mendasar yang ada di dalam masyarakat, yaitu kebudayaan.

Fukuyama berargumen bahwa legitimasi Demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan telah meliputi seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir, mengatasi ideologi-ideologi lain seperti monarki, fasisme, dan komunisme. Lebih dari itu, fukuyama berargumen bahwa demokrasi liberal merupakan “titik akhir evolusi ideologi umat manusia”( “end point of mankind’s ideological evolution”) dan “bentuk akhir pemerintahan” (“final form of human government”) dan karena itu merupakan “akhir dari sejarah” (“end of history”). Fukuyama meramalkan tidak ada lagi pertentangan ideologi-ideologi besar dalam akhir sejarah. Bentuk-bentuk pemerintahan sebelumnya mempunyai karakter kecacatan dan irasional yang mengakibatkan keruntuhan bentuk pemerintahan tersebut. Demokrasi liberal,menurut Fukuyama, bebas dari kontradiksi internal mendasar. Hal ini, tidak berarti, hari ini demokrasi yang telah mapan, seperti Amerika Serikat, Prancis atau Switzerland tidak memiliki permasalah ketidakadilan dan sosial yang serius. Bagi Fukuyama, permasalahan ketidakadilan sosial merupakan implementasi yang tidak lengkap dari prinsip kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) pada demokrasi liberal. Beberapa negara mungkin sekarang gagal untuk mencapai demokrasi liberal yang mapan dan yang lain mungkin jatuh misalnya dalam bentuk peraturan primitif lain seperti theokrasi dan ditaktor militer.

Kita memandangnya dari kontek lingkungan politik global yg berbasis imajinasi geopolitik modern. Penentuan nasib sendiri dalam konteks demokrasi dan memiliki nilai universal menjadi fenomena gencar di seluruh dunia. Dari Hongkong sampai Skotlandia, kita melihat pola penentu nasib sendiri, menghadirkan fenomena baru, seperti Brexit. Imajinasi ini bercampur aduk dalam identitas kepercayaan maupun pertentangan etnis yg tajam. Berbagai bertuk teror verbal dan fisik bertebaran. Kita menjadi bagian spesies baru sebagai homo terorisme. Spesies homo teroris adalah dampak rasa takut karena jenis perbedaan politik, sosial, maupun budaya yg menjadi obyek kehinaan, karena perluasan kesadaran politik dan partisipasi politik yg tidak terkendali, menghadirkan instabilitas dan kekacauan domestik.

Fukuyama mendeklarasikan tujuan akhir dari segala gerak sejarah ialah demokrasi liberal. Pasca Perang Dingin, kapitalisme dan demokrasi liberal muncul sebagai pemenang tunggal atas ideologi-ideologi pesaingnya terutama monarki, komunisme dan fasisme. Kemenangan ideologis ini dimaknai sebagai “berakhirnya sejarah”. Meskipun menyadari evolusi sejarah, Fukuyama beranggapan bahwa demokrasi liberal merupakan titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia sekaligus bentuk final pemerintahan manusia. Dengan demikian, negara-negara di dunia tidak memiliki alternatif lain selain kapitalisme dan demokrasi liberal. Bagi Fukuyama, sumber penggerak tujuan akhir ini ialah “hasrat untuk diakui”. Kapitalisme dan demokrasi liberal dinilai mampu menghapus kelas tuan dan budak serta memuaskan hasrat terdalam manusia yakni kebebasan dan pengakuan akan martabatnya sebagai manusia.Dalam membangun argumennya, Fukuyama diinspirasi oleh filsafat Hegel dan Marx. Bagi Hegel, evolusi sejarah manusia akan berakhir dalam negara liberal (liberal state). Sedangkan bagi Marx, akhir sejarah akan tiba dengan kemenangan kaum proletar yang ditandai dengan munculnya masyarakat komunis. Fukuyama dalam hal ini lebih mengamini Hegel. Fukuyama meyakini bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal adalah tujuan akhir dari evolusi ideologis dan pemerintahan manusia sebab keduanya mampu mengakomodasi hasrat fundamental manusia akan kebebasan dan pengakuan martabat.

Kehancuran negara negara komunisme, di sisi lain tidak menghadirkan suasana demokrasi yg adil, aman dan beradab yg didambakan masih menghantui dengan berbagai kekejaman. Ancaman perpecahan dalam geopolitik global menjadi nyata. Sekularisme atas nama nasionalisme jadi kebangkitan lain dalam mempertahankan globalisasi. Horor yang membayangi kebangkitan globalisasi disertai penjagalan manusia menyebabkan disintegrasi negara_bangsa, seperti Bosnia dan Rwanda.

Oleh: Eko Windarto



MALAM SERIBU BULAN

Bahasa Arab: لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, Bila seorang muslim mengerjakan kebaikan-kebaikan di malam lailatul Qodar, maka nilainya lebih baik dari mengerjakan kebaikan selama seribu bulan atau sekitar 83 – 84 tahun.

Dikisahkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW bercerita kepada para sahabat mengenai seorang Bani Israil yang sangat saleh. Dikisahkan bahwa Bani Israil tersebut telah menghabiskan waktunya selama 1.000 bulan untuk berjihad fi sabilillah di jalan Allah. Saat mendengar cerita dari Sang Baginda Rasulullah kemudian para sahabat pun merasa iri karena mereka tak akan pernah bisa memiliki kesempatan untuk beribadah dalam kurun waktu selama itu. Hal tersebut dikarenakan umur umat Nabi Muhammad jauh lebih pendek dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya. Dalam riwayat yang lain pernah dikisahkan bahwa Rasulullah pernah merenungi hal itu. Nabi Muhammad SAW pun bersedih hati karena sangatlah mustahil jika umatnya dapat menandingi amal ibadah dari umat-umat terdahulu yang bisa mencapai ratusan bahkan ribuan tahun.

Kemudian hadirlah Malam Lailatul Qadar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad pada sebuah malam di bulan puasa Ramadhan. (Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi dalam kitab Fadha’il Ramadhan.). Menurutnya, Lailatul Qadar adalah suatu malam dimana karunia Allah dengan segala kebaikan serta keberkahan didalamnya.

Lailatul Qadar dapat juga kita artikan sebagai malam pelimpahan keutamaan yang dijanjikan oleh Allah kepada umat islam yang berkehendak untuk mendapatkan bagian dari pelimpahan keutamaan itu. Keutamaan ini berdasarkan nilai Lailatul Qadar sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Saya mencoba menggambarkan tanda-tanda malam Lailatul Qadar lewat tulisan pendek (tanka) di bawah ini. Semoga bermanfaat.

Malam yang hening
Seribu bulan datang
Hati terdiam
Angin berhenti
Sangat lengang sekali


EVERY MONTH

Arabic: ليلة القدر) (the night of judgment) is an important night that occurs in Ramadan, which in the Qur'an is described as a better night than a thousand months, If a Muslim does good deeds in Qodar's night, then its value better than doing good for a thousand months or about 83 - 84 years.
Narrated in a narration, the Messenger of Allah (PBUH) told his companions about a very pious Israelites. It is narrated that the Children of Israel had spent their time for 1,000 months to wage jihad fi sabilillah in the way of Allah. When hearing the story of the Prophet of the Prophet then the friends also feel jealous because they will never be able to have the opportunity to worship in the period during that time. This is because the age of the people of the Prophet Muhammad is much shorter than the previous people. In another narration it has been narrated that the Prophet once contemplated it. Prophet Muhammad SAW also grieve because it is impossible if his people can match the charity of worship of the ancient people who can reach hundreds or even thousands of years.
Then came the Night Lailatul Qadar which Allah revealed to the people of the Prophet Muhammad on a night in the fasting month of Ramadan. (Maulana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi in the book of Fadha'il Ramadan.). According to him, Lailatul Qadar is a night where the gift of God with all the goodness and blessings in it.
Lailatul Qadar can also be interpreted as the night of abundance of the virtues promised by God to the Muslims who desire to get a share of the abundance of the virtue. This virtue is based on the value of Lailatul Qadar as a better night than a thousand months.
I am trying to illustrate the signs of the night of Lailatul Qadar through the short writing (tanka) below. May be useful.

A quiet night
A thousand months come
Heart paused
The wind stopped
Very quiet

Oleh: Eko Windarto



KEBANGUNAN PUISI DALAM MASYARAKAT
Oleh: Eko Windarto


Bilamana agama-agama formal susut pengaruhnya, maka kaum terpelajar akan lari mencari penyelamatannya pada puisi, demikian ramalan Mathew Arnold, penyair dan kritikus Inggris abad XIX. Kini, ketika abad XX sudah mendekati usai, ramalan yang pernah bergaung abad lalu, terasa bergetar kembali. Disaat-saat dunia memuja kelamin dan kekerasan serta peranan organisasi-organisasi keagamaan formal hanya berhenti pada anjuran saja dan tidak disertai contoh para pemimpinnya, sedang kenyataan di luar jauh menyimpang dari apa yang dianjurkan, terjadi kekerasan dan caci-maki di mana-mana, anak-anak muda mencari bentuk penyelamatan pada puisi, yang menjadi pelepas harapan mereka. Maka hubungan agama dan sastra ditandai oleh masa yang kritis. Tetapi apakah ramalan tadi betul-betul akan terjadi, masih perlu diuji?

Kita bisa melihat gejala susutnya pengaruh agama-agama formal pada sikap dan tingkah laku masyarakat dalam mengatasi persoalan-persoalan kehidupan pada umumnya. Dan akan tampak nyata, amat kontras jika dibandingkan etika yang terkandung dalam masing-masing agama tersebut. Kebingungan para pemimpin agama, sebagai tolok ukur para umat dalam mengambil sikap dan kakunya penafsiran, menyebabkan, kharisma agama-agama formal merosot karena tidak sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Maka timbul beberapa gerakan kebangunan, yang berupaya memberikan penafsiran baru, yang dirasa sesuai dengan suara hati nurani, suatu penyesuaian dengan alam baru, yang upaya mendekatkan diri dengan Roh Allah, bisa dimengerti kalau gerakan mereka agak kontras dengan lembaga-lembaga resmi yang ada. Dalam bidang sastra pantulan dari keadaan masyarakat tersebut, nampak dari karya-karya yang coba mempertahankan kembali apa-apa dalam kelembagaan agama formal, yang sudah mapan, kuat dan berakar. Sebagai contoh puisi di bawah ini;

DI SINI

di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang unik kau tebang

di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang

di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba

di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma

hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri

wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang

ho hoi beraneka makna hakiki meminta sajakku mengukir hati
meronce malam dan pagi yang kuuntai dalam puisi
hingga menuangkan anggur kehidupan dalam cawan budi pekerti

Batu, 29122017




BAHASA ALAM
Oleh: Eko Windarto


Dengan tegas Al Qur'an mengatakan seluruh penghuni langit dan bumi keseluruhannya bisa bertasbih dan bicara. " Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dan memujiNya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka." ( Qs Al-isra (17):44)

Mereka semua bisa berbicara dan berkomunikasi dengan semua manusia sebagai ditegaskan dalam ayat innahu lahaqqu mitsla ma antum tanthiquun. Bahkan, partikel dan organisme terkecil pun bisa berbicara.

Demikian juga penyair, bisa menyatu dan bicara pada alam sekelilingnya lewat puisinya yang menyatu dalam diri alam itu akan menghasilkan bahasa alam yang terasa liris, yang mengingatkan kita pada puisi ekologi, yang sementara ini sering diabaikan sebagian penyair kita. Padahal melalui PUISI Ekologi bisa membawa kita dalam kesadaran menjaga dan melestarikan alam yang sekarang mengalami kerusakan sangat parah.

Dengan demikian, seorang PENYAIR tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari kondisi kehidupan alam sekitarnya, termasuk juga keadaan alam tempat PENYAIR itu berada. Benda-benda dan suasana di sekelilingnya sering kali dipergunakan PENYAIR untuk mengekpresikan perasaan atau pun pikiran-pikirannya.

Perhatikan puisi di bawah ini:

SUMBER AIR

di bawah pohon beringin itu
sumber air mengukir hati ibu
ribuan jarak mengarak benih petani mengurai lagu

dari simponi belik tanjung
air susu ibu mentartilkan bunga tanjung
bersedekap batu berlumut gelombang

pada terik matahari kalbu
bening bersandar dalam khusyuk ruhku
menderas setetes derai mata air ibu

Belik Tanjung Klebengan Batu. 13032itu


SAAT DI PEMATANG SAWAH

burung-burung berkicau membuka pagi
cahaya embun menari di atas daun-daun berseri
mendekap mimpiku di antara batang padi

huma-huma di hatiku berirama memancarkan rupa dan warna
gemericik air bicara padaku
ketika cahaya membantuku menemui jejak ruang kehidupanmu

pagi masih menyala bersama mimpi anak-anak gembala
seorang petani melepas angannya
saat sajak-sajakku membayangkan gigil kita
mengelana melepas zikir ke udara

ilalang mendengung suling angin memburu bisuku
di sela tembang sumbang rumput-rumput hijau tua itu

pada getar pagi hari
dalam kedalaman sunyi menuju pematang bersemi
keberadaan oksigen dan nitrogen adalah makna estetismu yang suci

Batu, 1622018



PANCURAN BELIK TANJUNG


gemericik air pancuran seperti detak nadi menjelang senja
di balik lubuk hati kata-kata semakin tua
menuju sepi yang disimpan semesta

kata-kata mengendap dalam detakku
melahirkan bahasa baru merayapi tebing-tebing puisimu
dalam menara senyapku

sejenak aku melihat waktu bukan lagi filsafat puisi
waktu telah berubah menjadi sungai kalimat tak bertepi
saat aku luput membaca bahasamu dalam hati

Batu, 2572018
Sekarputih, 1932018


RINDU

di bola mata rindu membuka pintu-pintu pagi
menyiram daun-daun kopi
pada tembang-tembang ranting puisi
ladang sunyi menyimpan seribu matahari

ho hoi...pada tarian cintamu
suara angin menciptakan komposisi rindu
menyatu dalam hatiku

lembut tatapan matamu seperti sajak matahari itu
menguntit hutan rambutku di musim kemarau

sedang alis yang lembut berbaring di kulit laku
bermimpi ladang lumut yang hijau oleh kerut waktu

Batu,29112019



HUKUM ALAM

Sejak awal alam semesta ini diciptakan, Tuhan telah menetapkan semua prosedur serta mekanisme kerja yang sangat teliti, sangat akurat, dan sangat sempurna yang kita kenal sebagai hukum alam. Alam semesta ini penuh dengan keseimbangan dan beroperasi dengan sangat teratur. Planet-planet selalu berjalan pada orbitnya. Hukum alam bekerja otomatis terlepas kita mengetahui apa tidak. Seperti hukum gravitasi newton, bahkan setiap benda akan ditarik dan jatuh ke bumi.

Percaya atau tidak hukum alam akan selalu bekerja. Dan semua hal yang ada di alam pasti akan mengalami konsekuensi yang sama. Dengan demikian, hukum alam tidak mungkin kita lawan, karena hukum alam sekaligus juga sebagai hukum yang mengatur jalannya roda kehidupan manusia. Yang perlu kita garis bawahi dari semua hukum alam adalah bahwa hukum alam tak pandang bulu.

Batu, 2992018

1
pada putaran matahari
kutemukan rotasi hati
bergetar di antara galaksi

2
membayangkan gugus bintang yang tak terbayang
kusandarkan cintaku yang tak terbilang

3
pada tata ruang bumi
katalis-katalisku mati
hingga rasa mengalami turbelensi

Batu, 2212018




TAFSIR HERMENEUTIK PADA PUISI-PUISI METAFORIK EKO WINDARTO DALAM BUKU NYIUR MELAMBAI
Oleh Achnas J. Emte


NYIUR MELAMBAI adalah sebuah frase dengan majas personifikasi yang sangat kental dan populer. Sehingga kata Nyiur akan terasa asing jika disandingkan dengan kata lain meski maknanya lebih denotatif, misalnya dengan kata bergerak, bergoyang atau berkibar. Secara etimologis, entah siapa yang pertama kali membuat frase Nyiur melambai, tapi yang pasti frase yang menyertakan majas personifikasi tersebut secara morfologis mampu mengkontruksi bahasa yang berunsur puitika dan secara semantik menyembulkan tanda-tanda makna (semiotika) yang prismatik bahkan bisa dikonotasikan dengan sikap atau karakter manusia. Ketika ia dijadikan sebagai sebuah judul buku antologi puisi, saya menangkap maksud tertentu dari penulisnya yang jika hanya ditinjau secara tekstual akan sulit menemukan jalan terang. Terlebih karena puisi-puisinya sangat kental dengan metafora. Oleh karena itu, untuk bisa menguliti setiap maksud dan menembus esensi maknanya perlu menggunakan pisau analisis-hermeneutik.

Untuk memudahkan pemahaman tentang hermenutika, kita bisa merujuk pada pendapat Aristoteles yang menyebut “peri hermeneutick”, yang dimaksudkannya sebagai logika penafsiran, sementara Plato yang menggunakan istilah "techne hermeneias" adalah seni membuat sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Paul Ricoeur mengartikan hermeneutika sebagai teori untuk mengoprasionalkan pemahaman dalam hubungannya dengan penafsiran terhadap teks. Merujuk pada tiga pendapat tersebut, berarti hermeneutika adalah sebuah metode penafsiran untuk memahami makna dan maksud yang dikehendaki dalam sebuah konsep pemikiran. Metode ini sangat diperlukan terutama ketika sebuah teks memiliki potensi makna tersembunyi dan mutasyabihat (samar) yang timbul mungkin karena penggunaan istilah, diksi dan gaya bahasa.

Hans Georg Gardamer mengatakan bahwa penafsiran isi teks yang memiliki konteknya sendiri akan dipengaruhi pikiran maupun perasaan orang yang membacanya, yang tentu memiliki konteks tersendiri juga. Peleburan kedua hal ini menghasilkan suatu tafsiran yang menciptakan pemahaman yang baru yang bisa samasekali berbeda dengan maksud teks. Hal ini linier dengan teori dekonstruksi yang ditawarkan Jacques Derrida bahwa meski teks tidak bisa dirubah tapi sangat memungkinan terbentuk makna baru karena tuntutan konteks sosial maupun penafsirnya. Pembaca dengan latar belakang historis maupun konseptualnya menyatu dengan teks yang juga memiliki makna dan latar belakangnya sendiri. Sementara disisi lain, Gardamer menawarkan konsep lingkaran hermeneutik tentang proses memahami suatu teks. Baginya makna keseluruhan suatu teks hanya dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagian teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian di dalam teks tersebut hanya bisa dipahami dengan memahami keseluruhan maknanya. Pengandaian dari konsep ini adalah, bahwa keseluruhan dan bagian memiliki koherensi. Hal ini berlaku bahkan untuk teks-teks yang sekilas dibaca tampak tidak memiliki koherensi.

Metode hermeneutika bisa diaplikasikan untuk membedah makna puisi karena puisi pada hakikatnya adalah teks, terlebih ia dibungkus oleh ornamen puitika yang kerap menghadirkan metafora-metafora yang maknanya perlu dianalisis dengan logika dan perasaan yang mendalam.

Puisi-puisi dalam buku Nyiur Melambai karya Eko Windarto, menurut penulis adalah contoh puisi yang banyak menggunakan metafora. Disamping metafora itu digunakan untuk memadatkan kata agar lebih ekonomis dan lebih puitis, juga menawarkan polarisasi makna yang beragam sehingga tidak hanya membutuhkan pemaknaan yang heuristik, tapi juga hermeneutik agar makna yang samar dan masih tersembunyi itu terungkap secara transfaran. Ketika membaca puisi-puisinya yang sarat metafora, begitu berlapis labirin makna-makna yang berkubang dalam neuron saya sehingga harus secara intens melacak makna hakiki dari rangkaian diksi, frase dan kalimat yang disuguhkan dalam setiap larik dan baitnya. Satu sisi, ini menjadi proses perambahan makna yang melelahkan karena perlu menyelami lorong-lorong gelap rahasia sebelum ditemukan titik cahaya, tapi disisi lain saya terhanyut dalam kenikmatan ketika tanpa sadar sedang berayun dalam gelombang makna yang memabukkan.

Terasa sekali ada ikhtiar keras penyair yang begitu imajinatif, kontemplatif dan logis dalam meramu ide, gagasan atau tema sehingga ditemukan substansi isi yang sangat kaya. Terlebih ketika menelisik varian diksi-diksinya baik dalam bentuk kosa kata maupun frase, saya mengendus gairah yang sangat inovatif karena disamping diksi-diksi itu bersenyawa dengan isi, penulis memilih kata-kata yang jarang disuguhkan dalam puisi lain sehingga performa puisi sarat dengan estetika, penuh kebaruan dan makna-makna yang tidak biasa. Dan ketika mendeklamasikannya ada irama dan rima yang terbangun dari larik-lariknya secara spontan membentuk notasi-notasi nada yang selaras sehingga penulis seolah sedang melantunkan sebuah nyanyian yang teramat syahdu. Variabel-variabel pembentuk puisi itu berperan secara organik dan fungsional tapi tetap membangun performa dan makna yang prismatik-estetik dalam arti bisa menimbulkan beragam interpretasi sekaligus menciptakan ruang-ruang keindahan tersendiri tapi tetap mengerucut pada makna yang utuh dan sistemik.
Mari kita telisik secara hermeneutik salah satu puisinya berikut ini :

NYIUR MELAMBAI

nyiur melambai adalah wujudku
halus, lembut, belum berbentuk dan bermutu
tinggal menghaluskan biar bermutu
dan kuperoleh hikmah serta fitrah alam semestaku

dari cinta kuliputi iman meluas ngarai
menyalakan lagu matahari
yang dituai puluhan penyair seperti Al Kindi dan Rumi

Sekarputih, 112019


Dalam puisi Nyiur Melambai yang kemudian dijadikan judul bukunya, aku lirik secara tersirat ingin menggambarkan dirinya seperti karakter pohon Nyiur yang sedang melambai , menawarkan kelembutan, elastis, tidak baku bentuknya karena masih berpeluang untuk tumbuh dan berkembang agar memiliki manfaat lebih sebagai tuntutan fitrah kemanusiaannya. Kemudian pada bait kedua /dari cinta kuliputi iman meluas ngarai/menyalakan lagu matahari/yang dituai puluhan penyair seperti Al Kindi dan Rumi/, aku lirik ingin menegakkan peran eksistensialnya dengan meleburkan nilai cinta dan iman dalam situasi paling sulit sekalipun dalam menghidupkan perannya, setidaknya seperti yang telah dilakukan oleh Rumi dan Al-Kindi melalui syair-syairnya yang sarat dengan hikmah.

Betapa kental metafora yang disajikan, lirik /menyalakan lagu matahari/ adalah indikasinya. Sulit ditebak tapi tetap bisa terlacak maknanya, menyalakan berarti mengimplementasikan, lagu adalah manfaat keindahan atau kebaikan, matahari adalah cahaya yang kemudian secara komprehensif bermakna menghidupkan peran kebaikan laksana matahari untuk menerangi dunia tanpa pamrih adalah sebuah bentuk persembahan manusia yang sangat mulia, dan sejatinya itulah yang mesti dilakukan setiap kita, manusia.

Puisi ini juga menunjukkan kematangan Eko Windarto dalam memanfaatkan metafora secara puitik, koheren, tematik dan integratif dengan keseluruhan isi maupun hubungan setiap larik dan bait dalam satu tubuh pemaknaan logis. Karena seringkali pemuisi terjebak mengejar nilai estetika tapi malah memunculkan makna yang absurd dan bahkan tidak jelas esensinya.

Dengan metafora, Eko Windarto melangitkan makna puisi sebaga sinyal akhlak manusia yang semestinya menjadi pedoman bagi anak negeri yang sedang mengarungi perjuangan di bumi pertiwi. Puisi-puisi dalam Nyiur Melambai dikontruksi untuk menjadi energi dan daya hidup bagi seorang penyair untuk berkomunikasi dengan realitas dan khalayak dan kemudian memberikan corak keindahan dan pesan-pesan kebijakbestarian. Maka puisi tidak akan lagi menjadi entitas yang terkucil dari siklus kehidupan mondial atau hanya tampak megah sendirian di menara gading, tapi menjadi ruang cahaya di bumi manusia agar tidak terkurung dalam kegelapan.

Oleh karena itu saya menyambut kehadiran Buku Antologi Puisi
"Nyiur Melambai” Karya Eko Windarto ini sebagai napas yang akan terus membuat langkah puisi berderap dan “senantiasa meninggalkan jejak-jejak surga di telapak kakinya”.

Dikutif dari berbagai sumber.
Tabik,
Alfaqir
Achnas J. Emte




PUISI DUNIA SEBAGAI PANDANGAN DUNIA TRAGIK
Oleh: Eko Windarto


Karya sastra adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh serangkaian makna dan fungsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karena, karya sastra memang syarat dengan imajinasi. Itulah sebabnya, kajian, penelitian atau telaah sastra akan mengungkapkan elemen-elemen dasar pembentuk sastra dan menafsirkan sesuai paradigma dan atau teori yang digunakan.

Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila penelaah atau pengapresasi memulai kerjanya atas dasar masalah. Tanpa masalah yang jelas dari karya sastra yang dihadapi, tentu kerja penelaah juga akan menjadi kabur. Manakala penelaah dan karya sastra itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan penelaah sastra untuk mengangkat sebuah persoalan menjadi penting.

Banyak dari pengamat, penelaah, dan peneliti seperti Teeuw (Satoto, 1986:1-2) mengemukakan bahwa mempelajari sastra itu ibarat memasuki hutan; makin ke dalam makin lebat, makin belantara. Dan, di dalam ketersediaan itu ia akan memperoleh kenikmatannya. Dari pendapat ini, terungkap bahwa karya sastra adalah fenomena kemanusiaan yang kompleks dan dalam. DI dalamnya penuh makna yang harus digali melalui pemikiran penelaah yang mendalam pula.

Menurut Goldman, karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia ( visioner du monde ) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa strukturalisme genetik menurut penelaah merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dengan struktur masyarakat memalui pandangan dunia atau idiologi yang diekspresikan. Oleh karena itu, karya sastra tidak akan dapat dipahami secara utuh jika totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan kejadiannya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann merupakan hubungan genetik, karenanya disebut struktural genetik. Dalam kaitan ini, karya sastra harus dipandang dari asalnya dan kejadiannya seperti kompleksitas menyeluruh dari gagasan-gagasan, inspirasi dan perasaan puisi Ani Kzt di bawah ini.

DUNIA
Oleh: Ani Kzt


Seorang nabi mangkat diiringi tangis para perindu dan para malaikat
yang berbaris mengelepakkan sayapnya seraya memuji bershalawat
Mengguncangkan arasy menggurat .Sedang dari kejauhan ,para
sahabat dan kaum salihin arifin menapaki jalan yang sama diantarkan
hangatnya,cahaya ,memeluknya dengan dekapan doa-doa pujian harap syafaat.

Nun di jalan yang berseberangan ,seperti tikus yang ketakutan
rombongan pengembara yang telah menguras habis kehidupannya
menukar nikmat berlimpah dengan kenikmatan dunia yang sedikit ,
Kini terhuyung - huyung menangung beban berat diiringi kilat dan guntur yang melecut tubuhnya dengan api.

Tetapi ,seakan tidak peduli,toh matahari tetap setia menampakkan
dirinya membagi cahaya menggapit waktu mengantarkan orang- orang datang dan berlalu.
Dunia tetap setia berkisah tentang pencari
kebenaran perindu cinta yang senyumnya merekah bebungaan
sambil mereguk derita ; ataukah kisah para pemuja dunia yang air matanya meleleh- leleh mengakhiri pestanya yang telah usai.

Manusia itu adalah pena kehidupan dan pengalaman adalah
rangkaian bait kalimat yang mereka tuliskan,
sedangkan dunia
adalah kertas putih yang segera hilang .
Tinggal arsip kenangan yang
dibaca ulang kemudian dibuang.

Manusia menulis kisah hidupnya halaman demi halaman ,tetapi mereka tidak pernah
sadar setiap halaman yang dibuka akan
mendekati halaman terakhir dan kesimpulan .

Betapapun jilid kehidupan menumpuk menjulang memenuhi
angkasa tiada batas ,tetapi sang mentari tak
pernah sekali pun mau
tahu. Dia tetap setia dengan tugasnya membagi cahaya kepada mereka
yang datang dan berlalu

Lelah batin menyaksikan topeng-topeng manusia.
Betapa rapuhnya harga diri.
Betapa ruginya mempunyai hati tanpa nurani.

Tak perlu butuh waktu berselang dia pun berganti topeng.
Mainkan peran sang penjilat karena diri dapat manfaat kemudian menghujat

dan mengumpat mainkan peran pengkhianat .
Bagaikan pucuk bambu
yang lentur dia bergerak ke mana arah angin berembus .
Mereka yang jujur terpuruk hancur sedang
curang menang menantang .
Prajurit gugur lupa dibilang,panglima menjulang riauh pujaan.
Para badut politik janji sambil membagi nasi
bermimpi kursi dan korupsi .
Inikah kisah Dunia ?


Memasuki puisi DUNIA untuk sampai pada world view' yang merupakan pandangan dunia pengarang atau penyairnya memang bukan pekerjaan mudah. Oleh sebab itu, pandangan penyairnya tentang pandangan dunia berkembang sebagai hasil dari situasi yang dihadapi oleh subyek kolektif yang memilikinya. Dari pandangan ini tampak bahwa pandangan tentang dunia merupakan sebuah sintetis akumulatif kehidupan yang sangat abstrak. Ia akan menggerakkan aktivitas hidup yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari manusia seperti baris ini / Seorang nabi mangkat diiringi tangis para perindu dan para malaikat/ yang berbaris mengelepakkan sayapnya/ seraya memuji bersholawat/. Sang penyair mencoba mencerna dan menceritakan kematian
Nabi yang diiringi isak tangis sedih dan haru dengan bersholawat yang sampai sekarang terus dan masih dibuat zikir para pecinta dan perindu keagungan Allah SWT. Sholawat itu sendiri telah mengguncangkan arasi-Nya, dan seluruh mahkluk di alam semesta ini. Juga menjadi zikir sir maupun zikir bersama di masjid, musholla, atau di rumah oleh umat Islam untuk mendapatkan syafaat di suatu hari nanti seperti pada baris berikutnya ini, / Mengguncangkan arasy menggurat/. Sedang dari kejauhan, para sahabat dan kaum salihin arifin menapaki/ jalan yang sama diantarkan hangatnya, cahaya, memeluknya dengan dekapan doa-doa pujian harap syafaat/.

Pada bait kedua, sang penyair mencoba melihat hubungan kehidupan manusia tragik dengan manusia lain, yang kadang-kadang bersikap paradoksal. Ia juga melihat manusia lain membiarkan menghancurkan dirinya sendiri seperti pada baris berikutnya ini, / Nun di jalan yang berseberangan, seperti tikus yang ketakutan/ rombongan pengembara yang telah/ menguras habis kehidupannya/ menukar nikmat berlimpah dengan kenikmatan dunia yang sedikit/, Kini terhuyung-huyung menanggung/ beban berat diiringi kilat dan guntur yang melecut tubuhnya dengan api/. Dari situlah, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa nafsu dan syahwat aneka kerakusan akan membakar diri sendiri.

Kembali sang penyair menceritakan keadaan yang ketidakpedulian terhadap bahaya nafsu yang bisa membakar diri mereka sendiri seperti pada bait ketiga ini,/ Tetapi, seakan tidak peduli, toh matahari tetap setia menampakkan/ dirinya membagi cahaya menggapit/ waktu mengantarkan orang-orang datang/ dan berlalu/. Dari situlah, nampak ketidakpedulian terjadi secara masif. Dan itu terlihat sekali pada kehidupan di sekitar kita yang cukup kuat gambaran keindividuan melalui metafora dan diksi di atas. Tapi, ketika membaca baris berikutnya terlihat sekali sang penyair menggungkapkan melalui penggambaran bahwa dunia tetap berputar sebagaimana laiknya, yang ia lukiskan seperti ini, /Dunia tetap setia berkisah tentang pencarian/ kebenaran perindu cinta yang senyumnya/ merekah bebungaan/ sambil mereguk derita; ataukah kisah para pemuja dunia yang air matanya/ meleleh-leleh mengakhiri pestanya yang telah usai/. Betul-betul suasana penceritaan yang kontradiksi; ada manusia sangat bernafsu keduniawian, ada manusia yang hidup selalu mencari bimbingan kebenaran melalui pemusatan-pemusatan atau konsentrasi batin yang penuh.

/ Manusia itu adalah pena kehidupan/ adalah suatu penggambaran yang sangat tepat, karena manusia selalu bergerak dan berpikir untuk dapat mencatat dan memperbaiki suatu kesalahan. Pengalaman hidup adalah guru bagi perbaikan-perbaikan dari keseluruhan kesalahan yang pernah diperbuat manusia seperti baris berikutnya ini, / dan pengalaman adalah rangkaian bait kalimat yang mereka tuliskan/. Dan, pada baris berikutnya sang penyair menceritakan dunia akan hilang dan hanya akan menjadi kenangan, lalu dibuang begitu saja seperti yang ia gambarkan melalui baris berikutnya, / sedang dunia/ adalah kertas putih yang segera hilang/. Tinggal arsip kenangan yang dibaca ulang kemudian dibuang/.

Semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnya selalu berupaya respon terhadap lingkungannya. Perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan sehari-hari dari semua aksi sosial dalam halaman-halaman kehidupan yang ia gambarkan melalui bait lima ini, / Manusia menulis kisah hidupnya halaman demi halaman, tetapi mereka tidak pernah/ sadar setiap halaman yang dibuka akan/ mendekati halaman terakhir dan kesimpulan/. Yang jelas, manusia menulis kisah atau sejarah hidupnya kadang di luar bawah sadarnya. Kadang kehidupan manusia juga mempunyai proses pencapaian pemahaman makna metode dialektik berlangsung melingkar-lingkar terus-menerus, mengikuti sistem sirkel, tanpa ada kejelasan titik awal dan akhir.

Manakala penyair meredakan apa yang bergejolak dalam hatinya, ia mengenangkannya dengan apa yang dilihatnya, yaitu pada bait enam yang berbunyi, / Betapa jilid kehidupan menumpuk/ menjulang memenuhi/ angkasa tiada batas, tetapi sang mentari, /tak/ pernah sekali pun mau tahu/. Dia tetap setia dengan tugasnya/ membagi cahaya kepada mereka/ yang datang dan berlalu/. Dari situlah terlihat diksi SANG MENTARI menjadi kekuatan. Terlihat sekali bahwa penyairnya mencatat apa yang ia lihat dan rasakan melalui pendekatan batinnya.

Sebagai penyair haruslah peka terhadap kejadian di masyarakat. Peka terhadap kehidupan di sekitarnya, peka terhadap kecurangan, penindasan dan kesengsaraan manusia. Sebab, penyair adalah cermin dari masyarakat. Oleh sebab itu, ia mencoba menulis apa yang dilihatnya melalui satir halus sebagai berikut ini, / Tak perlu butuh waktu berselang dia pun berganti topeng/. Memang banyak sekali kenyataan dan fakta, bahwa muda mudi dan para pejabat kita sering berganti-ganti topeng, dan suka menjilat orang lebih atas dari dirinya. Setelah mendapat keuntungan dan keberuntungan, mulailah mereka berganti wajah untuk menutupi keburukannya agar selalu terlihat baik yang membuat sang penyair gelisah dan letih seperti bait ini, / Letih batin menyaksikan topeng-topeng manusia/. Betapa rapuhnya harga diri/. Betapa ruginya mempunyai hati tanpa nurani/.

Menurut penyair, kehidupan masyarakat sudah sangat bobrok dikarenakan telah meninggalkan budaya leluhurnya sendiri, yaitu budi pekerti yang semakin hari semakin luntur oleh budaya praktis dan individual, seperti yang tergambar dan diungkapkan melalui bait berikut ini, / Tak perlu butuh waktu berselang dia pun berganti topeng/. Mainkan peran sang penjilat karena diri/ dapat manfaat kemudian menghujat/. Betul-betul sang penyair mengungkapkan kejadian dalam keadaan yang sekarang sedang terlihat telanjang.

Pada bait terakhir, ia juga menceritakan pengkhianatan para pembesar, penguasa yang kong kalikong dengan sesama rekannya untuk mendapatkan yang mereka mau. Badut-badut politik pandai menarik simpati dengan bertopeng janji-janji palsu yang seakan terlihat mudah untuk diimplementasikan. Padahal itu hanya sandiwara dan tipu daya demi kekuasaan, tahta dan harta seperti yang tergambar dalam baris berikutnya ini, / dan mengumpat mainkan perang pengkhianat/. Untuk menutupi keburukan dan kekeliruan mereka demi ambisi. / Bagaikan pucuk bambu/ yang lentur dia bergerak ke mana arah angin berhembus/. Mereka yang jujur terpuruk hancur/. Ya ya, memang yang jujur selalu disungkurkan demi keinginan sesaat. / sedang curang menang menantang/. Prajurit gugur lupa dibilang panglima/ menjulang riuh pujaan/. Para badut politik janji sambil membagi nasi/ bermimpi kursi dan korupsi/. Inikah kisah dunia/? Betul-betul puisi yang merindingkan bulu kuduk.

Begitulah karya sastra seperti puisi di atas yang bermuatan pandangan dunia tragik, kadang bagi orang fanatik sering memerahkan telinga. Namun demikian, hal itu fakta kemanusiaan yang sulit disangkal, karena manusia sering bersikap mencari terus-menerus terhadap kebenaran.

Sekarputih, 1732019



SPEKTRUM PUISI MEMILIKI MANFAAT UNTUK DIRENUNGKAN
Oleh: Eko Windarto


John F Kennedy, orang Amerika itu, bersenandung dalam sebuah bait :
"Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra yang akan meluruskannya". Puisi dan sastra hadir untuk membasuh rasa, mengasah empati. Mengembalikan fitrah manusia pada kelembutan hati dan kesantunan etika.

Menulis puisi tidak cukup dengan menata kata dan meramu diksi, tetapi yang jauh lebih penting bagaimana puisi itu sanggup menjadi oase nilai di tengah gurun pasir politik yang gersang. Demikian pula dalam bersastra. Kasusastraan meninggi kualitasnya, menjadi mahakarya peradaban manusia, ketika ia menjadi karya yang abadi yang sarat dengan panduan nilai.

Tengoklah Serat Jayabaya, sebuah puisi sekaligus karya sastra abadi, yang didalamnya manusia dikritik secara sinis dan kemanusiaan ditinggikan. Tengok pula Mahabarata dan Ramayana, dua epos karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai etik.

Artinya, ketika politik bersetubuh dengan gurita kebencian dan dendam, itu adalah tanda bahwa zaman sedang memanggil para penyair untuk menulis puisi tentang cinta dan pemaafan. Atau, ketika politik menjauh dari cita-cita awal Republik didirikan, itu adalah hasrat zaman agar lahir sastrawan dan sastrawati yang menulis cerpen, prosa atau roman tentang etika bernegara dan be-republik.

Adalah celaka sebuah bangsa yang politiknya kotor, tetapi tidak lahir dari bangsa itu penyair yang membersihkannya. Adalah celaka sebuah bangsa yang politiknya bengkok, tetapi tidak lahir sastrawan yang meluruskannya.

Lebih celaka, jika puisi dan sastra digubah hanya untuk mencela, menuduh, menyindir dan menyebar fitnah. Politik dalam bangsa itu akan semakin keruh tak bertepi, semakin bengkok sulit diluruskan.

Puisi dan sastra bukan lagi alat untuk memuliakan kemanusiaan ; tetapi menjadi alat meneguhkan kekuasaan. Dan, tentu saja, puisi yang takluk pada politik kekuasaan ia tidak layak disebut puisi ; Ia hanyalah propaganda berisi kata manis. Pun, sastra yang menghamba pada politik kekuasaan juga tak layak disebut karya sastra, ia hanyalah tulisan indah untuk melanggengkan tirani.

Pada akhirnya, menjadi pecinta puisi dan sastra berarti mencintai manusia dan kemanusiaan, mencintai politik kemanusiaan bukan politik kekuasaan.

Puisi abad sekarang ini tak harus tunduk pada pakem dan konvensi tertentu, sebab imajinasi dan keindahan bahasa yang tak terbatas. Pakem dan kovensi bukan hal satu-satunya dalam kategori menarik. Mungkin bagi akademisi dan pengamat itu sebagai garis yang harus diikuti, tapi tidak bagi penulis ekspresif yang suka kebebasan dalam berkarya. Siapa pun yang suka mendalami menulis puisi tidak harus mengikuti pakem atau konvensi yang sudah ada. Semua itu tergantung penulisnya biar tidak merasa terpenjara dengan pakem atau konvensi.

Akhirnya dengan kebebasan berfikir dalam menulis puisi, akan semakin berkembang dunia perpuisian kita. Semakin banyak genre, aliran, dalam spektrum puisi yang lahir, akan semakin baik bagi perkembangan kesusteraan kita. Taman-taman bunga puisi semakin tercium harum.

Oleh sebab itu, dampak karya sastra (puisi) bisa berdampak emosional juga masuk dalam berliterasi. Karena dalam menulis puisi membutuhkan kebebasan demi menunjang gagasan-gagasan. Maka dari itu kita tak bisa memprediksi maknanya secara utuh dan benar. Mari kita telusuri puisi di bawah ini.

Puas di Sangiran, kita bergeser ke

SRAGEN
Oleh: Daru Maheldaswara


Di mana lagi kita temukan percakapan sore,
ketika tubuh bengawan itu terus menghitam?
Limbah melegam yang hilang bentuk,
menggeser monopoli kejernihan air,

meninggalkan cerita getir tentang pelukis batik
yang kemarin masih bermain malam dan kain.

Sambil tersenyum, air bengawan dulu berucap,
akan kukecupi setiap pesisir pantai utara,
karena tak sanggup dayaku berjalan ke selatan,
yang rimbun bukit dan tanjakan,
hingga sulit menjangkau sudut-sudut sunyi.

Sragen di tepi Bengawan Solo kini,
tinggal celoteh ibu-ibu iseng berkotang,
mendidis kutu sambil mencari celah hitam suami
yang kian suntuk merancang proyek dan selingkuh
sambil lontarkan slogan : demi kemajuan desa.

Sragen di tepi Bengawan Solo sekarang,
tak lagi memiliki gerombolan bambu,
yang coba bertahan dari kemajuan peradaban,
sementara kerajinan rakyat
hanya mampu nyalakan tungku dapur.

Sragen di tepi Bengawan Solo kelak,
mungkinkah tetap mampu mempertahankan sandang kebanggan yang bernama : Batik Sukowati?

Kasongan Bantul, 13 Juni 2019

Itu saja!!!

Jika saya amati puisi SRAGEN Daru Maheldaswara ini, saya hormat kepada belio dan menaruh kepercayaan bahwa puisi memiliki manfaat, atau menurut Horace dirumuskan dalam ungkapan "Dulce et utile"_ puisi itu indah dan berguna, memiliki daya tarik, dan memungkinkan seseorang mengalami katarsis. Ya, pencerahan seperti penggambaran puisi di atas itu. Yang mana aku lirik memberi pandangan atau suatu pertanyaan pada pembaca atau mungkin pada masyarakat di sekitar bengawan yang telah tercemari seperti yang terungkap pada bait pertama ini. / Di mana lagi kita temukan percakapan sore, ketika tubuh bengawan itu terus menghitam?/. Dimana kata SORE dan HITAM menjadi kekuatan diksi dalam menggambarkan suasana gelisah aku lirik. Yang mana 'percakapan sore' tak bisa menemukan keindahan atau keteduhan ketika melihat sungai (bengawan) telah menjadi hitam tercemar oleh bahan-bahan kimia dari pabrik-pabrik yang berdiri di tepi bengawan yang begitu seenaknya membuang limbah pabrik ke bengawan seperti baris berikutnya ini, / Limbah melegam yang hilang bentuk, menggeser monopoli kejernihan air, meninggalkan cerita getir tentang pelukis batik yang kemarin bermain malam dan kain/. Nah, kata malam ( bahan buat membatik) kain menjadi penggambaran budaya membatik model lama telah ditinggalkan, dan telah berganti dengan bahan-bahan kimia yang dapat meninggalkan cerita getir bagi masa depan ekosistem dan masa depan anak cucunya.

Pada bait kedua aku lirik mencoba menceritakan apa yang dilihat dan dirasakan. / Sambil tersenyum, air bengawan dulu berucap, akan kukecupi setiap pantai utara, karena tak sanggup dayaku berjalan ke selatan, yang rimbun bukit dan tanjakan, hingga sulit menjangkau sudut-sudut sunyi/. Dari situlah seorang penyair dituntut untuk dapat mencatat apa yang sedang terjadi, karena seorang penyair bukanlah tukang sihir. Ia seperti air yang seharusnya selalu mengalir menuju muara yang dapat menampung aneka makna melalui kesaktian kata-kata. Penyair tidak dapat menyulap kata-kata, memanipulasi makna-makna, dan tak juga bisa menyihir pembaca serentetan kata. Namun, acap terjadi pembaca 'terpesona' terkagum-kagum oleh kepiawaian penyair memanfaatkan sarana retorika, keputusan, dan aneka gaya berbahasa. Susunan kata yang tepat, serasi, selaras, dan seimbang memungkinkan puisi menjadi sesuatu yang menarik.

Bait ketiga, lagi-lagi aku lirik mengungkapkan cerita ibu-ibu yang sedang 'mendidis kutu' suka (rasan-rasan) membicarakan suaminya sendiri atau boleh dikatakan menjadi membuka aib suami sendiri yang sebenarnya tidak perlu dan pantas. Aku lirik dengan nada satirnya mampu mengungkapkan kejadian yang memang sering terjadi di sekitar kita tentang proyek yang banyak disuguhkan dengan perselingkuhan agar proyeknya lolos sambil dibumbui slogan-slogan yang terlihat baik tapi pada kenyataannya omong kosong belaka seperti di bait ini; / Sragen di tepi Bengawan Solo kini, tinggal celoteh ibu-ibu iseng berkotang, mendidis kutu sambil mencari celah hitam suami/ yang kian suntuk merancang proyek dan selingkuh sambil lontarkan slogan: demi kemajuan desa/.

Ternyata, pada bait keempat, bengawan solo sudah tak seperti yang dilihat aku lirik 'memiliki gerombolan bambu'. Gerombolan bambu sudah hilang ditelan zaman melenia. Ia tak mampu mempertahankan dari polah tingkah laku kemajuan peradaban, / sementara kerajinan rakyat hanya mampu menyalakan tungku dapur/ alias hanya bisa bertahan hidup karena untuk mempertahankan kehidupan sehari-hari saja. Memang kemajuan zaman, tekhnologi, dan sains telah mampu menggerus dunia kebudayaan yang kurang pengetahuan atau hanya mempertahankan kebudayaan leluhur yang kurang mereka isi dengan ilmu pengetahuan untuk mengikuti kemauan zaman globalisasi. Sementara, tekhnologi dan pengetahuan membatik telah menghadirkan kecepatan dan kecerlangan warna, tapi sang Empunya pabrik tak mau memperhitungkan dampak pembuangan limbah pabrik di sungai Bengawan Solo. Itulah dampak positif dan negatif mengikuti alur zaman yang telah begitu mudah karena kecanggihan teknologi.

Di bait terakhir, aku lirik mencoba mempertanyakan; apakah masa yang akan datang orang-orang yang hidup di tepi Bengawan Solo masih bisa mempertahankan hidup dengan suasana yang berbeda dan lebih maju, serta kemungkinan besar limbah pabrik-pabrik akan semakin menggila tanpa ada yang mau mencegahnya dari masyarakat sekitarnya dan pemerintah yang bertanggungjawab atas kelalaiannya? Entahlah! Yang penting, seorang penyair telah menggambarkan agar menjadi perenungan.

Sekarputih, 1662019



ASPEK YANG DIUNGKAPKAN Joko Pinurbo
Oleh: Eko Windarto


Berbagai hal yang seharusnya diungkap dalam apresiasi sastra terutama puisi adalah; bisa memahami lebih mendalam bahwa pengarang adalah orang yang cerdas dan cerdik bermain estetika. Pengarang bisa juga sebagai filsuf yang mampu menjelaskan sebuah pemikiran secara gamblang dan mendasar. Dia seorang yang semestinya mampu menerjemahkan kehidupan menjadi cipta sastra (puisi) yang andal. Artinya tidak mudah dimakan zaman.

Bagaimana penguasaan bahasa sastrawan harus mampu memikat pembaca sehingga puisi itu sendiri menarik untuk di dalami maknanya. Apakah pengarang (penyair) belajar secara otodidak atau memang ada cara lain. Dalam hal ini pengapresiasi perlu memahami seberapa jauh penyair mampu menghidupkan kata-kata 'mati' menjadi kata yang hidup alias memiliki roh. Kebebasan penyair menciptakan kata, meramu kata, dan mempermainkan bahasa, akan mendukung kreativitas mereka.

Seberapa jauh penyair memiliki kepekaan terhadap persoalan kehidupan, baik yang menyangkut dunia maupun dunia lain. Dari ini akan lahir wawasan kemanusiaan yang luar biasa dari seorang penyair yang benar-benar ekspresif seperti Joko Pinurbo. Mari kita telisik salah satu puisinya. Berikut ini puisinya.

DOA SEORANG PESOLEK

Tuhan yang cantik,
temani aku
yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.

Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.

Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.

Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.

Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.

Semoga kecantikanku
tak lekas usai dan cepat luntur
seperti pupur.

Semoga masih bisa
kunikmati hasrat
yang merambat pelan
menghangatkanku
sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek bajuku.

Sebelum Kausenyapkan warna.

Sebelum Kauoleskan
lipstik terbaik
di bibirku yang mati kata.

Aku lirik mencoba bicara dengan Tuhannya; tentang Tuhannya yang cantik dan telah menciptakan aku lirik sebagai manusia yang cantik. Kata CANTIK mampu dijadikan kekuatan yang mempunyai makna sangat dalam dan prismatic. Aku lirik juga mampu menciptakan dirinya yang lelaki menjadi wanita cantik menyendiri di ruang kecantikan.

Bait dua, aku lirik berharap alisnya ingin bercahaya seperti pemandangan di siang hari alias alisnya ingin selalu hidup dan menarik jika dilihat orang lain atau lawan jenisnya.

Bait ketiga aku lirik juga masih mempunyai keinginan yang sama seperti bait kedua. Itu terlihat ketika aku lirik mengharap CEBURKAN BULAN KE LUBUK MATAKU....Dari situ kita bisa melihat bahwa Penyairnya mencoba menghidupkan kata menjadi makna yang lebar untuk kita renungkan.

Bait keempat, masih dengan bahasa yang sederhana seperti bahasa sehari-hari. Aku lirik menginginkan Tuhan agar menabur HITAM yang kalau saya artikan kemungkinan adalah semir rambut yang hitam agar rambut suramnya bisa berkilau seperti waktu mudanya.

Aspek subjek pelaku seperti penyair, pencetus ide, penguasa, panglima tidak penting. Di balik sebuah karya puisi (sastra) orang tidak menemukan subjek penyair melainkan 'suasana' suatu periode ayat tipe masyarakat tertentu yang dimiliki masalah-masalah tertentu pula. Oleh karena karya puisi (sastra) bukan semata-mata gambaran hidup penyair, melainkan dunia "lain" ciptaan penyair. Seperti halnya pada bait lima, yang mana Penyairnya mencoba mengungkap diri orang lain yang dimasukkan ke dalam dirinya, atau malah dirinya sendiri yang ia ungkapkan untuk orang lain. Hangatkan merah/ pada bibirku yang resah/. Aku lirik mencoba menghidupkan keresahan pada bibirnya yang merah. Nah, dari situlah kekuatan RESAH menjadi hidup dan bermakna prismatis.

Pada bait berikutnya, aku lirik juga masih berharap agar supaya kecantikannya tak mudah hilang seperti pupur (bedak). Memang pupur mudah hilang terkena usapan tangan, air dan sebagainya. Dari ungkapan aku lirik itulah terlihat bahwa ia menginginkan selalu terlihat cantik dan awet muda.

Bait berikutnya juga masih dalam pengharapan untuk bisa menikmati gelora hasrat yang masih tersisa, sebelum kembali pulang ke hadirat-Nya. Dari bait ketujuh ini, kita bisa menarik benang merahnya bahwa makna HASRAT menjadi kekuatan untuk menghangatkan jiwa.

Bait selanjutnya, aku lirik mulai memainkan kata yang indah dan estetik. Coba kita simak metafora-metafora yang ia hadirkan begitu memukau dan mempunyai kekuatan seperti kata / jari-jari waktu/ yang lembut dan nakal/ merobek bajuku. Dari metafora itulah kita bisa menemukan ungkapan yang unik bahwa jari-jari waktu bisa menelikung hati untuk berbuat lembut atau nakal, yang semua itu bisa merobek jiwa raga kita.

Lagi-lagi bait selanjutnya membuat kita tercenung dengan kata / Sebelum Kausenyapkan warna/. Di sini, Penyairnya mengajak kita berselancar memaknai apa yang terkandung dalam kata-kata yang diucapkan. Kausenyapkan warna adalah metafora yang sangat penting dan dalam. Karena di situ Penyairnya mencoba mengatakan SEBELUM KITA TIDAK BISA LAGI MELIHAT WARNA. Sedangkan kata 'warna' itu sendiri mempunyai makna ganda.

Bait berikutnya, adalah kata-kata menegaskan bahwa meski Tuhan sudah mengolesi lipstik terbaik kalau bibir sudah mati kata, maka semua itu tak ada gunanya lagi. Maka dari itu, sebelum maut menjemput oleslah kehidupan dengan lipstik kebaikan bukan lipstik yang palsu.

Salam sastra.
Batu, 2072021



KARYA SASTRA

Karya sastra bukan hanya berimajinasi tapi sebagian besar adalah fakta-fakta yang diamati sang penulisnya. Adapun instrumennya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan melalui bahasa yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan oleh perantaraan pengertian-pengertian ruang, waktu bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, yang nyata menurutnya adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda-benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan pada subjek. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang hukumnya sesuai dengan hukum alam dan ilmu pasti. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat dan kesadaran kita termasuk di dalamnya. Demikianlah karya sastra menampakkan ciri-ciri empiris.

#celotehsastra



MUSIM POLITIK DALAM PUISI PANCAROBA KARYA EKO WINDARTO
Oleh: Indra Intisa (Ompi)


Perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu, maka Jatidirimu akan terungkap tanpa kata-kata. (Jalaluddin Rumi)

***
Akhir-akhir ini, dunia perpolitikan Indonesia lagi panas-panasnya. Dua kubu saling lempar kritik dan sanggahan. Kemudian saling pamer kemampuan dan kelebihan. Hal ini terus membesar karena didengungkan dan diembuskan oleh pendukung kedua kubu. Dari hal-hal yang sifatnya sederhana menjadi lebih luas dan melebar—sampai ke hal-hal berbau pribadi, ujaran kebencian, saling caci, dsb. Kenapa ini bisa terjadi? Kalau menurut Fahri Hamzah, salah seorang politisi dan anggota DPR, saat beropini di ILC tema Cawapres Abdul Somad, bahwa: kejadian ini terjadi karena di Indonesia saat ini hanya muncul dua kubu besar. Coba saja ada pilihan ketiga, tentu bisa menjadi penyeimbang. Katanya pula, saat pilkada DKI kemarin, Indonesia perlu berterima kasih kepada AHY karena ia secara tidak langsung bisa sebagai peredam, penengah—sebagai kubu ketiga. Apakah benar demikian? Tetapi apapun itu, kita tentu sepakat, kalau dunia politik memang penuh carut-marut dan intrik. Saling jegal dan saling tumbal. Kita bisa melihat banyak perubahan terjadi. Kawan jadi lawan dan lawan jadi kawan. Tak ada yang abadi dalam dunia politik. Kalau mengutip kata Joseph Schumpeter, “Ketika politik mengajarkan bahwa tugas politikus sesungguhnya melaksanakan kehendak rakyat. Namun, yang terjadi mereka hanya mementingkan dirinya sendiri.” Siapa yang berhendak sebenarnya? Untung ada penyair-penyair seperti Eko Windarto yang coba memotret dan meluruskan kejadian-kejadian ini—sebab sastra juga bisa sebagai penada sejarah, ia bisa hidup di zamannya sebagai penurut handal. Kalau kata John F. Kennedy, “Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Semoga saja begitu. Lebih berharap lagi kalau kita percaya akan semua itu. Sekalipun penyair juga dicap sebagai pembohong. Lihatlah kejelasan ini dalam Surat Asy-Syu'ara. Kecuali penyair yang membawa kebaikan.

Musim politik—kalau membahas musim, kita teringat akan kejadian-kejadian yang ada di alam, seperti musim hujan, musim panas, musim semi, musim kemarau, musim dingin, musim buah, dsb. Setiap musim ada ciri khasnya, ada waktunya, ada momennya, ada hiruk-pikuknya. Tetapi, tidak akan bertahan lama. Semua berganti dengan baru. Kalau mengutip lirik lagu Noah (Peterpan), “Jiwa yang lama, segera pergi. Bersiaplah para pengganti.” Hanya saja, di dunia perpolitikan, sekalipun mereka paham tak ada yang abadi, mereka tetap seolah-olah buta dan tuli, seakan-akan bisa memiliki selamanya. Bahkan maut jabatan itu seolah tiada—hanya dongeng. Atau memang dongeng, tetapi dipaksa menjadi kisah nyata?

Jabatan Legislatif, DPR, Presiden, Wapres, Menteri, Gubernur, dst., memang jabatan empuk. Banyak pengusaha dan orang kaya (pengusaha) yang ikut dan masuk berkecimpung di dalamnya. Karena kita tahu, modal untuk mendapatkan jabatan tersebut tidak kecil. Belum lagi dibutuhkan dukungan yang besar dari masyarakat dan Parpol. Padahal, kalau kita mau merenung pelan-pelan, para pengusaha tersebut tidak kekurangan apapun. Mereka memiliki gaji dan harta melimpah, dan bisa saja jabatan politik yang sementara itu tidak bisa dibandingkan—hanya seberapa jika dibandingkan dengan penghasilan mereka yang besar. Kenapa tetap mau? Kajiannya luas, bisa saja kehormatan, nama besar, izin perusahan, dsb., dengan bahasan lebih jauh lagi. Belum lagi ada orang-orang biasa yang juga berniat untuk menguji peruntungan. Meminjam uang, dsb. Hingga pada akhirnya mereka kalah dan menimbulkan trauma yang mendalam. Tidak jarang masuk ke rumah sakit jiwa. Padahal kalau mau berlogika dengan santai, uang yang mereka pakai untuk mencalonkan diri tersebut lebih baik dipakai untuk modal usaha. Bisa menghasilkan untung, bukan? Tetapi tidak sesederhana itu. Lebih luas dan rumit. Lebih rumit lagi kalau sudah masuk ke dalam kancah politik tersebut. Bisa semerawut?

Penyair Eko Windarto menggambarkan politik Indonesia sedang lincah-lincahnya. Ia menggambarkan pada sebuah musim yang tidak menentu, musim pancaroba. Kalau menurut bahasa, Pancaroba adalah peralihan musim (ditandai dengan keadaan udara yang tidak menentu, banyak angina besar, dan sebagainya). Bisa pula dikatakan sebagai peralihan musim kemarah dan musim hujan. Tentu saja makna ini secara denotatif. Makna liannya adalah keadaan yang tidak menentu (serba kalut dan sebagainya). Mari kita simak puisinya:

PANCAROBA
Karya: Eko Windarto


di gedung DPR udara panas seperti pancaroba
baju dan celana terbuka
mengintai dari balik jendela
serupa kerbau melihat cacing-cacing raksasa menuju istana
menunggu umpan dari raja-raja berhala
sebelum menjilati benda-benda

Sekarputih, 382017


Selain diksi Pancaroba (pada judul utama), ada beberapa diksi lain yang unik—sebagai simbol utama—kalau dalam puisi disebut sebagai kata konkret—yaitu pada diksi: udara panas, melambangkan situasi yang membara, heboh, ramai, dan sebagainya. Kemudian diksi “baju dan celana terbuka” saling mempermalukan diri sendiri. Ada pula diksi “mengintai dari balik jendala” kenapa tidak dari pintu utama? Biasanya mengintai identic dengan makna tersembunyi, maksud yang tersembunyi, tanpa diketahui. Diambil kata jendela karena kata utamanya adalah rumah. Tentu saja rumah ini adalah rumah politik, DPR dan bangsa. Diksi lainnya adalah “serupa kerbau”, “cacing-cacing raksasa, “umpan raja berhala”, menjilati,”. Hampir semua diksi dalam puisi dibuat padat dan penuh simbol metafor yang gurih. Penyair Eko Windarto memang lincah dan pandai dalam memilih diksi—menggambarkan situsasi politik saat ini.

Terakhir, saya mengutip kata Jalaludin Rumi, “Jika Anda jengkel terhadap setiap gesekan, bagaimana cermin Anda akan dipoles.” Semoga dapat kita renungi.

08 Agustus 2018
Indra Intisa, Penikmat Sastra.



MEMBACA SUNYI Emi Suy Emi
Oleh: Eko Windarto

Membaca pendapat banyak orang tentang hasil karya puisi seorang penyair memang cukup menarik sebab pendapat orang lain berbeda-beda tergantung dari sisi mana menilainya. Semua pembaca berhak berpendapat dan menilai suatu karya puisi menurut kacamata pandangan masing-masing. Juga ketika membaca dan memasuki puisi SUNYI Emi Suy Emi saya berusaha menangkap pahatan yang menyiratkan makna-makna sunyi yang terkandung dalam batang tubuh puisi sunyi yang tercurah bagai malam nglangut sangat sunyi sekali bagai musim hujan menyirami ladang-ladang dingin, sejuk dan menyegarkan.

Setelah membaca puisi SUNYI Emi Suy Emi saya merasa memasuki kekuatan sunyi, ilusi, dan imajinasi yang menakjubkan seperti menggelantung di pelabuhan sunyi. Bagai orang yang sedang mendengar gaung suaranya dan merasakan relung hatinya paling dalam. Sepotong puisi bisa menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan hidup yang lebih luhur yang merupakan aplikasi bayang-bayang dari kemuliaan Allah. Coba kita simak puisi SUNYI yang begitu indah diksi-diksinya, maupun metafora-metaforanya.

SUNYI
Oleh: Emi Suy Emi


daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang

dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh

diam mematung
rindu terhuyung
lesap ditelan senyap
lelap di peluk harap

mengecup keluh di kening pilu
kenangan berserak
kata berarak
sunyi pun beranak pinak


Emi Suy Emi mencoba apa yang ia lihat seperti melihat dirinya sendiri seperti penggalan pada bait pertama /daun-daun duduk/ ketika melihat daun-daun berserakan di atas bangku, dia seperti merasakan sedang duduk sendiri tanpa ada teman atau saudaranya. Bahkan dia merasa sepi sunyi seperti daun-daun kering /mengemas suntuk/ di bangku panjang/ mengeja sunyi yang lapang/. Dia merasakan begitu panjang hatinya mengeja sunyi dalam jiwanya yang paling suntuk dan sunyi menanti datangnya bunyi gemerincing angin yang sejuk. Ternyata Emi Suy Emi bisa merangkum dan merasakan sunyi yang begitu menggetarkan, menggoda jiwa kepekaannya. Luar binasa eh luar biasa.

Lagi-lagi sang penyair memperlihatkan kepiawaiannya dalam marangkum diksi dan merawat metafora yang terlihat seksi di bait dua /dua batang pohon tergeletak/ saksi percakapan yang retak/. Dari situ dia mencoba dan merasakan ada suatu percakapan yang dia rekam melalui rasa dan mata batinnya yang tajam seperti kamera tersembunyi saja. Sang penyair juga tak luput menyaring kesiur angin yang begitu sejuk merasuk dalam jiwanya yang paling dingin untuk dapat menangkap sesuatu yang tertoreh seperti dalam baris ini /angin menoleh/ dingin menoreh. Sesuatu pengamatan yang dirasakan oleh Emi Suy Emi sendiri.

Setelah bisa merasakan angin dan menangkap percakapan yang retak dia kembali tertegun melihat sesuatu yang terhuyung sebelum hilang atau menelusup di antara harapan yang tidak bisa kita tebak dengan pasti karena hanya Allah dan dia saja yang paling tahu harapan sebenarnya. Coba kita renangi dan renungkan bait ke tiga ini /diam mematung/ rindu terhuyung/ lesap ditelan senyap/lelap di peluk harap/. Dalam bait tiga ini sang penyair betul-betul sendiri sunyi hingga dia diam mematung melihat atau merasakan rindu terhuyung penuh harap. Entah apa yang sebenarnya dia harapkan dari diamnya.

Di bait empat pun sang penyair masih dalam kumparan sunyi yang mengasyikkan. Dia mencoba membuka kenangan lewat kesunyiannya sendiri yang beranak pinak. Tidak seperti sunyi sebuah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang tidak dimanfaatkan dengan baik.

Batu Sekarputih, 1192017



IMAJINASI DAN METAFORA DALAM PUISI
Oleh: Eko Windarto


Membaca sebuah puisi seakan kita dibawa menyelami wisata lautan aksara. Banyak orang setelah membaca puisi berusaha menangkap maknanya. Bagi seorang penyair, menulis puisi karena tergoda keadaan dan alam sekelilingnya, yang jelas ia mempunyai tujuan. Sebuah puisi bisa menjadi batu loncatan mencapai tujuan hidup dari kebesaran Allah. Tak kalah penting gaung suaranya menggema mengisi hati yang sudah ditetapkanNya.

Imajinasi dan metafora dalam puisi CANGKANG TELUR penuh dengan penggambaran simbolis alam, keadaan sekeliling, juga dramatisi jiwa yang begitu kental kearah religi secara dalam dan seimbang. Memang, dalam menangkap makna yang terkandung dalam sepotong puisi butuh kearifan dan pengertian menangkap mata batin sang penyair. Setiap apresiasi dan pendapat orang dengan orang lainnya pasti berbeda, bahkan bisa kontradiksi. Semua itu akibat puisi prismatis. Bisa mengapung dan melebar. Coba kita berwisata dalam puisi Edy Witanto di bawah ini.

CANGKRANG TELUR
Oleh: Edy Witanto


ketika ayat-ayat Tuhan kehilangan wilayah
kelopak mata mengarah pesona dunia
suhu bumi perlahan panas marah membara
kutub utara menangis luruhkan air mata

polusi ber mega-mega naik keangkasa
rambut hutan berubah merah saga
bedak bumi menambah debit air samudera
perubahan memancing perubahan selanjutnya

angin identik sifat wanita
sulit ditebak, senyumnya disebelah mana?
kadang terkurung cangkang telur buaya
terkadang renyah diantara pematang sawah

sedikit wajah berubah, debur hati ombak samudra
perubahan arah tak bisa diprediksi sebesar apa
melemparkan tsunami ke tiap-tiap negara
menelan apapun yang berlayar ke dasar marahnya

gunung sang ksatria perkasa
diikat rantai sejuta hasta
kemarahan silembut manja
membuat matahari terperangah

Edy malang, 051712

Pada baris pertama kita telah disuguhi /ketika ayat-ayat Tuhan kehilangan wilayah/. Jelas sekali bahwa sang penyair melihat ketimpangan atau ke tak seimbangan hidup. Yang mana banyak orang telah meninggalkan membaca Al quran dan meninggalkanNya demi mengejar dunia semata. Akhirnya mereka terjebak harta dan kekuasaan tanpa peduli bahwa bumi akan murka melebihi murka mereka yang rakus alias kedoyan seperti yang tergambar dalam baris /kelopak mata mengarah pesona dunia/suhu bumi perlahan panas marah membara/. Betul-betul perekaman yang dalam.

Lagi-lagi dalam pengamatannya, mencoba keadaan sekelilingnya yang tersirat di bait dua /polusi bermega-mega naik ke angkasa/. Sang penyair mencoba menjelaskan lewat bahasa, bahwa udara dan keadaan sekeliling kita sudah sangat berpolusi. Seperti asap kendaraan, asap pabrik, asap pembakaran hutan, hingga bisa mengakibatkan penyakit, banjir, sunami, gempa, hujan sangat deras yang tak henti-henti, juga cuaca tak menentu seperti di baris ini / rambut hutan berubah merah saga/ bedak bumi menambah debit air samudera/ perubahan memancing perubahan selanjutnya/. Jelas sekali kita dihadapkan perubahan iklim yang tidak menentu oleh kelakuan kita sendiri.

Maka angin pun ikut marah melihat perbuatan manusia yang terlukis di bait tiga ini /angin identik sifat wanita/ sulit ditebak, senyumnya di sebelah mana?/ Memang cuaca dan angin sekarang sulit ditebak seperti sifat wanita yang juga sulit ditangkap dan ditebak. /kadang terkurung cangkang telur buaya/ terkadang renyah di antara pematang sawah/. Ya, angin kadang semilir kecil, kadang tanpa bisa diprediksi menjadi besar menimbulkan petaka bagi banyak manusia.

Wajah bumi semakin hari semakin berubah wajah. Padahal berubah sedikit saja sudah bisa menimbulkan bermacam-macam kejadian yang membuat banyak orang dilanda kesusahan seperti pada baris ini/ sedikit wajah berubah, debur hati ombak samudera/ perubahan arah tak bisa diprediksi/ sebesar apa/ sebuah pertanyaan yang mengambang dan patut kita renungkan sebab akibatnya kejadian di alam semesta ini. /melemparkan tsunami ke tiap-tiap negara/menelan apapun yang berlayar ke dasar/ marahnya.
Jelas bait ini memberi pencerahan dan masukan yang seimbang untuk kita renungkan.

Melihat kemarahan alam semesta, terutama angin yang begitu dahsyat, gunung dan matahari pun tak bisa berbuat apa-apa kecuali terperangah alias dlomong saking tertegunnya melihat angin yang mengamuk seperti pesan pada bait terakhir ini,/gunung sang ksatria perkasa/ diikat rantai sejuta hasta/ kemarahan silembut manja/ membuat matahari terperangah/. Bukan main amuk angin . Begitu perkasa dan berdampak sangat menakutkan. Semoga apresiasi ini bermanfaat. Amin.

Batu,17122017



MENELUSURI PUISI Siti Sundari
Oleh: Eko Windarto


Mengungkap puisi-puisi wanita masa lalu dan masa kini agar jelas citra wanita yang merasa ditekan tradisi adalah mengungkap dominasi budaya patriarkal yang harus terungkap secara jelas dalam telaah, analisis atau mengkaji dari aspek ginokritik, yakni memahami bagaimana proses kreatif kaum feminis dan romantis. Apakah penulis wanita memiliki kekhasan dalam gaya dan ekspresi atau tidak.

Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek ketertindasan wanita atas diri pria. Mengapa wanita secara politis terkena dampak patriarkhi, sehingga meletakkan wanita pada posisi inferior. Strereotip bahwa wanita hanyalah pendamping laki-laki, akan menjadi tumpuan kajian feminisme. Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah wanita menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidak adilan gender. Jika dianggap perlu, analisis ini harus sampai pada radikalisme perempuan dalam memperjuangkan persamaan hak. Oleh sebab itu, karya sastra telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Paham tentang wanita sebagai orang lemah lembut selalu mewarnai sastra kita, terutama puisi yang sekarang lagi meluber di dunia cyber seperti puisi Siti Sundari di bawah ini.

ENGKAULAH JAWAB ATAS TANYAKU
Oleh: Siti Sundari


ketika kau bertanya tentang embun
jawabku :
engkaulah embun
yang menetes dari pucukpucuk fajar
jatuh di dadaku
mengaliri setiap nadi
menyegarkan jiwa
untuk mengarungi hari

ketika kau bertanya tentang peluh
jawabku :
engkaulah matahari
yang membuatku berpeluh
membajak siang dengan berlelah
untuk menyalakan tungku
guna menjerang air
dan menanak nasi kehidupan

ketika kau bertanya tentang jingga
jawabku :
engkaulah senja yang merona
di ufuk jiwa
menyulutkan agni alit
menghangatkan raga
berkasnya memijiti sukma
mengalirkan ludira penjelajahanku

ketika kau bertanya tentang temaram
jawabku :
engkau adalah malam
yang akan selalu `ku arungi
dalam alun gelombang yang meriak
di atas hamparan beludru kesyahduan
menjulangkan hasrat purba
atas penyatuan yin dan yang
ketika kau bertanya tentang …..
jawabku :
…...
malampun membisu
diam
hening

SS - February 11, 2019


Sampai sekarang, pemahaman tentang terjadinya hegemoni pria terhadap wanita sulit untuk dihilangkan. Hampir seluruh karya sastra terutama puisi yang ditulis oleh penyair pria mau pun wanita, selalu lebih kuat didominasi pria. Figur pria terus menjadi kekuatan tersendiri, sehingga mengasumsikan wanita sebagai impian semata. Wanita selalu sebagai the second sex, warga kelas dua dan tersubordinasi. Atas dasar itu, penelaah ditantang untuk menggali lebih jauh konstruksi gender dalam puisi Siti Sundari yang mencoba mengungkapkan rasa atau hatinya yang gundah gulana. Penelaah juga perlu menjelaskan, bahwa penulis wanita bisa menjadi bahan pertimbangan penting dalam berbagai genre sastra. Oleh sebab itu, penulis wanita jangan dipandang sebelah mata, karena ia telah membuktikan dengan puisinya yang akan kita telusuri maknanya.

Sebagai manusia, Siti Sundari juga mempunyai keinginan-keinginan, ide, pesan, hasrat, gagasan, atau saran-saran untuk menyampaikan sesuatu kepada masyarakat sekelilingnya. Dalam interaksi dengan berbagai lingkungan, baik lingkungan masyarakat kecil mau pun lingkungan masyarakat luas termasuk interaksi antara dunia dalam dirinya dengan dunia di luar dirinya. Ia banyak menangkap momentum peristiwa dalam pengembaraannya. Hal-hal yang ditangkap ini kadang-kadang merupakan kesan yang menyenangkan, kadang-kadang pula merupakan problem yang harus direspon, atau pun pengalaman batiniah yang perlu disimak isinya seperti pada bait ini / ketika kau bertanya tentang embun/ jawabku: /engkaulah embun/ yang menetes dari pucukpucuk fajar/ jatuh di dadaku/ mengaliri setiap nadi/ menyegarkan jiwa/ untuk mengarungi hari/. Dari bait ini, rupanya ia menitik beratkan pada diksi EMBUN, yang mana ketika lawan bicaranya bertanya tentang embun pagi, ia juga menjawab / engkaulah embun/. Jika kita telisik kata EMBUN, maka bisa diartikan kesejukan, bisa juga diartikan beraneka makna tersurat mau pun tersirat, karena embun itu sendiri mengandung berbagai partikel yang sulit untuk dihitung. Oleh sebab itu, makna embun mempunyai berbagai makna ilmu pengetahuan dan makna menyejukan yang /mengaliri setiap nadi/. Kata EMBUN juga mempunyai makna kuat dalam / menyegarkan jiwa/ untuk mengarungi hari/. Jelas sekali bahwa makna EMBUN adalah kunci keberhasilan sang penyair mengungkapkan perasaan hatinya.

Pada bait kedua, ia berusaha mengutarakan perasaannya lewat kata-kata yang lembut. Sebab hanya dengan bahasa ia bisa menangkap maksud dan perasaan orang lain atau lawan jenisnya, tapi juga dengan bahasa ia juga dapat mengutarakan pendapatnya seperti baris berikut ini, / ketika kau bertanya tentang peluh/ jawabku:/ engkaulah matahari/ yang membuatku berpeluh/ membajak siang dengan berlelah/ untuk menyalakan tungku/ guna menjerang nasi kehidupan/. Kembali kita diajak berselancar mengarungi sebuah dialog seorang wanita dengan seseorang atau malah dengan suaminya sendiri. Yang mana ia menjawab pada seseorang sebagai berikut ini / ketika kau bertanya tentang peluh/ jawabku:/ engkaulah matahari/. Ia berusaha melukiskan seorang lelaki yang bisa membuat seorang wanita merasa puas karena kerja keras untuk memuaskan istrinya hingga ia berpeluh, dan lelaki jantan pekerja keras demi mempertahankan kehidupan keluarganya. Dan itu, sangat terlihat pada baris ini / yang membuatku berpeluh/ membajak siang dengan lelah/ untuk menyalakan tungku/ guna menjerang air/ dan menanak nasi kehidupan/. Lelaki yang ia gambarkan begitu terlihat sempurna. Mungkin juga menggambarkan seorang lelaki idaman para wanita atau para istri.

Ya ya ya, kata-kata merupakan alat yang paling komunikatif bagi penyair untuk mencatatkan getaran pikiran dan gejolak perasaannya. Karena itu bagaimanapun seorang penyair harus menguasai tata bahasa secara baik sebab jika tidak, ia akan mengalami kesulitan menerjemahkan penghayatannya/ pengalamannya setepat mungkin melalui kata-kata untuk mencapai maksudnya yang sebenarnya. Oleh karena itu, mari kita telusuri bait ketiga ini /ketika kau bertanya tentang jingga/ jawabku:/ engkaulah senja yang merona/ di ufuk jiwa/. Lagi-lagi baris pertamanya mengulang PERTANYAAN, yang bertanyaan itu sebagai simbol untuk menguatkan apa yang mau ia ungkapkan. Ia juga menggambarkan/ engkaulah senja yang merona/ di ufuk jiwa/. Dari situlah kita bisa menangkap seseorang yang sudah senja atau berumur yang tetap bersemangat menyusuri kehidupan. Ia juga melukiskan api kecil melalui metafor AGNI ALIT, yang berarti seorang yang telah berumur tapi masih mempunyai keinginan keras untuk membahagiakan orang lain atau istrinya sendiri. Dan itu juga terlihat jelas pada baris berikutnya / menghangatkan raga/ berkasnya memijit sukma/. Ia begitu terlihat masih bisa merasakan kehangatan seorang suaminya walau hanya sekecil api kehangatan. Hingga ia merasakan kehangatan itu menembus dan / mengaliri ludira penjelajahanku/.

Dengan bahasa, Siti Sundari akan mudah menyairkan kehidupan, baik kehidupan lahir mau pun kehidupan batin lewat persentuhannya yang luluh dengan dunia luarnya. Dengan bahasa pula ia menggerakkan hatinya menulis pergolakan batinnya lewat baris berikut ini, / ketika kau bertanya tentang temaram/ jawabku:/ engkau adalah malam/ yang selalu ku arungi/ dalam alun gelombang yang meriak/ di atas hamparan beludru kesyahduan/ menjulang hasrat purba/ atas penyatuan yin dan yang/. Dari situlah bisa kita lihat bahwa dialognya dengan seseorang yang bukan lain adalah suaminya sendiri begitu intens dalam keadaan hidup yang penuh lika-liku, dan itu terlihat pada metafora TEMARAM dan MALAM. Coba kita baca lagi baris ini, / ketika kau bertanya tentang temaram/ jawabku:/ engkau adalah malam/ yang akan selalu ku arungi/ dalam alunan gelombang yang meriak/. Nah, dari situlah bisa kita rasa gejolak hatinya bisa menerima untuk berjuang bersama mengarungi kehidupan yang penuh gelombang. Dengan pengalaman kehidupan yang pahit dan keras ia berusaha menyeimbangkan dengan mendekatkan diri pada Sang Khaliq lewat doa-doa yang ihklas berpasrah diri, dan itu terlihat pada beris berikutnya ini, / di atas hamparan beludru kesyahduan/ menjulang hasrat purba/. Lewat filosofis cina seperti / atas penyatuan yin dan yang/ ia mencoba memperlihatkan keseimbangan dalam kehidupannya biar bisa mencapai habluminallah habluminanas.

Bahasa, bagi seorang penyair adalah miliknya paling berharga. Itu terbukti bahwa dengan bahasa ia bisa menyanyikan perasaannya atau pengembaraan angan-angannya seperti pada bait kelima ini, / ketika kau bertanya tentang..../ jawabku:/ ....../ yang mengundang tanya bagi penelaah dan pembaca tentunya. Hanya penyairnya sendiri yang tahu tanda titik-titik itu. Mungkin juga itu sebagai tanda keheningan dalam perenungan seperti bait berikutnya, / malampun membisu/ diam/ hening/. Mungkin juga itu tanda kepasrahannya yang begitu khusuk pada Yang Maha Hening. Betul-betul pergolakkan batin atas ungkapan hati yang begitu simpel dan memukau. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa bahasa bagi penyair seumpama sayap bagi seekor kupu-kupu. Tanpa bahasa penyair tak bisa berbuat apa-apa.

Sekarputih, 1322019



REPRESENTASI “ALAM” DALAM SAJAK EKO WINDARTO: PERSPEKTIF EKOKRITIK
Oleh: Agung Pranoto


Lingkungan sekitar merupakan objek yang tidak habis-habisnya digali oleh penyair (sastrawan) sebagai bahan penulisan puisi (karya sastra). Karya sastra memang cerminan dari fenomena yang terjadi di sekitar sastrawan. Hal ini seiring dengan paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Keterkaitan antara karya sastra dengan kenyataan sering dengan pandangan Plato melalui teori mimetic, yakni “karya seni dan sastra hanya tiruan dari kenyataan”. Jika karya sastra hanya merupakan tiruan maka nilainya cenderung lebih rendah daripada kenyataan itu sendiri. Apa yang digagas Plato tampaknya dibantah oleh Aristoteles bahwa “Mimesis pada seniman tidak semata-mata menjiplak, melainkan sebuah proses kreatif”. Gagasan Aristoteles itu tentu logis karena di dalam penciptaan seni (sastra) ada kreativitas berupa pengolahan baru seiring dengan imajinasi seniman.

Dalam perkembangan teori sastra mutakhir, era posstrukturalisme di antaranya adalah hadirnya teori ekologi yang digabung dengan teori sastra, yang orang menyebutnya dengan istilah ekologi sastra. Di dalam teori ekologi sastra, penciptaan karya sastra yang merambah pada hubungan manusia dengan lingkungan hidup: tumbuhan, hewan, laut, dan sejenisnya kini menjadi salah satu perhatian menarik. Greg Garrard (2004) misalnya menyatakan bahwa ekokritisisme (ekologi sastra) mengeksplorasi tentang gambaran hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya

Ekokritisisme terinspirasi dari gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: pencemaran, hutan belantara, bencana, perumahan/tempat tinggal, binatang, dan bumi (Fatchul Mu’in, 2013).

Ekokritisisme sebagai kajian tentang hubungan antara karya sastra dan lingkungan fisik (Glotfelty, dalam Greg Garrard (2004), secara ekplisit disampaikan dengan menggunakan sejumlah persoalan dalam puisi seperti representasi alam dalam puisi, nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi dilihat dari konsistensi dengan kearifan ekologis (ecological wisdom), metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya, karakterisasi tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra) cara-cara apa dan pada efek apa kritis lingkungan memasuki sastra. Di samping itu, pertanyaan-pertanyaan yang mempertimbangkan hubungan antara alam dan sastra (Fatchul Mu’in, 2013).

Alam menurut paradigma teori ekologi telah menjadi bagian dari sastra. Hal ini ditunjukkan dengan sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi hutan, laut, pohon, dan lain-lain dalam karya mereka. Namun seiring perkembangan, sastra telah banyak mengalami perubahan, begitu juga alam. Antara sastra dengan alam seakan dua sisi mata uanga yang tak terpisahkan; atau seakan berjalan beriringan. Sastra membutuhkan alam sebagai inspirasinya, sedang alam membutuhkan sastra sebagai alat konservasinya (Fatchul Mu’in, 2013).

Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm (1996) memaparkan gagasan tentang ecocriticism atau ekokritik, lewat eseinya yang berjudul “The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology”. Mereka berkeinginan kuat untuk mengaplikasikan konsep ekologi ke dalam sastra. Pendekatannya dilakukan dengan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya.

Menurut sejarahnya, ekokritisisme muncul di Amerika Serikat pada akhir 1980-an dan di Inggris pada awal 1990-an, dan masih ada suatu gerakan yang perlu dicatat. Selain itu, Glotfelty yang juga salah satu pendiri The Association for the Study of Literature and Environment (ASLE), menerbitkan Jurnal ISLE (Interdisciplinary Studies in Literature and Environment) pada 1993 sebagai upaya untuk mengkampanyekan gerakan itu. Namun, ekokritisisme ini berbeda bentuk pendekatannya dengan kritik-kritik yang muncul sebelumnya; ekokritisisme dikenal secara luas sebagai serangkaian asumsi, doktrin, atau prosedur yang tampaknya muncul dalam batas-batas akademis (Fatchul Mu’in, 2013). Itulah sebabnya mengapa ekokritisisme tampak menjadi gerakan terkuat di universitas-universitas di Wilayah Barat Amerika Serikat, keluar dari kota-kota besar, dan dari pusat-pusat kekuatan akademis di Wilayah Pantai Timur dan Barat (Barry, 2002).

Dalam tulisan ini, dicoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan ekokritisime dalam sastra. Perhatikan puisi Eko Windarto yang berjudul “Sepucuk Padi Mendaki Warna Kuning” berikut.

SEPUCUK PADI MENDAKI WARNA KUNING

bergumul di tengah rimbun kuning padi
kicau burung burung seperti seruling pagi
menanti senja melingkari sepi
sepoi angin bertiup menjaga siang mendaki
sementara jiwa jiwa anak gembala meneriaki
padi yang belum terbeli
ketika aku melingkari ladang jagung
kutemukan daun ketela menjalar di sisi pematang
menawarkan tekstur hijau daun pada hati yang petang
sambil merumuskan hatiku yang sedang melupakan
rembang petang
sepucuk padi mendaki warna kuning

Sekarputih, 2022017


Pembacaan sekilas atas puisi Eko Windarto tersebut, dapat kita catat adanya penggunaan diksi: padi, rimbun kuning padi, kicau burung, sepoi angin, ladang jagung, dan daun ketela. Penggunaan diksi tersebut merupakan bukti keterlibatan penyair dengan lingkungan alam. Diksi lingkungan alam tersebut oleh penyair sebagai sarana atau bentuk pengucapan (ekspresi)

ide/gagasan ke dalam karya sastra berupa puisi. Dari sini jelas bahwa alam telah direpresentasikan Eko Windarto ke dalam puisi.

Selanjutnya, nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi Eko Windarto dilihat dari konsistensi dengan kearifan ekologis (ecological wisdom) dapat dipaparkan sebagai berikut. Pada bait ke-1 puisi tersebut dapat kita maknai bahwa ada nilai-nilai yang diungkapkan penyair yang dihubungan dengan kearifan ekologis bahwa petani senantiasa memanfaatkan sebaik-baiknya tanah sawah untuk ditanami padi hingga padi itu tumbuh subur (rimbun) membuahkan padi yang menua (menguning). Hal ini terwakili dalam baris 1 (bait 1): “bergumul di tengah rimbun kuning padi”. Kata “rimbun” menandakan bahwa tanaman padi tampak subur sebagai tanda bahwa tanaman tersebut dipupuk dengan baik. Peristiwa pemupukan itu sebagai bentuk keseriusan petani yang dalam hal ini dapat dibaca sebagai kearifan ekologis. Selanjutnya kata “menguning” menandakan bahwa praktik kearifan ekologis itu membuahkan hasil yang sesuai dengan keinginan, tentu ini sangat melegakan bahwa petani akan menyongsong panen tiba.

Pada baris 2 (bait 1) tertulis “kicau burung burung seperti seruling pagi”, dapat kita pahami bahwa kehadiran burung yang berkicau di rerimbunan padi sebagai bukti bahwa kearifan ekologis yang ada yakni harapan adanya tanaman padi telah memasuki masa tua dan tak lama lagi bisa segera dipanen. Burung memang termasuk salah satu musuh petani padi. Burung dalam kelangsungan hidupnya membutuhkan makanan berupa biji padi. Oleh karena itu, burung yang memakan padi itu bukti adanya keinginan untuk mempertahankan hidupnya.

Pada baris 1 dan 2 (bait 2), penyair Eko Windarto menulis: “ketika aku melingkari ladang jagung /kutemukan daun ketela menjalar di sisi pematang”. Dari data tersebut, menyiratkan adanya konsistensi kearifan ekologis, yakni area persawahan dan sekitarnya telah dimanfaatkan sebaik-baiknya, yakni ditanami tanaman yang memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Kehadiran tanaman jagung dan juga tanaman ketela yang menjalar bukti adanya pemaksimalan ladang di sekitar area persawahan. Kearifan ekologis itu direpresentasikan dengan tidak diinginkannya ada tanah/pematang yang tidak tertanami. Artinya bahwa lahan kosong dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk perolehan hasil bumi.

Pada tataran ini, tampak jelas bahwa masih terkait dengan baris 1 dan 2 (bait 2), tidak terbantahkan lagi tentang adanya perlakuan petani untuk memanfaatkan metafor-metafor tentang daratan. Pematang yang posisinya lebih tinggi dari sawah mempengaruhi pola piker manusia untuk dimaksimalkan dengan menghadirkan tanaman-tanaman yang tidak terlalu suka dengan genangan air. Jagung dan ketela rambat sangat cocok jika ditanam di area pematang.

Dengan telaah tersebut, alhasil, penyair Eko Windarto telah menunjukkan adanya penulisan puisi yang mengarah pada karakterisasi tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra). Puisi Eko Windarto hanyalah salah satu contoh apa yang dimaui oleh teori ekokritik, yakni alam sebagai objek dalam penggarapan puisi (sastra).

Bila kita mencermati puisi Eko Windarto yang berjudul “Sepucuk Padi Mendaki Warna Kuning”secara utuh memang terjadi kontradiksi antara harapan dengan kenyataan. Harapan petani tentang tanaman padinya menghasilkan panen yang baik, namun kenyataannya panenan yang memuaskan itu masih menimbulkan gura-gurat kening petani karena padinya belum terjual. Hal ini tampak pada baris “sementara jiwa jiwa anak gembala meneriaki

padi yang belum terbeli” dan “menawarkan tekstur hijau daun pada hati yang petang”. Frase “padi yang belum terbeli” secara denotatif menyuratkan makna yang mudah kita pahami. Sedangkan frase “hati yang petang” secara kias menunjukkan kepada kesedihan karena padi hasil panen belum laku. Kata ‘petang’ secara semantic berarti gelap, dan secara kontekstual sebagai symbol kekurangsenangan.

Demikian telaah tentang “alam” dalam puisi Eko Windarto dari perspektif ekokritik. Semoga telaah singkat ini bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, 21 Februari 2017
Salam Sastra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar