RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 14 April 2022

KUMPULAN ESAI EKO WINDARTO



Saya posting lagi esai ini untuk mengenang bulan JUNI sekaligus untuk mendoakan bapak Sapardi Djoko Damono yang sedang terbaring sakit. Semoga beliau lekas sembuh. Amin.

KETIKA PENYAIR MENYAPA KHALAYAK DENGAN PUISI-PUISI HUJAN
Oleh : Achnas J. Emte (Achmad Nasihi MT)

John Barr sebagaimana dikutif Denny JA dalam buku “Puisi Esai, Kemungkinan Baru Puisi Indonesia” mengatakan kegelisahannya bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Selama puluhan tahun puisi mengalami stagnasi. Publik semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair seolah menjadi menara gading yang asyik masyuk dengan imajinasinya sendiri atau hanya merespon penyair lain Pernyataan ini, tentu bukan lontaran imajis, tapi teori sintesis yang segera menemukan faktanya dimana puisi seolah sedang “tiarap” di gelanggang seni bahkan dalam pergulatan kehidupan pada umumnya. Di surat kabar pun misalnya, rubrik puisi semakin tergerus. Koran nasional seperti Kompas, Republika dan yang lainnya cenderung “mendeletenya”dari setiap lembar yang disuguhkan ke pembaca.
Pertanyaannya adalah, apakah di era cyber nasib puisi masih tetap mengalami malaise seperti sinyalemen John Barr ? saya akan cenderung menjawab apologis-futuristik bahwa untuk saat ini kegelisahan itu harus diakhiri karena cybersastra secara digital telah memberikan ruang yang memadai untuk menghidupkan ruh puisi dan kemudian berkelindan di tengah halayak. Dalam cyberspace, puisi tidak hanya bisa bernapas untuk menyambung hidup tapi ia akan menemukan alat pemantik yang bisa menyalakan imajinasi penyair secara spontan dan tanpa batas. Betapapun ruang-ruang sastra lebih banyak dijejali para penyair pemula tapi banyak tersemai puisi-puisi berkualitas yang tidak sekedar “terbit” tapi banyak yang tercipta sebagai respon terhadap situasi dan kondisi. Sehingga ada optimisme yang tiba-tiba menyeruak bahwa puisi melalui cyberspace tidak hanya akan menebarkan cita rasa bahasa yang beraksesntuasi keindahan, imajinatif dan kontemplatif tapi juga memberikan respon terhadap situasi bahkan gejolak yang terjadi di sekitarnya secara logis, objektif bahkan bisa memenuhi sebagian besar kaidah-kaidah saintifik sebagai kecenderungan pola pikir masyarakat modern.
Nampaknya kegelisahan John Barr akan menemukan bangsal penenang dalam geliat sastra cyber bahwa sebentar lagi Puisi akan berkohesi dengan publik. Puisi mulai banyak diselami khalayak sementara ia terus mengalir di setiap pembuluh-pembuluh digital dan dinikmati para nitizen setiap saat. Silaturahim puisi dengan khalayak dan alam semakin erat tanpa bisa dibatasi spektrum apapun. Kenyataan ini dapat kita lihat di facebook, puisi-puisi yang diunggah oleh para “penyair” meski lebih banyak sebagai ruang “curhat” sebagian besar lainnya adalah respon terhadap situasi dan kondisi yang melingkupinya. Misal, dalam bulan Desember yang identik dengan musim hujan, banyak penyair yang mengunggah puisi dengan tema hujan, tentu saja dengan berbagai sudut pandang. Semakin banyak puisi yang diamati semakin banyak anasir-anasir hujan yang terdeksi baik dalam makna heuristik maupun hermeunetik. Saya sebut sebagai anasir hujan karena pemaknaannya beragam baik dalam bentuk semiotika, metafora maupun personifikasi hujan yang begitu luas. Bahkan secara radikal saya ingin mengatakan kebanyakan puisi yang tumbuh selalu berakar pada fakta sebagaimana ayat-ayat Al Quran yang diwahyukan pasti serangkai dengan asbabun nuzulnya. Demikian juga pada sisi yang lain, bahwa baik Al Quran maupun puisi secara anatomis banyak terbentuk dari kata kiasan dan anasir-anasir yang perlu didalami teks dan kontekstualnya.
Saya menemukan begitu banyak puisi di cyberspace yang bertemakan hujan baik puisi lama maupun puisi yang baru upload di internet maupun facebook. Diantaranya tentu “Hujan di Bulan Juni” Karya Sang Maestro, Sapardi Djoko Damono yang secara kreatif menyembulkan majas personifikasi hujan yang tidak sekedar sesuatu yang bernyawa tapi juga memberikan pesan kehidupan yang sarat makna.
Agar penelaahan lebih mendalam, berikut ditampilkan teks puisinya secara utuh :

HUJAN BULAN JUNI


Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni,
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(1989)


Ketika pertama mengkaji puisi Hujan Bulan Juni saya menangkap adanya “pemberontakan sunatullah” yang tidak hanya melahirkan makna-makna prismatik, juga memberikan anasir bahwa hujan memiliki kelaziman waktu untuk turun yang disebut musim, di luar musimnya ia tidak akan turun. Sebut saja prase hujan bulan juni, hubungan antara kata hujan dan bulan juni tentu bukan sesuatu yang linier karena dalam kajian meteorologis hampir tidak mungkin terjadi hujan pada bulan Juni yang identik dengan musim kemarau. Tapi keganjilan ini justru menjadi magis sehingga puisi ini secara tematik sangat “digdaya” untuk merebut respon pembaca. Saya menyebutnya sebagai “kelainan berhypnosis” sehingga pembaca akan semakin hanyut untuk memaknai kata demi kata agar ditemukan makna yang seutuhnya.

Pada setiap bait puisi ini, Sapardi Djoko Damono sebenarnya tidak sedang mengartikan Hujan tapi menyelami perasaan seseorang dalam metafora hujan yang tidak mungkin jatuh di bulan Juni untuk bisa menyegarkan bunga-bunga yang layu. Pada bait : / dirahasiakannya rintik rindunya/ kepada pohon berbunga itu/, sebuah penegasan bahwa betapa ia ingin memberikan yang terbaika kepada seseorang yang dicintainya tapi ia harus ikhlas menerima keadaan tidak bisa memberikannya Ia menyadari itu sebagai sesuatu yang mustahil seperti ketidakmungkinan hujan yang jatuh di bulan Juni. Sapardi nampaknya memahami benar suasana psikologis khalayak yang mendambakan sentuhan berbeda dari puisi, melalui penyimpangan prase hujan di bulan Juni, ia berhasil menghenyakkan pikiran dan perasaan khalayak sehingga secara kolosal dan spontan merespon sapaan puisinya. Khalayak pun semakin hanyut dalam puisinya ketika secara paradoksal ia berhasil “memanusiakan hujan” sehingga seolah-olah puisi berdialog secara setara dengan pembaca bahkan memberikan pesan-pesan kehidupan.

Jika Sapardi membuka dialog puisinya dengan khalayak melalui “kelainan frase”, Indra Intisa punya cara berbeda untuk mengajak publik terbang bersama imajinasi puisi hujan berikut ini :

KETIKA HUJAN

/1/
hujan yang jatuh
menanjak-nanjak jejak yang kering
air mengalir ke sela-sela langkah
yang lama pupus
yang lama diam
yang lama tinggal
dan kita tiba-tiba kembali
berjalan melihat jejak ibu-bapak
mengajari kita bermain layang-layang
tak ada kata menyerah
saat kita terjatuh
saat kita menangis
saat kita egois
saat kita teriris
menjadi luka
yang ditambalnya dengan kasih sayang
lautan garam tercipta
dan kita terus berlayar
ke dunia luas tanpa batas
melalui angin yang dikirimnya
menyejukkan hati
tanpa badai sedikit pun.

/2/
ketika hujan jatuh
kau boleh luluh
dengan sungguh
dan ruh telah terbasuh
dari kumuh yang meneluh
yang buat rubuh

Puisi ini dalam tinjauan semiotik sebenarnya tidak banyak mengumbar tanda yang merujuk pada definisi atau makna hujan yang denotatif, tapi diksi-diksi yang menyertainya memberikan kontribusi makna-makna yang terpendam yang ketika diungkap akan mncipta polarisasi makna yang sangat prismatik. Pada setengah bait di bait pertama: /hujan yang jatuh/menanjak-nanjak jejak yang kering/air mengalir ke sela-sela langkah/yang lama pupus/yang lama diam/yang lama tinggal/dan kita tiba-tiba kembali/berjalan melihat jejak ibu-bapak/mengajari kita bermain layang-layang, penyair memberikan satu tanda makna hujan sebagai penomena yang dapat mengundang kenangan sehingga semua jejak masa lalu seolah tergambar kembali dan kemudian kisah itu mengalir dan menghidupkan kembali memor-memoar yang hilang. Ketika kisah-kisah itu dikaji ulang, banyak memberikan pelajaran dan motivasi hidup yang berharga. Pada larik-larik berikutnya di bait pertama, nilai motivasi itu tersembul sangat indah saat ia mengisahkan belajar bermain layang-layang yang berusaha ia terbangkan meski harus menanggung resiko seperti terjatuh, teriris, terluka sampai ia menangis. Peran orang tua yang mendampinginya bermain kerap menjadi pembasuh kepedihan, membangkitkannya dan menghiburnya dengan kenyamanan sehingga betapapun beratnya perjuangan terasa ringan untuk dilalui.

Jika Sapardi secara kental menggunakan majas personifikasi untuk membalut keindahan dan kedalaman makna puisinya, Indra Intisa justru mengungkap makna pada sisi batin hujan sebagai benda mati yang saat terjatuh akan menghidupkan kenangan, menyulut imajinasi, menebarkan kesyahduan dan suasana yang membuat pembaca menjadi “baper”. Indra tetap menyuguhkan makna hujan secara heuristik, tapi kata, frase atau kalimat pengiringnya berkontribusi untuk membangun makna hermeunetik yang membuat “greget” untuk diselami. Pun dalam tinjauan sintaksis, Indra berhasil membentuk prase yang unik tapi tetap sinkron, ritmis dan “berbunyi”, seperti pada prase /saat kita terjatuh/saat kita menangis/saat kita egois/saat kita teriris adalah diksi atau prase adalah proses sintaksisi yang cukup brilian.
Selain puisi Sapardi dan Indra, saya juga melirik puisi Eko Windarto berikut ini :

HUJAN MALAM INI


aku menduga hujan malam ini
lupa jalan kembali

kabut yang samar berjalan di antara deretan pinus hatiku
dinding-dinding sepi menunjukkan rindu menyimpan waktu

pada hijau daun
aku berguru kelembutan bulir-bulir embun

aku takjub pada hujan malam ini
yang menggenangi hati

hingga napas mengendalikan badai dimatangkan langit dan bumi

Batu Sekarputih, 21112017

Penyair dari Batu Malang ini sangat piawai meracik imajinasinya dalam puisi berbagai genre. Beberapa puisinya terutama yang bertema sosial dan politik kerap terlahir sebagai respon atas sesuatu yang terjadi di sekitarnya sehingga tidak heran jika puisi-puisinya sangat komunikatif dan membumi. Begitupun dengan puisi hujannya di atas, rangkaian katanya yang tak terduga mengalir apik. Pada bait pertama: /aku menduga hujan malam ini/lupa jalan kembali/ merupakan larik dengan pemaknaan yang sangat sublim dan unpredictable. Bagaimana mungkin hujan lupa jalan kembali ? Apakah hujan memang punya jalan sendiri ? saya mencoba memahami bahwa hujan akan mengalir kemanapun. Pada makna denotatif, hujan secara materil akan terderivasi dalam bentuk kabut, gerimis bahkan embun yang berhenti dimanapun berdasrkan jatah tempat dan waktu. Secara konotatif hujan bisa bermakna apapun dan bisa menggenang dimanapun termasuk dalam hati sehingga muncul kesimpulan, “pantas hujan bisa lupa jalan pulang karena jatuh dimana-mana? Inilah salah satu kelebihan Eko Windarto yang kerap menjadikan larik atau bait pertama puisinya sebagai “bom” yang berdentum dalam pikiran pembaca sehingga tergerak untuk menangkap serpihan-serpihan maknanya lebih jauh. Dan itulah caranya yang khas untuk menyapa pembaca agar bersedia bergulat di ranah puisinya yang menkaplingkan petakan-petakan makna, termasuk saya yang terhypnotis dan langut untuk menjelajahinya.

Dari tiga puisi hujan karya tiga penyair yang berbeda generasi, sebenarnya saya hanya ingin menyoroti satu hal bagaimana upaya penyair mengkomunikasikan puisinya dengan khalayak sehingga puisi menjadi santapan imajinasi publik yang intens. Untuk bisa berkomunikasi dengan khalayak, sebuah puisi tidak bisa hanya mengandalkan keindahan dan responsibilitas terhadap problematika yang melingkupinya, tapi lebih dari itu bisa menciptakan ruang bagi pembaca untuk merenangi berlaksa-laksa maknanya. Menurut saya, puisi itu harus “caper” (cari perhatian) alias "genit" sehingga khalayak tidak mengabaikannya dan memberikan respon spontan bila perlu kolosal. Apa yang dilakukan Sapardi dengan “kelainan frasenya” dan “memanusiakan hujan” secara sublim adalah manifestasi dari caper tersebut. Pun Indra Intisa yang kreatif secara sintaksis dan Eko Windarto yang menciptakan “bom” di larik/bait pertamanya adalah upaya brilian yang tanpa disadari telah memaksa khalayak untuk hanyut menyetubuhi puisi-puisinya. Dalam konteks inilah penyair berarti telah mengkohesifkan puisinya dengan publik sehingga tidak lagi menjadi menara gading, yang indah dilihat tapi tak pernah tersentuh apalagi memberikan makna yang luas bagi publik.

Dengan menggenitkan puisi, semoga kegelisahan John Barr bahwa puisi akan semakin jauh dari publik tidak terbukti, sebaliknya puisi akan menyatu bersama khalayak dalam persetubuhan yang panjang !

Sumur Batu, 19/12/17
Cc. Indra Intisa, Eko Windarto



Esai
DALAM KONSEP CERMIN
Oleh: Eko Windarto


Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang subyek tertentu. Sebuah esai dasar dibagi menjadi tiga bagian yaitu; pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek, tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek, dan terakhir adalah konklusi yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek. Apa yang membedakan esai dan bukan esai? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan merujuk pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada, tetapi pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada seringkali masih tidak lengkap dan kadang bertolak belakang sehingga masih mengandung kekurangan juga.

Mengenai gaya dan metode esai ada yang menyatakan bebas dan ada yang menyatakan teratur. Sebab esai menurut makna asal katanya adalah sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih merangsang. Menurut Francis Bacon, esai lebih sebagai butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.

Esai dalam konsep CERMIN juga dikembangkan lagi oleh Abrams dalam buku The Mirror and the Lamp bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Senada dengan ini, vIan Watt (1964: 300-313) dalam artikelnya yang berjudul Literature and Society juga mengemukakan tiga pendekatan, yaitu: (a) pendekatan cermin, yang mencoba meneliti karya sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya ditulis, (b) pendekatan konteks sosial pengarang, hal ini akan dijelaskan tersendiri, dan (c) pendekatan fungsi sosial sastra, pendekatan inipun akan dijelaskan tersendiri. Dari pendekatan cermin, sebenarnya peneliti sosiologi sastra hendak mencari gambaran realitas pada waktu karya ditulis. Hanya saja, pencerminan realitas itu dapat secara jujur dan obyektif dan dapat juga mencerminkan pesan realitas subyektif. Dalam hal ini, karya sastra akan memberikan realitas ideal dari tatanan hidup masyarakat dan bukan sesuatu yang sama sekali abstrak. Imaji penulis telah ditata rapi untuk menggarap realitas sebagai perwujudan cita-cita atau angan-angannya. Seperti kita sebagai masyarakat biasa mencita-citakan budi pekerti bangsa kembali pada maknanya sehingga bangsa ini mempunyai ahklaq yang baik dan mulia.

BATU, 4112018



Apresiasi Puisi
Esai
TERPENJARA DALAM PUISI “EKO WINDARTO”
Oleh: Indra Intisa


Hidup di bumi bagaikan burung
Bangun pagi makan nasi jagung
Tidur di ubin fikiran bingung
Apa daya badan ku terkurung
(Lirik lagu: Hidup di Bui - D' Lloyd)

Ketika hidup, kita akan dihadapkan dengan banyak simpang-siur jalan yang akan dilalui. Meskipun jalan-jalan telah diberikan rambu dan petujuk oleh agama, budaya, adat, pemerintah dan aturan-aturan yang mengikat—yang mengarahkan kita pada tujuan-tujuan tertentu. Pada hakikatnya manusia suka berpetualang, suka penasaran dengan hal-hal yang dilarang atau mungkin hal-hal yang tidak diketahui. Kalau dalam ilmu metafisika bisa saja dikatakan gaib (meramal). Tetapi dasar manusia, ia bisa melanggar, terjerat dan terjatuh pada hal-hal di luar kendalinya.

Saat menjalani hidup, manusia tentu akan menjalani banyak ujian dan tantangan. Kalau dalam islam adalah bagian dari ujian untuk iman. Semakin berat ujian maka makin kuatlah ujian keimanan seseorang. Ada orang yang mampu melewati ujian berat yang datang bertubi-tubi dengan santai, dan ada juga sebaliknya.

Ketika manusia terjerat, ia bisa saja menjadi bingung, linglung, bahkan gila. Sebagian yang lain berputus-asa dan bahkan bisa-bisa membunuh siapa pun termasuk dirinya sendiri. Tetapi, keimanan manusia, kekuatan manusia, bisa saja berubah tergantung situasi, kondisi dan manusia-manusia lain di sekelilingnya—keluarga, teman, ayah-ibu, istri, anak dan siapa saja sebagai penguat. Walau begitu, ada juga manusia yang mengunci hati (diri) dari masukan, kebaikan, kritik dari manusia sekitar. Bisa karena ketidakinginannya untuk diatur, diajar, dan dinasihati oleh orang-orang sekitar. Bisa karena merasa orang-orang sekitar tidak memahami diri sendiri. Atau bisa pula karena tidak ingin merepotkan orang lain. Ia merasa harus menanggung beban sendiri.

Dalam puisi, ada unsur batin yang dinamakan nada, dalam bahasa inggris dinamakan tone. Nada yang dimaksud bukan nada yang bermakna tinggi rendahnya bunyi—dalam lagu, musik, dsb. Nada yang dimaksud adalah ungkapan keadaan jiwa atau suasana hati; makna yang tersembunyi dalam ucapan dan sebagainya; sikap (KBBI 2016). Nada dalam puisi lebih kepada sikap penyair terhadap pembaca. Apa yang mau ia sampaikan dari perasaan-perasaan yang ia sembunyikan? Penyair adalah orang tertutup sekaligus terbuka. Ia malu-malu layaknya fajar yang masih setengah di ufuk timur. Ini mengingatkan kita pada kehidupan di dunia (seperti yang dibahas sebelumnya)—orang-orang yang sedang berputus-asa, bermasalah, senang, bahagia, dst., cenderung menunjukkan kepada orang lain. Ada yang ditunjukkan secara terang-terangan (melalui curhat, cerita, dst), atau melalui simbol-simbol, layaknya puisi. Para pembaca harus lebih teliti, serius, dan dalam kalau mau memahami apa yang ingin disampaikan oleh penyair. Penyair kadang seperti seorang anak kecil yang ingin dimanja. Sebagian lain seperti wanita yang hanya ingin dimengerti, seperti lirik lagu Ada Band: “Karena wanita ingin dimengerti.” Sebab, wanita sering menyiratkan sesuatu melalui simbol sikap, mimik, dst., tentu saja berbeda dengan sikap pria secara umum.

Coba simak puisi Eko Windarto yang berjudul “Seminggu di Penjara”. Puisi yang beliau terbitkan melalui ruang maya Facebook ini, menyiratkan sesuatu yang dalam. Kalau kita telaah melalui unsur batin puisi, “rasa”, maka kita bisa melihat bagaimana penyair menujukkan sikap terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Sikap dalam rasa sebenarnya terpengaruh oleh budaya, pendidikan, latar belakang sosial, psikologi penyair, dan hal-hal yang mempengaruhi puisi yang dibuatnya. Pengaruh ini bisa terjadi pada diksi, tema, atau permasalahan yang ada disekitar. Campur-baur ini menjadikan puisi yang ditulis menjadi sesuatu. Sesuatu bisa menjadi sikap kritis, nasihat, mengajak, berbagi, dst., dengan pelbagai tujuan. Untuk menyimak lebih jauh, mari kita simak puisi yang telah diunggah tersebut.

SEMINGGU DI PENJARA

seminggu di penjara serasa lama
buku harian terkunci dalam jeruji jiwa
lembar lembar kalender tak bersuara
di hadapan para penjaga
yang lupa memeriksa pintu surga

istri, anak, dan kerabat mengetuk pintu besi
sambil membawa palu godam di dalam jiwa
ragu menjelma kepala yang penuh matimatika di meja penguasa
yang suka pesta di dada wanita

Sekarputih. 942017


Puisi di atas bisa saja menyiratkan sesuatu, atau bisa juga kejadian yang sebenarnya. Puisi bisa menjadi prismatis (memancar ke segala arah), bisa menjadi gelap, bisa pula telanjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi bisa saja pada puisi itu sendiri, atau bisa juga pada daya tangkap atau cara dari pembaca ketika memahami puisi. Sikap pembaca juga dipengaruhi oleh unsur-unsur batin yang diracik oleh penyair, seperti nada dan rasa yang telah kita bahas sebelumnya.
Mari kita simak penggalan puisi tersebut:

seminggu di penjara serasa lama

Larik awal merupakan penanda—lubang kunci—pintu masuk ke dalam puisi hebat karya Eko Windarto ini. Pintu masuk merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk melihat, memandang, dan menyimak pada hal-hal yang ada di dalam. Maksud lainnya adalah simbol awal bagi pembaca untuk memahami puisi setelah judul. Sekalipun ada juga puisi di awal-awal belum menyiratkan hal-hal yang ada di dalam. Penyair sangat pandai menarik imajinasi pembaca untuk masuk ke dalam puisi yang akan ditulis.

Apa yang kita pikirkan dari tiga penanda di bawah ini:

1. Seminggu
2. Penjara
3. Terasa lama


Ketika kita mulai mencerna kata-kata konkret tersebut, maka kita seolah masuk ke dalam cerita-cerita yang akan disuguhkan oleh penyair Eko Windarto. Kita seolah bisa merasakan jenjang waktu, rasa berat, keadaan, dst. Ini didapat dari citraan rasa dari waktu dan rasa berat (sedih, sakit, dst.) Padahal secara logis, waktu seminggu sebenarnya tidak benar-benar layak dikatakan lama. Tetapi, berbeda ketika kita berada dalam penjara. Perhatikan kata “terasa lama”, kata ini seolah mengajak kita—memaksa pikiran kita untuk turut serta merasa apa yang ada dalam diri penyair. Mari kita perhatikan larik-larik berikutnya. Apa yang terjadi pada diri kita sebagai pembaca?

Saya tidak akan memecahkan semua rambu, maksud, dan pesan dari puisi ini. Tetapi, saya ingin menarik benang merah pada sikap penyair pada puisi ini. Kita bisa merasakan apa yang sedang dirasakan penyair. Apa yang sedang ia cemaskan. Apa yang sedang ia “galau”kan. Ketika itu terjadi, kita akan merasa seolah-olah hidup dalam diri sang penyair. Kita seolah terpenjara oleh sikap dan keadaan penyair. Itu seperti kita mendengar sebuah lagu, anggap contoh lagu-lagu luar negeri yang kurang kita pahami maksud dan arti dari lriknya. Tetapi kita tetap bisa merasa semangat, nyaman atau sedih melalui alunan musik yang ada di dalamnya.

Pulau Punjung, 14 Juni 2017
Indra Intisa, Pemerhati Puisi, Dharmasraya.

Cc Eko Windarto



Saya posting lagi esai ini karena keadaan sekarang yang mulai mengabur antara kehidupan dan agama. Esai ini masuk dalam kumpulan esai Roja Murtadho ANALEKTA.
FENOMENOLOGI JADI SKEPTISISME MEREMANGKAN JALAN HIDUP
Oleh: Roja Murtadho


Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri). Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan, bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl bertujuan mencari yang essensial atau eidos (esensi) dari fenomena itu.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa fenomenologi berusaha mengangkap fenomena sebagaimana adanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (veils itself), atau menurut penjelasan Elliston, “phenomenology then means… to let what shows itself be seen by itself and in terms of itself, just as it shows itself by and from itself.” (Fenomenologi dapat berarti: …membiarkan apa yang menunjukkan dirinya sendiri dilihat melalui dirinya sendiri dan dalam batas-batas dirinya sendiri, sebagaimana ia menunjukkan dirinya melalui dan dari dirinya sendiri).

Menurut G. van der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berujud, (2) sesuatu itu tampak, (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.

Dalam perjalanan kehidupan masa kini, telah menjadi fenomena begitu banyak. Hal-hal yang telah terjadi di muka bumi ini menjadi fenomena baik fenomena alam maupun fenomena perilaku, sosial, bahkan agama. Semua fenomena ini begitu pekat dan kental di dalam masyarakat yang sering pula menimbulkan keraguraguan dalam melangkah. Salah satu hal yang fenomenologis saat ini adalah tentang fenomena agama.

Persoalan persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaan. Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka sebut ‘common sense’ dan ‘religious atau mystical event’. Dalam satu sisi common sense mencerminkan kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi, sementara itu religious sense adalah kegiatan atau kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan nalar maupun teknologi.

Penjelasan lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat.

Fenomena inilah yang akhirnya muncul dan mewarnai karya-karya dalam bentuk puisi. Puisi sebagai penggambaran kehidupan nyata menyuarakan fenomena-fenomena yang muncul dalam kehidupan. Karena puisi hidup dan terlahir dari kehidupan manusia.

Puisi tidak memandang di mana dia mesti berada karena puisi terlahir dari jiwa-jiwa sunyi penyair. Puisi mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan kekuatan bahasa dengan struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi juga diciptakan berdasarkan aliran kehalusan batin penyair, kepekaannya terhadap fenomena alam, peristiwa di lingkungan sekitar hidupnya, kejadian-kejadian penting dalam hidup dan kehidupan.

Puisi terlahir sabagai penggambaran perjalanan batin seseorang dapat berupa kegelisah-kegelisahan pada nilai-nilai ketuhanan, sosial, kritik sosial, budaya, filosofis, ataupun edukatif. Perjalanan batin inilah yang akhirnya memengaruhi penulis/penyair dalam menuangkan pengalaman batinnya ke dalam puisi.

Fenomena yang hadir dan begitu pekat menggumuli dunia ini dan lahirnya pemberitaan-pemberitaan bahkan pernyataan-pernyataan yang mengaburkan menjadikan titik keragu-raguan bagi umat manusia yang terkumpul dalam sebuah masyarakat. Fenomena tersebut menimbulkan bermacam-macam gesekan hingga akhirnya pun melahirkan permusuhan-permusuhan. Keragu-raguan (skeptisisme) dalam memahami dan menyikapi fenomena yang muncul menjadi sebuah kegamangan. Jika sudah demikian kemana kita mesti bermuara, ini adalah sebuah pertanyaan yang butuh perenungan dan pencarian tentang kesejatian.

Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptis-isme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan secara menyeluruh. Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya.

Eko Windarto adalah seorang penyair yang dengan jiwa merdekanya telah menyunting informasi dan peristiwa kehidupan yang dituangkannya ke dalam puisi. Dengan harapan agar puisi-puisinya dapat menjadi penyeimbang keadaan dan suasana genting dalam kehidupan yang multi dimensi ini tanpa menunggu imbalan dari siapapun. Melalui puisi-puisinya Eko windarto berusaha untuk membunyikan apa yang telah mengendap di dalam batin dan pikirannya. Di dalam keyakinanya yang hidup di zaman globalisasi hebat ini, sering kali dia dihadapkan pada situasi yang tidak menentu dan kadang sulit untuk disimpulkan. Ia terus dan terus melaju ke titik termatang meskipun terus dirimbuni keragu-raguan dan kegamangan-kegamangan disebabkan fenomena yang muncul di hadapannya.

Melalui puisi ia terus bersuara, menyuarakan dirinya , alam, dan juga manusia di sekitarnya bahkan hingga yang jauh sekali dari dirinya sendiri. Sebagai penyair dia menulis dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab terhadap apapun yang dia tulis bukan hanya di hadapan manusia juga di hadapan dirinya sendiri dan Tuhannya. Hal ini sebagaimana telah tertuang ke dalam puisinya yang berjudul SEBAGAI PENYAIR yang beliau tulis pada 27 Juli 2016 di Sekarputih. Demikian kuat Eko Windarto menggauli dunia kepenyairan dengan cara pandangnya yang juga begitu kuat sebagai jiwa penyair yang dia jiwai.

Berikut ini adalah puisi sebagai penggambaran fenomena kehidupan yang terjadi di sekitarnya, dalam pandangannya, juga dari yang dia baca dan dengar baik secara langsung maupun melalui media yeng tergelar secara bebas di hadapannya. Eko Windarto merasakan betapa fenomena tersebut begitu kuat membuat masyarakat jadi terombang-ambing bahkan terpecah-belah.

DI SINI

di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang kau tebang

di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang

di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba

di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma

hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri

wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang

Batu, 29122017

Dari judul puisi tersebut, yaitu DI SINI telah kita ketahui bahwa Eko Windarto sedang ingin menyampaikan sesuatu yang terjadi di sini (di kota Batu, di Jawa Timur, di Indonesia, bahkan bisa juga di dunia ini). Kata yang menunjukkan tempat yang begitu dekat dengan dirinya sendirilah telah terjadi dan tampak fenomena yang kemudian selalu dia pertegas dengan menghadirkan kata tersebut ke dalam larik-larik puisinya.

di sini, pertarungan agama-agama mengundang pedang
merupakan bayang-bayang yang kau tebang

di sini, tujuan hidup kau tutup dengan dalil-dalil panjang mengambang
sebelum mengenal tembang surga yang kau jelang


Fenomena inilah kemudian yang beliau hadirkan ke dalam larik ke-1 hingga larik ke- 4 puisinya, yaitu pertarungan agama-agama. Saat ini, di sini yang dia tunjukkan sebagai tempat yang bisa kita maknai khusus dapat pula kita maknai secara universal pertarungan agama-agama tengah terjadi. Kejadian pertarungan tersebut dari yang begitu nyata dan terang-terangan sebagaimana terjadi di Palestina hingga yang begitu terselubung dengan menyebarkan isu-isu di seputar pemilihan kepala daerah di negeri kita ini pun terjadi. Pertarungan ini mengundang pedang maksudnya adalah menimbulkan pertarungan secara fisik hingga menimbulkan korban jiwa hingga pertarungan adu mulut atau komentar hingga mulut tersebut mampu menebas kebenaran yang sesungguhnya menjadi sebuah fitnah yang menjatuhkan nama baik seseorang juga membahayakan kehidupan orang lain.

Fenomena agama merupakan fenomena universal manusia. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi agama dalam masyarakat, sehingga kajian tentang agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian yang penting.

Tujuan hidup menjadi kehilangan arah sebagaimana tergambar pada larik ke-3. Pada larik inilah jelas tergambar fenomena tersebut menjadikan skeptisisme (keragu-raguan) dalam menentukan arah hidup dengan penggunaan kata ‘mengambang’ ke dalam puisi. Kemudian dilanjutkan dengan penggambaran tentang skeptisisme ini akan terus-menerus terjadi selama fenomena tersebut masih terus terjadi hingga akhirnya kematian atau kemusnahan manusia di muka bumi. Atau jika pada akhirnya manusia mau kembali mempelajari, memahami, dam melaksanakan ajaran yang tertuang di dalam ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah kemudian dijadikan sebagai penuntun arah kehidupan untuk menggapai syurgaNya.

Pada larik ke-5-6 jiwa kepenyairan Eko Windarto kemudian bersuara. Dia sebagai penyair pun ikut menjadi salah seorang yang kebingungan menemukan jalan kebenaran dan tujuan hidup.

di sini, pengembara bahasa sibuta meraba-raba
mencari kemenangan rasa yang tak kunjung tiba


Sebagai pengembara bahasa Eko Windarto yang senantiasa bergelut dengan kaat-kata pun mengalami imbas dari fenomena yang terjadi di sini. Dia juga terus meraba-raba, mencari dan mencari kebenaran yang sejati dalam jiwanya yang terus dia bersihkan walaupun belum kunjung tiba kebenaran hakiki tersebut dia temukan.

di sini, kekalahan dan luka
menjadi puisi pusat upacara muara sukma


Lalu di tempatnya berpijak, dalam kerancuan hidup, keragu-raguan, kekalahan-kekalahan dan luka pun dia rasakan. Kekalahan dan luka dalam perjalanan hidup terus dia tuliskan ke dalam puisi sebagai ungkapan isi hati dan pikirannya yang terdalam.

hitam putih menjadi kebutaan sehari-hari
sebagai tradisi melupakan hati sendiri


Sampai di larik puisi ke-9-10 semakin jelas tergambarnya skeptisisme tersebut. Jalan benar atau salah, syurga atau neraka menjadi begitu sulit untuk dibedakan keduanya begitu tipis setipis kulit ari. Hati nurani tidak lagi menjadi tempat terdalam dalam menentukan jalan kebenaran. Suara hati tak lagi didengarkan. Kebenaran dan kesalahan semakin membingungkan mana yang harus di pilih padahal sesungguhnya hati tetap mampu menemukan jalan kebenaran itu sendiri karena hati tempat terdiamnya qolbu manusia. Di qolbulah segala tanya bermuara dan di sanalah suara kebenaran tetap terdengar.

wahai... terang mentari mayang
sirnakan kebutaan, sirnakan kegelapan, dari langit hati yang paling gamang


Akhirnya dengan panggilan yang begitu merdu kepada Tuhan penyair merayu penuh kesyahduan agar ditunjukkan jalan hidup yang terang. Ia terus merayu untuk dibukakan jalan terang agar terbebas dari kegelapan dan kebutaan hati. Keraguan-keraguan dan kegamangan-kegamangan dia adukan dia simpuhkan ke hadapan Tuhan agar ditunjukkan kebenaran sesungguhnya. Di dalam skeptisime hidup, hanya Tuhan yang memiliki kuasa untuk menerangkannya dengan kepasrahan dan keberserahan diri terhadap Tuhan dan ayat-ayat Tuhan sebagai pedoman dan penuntunnya menyusuri jalan hidup dengan benar.

Demikianlah telaah puisi ini, semoga bermanfaat.



Esai. Edi Kuswantono
PUISI BONSAI
Membuka tirai "Sang Musyafir" dalam perjalanan "ZIARAH RINDU"
Karya: EKO WINDARTO

Pola dasar proses hidup dan kehidupan akan menuju pada titik di mana asalnya memulai. Setiap individu telah dibekali ilmu, dan wajib mengetahui proses berkesinambungan pada pengembangan diri untuk mencapai tujuannya.

Jika kita berbicara tentang ilmu, tetapi pengetahuan yang didapat tidak dijadikan sebuah pembelajaran, maka sia-sia hidup bertahan lama. Karena kewajiban menuntut ilmu itu dimulai sejak bangkit dari kuburannya yaitu yang disebut kelahirannya, sampai kembali masuk pada kuburannya.

Dengan diwajibkannya mentuntut ilmu, agar supaya kita bisa teguh dalam menjalani proses evolusi jiwa. Sehingga memperoleh semangat dalam menjalani hidup apa adanya, sampai diri bisa mencapai pada diri yang sesungguhnya. Pencapaian ini merupakan kenangan yang terus menerus diingat, dan dengan ingatnya kita bisa mengamalkan dan waspada dalam segala tindakan berikutnya.

Sesuai dengan sabda seorang yang dimuliakan Sang Pencerah Rasul utusan Tuhan, bahwa amalan yang paling baik adalah mengamalkan ilmu. Dengan demikian lewat jalan lain dipastikan tidak akan bertahan lama. Amalan ilmu tersebut bukan dengan cara berkhotbah dijalanan dengan mengeraskan suara, apalagi bila kurang puas sampai menggunakan toa. Karena, sungguh berlebihan bila menghardik Tuhan dengan cara arogan. Satu-satunya jalan yang selaras dan seimbang adalah dengan merendahkan suara dan memperhalus perangai.

Oleh karena itu rajutlah kehalusan budi pekerti dengan memperdalam hakekat ilmu, karena ilmu matahari hanya gemerlap sehari, rembulan jualah yang dapat mengangkatnya dari kegelapan. Pengatahuan yang menuntun menuju hakekat ilmu adanya pada kehalusan ahklak, dan budi pekerti, disitulah peran sastra dibutuhkan. Di sanalah pengetahuan di baca, di pahat, di batik, di lukis, di tulis, lalu ditera demi kemaslahatan umat.

Sastra mengandung unsur seni desain artistik dan historis, ada kebenaran yang tidak dapat disangkal, karena di dalamnya membicarakan prinsip besar yang masih berlaku untuk mengarahkan bangsa dan pemimpin, dalam hubungannya dengan antar sesama bangsa.
Orang yang pergi melakukan perjalanan menuntut kewajiban ilmu dikatakan seorang musyafir. Kondisi ini oleh sastrawan berasal dari kota Batu Malang, memiliki nama "EKO WINDARTO", bahwa perjalanan ini diapresiasi sebagai "ZIARAH RINDU", sebagai judul karya Puisi Bonsai (Pusai) yaitu sebagai berikut:

ZIARAH RINDU


di antara ruang dan waktu
kugenggam rindu
aromanya mengundang
cinta-Mu

Sekarputih, 2712018


Berbicara Pusai, bukan sekedar ungkapan-ungkapan atau tuturan modern semata, akan tetapi harus bisa menimbang kata per kata, dengan pempertimbangkan alasan yang melatarbelakangi setiap pilihan kata yang benar dan lugas. Sehingga tidak mempunyai kesan bahwa pusai hanya menjajakan kata.

Dengan demikian, sampai saat ini keberadaan "pusai" terus mengalami kritikan dan masukan tentang nasib masa depannya. Namun corak kritikan itu sendiri tidak bisa menentukan keberadaannya. Sebagaimana yang disampaikan oleh seorang pakar sastra sekaligus Sastrawan papan atas, Profesor Abdul Hadi WM, dalam statusnya yang diunggah pada tangga 18-02-20, mengatakan bahwa: "Kritikus sastra tak bisa menentukan bagaimana corak puisi di masa depan. Yang menentukan adalah penyair yang beŕbakat dan kreatif"

Perkembangannya tergantung pada kesungguhan diri kita masing masing, dalam menyikapi keadaan hidup dan kehidupannya. Saat ini, di rumah kita demokrasi telah terbuka lebar, tetapi situasinya masih dipengaruhi oleh suhu politik jual beli masalah. Perdagangan politik sungguh tidak sesuai dengan alur tujuan demokrasi kita yang diidamkan. Keadaan makin menjadi liar, dan semestinya sistem demokrasi kita terpimpin. Artinya sudah tidak ada lagi lempar-lemparan aib tempat duduk sebagai manusia, kecuali bila ia sebagai "monyet mungga bale" (orang yang bukan haknya naik tahta)

Memang secara alami sifat manusia sangat kontradiktif terhadap pandangan humanisme, sehingga di negeri kita oleh para pemimpin, keadaan ruang waktu aktifitas hidup dan kehidupan telah dirubah sedemikan rupa, agar pemerintahan menjadi efektif dan efisien. Mengarahkan masyarakatnya supaya menganut sistem sekulerisme, dengan mengenyampingkan moralitasnya.

Saat ini banyak menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan pada kebenarannya. Apakah perbedaan prinsip revolusioner sekularisme dengan moralitasnya, setelah sekian lama semakin menunjukkan lemahnya rasa kebangsaan. Katagori umum yang dialami bangsa, secara jelas memaparkan karakter dan peran ekonomi dari berbagai kelas yang saling bertentangan, memperebutkan kekuatan dan kekuasaan. Penindasan dan kesewenangan, di mana yang kaya berkuasa. Arogan dan kasar menjadi bangsawan dan pemuka masyarakat.

Sebagai seorang Reformis seharusnya menangkap sinyal ini dengan baik, tidak larut oleh keadaannya. Memadukan peran sebagai pembaharu yang telah memperoleh kebenaran kemanusiaan melalui Agama Tuhan Yang Maha Agung, atau seorang pemberontak yang membawa perubahan radikal dalam tatanan sosial yang sudah usang kepada model dan pola prilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia kepada Agama wahyu. Menyadarkan dan membangkitkan semangat kembali kepada masyarakat yang sesuai dengan asas kesejahteraan sosialnya.

Seharusnya keadaan ruang dan waktu tersebut diimbangi dengan evolusi mental atau jiwa bagi seorang reformis. Lalu melakukan aksi mentranspormasikan dalam bentuk emansipasi bagi golongan yang lemah, dengan mentalitas religius, di mana setiap pola pikirnya, idenya, imajenasinya terikat pada teologi. Dengan menggunakan alegori, parabel, dan metafor agama wahyu, sehingga implementasinya tidak acak-acakan seperti sekarang ini.

Pergulatan evolusi jiwa di era reformasi, di zaman milenial ini oleh sang sastrawan dituangkan pada bait pertamanya yaitu /di antara ruang dan waktu/, kata "antara" mengikat keadaan atau situasi "Reformasi dan Evolusi jiwa" menjadi fokus perhatian pencapaian. Mengoptimalkan hidup efektif (legowo), dan mengarungi kehidupan efisien (sederhana), dalam pencapaian kebahagiaan dan kesejahteraan sosialnya masyarakatnya kelak. Bagaimana jadinya jika seorang Reformis tidak melakukan tindakan Evolusi mentalnya? Tentunya keadaan saat inilah realita yang dialami bangsa kita.

Gejala alam, sosial dan historis dalam memanifestasikan misteri dan keajaiban, adalah tanda dan bukti kebenaran bagi siapa yang bisa mengambil pelajaran, menyelidiki, menemukan dan memahami kebenarannya. Dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan.

Jagat raya, siang dan malam, terang dan gelap, pergantian musim adalah tanda bagi orang yang mempunyai kebijaksanaan dan wawasan cemerlang, yaitu orang-orang yang memiliki panca indera dan hati nuraninya dipergunakan untuk berpikir dan memahaminya.

Inspirasi ilahiyat bagi seorang reformis digunakan untuk mengajak berpikir, merasakan, merenung untuk menentukan pencapaian nasib baiknya, dalam hubungan hidup berdampingan, dan menjalani kehidupan saling tolong menolong terhadap sesamanya.

Kita mayoritas muslim! Tidak seenaknya mengatakan kafir. Tidak mudah memasuki ruangan islam, sebab di sana steril dari segala bentuk perbedaan, permusuhan, perselisihan dan pertentangan. Keadaan seseorang yang menyatakan masuk islam semacam itu seharusnya telah bebas dari segala bentuk keangkuhan, kesombongan. Karena menyimpang dari jalan itu akan membuat diri menjadi apatis, arogan, dan anarkis. Sedangkan ruang waktu untuk Islam adalah rasa kemanusiaan yang dipenuhi oleh rasa kedamaian dan keselamatan.

Merasakan rasa damai hidup berdampingan adalah suatu idaman setiap bangsa. Hal ini menjadi tolak ukur kedewasaan masyarakatnya. Keadaan ini telah diwariskan oleh leluhur kita bahwa hidup penuh kerukunan, kebersamaan, kegotongroyongan. Kerinduan semacam ini pernah dialami saat masa kecil dulu. Perjalanan ini sudah tidak ditemukan lagi di era milenium, suasananya jauh berbeda. Karena itulah oleh sang sastrawan dituangkan pada bait keduanya yaitu /kugenggam rindu/. Karena sesungguhnya kebahagian, kesengsaraan dan ketenteraman akan muncul di dalam diri sendiri. Keadaan pribadi kita sendiri yang bisa memberikan warna hidup dan kehidupan yang terang maupun yang gelap. Perasaan rindu pada kesunyian masalah, saat-saat melakukan totalitas kepasrahan hidup spiritual kepada Sang Yang Maha Agung.

Semua tanda ada di dalam nurani kita, di dalam hati dan benak akal pikiran kita. Merasakan dan merenung terjadi dan ada di mana saja. Di malam hari penuh bintang, di dalam lautan dalam yang penuh gelombang. Setiap arus, sungai, angin, awan dan hujan yang membawa rachmat Sang Maha Agung, sehingga memberikan semangat membangkitkan sesuatu yang mati menjadi hidup kembali.

Setiap reformis yang sudah melakukan evolusi jiwanya, dapat menjadi contoh nyata bagi masyarakatnya, di mana kemampuan intelektual, rasional, emosional, dan moralnya, mampu memberikan semangat dan membangkitkan kembali komunitas umat yang sudah mati. Hal-hal yang demikian ini, oleh sang sastrawan digambarkan pada bait ketiganya yaitu /aromanya mengundang/ artinya kondisi tersebut memberikan napas segar, mengundang kesejukan batin bagi hubungan persaudaraan sebangsa setanah air serta antar bangsa lainnya, dalam menjalani hidup dan kehidupan sosialnya dengan suasana penuh kedamaian.

Nilai suatu amal perbuatan berkaitan erat dengan gairah, semangat dan pola pikir serta perasaan berkecamuk di dalam jiwa. Karena akal pikiranlah yang membentuk dan menentukan perjalanan hidupnya. Dan problema yang terjadi pada kondisi saat ini adalah bagaimana untuk cara memilih pola pikir yang tepat dan benar. Sehingga problema hidup dan kehidupan kedepannya dapat terpecahkan. Dengan demikian apabila pikiran kita mengarahkan pada situasi bahagia, maka keadaan kita akan bahagia. Sebaliknya apabila pikiran kita mengarah pada kesedihan maka keadaan kita akan mengalami sedih. Sesungguhnya kita tidak bisa menghindar dari indikasi yang kuat atas rohani, yaitu spirit mental bagi kita maupun masyarakat umumnya.

Semangat spritual inilah yang dapat membimbing kita pada suasana kemenangan atas musuh yang ada pada jiwa, di dalam diri sendiri. Dan lama tidaknya melawan musuh kita tergantung kepada keteguhan akidah beragama dan potensi kesabaran. Hakekatnya modal beragama itulah seseorang mempunyai sikap percaya diri yang tinggi. Tidak akan mundur menghadapi gelombang dan badai yang melanda hidup dan kehidupannya, hanya karena kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya. Justru dalam keadaan semacam itu menjadi cambuk semangat membangkitkan harga dirinya. Karena sesungguhnya yang tercela apabila menutup-nutupi kekurangan atau keburukannya yang ada pada diri sendiri, menonjolkan kesombongan dan keangkuhannya, pada akhirnya akan membinasakan diri sendiri.

Semangat spiritual dengan rasa kemanusiaan yang tinggi dapat mengubah hal yang sedikit bisa menjadi banyak, dari seorang diri akan menjadi umat atau bangsa yang besar. Bingkai inilah roda kehidupan manusia pada hari ini dan esok akan terus berputar sempurna, menyesuaikan dan menyelaraskan kehendak Sang Maha Agung.

Perasaan saling mencintai kepada sesamanya, dan terus menjalin rasa berkasih sayang dalam hidup dan kehidupannya, maka akan terbentuk pribadi mulia yang penuh toleransi dan keseimbangan hidup. Hubungan sosial kemanusiaan yang didasari rasa damai tentu akan menambah gairah dan semangat pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Suci. Sebagaimana dituangkan oleh sang sastrawan dalam bait keempatnya, pada karya pusai yang hemat kata syarat makna yaitu /cinta-Mu/ rasa ini adalah rasa kemanusiaan, kepasrahan diri yang tulus, suatu bimbingan pencapaian ketenangan batin. Prilaku spiritual semacam ini tidak mudah kita lakukan, karena aplikasi sehari-hari harus bisa melakukan kebaikan dengan rela berbagi kebahagian kepada sesamanya. Tetapi akan menjadi sulit memperoleh ketenangan hidup, jika pola pikir kita masih terseret pada gemerlapnya dunia, merupakan kesenangan sesaat. Apalagi mengagungkan keindahan dunia, dengan meniadakan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Apabila suatu kaum atau bangsa menyangkal keadaan ini, lalu didahului oleh rasa keangkuhan dan kesombongan atas kekuatan dan kekuasaannya, maka tinggal tunggu kehancurannya. Karena sesuatu yang kecil, dan tidak nampak di mata akan menjelma menjadi sebuah kekuatan besar, yang dapat menebarkan aroma kematian atas rasa keangkuhan dan kesombongannya sendiri.

Kondisi semacam ini semakin lama akan melemah, dan pada suatu waktu kejadiannya akan menjadi panik, mereka akan kebingunangan atas ulahnya sendiri. Secara tidak sengaja akan menyadari bahwa dirinya membutuhkan perlindungan dari kekuatan yang di luar dirinya yaitu Sang Maha Hidup.

Demikian ulasan membuka tirai "Sang Musyafir" dalam perjalanan "ZIARAH RINDU". Semoga bermanfaat.

Sby, 200220



ESAI DALAM KONSEP CERMIN
Oleh: Eko Windarto


Esai adalah sebuah komposisi prosa singkat yang mengekspresikan opini penulis tentang subyek tertentu. Sebuah esai dasar dibagi menjadi tiga bagian yaitu; pendahuluan yang berisi latar belakang informasi yang mengidentifikasi subyek bahasan dan pengantar tentang subyek, tubuh esai yang menyajikan seluruh informasi tentang subyek, dan terakhir adalah konklusi yang memberikan kesimpulan dengan menyebutkan kembali ide pokok, ringkasan dari tubuh esai, atau menambahkan beberapa observasi tentang subyek. Apa yang membedakan esai dan bukan esai? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan dengan merujuk pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada, tetapi pendapat-pendapat atau rumusan-rumusan yang telah ada seringkali masih tidak lengkap dan kadang bertolak belakang sehingga masih mengandung kekurangan juga.

Mengenai gaya dan metode esai ada yang menyatakan bebas dan ada yang menyatakan teratur. Sebab esai menurut makna asal katanya adalah sebuah upaya atau percobaan yang tidak harus menjawab suatu persoalan secara final, tetapi lebih merangsang. Menurut Francis Bacon, esai lebih sebagai butir garam pembangkit selera ketimbang sebuah makanan yang mengenyangkan.

Esai dalam konsep CERMIN juga dikembangkan lagi oleh Abrams dalam buku The Mirror and the Lamp bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Senada dengan ini, vIan Watt (1964: 300-313) dalam artikelnya yang berjudul Literature and Society juga mengemukakan tiga pendekatan, yaitu: (a) pendekatan cermin, yang mencoba meneliti karya sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya ditulis, (b) pendekatan konstek sosial pengarang, hal ini akan dijelaskan tersendiri, dan (c) pendekatan fungsi sosial sastra, pendekatan inipun akan dijelaskan tersendiri. Dari pendekatan cermin, sebenarnya peneliti sosiologi sastra hendak mencari gambaran realitas pada waktu karya ditulis. Hanya saja, pencerminan realitas itu dapat secara jujur dan obyektif dan dapat juga mencerminkan pesan realitas subyektif. Dalam hal ini, karya sastra akan memberikan realitas ideal dari tatanan hidup masyarakat dan bukan sesuatu yang sama sekali abstrak. Imaji penulis telah ditata rapi untuk menggarap realitas sebagai perwujudan cita-cita atau angan-angannya. Seperti kita sebagai masyarakat biasa mencita-citakan budi pekerti bangsa kembali pada maknanya sehingga bangsa ini mempunyai ahklaq yang baik dan mulia.

BATU, 4112018



MENYUSURI PUISI ESSAY ON MAN Ani Kzt
Oleh: Eko Windarto

Filsafat secara harfiah adalah kajian masalah umum dan mendasar tentang persoalan eksistensi, pengetahuan, nilai, akal, pikiran dan bahasa. Secara historis filsafat mencakup inti dari segala pengetahuan. Pada era modern, filsafat telah menjadi disiplin akademik seperti psikologi, sosiologi, linguistik, dan ekonomi, seni, sains, dan politik. Bidang filsafat akademik diantaranya metafisika, epistemologi tentang asal muasal dan bidang pengetahuan etika, estetika, logika, filsafat ilmu, dan sejarah filsafat.

Jika mengikuti sejarah ideal tentang filsafat, tentu tulisan atau puisi filsafat yang akan dihasilkan membutuhkan perenungan dan waktu. Dalam puisi Ani Kzt terlihat sekali menguasai sejarah filsafat dengan budaya, sains, pengetahuan metafisika, dan pengetahuan tentang alam semesta merasuk dalam karakter-karakter dasar filsafatnya. Memang puisinya cenderung menunjukkan kontinuitas berfilsafat. Mari kita telusuri puisinya di bawah ini.

ESSAY ON MAN
Oleh: Ani Kzt


Jika Engkau melihat
Hukum-hukum Tuhan dengan pikiran yang bersih
Hukum-hukum itu nampak di langit
Di mana bintang- bintang bercahaya dalam ketenangan yang tidak menyilaukan
Matahari yang memancarkan api
Tiada menghentikan saudara perempuannya
Dalam gelombang lautan yang menyembunyikan sinarnya
Meski ia meminta
Bintang- bintang lain meringkuk
Tetapi ia terus berputar
Di atas langit ,lautan tiada pernah menyentuhnya
Cahaya senja
Dengan rona merah yang nampak
Datangnya malam yang teduh
Dan penerang sebelum hari berlalu
Cinta dua arah
Mengabadikan semua semesta
Dan dari kumpulan bintang langit
Terjadilah semua perang dan pertengkaran
Keterpaduan yang manis ini
Dalam keseimbangan yang tak tergoyahkan
Hakikat dari semesta
Hingga benda-benda subur menjadi kering dan layu
Dingin yang menggetarkan
Dengan api yang mengikat persahabatan
Api yang menggetarkan tempat tertinggi
........

Dan bumi yang tenggelam dalam kedalaman
Tahun berkembang
Aroma menyerbak di musim semi
Musim panas yang menyengat tak tertanggungkan
Buah-buahan musim gugur dari pohon-pohon .
Hujan yang mengguyur
Embun di musim dingin
Hukum-hukum ini berkembang dan berjalan abadi
Semua makhluk yang hidup di bumi
Ketika mati
Maka kematian mengakhiri kehidupan mereka
Sedangkan Pencipta bertahta di ketinggian
Yang kekuasaannya tiada seorangpun di dunia bisa mencegahnya
Ia adalah raja manusia
Mengatur manusia dengan kehendak- Nya
DariNya mereka tumbuh ,berkembang ,dan bersemi
Ia adalah hukum manusia dan yang menghakimi manusia
Semua yang ada di dalam semesta
Berjalan ,berganti
Kehendak-Nya tiada kekuatan yang bisa mencegahnya
Dan tiba-tiba berhentilah gerakan mereka
Kecuali kekuatannya
Kekerasan manusia mesti dihentikan
Atau semuanya akan semakin merajalela
Memutar arah perputaran semesta
Dekrit yang kokoh
Yang sekarang tiada semerbak
Segalanya akan terlepas dari awal kelahirannya
Cinta yang kuat ini
Milik semua orang
Yang menggerakkan kehendak berbuat baik
Kembali ke musim semi, asal dari mereka jatuh pertama kalinya
Tidak ada dunia
Yang bisa melanjutkannya
Kecuali cinta membawanya kembali
Ke jalan yang melahirkan esensi pertama kali.


Puisi ini sangat komplit mengenai segala aspek kehidupan: mulai dari hukum, sejarah filsafat, teologi, astronomi, budaya, sains, dan apa yang ada di alam semesta ini. Saya yakin sekali bahwa penulisnya mempunyai pandangan terutama teologi dan filsafat. Jika bukan orang yang menguasai teologi dan filsafat mungkin tidak bisa menulis puisi sekomplit ini. Terus terang saya masih harus belajar dan belajar biar menjadi profesor ilmu yang tak bertepi.

Memang puisi ESSAY ON MAN ini menarik untuk kita kaji kedalamannya. Kalau melihat atau membaca pembukaan bait pertama kita seakan-akan dibawa pengaruh hipnotis makna di dalamnya. / Jika Engkau melihat/ Hukum-hukum Tuhan dengan pikiran yang bersih/ Hukum-hukum itu nampak di langit/ Di mana bintang-bintang bercahaya dalam ketenangan yang tidak menyilaukan/. Sang penyair bercerita bahwa hukum-hukum Tuhan akan bercahaya dan bersih pada seseorang yang mempunyai hati dan pikiran yang jernih dan bersih. Itu terlihat dari diksi dan metafora PIKIRAN YANG BERSIH, BINTANG-BINTANG BERCAHAYA DALAM KETENANG YANG TIDAK MENYILAUKAN. Nah, dari situlah diksi dan metaforanya saling bertautan seperti / Matahari yang memancarkan api/ Tiada menghentikan saudara perempuannya/ Dalam gelombang lautan yang menyembunyikan sinarnya/ Meski ia meminta/ Bintang-bintang lain meringkuk/ Tetapi ia terus berputar/ Di atas langit, lautan tiada pernah menyentuhnya/. TIADA MENGHENTIKAN SAUDARA PEREMPUAN adalah simbolis yang sangat kuat dalam menggambarkan kekuatan panas dari cahaya matahari yang bisa memantul saat sinarnya bertabrakan dengan gelombang lautan. Jelas sekali dia melukiskan laut yang tak akan bisa mengikuti rotasi bumi. Kembali sang penyair menyuguhkan metafora CAHAYA SENJA, yang mana bisa diartikan sore hari bisa juga umur yang sudah senja. Tapi, jika merunut kata-katanya, DATANGNYA MALAM jelas dia menceritakan di ambang sore. CINTA DUA ARAH adalah simbolis yang menggambarkan cinta kebaikan dan cinta keburukan yang akhirnya bisa membuat PERANG DAN PERTENGKARAN yang menjadi KETERPADUAN YANG MANIS DALAM KESEIMBANGAN YANG TAK TERGOYAHKAN. Itulah gambaran hidup di dunia ini: ada hitam dan ada putih. Ada siang dan ada malam. Semua itu sudah menjadi ketetapan Allah SWT.

Pada bait kedua, penyairnya bercerita tentang rotasi bumi yang setiap detik, setiap saat terus berputar mengikuti siklusnya. Ada musim semi dan musim gugur. Terlihat dari larik-larik seperti ini, / Dan bumi yang tenggelam dalam kedalaman/ Tahun berkembang/ Aroma menyerbak di musim semi/ Musim panas yang menyengat tak tertanggungkan/ Buah-buahan musim gugur dari pohon-pohon/ Hujan yang mengguyur/ Embun di musim dingin/. Lalu dia lanjutkan dengan menceritakan hukum alam yang juga sebagai ketetapan dariNya. Bumi akan terus berputar, sementara semua mahkluk di bumi ini akan mengalami kematian, dan akan lahir mahkluk-mahkluk baru yang diciptakan oleh Sang Pencipta Yang Maha Tinggi, serta tak seorangpun bisa mencegahnya. Sang penyair menceritakan bahwa / Ia adalah raja manusia/ Mengatur manusia dengan kehendakNya/. Begitu jelasnya ia menggambarkan kebesaran Allah SWT melalui puisi. Ia juga telah begitu komplit meceritakan kehidupan yang keras penuh tantangan. Baris terakhir pun ia lukiskan dengan metafora CINTA yang bisa buat perenungan bagi kita semua untuk kembali pada esensi cinta itu sendiri. Betul-betul puisi yang apik dan menarik untuk kita kaji bersama.

Demikian apresiasi ini. Apa bila ada kurang lebihnya mohon maaf.

Batu, 1382018



Kemarin termuat di Kawaca.@gmail.com
MEMBACA SUNYI Emi Suy Emi
Oleh: Eko Windarto


Membaca pendapat banyak orang tentang hasil karya puisi seorang penyair memang cukup menarik sebab pendapat orang lain berbeda-beda tergantung dari sisi mana menilainya. Semua pembaca berhak berpendapat dan menilai suatu karya puisi menurut kacamata pandangan masing-masing. Juga ketika membaca dan memasuki puisi SUNYI Emi Suy Emi saya berusaha menangkap pahatan yang menyiratkan makna-makna sunyi yang terkandung dalam batang tubuh puisi sunyi yang tercurah bagai malam nglangut sangat sunyi sekali bagai musim hujan menyirami ladang-ladang dingin, sejuk dan menyegarkan.

Setelah membaca puisi SUNYI Emi Suy Emi saya merasa memasuki kekuatan sunyi, ilusi, dan imajinasi yang menakjubkan seperti menggelantung di pelabuhan sunyi. Bagai orang yang sedang mendengar gaung suaranya dan merasakan relung hatinya paling dalam. Sepotong puisi bisa menjadi batu loncatan untuk mencapai tujuan hidup yang lebih luhur yang merupakan aplikasi bayang-bayang dari kemuliaan Allah. Coba kita simak puisi SUNYI yang begitu indah diksi-diksinya, maupun metafora-metaforanya.

SUNYI
Oleh: Emi Suy Emi


daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
mengeja sunyi yang lapang

dua batang pohon tergeletak
saksi percakapan yang retak
angin menoleh
dingin menoreh

diam mematung
rindu terhuyung
lesap ditelan senyap
lelap di peluk harap

mengecup keluh di kening pilu
kenangan berserak
kata berarak
sunyi pun beranak pinak

Emi Suy Emi mencoba apa yang ia lihat seperti melihat dirinya sendiri seperti penggalan pada bait pertama /daun-daun duduk/ ketika melihat daun-daun berserakan di atas bangku, dia seperti merasakan sedang duduk sendiri tanpa ada teman atau saudaranya. Bahkan dia merasa sepi sunyi seperti daun-daun kering /mengemas suntuk/ di bangku panjang/ mengeja sunyi yang lapang/. Dia merasakan begitu panjang hatinya mengeja sunyi dalam jiwanya yang paling suntuk dan sunyi menanti datangnya bunyi gemerincing angin yang sejuk. Ternyata Emi Suy Emi bisa merangkum dan merasakan sunyi yang begitu menggetarkan, menggoda jiwa kepekaannya. Luar binasa eh luar biasa.

Lagi-lagi sang penyair memperlihatkan kepiawaiannya dalam marangkum diksi dan merawat metafora yang terlihat seksi di bait dua /dua batang pohon tergeletak/ saksi percakapan yang retak/. Dari situ dia mencoba dan merasakan ada suatu percakapan yang dia rekam melalui rasa dan mata batinnya yang tajam seperti kamera tersembunyi saja. Sang penyair juga tak luput menyaring kesiur angin yang begitu sejuk merasuk dalam jiwanya yang paling dingin untuk dapat menangkap sesuatu yang tertoreh seperti dalam baris ini /angin menoleh/ dingin menoreh. Sesuatu pengamatan yang dirasakan oleh Emi Suy Emi sendiri.

Setelah bisa merasakan angin dan menangkap percakapan yang retak dia kembali tertegun melihat sesuatu yang terhuyung sebelum hilang atau menelusup di antara harapan yang tidak bisa kita tebak dengan pasti karena hanya Allah dan dia saja yang paling tahu harapan sebenarnya. Coba kita renangi dan renungkan bait ke tiga ini /diam mematung/ rindu terhuyung/ lesap ditelan senyap/lelap di peluk harap/. Dalam bait tiga ini sang penyair betul-betul sendiri sunyi hingga dia diam mematung melihat atau merasakan rindu terhuyung penuh harap. Entah apa yang sebenarnya dia harapkan dari diamnya.

Di bait empat pun sang penyair masih dalam kumparan sunyi yang mengasyikkan. Dia mencoba membuka kenangan lewat kesunyiannya sendiri yang beranak pinak. Tidak seperti sunyi sebuah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang tidak dimanfaatkan dengan baik.

Batu Sekarputih, 1192017



INDERAWI SANG PENYAIR
OLEH: Eko Windarto


Bermula dari pertemuan yang tak disengaja, ternyata bagi seorang penyair adalah ruang pola pikir mengendapkan sesuatu yang tertangkap inderawinya. Ia juga mampu menangkap keindahan di sekelilingnya. Ya, itu semua semacam pengetahuan tentang pengalaman dan penyimakan seorang penyair terhadap situasi yang digerakan keindahan alam semesta.

Aristoteles, mengatakan bahwa untuk memperoleh pengetahuan bisa melalui jalan penalaran, akal, rasio, dan abtraksi. Sedang Plato mengemukakan jalan intuisi dan Bergson dengan rasa jati.

Pada hakekatnya, kita sebagai bangsa Timur mempunyai tujuan dan kesadaran serupa, melalui panca indra menangkap subyek dan obyek dalam memperoleh pengetahuan demi ide yang dapat menjadi sebuah puisi. Pengalaman seperti di atas bagi penyair bisa mengungkapkan keindahan PERTEMUAN yang hanya sekelumit di teras rumah. Mari kita coba menelusuri puisi Indah Patmawati dalam PERTEMUAN nya dengan Fajar Saepul Rohim dan saya di bawah ini.

PERTEMUAN
oleh: Indah Patmawati


Aku melihatmu menahan hujan,
menghentikan angin dan mengikatnya di batang trembesi.
Menyalakan hening, seterang bintang

"Biar tak mengganggu pertemuan kita," katamu.

Aku tak bisa tersenyum.
Sebab sepasang nyamuk selalu menghalangiku berkata jujur.

Ah, aku tak percaya.
Jika kita bisa bertemu!

Bulan seketika padam, dan aku sibuk mencari lilin yang ada di saku bajumu.
Ah, kau!

#eedisinggombal


Menelisik puisi PERTEMUAN seorang pengajar di P4TK PKn yang lulusan S2 bidang Sastra di salah satu perguruan tinggi di Malang merupakan ransangan inderawi tersendiri. Dari baris pertama kita diajak membayangkan pertemuan di bawah hujan gerimis rimis,/Aku melihatmu menahan hujan,/ menghentikan angin dan mengikatnya di batang trembesi/. Dari baris itu jelas sang penyair memperlihatkan ketajamanya memotret keadaan sekelilingnya yang memang dalam keadaan malam yang dingin di bawah hujan gerimis dan di saksikan sebuah pohon trembesi yang ada di sebelah rumahnya. Meski hujan dan langit hitam legam dia tetap menangkap ada sesuatu yang hening dan terang seperti baris berikutnya ini,/Menyalakan hening, seterang bintang/. Dia betul-betul menangkap suatu pertemuan yang terang seperti terangnya bola lampu di teras rumahnya.

Puisi adalah bahasa estetis bagi seorang penyair untuk menyampaikan gagasan dan pesan melalui puisi. Bahasa estetis itu adalah bentuk simbol, lambang, atau gaya bahasa yang mengapung mengarungi sungai metafora, diksi, maupun alegori demi dapat menarik pembaca menggeluti puisi itu sendiri seperti pada bait dua ini./"Biar tak mengganggu pertemuan kita" katamu/. Dari dialog ini, sang penyair berusaha menangkap apa yang bergejolak dalam hati kami masing-masing. Sebuah bahasa dialog yang sederhana tapi mengandung makna begitu dalam.

Hahaha di bait tiga ini kembali bu guru yang mengajar di P4TK PKn ini berceloteh lucu dan menggemaskan seperti edisi gombalnya itu. /Aku tak bisa tersenyum./Sebab sepasang nyamuk selalu/menghalangiku berkata jujur/. Begitu lugu dan lucunya dia menyampaikan pesan lewat bahasa diksi dan metafor melalui SEPASANG NYAMUK. Malah dengan bahasanya yang jujur dia mampu melipat ketidak jujuran. Sungguh suatu simbol yang indah dan melebar.

Rupanya Indah Patmawati tak percaya bisa bertemu dengan teman sesama penyair maya. Itu jelas terlihat di bait berikut ini. /Ah, aku tak percaya/. Jika kita bisa bertemu!/ Rasanya tak mungkin bisa bertemu dengan sesama penyair maya yang rumah tinggal teman seperti Fajar Saepul Rohim bisa bertandang ke rumahnya bersama saya. Padahal, jika kita menyadari, pertemuan itu bukan suatu kebetulan tapi sebuah yang telah ditetapkanNya. Ya, secara kasat mata memang terlihat kebetulan. Baru setelah terjadi pertemuan kita harusnya menyadari bahwa itu adalah kehendakNya.

Bait terakhirnya juga menggelitik untuk di renangi dengan papan selancar hati. /Bulan seketika padam, dan aku sibuk/ mencari lilin yang ada di saku bajumu/. Denang metafora bulan, serasa mencoba menggambarkan malam yang dingin dan kelam. Ya, memang waktu itu gak ada bulan, wong hujan rintik-rintik. Tapi disini seakan dia gambarkan habis bulan purnama. Namun demikian dia mencoba /dan sibuk mencari lilin yang ada di saku bajumu/. Dari situlah sangat terlihat jelas dia mencoba memberi kesan bahwa dirinya berusaha menyenangkan para tamunya dengan cahaya senyuman. Betul-betul pesan yang singkat, padat dan bergizi.

Akhirul kalam, saya sebagai penulis esai ini mengutip peribahasa lama " tidak ada gading yang tak retak," tak ada karya yang sempurna. Dalam penyajian esai ini masih banyak kekurangan sana-sini, untuk itu penulis mohon maaf dan sangat berterimakasih bila ada tegur sapa atau kritik yang disampaikan pembaca demi kebaikan bersama.

Batu Sekarputih, 812018



MELALUI PUISI
Oleh: Eko Windarto

Esai ini telah termuat di MAJALAH NEOKULTUR

Melalui puisi tali temali peradaban bergayung sambut terus menerus, baik kontroversi akan pandangan pandangan maupun kepiawaian memproduksi abstraksi ide dalam bentuk puisi yang menggoda.

Melalui kontestasi puisi tatanan peradaban bisa dilembutkan dalam wadah kasar peradaban. Puisi puisi dilahirkan pemikiran penyair yang bisa jadi kaki tangan penguasa kadang juga dijadikan media untuk melawan rezim.

Puisi juga bisa menggambarkan metafisika atau antimetafisika, bisa juga menjelma tranformasi ifrit yang menjunjung tinggi pemikiran bebas tanpa batas. Mari kita coba membaca puisi Ikha Djingga di bawah ini.

1/ Selangkangan Malam

Pada kerampang malam yang hitam
Aku mengkaji imaji yang lapar
Mulutnya selalu menganga buas, siap mengoyak apa saja
Bahkan selulit terjebak di antara paha malam yang legam

Aku coba menyusuri keindahannya yang buta
Tapi aksara tanpa cahaya bagai purnama yang terpenggal
Hanya ada kelam yang saling menikam
Haruskah aku melangkahi minda tanpa kaki?

Pada selangkangan malam tak kutemukan hasrat
Yang ada rindu tanpa syarat
Bahkan ketika tubir bibir mencibir aku tak akan minggir
Aku akan tetap di sini di antara lekuknya
Meski malam-malam tak lagi punya selangkangan

Batam, 26 Sept'17

Ikha Djingga

Mari kita coba merenangi puisi SELANGKANG MALAM yang begitu legam menggetarkan malam hati sang pujangga. /Pada kerampang malam yang hitam/ Aku mengkaji imaji yang lapar/ dari kata dua baris itu kita bisa menangkap betapa malam tanpa bintang dan bulan bisa menghadirkan imajinasi sang pujangga. Dalam selakang malam dia bisa merasakan gelap malam menciptakan cahaya imajinya./ Mulut selalu menganga buas, siap mengoyak apa saja/. Jelas sekali sang pujangga selalu lapar dan hanyut dalam birahi menciptakan puisi hingga siapapun tak bisa menghalangi keinginannya. Dia siap mengoyak siapa saja. Mulut kebatinannya selalu siap mengoyak malam yang sepi maupun pilu sekalipun. /Bahkan sesulit terjebak di antara paha malam yang legam/ pun dia siap melumat. Terlihat sangat kuat kemauan sang pujangga Ikha Djingga.

Mamasuki bait kedua kita diajak memasuki rumah diksi dan metafora puisinya. Mari kita telisik dengan mata batin. /Aku coba menyusuri keindahannya yang buta/, nah, di situ kita dibawa ke dalam bahasa sastranya yang sederhana tapi tidak sesederhana yang dibayangkan.
Bahasa menyusuri keindahan yang buta ternyata mempunyai makna sangat dalam dan lebar. Kata buta itu sangat menari dan maknanya bisa mengapung kemana- mana. /Tapi aksara tanpa cahaya bagai purnama yang terpenggal/. Pesona bahasa jiwa Ikha Djingga kembali mengajak untuk diselami secara fisolofis dan mendalam. Ternyata kata-kata tanpa cahaya hati dan pikiran akan terjadi kesemuan atawa kesia-sian belaka bagai purnama yang terpenggal. /Hanya ada kelam yang saling menikam/ Haruskah aku melangkahi minda tanpa kaki?/ Dari kiasan di atas bisa kita petik hikmah kehidupan yang digelayuti ragu. /Haruskah aku melangkahi minda tanpa kaki?/, itu adalah gambaran hati penuh keraguan. Dan keraguan itu adalah setan.

Lagi-lagi rasa sang pujangga menemukan rindu sejati rindu seperti puisinya di bait tiga ini /Pada selangkangan malam tak kutemukan hasrat/ Yang ada rindu tanpa syarat/. Memang jika menemui atau mencari Sang Rindu harus sabar dan ihklas karena itu adalah kunci sang pecinta Rindu. /Bahkan ketika tubir bibir mencibir aku tak akan minggir/ Aku akan tetap di sini di antara lekuknya/. Apa yang dilakukannya penuh ejekan dan cibiran ia tetap tegak lurus tak mau minggir meski coba dikalahkan nafsunya sendiri. /Meski malam-malam tak lagi punya selangkangan/. Betul-betul Ikha Djingga ingin memenangkan hati dan jiwanya. Uhhh....menarik!

Puisi sebagai seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Puisi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawaa oraang lain kedalam keadaan hatinya. Boleh juga untuk curhat hehehe...

Beberapa puisi Desi Oktoriana digarap dengan penghayatan dan penuh kontemplasi sehingga kita menganalisis memerlukan perenungan-perenungan yang dalam.

Acap kali sebuah kumpulan puisi bisa memperluas fungsinya menjadi wawasan pembaca. Bisa juga sebuah puisi mengetuk hati kita untuk berubah lebih baik dari hari-hari kemarin. Kadang puisi hadir di sekat hati yang gamang. Kadang juga mampu mengaduk-aduk pembacanya dengan tarian-tarian kesadaran di sela-sela diksi yang mengandung aroma memabukkan. Juga bisa membawa kita pada permenungan di jalan-jalan kehidupan ini.

Keindahan teks puisi terletak pada kepiawaian dan pemilihan kata-kata yang berlisensia puitika yang didukung wawasan dan napas yang lama dalam dunia kepenyairan. Puisi bukan kata-kata puitis yang dibagus-baguskan semata. Akan tetapi puisi bagus adalah puisi yang tidak saja berhasil menyapa pembaca, tapi mempunyai nilai di balik diksi, ritme, idiom yang bisa diterima pembaca dengan nyaman. Coba kita simak puisinya.

SERUPA LANGIT BIRU
Oleh: Desi Oktoriana


serupa langit biru ijinkan awan hitamnya memburu,
jadikan temaram menyesap sedalam kalbu
berikan kisah mengandung pilu
saat kau terbujur kaku
dalam tidur panjangmu

ayah,
kusapa dirimu dalam sehelai do'a dan tangis resah
menekuri ujung hari dalam sebuah sembah
kumohonkan sebentang tanah lapang nan sadrah
tempatmu berleha-leha
dalam tidur panjangmu

ayah,
semenjak tongkat mu yang tersungkur memilih bisu
sebisu malammalam tanpa lantunan ayat yang selalu kau seru sepenuh kalbu
kualirkan do'a rinduku
dalam tidur panjangmu

ujaran syahdu pada-Nya penaka rinduku
serupa langit biru ijinkan awan hitamnya memburu,
bukan temaram datangkan pilu
namun hujan yang menghempas debu
yang membasahi tanahmu

Bandung, 7 Juli 2017


Jika kita berdiam diri sejenak, maka suasana kebatinan akan bisa merasakan keadaan di sekelilingnya seperti bisa merasakan puisi SERUPA LANGIT BIRU yang digambarkan Desi Oktoriana. Mari kita telisik sambil merenangi bahasa atau teks sastra pembuka, /serupa langit biru ijinkan awan hitam memburu,/jadikan temaram menyesal sedalam kalbu/ berikan kisah mengandung pilu/ saat kau terbujur kaku/ dalam tidur panjangmu/. Sang penyair mencoba menggambarkan suasana duka sedang memburu kisah bersama sang ayahnya. Melihat ayahnya terbujur kaku dia terbayang kenangan suka dan duka bersama sang ayah semasa masih hidup. Hingga kepedihan itu merasuk dan menelusup sampai kalbunya. Ya, memang ketika kita ditinggalkan orang yang sangat dicintai adalah suatu kepedihan sangat mendalam. Apalagi dia adalah seorang ayah yang sangat disayangi. Sangat memilukan.

Dalam bait kedua dia mencoba menyapa sang ayah lewat doa-doa. Sayang seribu sayang sang penyair masih menangis resah dalam doa. Padahal orang yang telah mati atau kembali keharibaanNya gak boleh ditangisi kecuali harus selalu didoakan, seperti yang tersirat dan tersurat dalam penggalan baris ini, /ayah, kusapa dirimu dalam sehelai doa dan tangis resah/. Meski demi dalam baris berikutnya dia tiap detik terus saja berdoa mendoakannya, itu terlihat pada baris ini,/menekuri ujung hari dalam sebuah sembah/, terasa sekali setiap habis sholat mahgrib sang penyair selalu mendoakan arwah ayahnya. Dia juga berharap ayahnya bisa dengan tenang dan senang menempati rumah baru dengan suasana baru di kehidupan yang baru pula seperti yang telah tertulis pada baris berikut ini, /kumohon sebentang tanah lapang nan sadrah/ tempatmu berleha-leha/ dalam tidur panjangmu/. Bahasa sastranya begitu sederhana nan halus. Kita seakan dibawa kealam kubur begitu kuat.

Desi Oktoriana kembali mengajak kita mengapung mengarungi bait tiga dalam puisinya, /ayah, semenjak tongkat mu yang tersungkur memilih bisu/. Dia mengajak pembaca menyusuri metafora tongkat tersungkur/ memilih bisu. Metaforanya terasa halus dan sublim. /sebisu malammalam tanpa lantunan ayat/ yang selalu kau seru sepenuh kalbu/. Sang penyair kembali menceritakan dan menggambarkan ketika ayahnya masih ada selalu atau sering mendengarkan ayat-ayat sucu al'quran dibacakan ayahnya. Sangat jelas dia menggambarkan suasana hatinya. Itu juga terlihat dengan baris berikutnya, /kualirkan do'a rinduku/ dalam tidur panjangmu/. Ini penggambaran seorang anak yang berbakti pada orang tuanya. Setiap saat dia selalu mendoakan ayahnya yang telah tiada. Mungkin dia mengerti bahwa ayah yang telah tiada selalu menanti doa dari anak-anaknya sebagai pengurangan siksa dalam kubur.

Dalam doanya yang syahdu, Desi Oktoriana berharap bisa menyambung tali silatuhrami dengan sang ayah. /ujaran syahdu pada-Nya penaka rindu/ betul-betul dia melukiskan doanya seperti rindu yang selalu menggoda kalbunya. /serupa langit biru ijinkan awan hitamnya memburu, bukan temaram datangkan pilu/. Diksi dan metaforanya memainkan bahasa dalam perasaannya yang begitu dalam nan pilu. /namun hujan yang menghempas debu/ yang membasahi tanahmu/. Meski hati sang penyair dalam keadaan berduka dan berkabung dia tetap berharap Allah SWT memberikan kenyamanan dan kesejuk di alam kubur ayahnya. Itulah sekelumit narasi untuk menyelami sebuah rasa berkabung melalui puisi Desi Oktoriana yang begitu jauh merenungi kedukaannya sendiri.

Batu Sekarputih, 22102017



PENYAIR ADALAH PENYIMAK DAN PENELAAH
Oleh: Eko Windarto


Seorang penyair adalah penyimak dan penelaah yang jeli melihat keadaan sekelilingnya. Tugas penyair itu menyair, tidak perlu membela syairnya bila ada yang mengkritisi. Biarlah syair itu sendiri menemui pembacanya dan mencatat sejarahnya sendiri. Penyair itu berkarya menuangkan gagasan sepenuh hati. Semakin matang seorang penyair, makin kental dalam menuntaskan gejolak rasa yang menggumpal dan berkecamuk dalam benaknya. Termasuk tersentuh oleh indera dan jiwanya. Suasana puitis datang kapan saja, dimana saja. Tak perlu mencari di dalam kamar atau mencari kekhusyukan. Karena memang di sekelilingnya banyak hiruk-pikuk ide berseliweran. Tinggal bagaimana sang penyair menangkap ide itu melalui perenungan yang tentunya ditunjang oleh literasi yang bersangkutan. Sebab syair yang diciptakan seorang penyair akan memperlihatkan seberapa besar penyairnya bergulat dengan literasi akan menunjang kemantapan syair yang diciptakan.

Syair dalam puisi merupakan karya sastra yang menyampaikan pesan dalam bahasa lebih padat, penuh makna daripada pemakaian bahasa pada karya prosa dan drama. Dalam puisi terdapat unsur intrinsik dan ektrinsik. Intrinsik sebagai unsur membangun terbentuknya suatu puisi yang membangun dari dalam puisi itu sendiri. Tema juga merupakan permasalahan pokok bagi penyair untuk menguraikan gagasan atau ide dalam menulis puisi. Mari kita coba mengurai puisi Edy Witanto di bawah ini yang tentunya perlu kejelian dan data yang akurat untuk mencapai gagasan sang penyairnya.

SUSI SRIKANDI INDONESIA

Gaya fenomenal
sikap cuek sebalkan siapa saja
jadi menteri tak menduga
lulusan SMP ijazah apa?

Kritikan datang dari segala arah
Sangsikan sepak terjangnya
Mau dibawah kemana indonesia ?
Jika menterinya wanita
Pendidikan ala kadarnya
Kemampuan buram dilihat kaca mata

Dunia lupa rakyat indonesia
adalah manusia setengah dewa
Jangankan hidup di gurun sahara
Mengambil mataharipun sambil ketawa
jangankan hidup di kutub utara
Di tenggelamkan disamudra atlantikpun masih bergurau renyah

Suara dentuman kapal nelayan asing di ledakkan
Membelakkan mata dunia yang terpejam
Mengorek telinga yang lama tersumpal kesombongan
PBB menyanyi gayanya bagai cacing kepanasan
Seluruh pimpinan negara layangkan nota protes keberatan

Diatas awan susi srikandi indonesia
Berkata lantang keseluruh dunia

Indonesia negara kaya raya
Kekayaan alam melimpah ruah
Emas permata ada di mana mana
Ikan dilaut tak terhitung banyaknya
Rakyatnya terkenal ramah tamah

Tapi jangan coba coba cari masalah
Wanitanya saja bila marah membuat kalang kabut dunia
Bagaimana jika prianya yang marah maju dan angkat senjata ?

Amerika boleh pongah sebagai negara adi daya
Rusia boleh bangga dengan persenjataan canggihnya
China boleh tertawa dengan berjuta militernya

Kami bangsa indonesia
Punya segala galanya
Tinggal mengelolah

Jika berani macam macam
Bukan hanya militernya yang perang
Tapi laskar laskarnya juga menghunus pedang
Dan rakyatnya sebagai tumbal negara adalah idaman

edy malang 14 / 05 / 17


Dari temanya saja kita sudah diberi kunci untuk memasuki rumah puisinya yang terlihat jelas sekali: SUSI SRIKANDI INDONESIA. Betul-betul kita diperintahkan siapa sosok yang ia tuju. Ya... seorang Menteri kelautan dengan gayanya tegas, apa adanya, cuek menyebalkan bagi orang terkena dampak pola pikirnya yang tajam terpercaya seperti yang tergambar dalam /gaya fenomenal/ sikap cuek sebalkan siapa saja/. Jelas ini melawan arus pejabat atau menteri sebelumnya. Ia sangat tegas dalam memegang prinsip dan amanah masyarakatnya. Ini jarang terjadi di Republik ini. Orang juga tak menduga, bila ia adalah seorang menteri berpendidikan paling rendah di antara menteri lainnya. Tapi ia yang paling berani dan tegas dalam menindak ketidak benaran. / jadi menteri tak menduga/ lulusan SMP ijazah apa?/ Banyak orang lupa bahwa Allah menurunkan ilmu dan keberanian tidak memilih orang itu berpangkat, bergelar banyak, kaya atau miskin. Semua di mata Allah itu sama.

Banyak orang menyangsikan menteri yang berpendidikan rendah, padahal setelah kita tahu sepak terjangnya, baru menyadari bahwa ia ternyata tak kalah dengan menteri yang berpendidikan tinggi. / Kritikan datang dari segala arah/ Sangsikan sepak terjangnya/ Mau dibawa kemana Indonesia?/ Jika menterinya wanita/ Pendidikan ala kadarnya/ Kemampuan buram dilihat kaca mata/ Betul-betul kita ini masih terpaku pada pendidikan tinggi yang belum tentu berkualitas tinggi seperti menteri berpendidikan ala kadarnya. Ironi! Orang lupa, bahwa memandang orang lain rendah sama halnya merendahkan Allah juga. Sebab manusia berpendidikan rendah dan derajat yang direndahkan adalah ciptaanNya juga.

Hahahaha / Dunia lupa rakyat Indonesia/ adalah manusia setengah dewa/ Jangankan hidup di gurun sahara/ Mengambil mataharipun sambil tertawa/ juga hidup di kutub utara/ Di tenggelamkan disamudera atlantik pun/ masih bergurau renyah/ Nah, dari ungkapan di atas telah menunjukkan pada dunia yang notabene mengagungkan-ngagungkan pendidikan tinggi yang belum tentu bisa mencetak manusia berkualitas tinggi. Maklumlah, dunia sekarang lagi mengagungkan sains dan teknologi, serta menuhankan uang tanpa mereka sadari itu adalah kesalahan fatal.

Banyak kapal pencuri asing yang diledakkan dan ditenggelamkan. Ini suatu keberanian seorang ibu. Dunia marah. Seakan tak percaya dengan gaya seorang wanita berpendidikan rendah yang berani menumpas maling-maling kakap kelas dunia. / Suara dentuman kapal nelayan asing diledakkan/ Membelalakkan mata dunia yang terpejam/ Mengorek telinga yang lama tersumpal kesombongan/ PBB menyanyi gaya bagai cacing kepanasan/ Seluruh pimpinan negara layangkan nota protes keberatan/ Ternyata dunia telah dibukakan matanya oleh menteri berpendidikan rendah ini. Sampai-sampai PBB dan negara-negara lainnya kebakaran jenggot dengan konsep yang jelas dan bertanggung jawab.

Ini negara hukum bung. Bukan negara tak bertuan yang seenaknya bisa dijarah. Menteri Susi berkata lantang. Dunia harus tunduk terhadap hukum negara kita. Dan itu selayaknya harus dipatuhi dan dipahami semua negara termasuk PBB.
Indonesia itu negara besar dan kaya raya meski rakyat masih banyak tak bisa menikmati hasil kekayaan negara sendiri alias gigit jari melihat sebagian pejabatnya menjual sebagian kekayaan Indonesia dengan tenang penuh kesombongan. / Indonesia negara kaya raya/ Kekayaan alam melimpah ruah/ Emas permata ada di mana-mana/ Ikan dilautan tak terhitung banyaknya/ Rakyat terkenal ramah tamah/.

Pada bait tujuh, wanita dijadikan simbol yang kuat selain lelaki. Di sini jelas sang penyairnya menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Jelas ini penyair mempunyai data yang jelas, tidak hanya bermain imajinasi kosong seperti banyak penyair yang mencoba menulis sosial politik, tapi hanya sekedar imajinasi dan kejengkelan semata. /Tapi jangan coba-coba cari masalah/ Wanitanya saja bila marah membuat kalang kabut dunia/ Bagaimana jika prianya yang marah maju dan angkat senjata?/ Jelas dunia makin takut dibuatnya. Indonesia terkenal orang-orang cerdik pandai dan tahan makan apa saja.

Sekian kali penyair ini memberi gambaran tentang negara Indonesia dengan gamblang dan membakar jiwa patriotisme. / Amerika boleh pongah sebagai negara Adi daya/ Rusia boleh bangga dengan persenjataan canggihnya/ China boleh tertawa dengan berjuta militernya/. Rakyat Indonesia tidak takut dengan segala kekuatan dan kecanggihan persenjataan karena Indonesia mempunyai kekuatan spiritual dan kekuatan strategi kultural yang tidak dipunyai negara manapun.

Ya, kami mempunyai segala-galanya yang tinggal mengolah saja. Jangan main-main dengan kami. Sebagai rakyat kami selalu siap membela negara sampai titik penghabisan seperti yang digambarkan sang penyair di bait sembilan dan sepuluh.

Benar-benar puisi di atas adalah sebuah pembelajaran bagi kita, terutama pejabat atau menteri lainnya. Itulah sekelumit gambar yang bisa saya sajikan. Semoga bermanfaat. Amin.

Batu, 2222018



SAJAK PERSONAL EKO WINDARTO DALAM "NYANYIAN CINTA"
Oleh: Cunong Nunuk Suraja


Seperti buku Sapardi Djoko Damono 'Bilang Begini Maksudnya Begitu' beda berita dan puisi itu pada tampilan penulisan yang normalnya puisi tidak beralinea tapi berbait. Puisi berkekuatan musik bunyi sehingga sering dinyanyikan maka secara harafiah fesbukiyah judul sajak ini sudah menyaran dan resmi sebagai puisi bunyi maupun nyanyi.

Pada bait pertama terasa penyair jadi dalang yang melantunkan pengkisahan menjadikan sajak ini membalada yang bercerita tentang tokoh aku :

aku bicara tentang cinta
getaran nadanya mampu menggoyahkan jiwa
kumandangnya harum bagai bunga
membuka kidung jula juli perawan suci
siapa yang berani membuka pintu lagu kasih sayang ini
adalah rahasia-rahasia hati yang paling wangi
menyimpan bisikan sanubari paling berani memecah sunyi


Seandainya ada catatan kaki untuk menambah informasi tentang bait pertama puisi balada ini dapat beralih rupa jadi puisi esai. Puisi yang terlahir dari penelitian ilmiah dengan penampilan berbait, bukan beralinea. Puisi dengan minimal 2000 kata dengan minimal sepuluh catatan kaki akan bernilai tukar minimal lima juta. Jika untung dapat ikut kontes puisi esai Asean berhadiah seratus juta.

Pada bait kedua sajak menjadi sosok berjiwa dan membuhulkan cinta model Cinderella. Sjmak bait kedua berikut.

sebuah sajak yang bernafas dalam benih hatiku
mengalirkan kasih sayang di tiap desir nadimu
tiap-tiap desah napas tersimpan rasa risau mendesau merasuk ke dalam sukmaku
betapa desir nyanyianmu yang fana itu
menjadi saksi bisu di ujung penglihatan batinku
yang memantulkan cahaya dari air mataku
dan disembunyikan oleh kesadaran cinta


Rahasia cinta memang pelik dan membuahkan kisah beraneka rasa seperti juga kisah Pangeran Kodok yang ciumannya membuyarkan kekuatan jahat sihir.

Eko Windarto
NYANYIAN CINTA


aku bicara tentang cinta
getaran nadanya mampu menggoyahkan jiwa
kumandangnya harum bagai bunga
membuka kidung jula juli perawan suci
siapa yang berani membuka pintu lagu kasih sayang ini
adalah rahasia-rahasia hati yang paling wangi
menyimpan bisikan sanubari paling berani memecah sunyi

sebuah sajak yang bernafas dalam benih hatiku
mengalirkan kasih sayang di tiap desir nadimu
tiap-tiap desah napas tersimpan rasa risau mendesau merasuk ke dalam sukmaku
betapa desir nyanyianmu yang fana itu
menjadi saksi bisu di ujung penglihatan batinku
yang memantulkan cahaya dari air mataku
dan disembunyikan oleh kesadaran cinta

ah.... meneguk rasa kasih sayangku dalam jubahmu
adalah gema jiwa tanpa kata

ketika nyanyian rindu dikumandangkan oleh kesunyian jiwa
mimpi dan bayanganmu melipat lagu rohani yang digubah oleh renungan cinta
getaran nadanya bagai rahasia debur ombak samudra
menyalipku pada gelombang air mata
sebagai perahu yang menyatukan cuaca dalam menangkap cinta

aku berusaha memecah sunyi
menuturkan bisikan sanubari
yang terungkap oleh hati
melagukan kidung suci
sebagaimana cinta memahkotai hati
menyanyikan melodi
meluluhkan diri
mengalir bagaikan kali
mereguk dahaga siang tadi

Batu, 1372018



MELALUI PUISI
Oleh: Eko Windarto


Esai ini telah termuat di MAJALAH NEOKULTUR

Melalui puisi tali temali peradaban bergayung sambut terus menerus, baik kontroversi akan pandangan pandangan maupun kepiawaian memproduksi abstraksi ide dalam bentuk puisi yang menggoda.

Melalui kontestasi puisi tatanan peradaban bisa dilembutkan dalam wadah kasar peradaban. Puisi puisi dilahirkan pemikiran penyair yang bisa jadi kaki tangan penguasa kadang juga dijadikan media untuk melawan rezim.

Puisi juga bisa menggambarkan metafisika atau antimetafisika, bisa juga menjelma tranformasi ifrit yang menjunjung tinggi pemikiran bebas tanpa batas. Mari kita coba membaca puisi Ikha Djingga di bawah ini.

1/ Selangkangan Malam

Pada kerampang malam yang hitam
Aku mengkaji imaji yang lapar
Mulutnya selalu menganga buas, siap mengoyak apa saja
Bahkan selulit terjebak di antara paha malam yang legam
Aku coba menyusuri keindahannya yang buta
Tapi aksara tanpa cahaya bagai purnama yang terpenggal
Hanya ada kelam yang saling menikam
Haruskah aku melangkahi minda tanpa kaki?
Pada selangkangan malam tak kutemukan hasrat
Yang ada rindu tanpa syarat
Bahkan ketika tubir bibir mencibir aku tak akan minggir
Aku akan tetap di sini di antara lekuknya
Meski malam-malam tak lagi punya selangkangan

Batam, 26 Sept'17
Ikha Djingga


Mari kita coba merenangi puisi SELANGKANG MALAM yang begitu legam menggetarkan malam hati sang pujangga. /Pada kerampang malam yang hitam/ Aku mengkaji imaji yang lapar/ dari kata dua baris itu kita bisa menangkap betapa malam tanpa bintang dan bulan bisa menghadirkan imajinasi sang pujangga. Dalam selakang malam dia bisa merasakan gelap malam menciptakan cahaya imajinya./ Mulut selalu menganga buas, siap mengoyak apa saja/. Jelas sekali sang pujangga selalu lapar dan hanyut dalam birahi menciptakan puisi hingga siapapun tak bisa menghalangi keinginannya. Dia siap mengoyak siapa saja. Mulut kebatinannya selalu siap mengoyak malam yang sepi maupun pilu sekalipun. /Bahkan sesulit terjebak di antara paha malam yang legam/ pun dia siap melumat. Terlihat sangat kuat kemauan sang pujangga Ikha Djingga.

Mamasuki bait kedua kita diajak memasuki rumah diksi dan metafora puisinya. Mari kita telisik dengan mata batin. /Aku coba menyusuri keindahannya yang buta/, nah, di situ kita dibawa ke dalam bahasa sastranya yang sederhana tapi tidak sesederhana yang dibayangkan.

Bahasa menyusuri keindahan yang buta ternyata mempunyai makna sangat dalam dan lebar. Kata buta itu sangat menari dan maknanya bisa mengapung kemana- mana. /Tapi aksara tanpa cahaya bagai purnama yang terpenggal/. Pesona bahasa jiwa Ikha Djingga kembali mengajak untuk diselami secara fisolofis dan mendalam. Ternyata kata-kata tanpa cahaya hati dan pikiran akan terjadi kesemuan atawa kesia-sian belaka bagai purnama yang terpenggal. /Hanya ada kelam yang saling menikam/ Haruskah aku melangkahi minda tanpa kaki?/ Dari kiasan di atas bisa kita petik hikmah kehidupan yang digelayuti ragu. /Haruskah aku melangkahi minda tanpa kaki?/, itu adalah gambaran hati penuh keraguan. Dan keraguan itu adalah setan.

Lagi-lagi rasa sang pujangga menemukan rindu sejati rindu seperti puisinya di bait tiga ini /Pada selangkangan malam tak kutemukan hasrat/ Yang ada rindu tanpa syarat/. Memang jika menemui atau mencari Sang Rindu harus sabar dan ihklas karena itu adalah kunci sang pecinta Rindu. /Bahkan ketika tubir bibir mencibir aku tak akan minggir/ Aku akan tetap di sini di antara lekuknya/. Apa yang dilakukannya penuh ejekan dan cibiran ia tetap tegak lurus tak mau minggir meski coba dikalahkan nafsunya sendiri. /Meski malam-malam tak lagi punya selangkangan/. Betul-betul Ikha Djingga ingin memenangkan hati dan jiwanya. Uhhh....menarik!

Puisi sebagai seni tertulis di mana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya untuk tambahan, atau selain arti semantiknya. Penekanan pada segi estetik suatu bahasa dan penggunaan sengaja pengulangan, meter dan rima adalah yang membedakan puisi dari prosa. Puisi sebagai perwujudan imajinasi manusia, yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang membawaa oraang lain kedalam keadaan hatinya. Boleh juga untuk curhat hehehe...

Beberapa puisi Desi Oktoriana digarap dengan penghayatan dan penuh kontemplasi sehingga kita menganalisis memerlukan perenungan-perenungan yang dalam.

Acap kali sebuah kumpulan puisi bisa memperluas fungsinya menjadi wawasan pembaca. Bisa juga sebuah puisi mengetuk hati kita untuk berubah lebih baik dari hari-hari kemarin. Kadang puisi hadir di sekat hati yang gamang. Kadang juga mampu mengaduk-aduk pembacanya dengan tarian-tarian kesadaran di sela-sela diksi yang mengandung aroma memabukkan. Juga bisa membawa kita pada permenungan di jalan-jalan kehidupan ini.

Keindahan teks puisi terletak pada kepiawaian dan pemilihan kata-kata yang berlisensia puitika yang didukung wawasan dan napas yang lama dalam dunia kepenyairan. Puisi bukan kata-kata puitis yang dibagus-baguskan semata. Akan tetapi puisi bagus adalah puisi yang tidak saja berhasil menyapa pembaca, tapi mempunyai nilai di balik diksi, ritme, idiom yang bisa diterima pembaca dengan nyaman. Coba kita simak puisinya.

SERUPA LANGIT BIRU
Oleh: Desi Oktoriana


serupa langit biru ijinkan awan hitamnya memburu,
jadikan temaram menyesap sedalam kalbu
berikan kisah mengandung pilu
saat kau terbujur kaku
dalam tidur panjangmu
ayah,
kusapa dirimu dalam sehelai do'a dan tangis resah
menekuri ujung hari dalam sebuah sembah
kumohonkan sebentang tanah lapang nan sadrah
tempatmu berleha-leha
dalam tidur panjangmu
ayah,
semenjak tongkat mu yang tersungkur memilih bisu
sebisu malammalam tanpa lantunan ayat yang selalu kau seru sepenuh kalbu
kualirkan do'a rinduku
dalam tidur panjangmu
ujaran syahdu pada-Nya penaka rinduku
serupa langit biru ijinkan awan hitamnya memburu,
bukan temaram datangkan pilu
namun hujan yang menghempas debu
yang membasahi tanahmu

Bandung, 7 Juli 2017


Jika kita berdiam diri sejenak, maka suasana kebatinan akan bisa merasakan keadaan di sekelilingnya seperti bisa merasakan puisi SERUPA LANGIT BIRU yang digambarkan Desi Oktoriana. Mari kita telisik sambil merenangi bahasa atau teks sastra pembuka, /serupa langit biru ijinkan awan hitam memburu,/jadikan temaram menyesal sedalam kalbu/ berikan kisah mengandung pilu/ saat kau terbujur kaku/ dalam tidur panjangmu/. Sang penyair mencoba menggambarkan suasana duka sedang memburu kisah bersama sang ayahnya. Melihat ayahnya terbujur kaku dia terbayang kenangan suka dan duka bersama sang ayah semasa masih hidup. Hingga kepedihan itu merasuk dan menelusup sampai kalbunya. Ya, memang ketika kita ditinggalkan orang yang sangat dicintai adalah suatu kepedihan sangat mendalam. Apalagi dia adalah seorang ayah yang sangat disayangi. Sangat memilukan.

Dalam bait kedua dia mencoba menyapa sang ayah lewat doa-doa. Sayang seribu sayang sang penyair masih menangis resah dalam doa. Padahal orang yang telah mati atau kembali keharibaanNya gak boleh ditangisi kecuali harus selalu didoakan, seperti yang tersirat dan tersurat dalam penggalan baris ini, /ayah, kusapa dirimu dalam sehelai doa dan tangis resah/. Meski demi dalam baris berikutnya dia tiap detik terus saja berdoa mendoakannya, itu terlihat pada baris ini,/menekuri ujung hari dalam sebuah sembah/, terasa sekali setiap habis sholat mahgrib sang penyair selalu mendoakan arwah ayahnya. Dia juga berharap ayahnya bisa dengan tenang dan senang menempati rumah baru dengan suasana baru di kehidupan yang baru pula seperti yang telah tertulis pada baris berikut ini, /kumohon sebentang tanah lapang nan sadrah/ tempatmu berleha-leha/ dalam tidur panjangmu/. Bahasa sastranya begitu sederhana nan halus. Kita seakan dibawa kealam kubur begitu kuat.

Desi Oktoriana kembali mengajak kita mengapung mengarungi bait tiga dalam puisinya, /ayah, semenjak tongkat mu yang tersungkur memilih bisu/. Dia mengajak pembaca menyusuri metafora tongkat tersungkur/ memilih bisu. Metaforanya terasa halus dan sublim. /sebisu malammalam tanpa lantunan ayat/ yang selalu kau seru sepenuh kalbu/. Sang penyair kembali menceritakan dan menggambarkan ketika ayahnya masih ada selalu atau sering mendengarkan ayat-ayat sucu al'quran dibacakan ayahnya. Sangat jelas dia menggambarkan suasana hatinya. Itu juga terlihat dengan baris berikutnya, /kualirkan do'a rinduku/ dalam tidur panjangmu/. Ini penggambaran seorang anak yang berbakti pada orang tuanya. Setiap saat dia selalu mendoakan ayahnya yang telah tiada. Mungkin dia mengerti bahwa ayah yang telah tiada selalu menanti doa dari anak-anaknya sebagai pengurangan siksa dalam kubur.

Dalam doanya yang syahdu, Desi Oktoriana berharap bisa menyambung tali silatuhrami dengan sang ayah. /ujaran syahdu pada-Nya penaka rindu/ betul-betul dia melukiskan doanya seperti rindu yang selalu menggoda kalbunya. /serupa langit biru ijinkan awan hitamnya memburu, bukan temaram datangkan pilu/. Diksi dan metaforanya memainkan bahasa dalam perasaannya yang begitu dalam nan pilu. /namun hujan yang menghempas debu/ yang membasahi tanahmu/. Meski hati sang penyair dalam keadaan berduka dan berkabung dia tetap berharap Allah SWT memberikan kenyamanan dan kesejuk di alam kubur ayahnya. Itulah sekelumit narasi untuk menyelami sebuah rasa berkabung melalui puisi Desi Oktoriana yang begitu jauh merenungi kedukaannya sendiri.

Batu Sekarputih, 22102017



MENANAM ILMU KEBAIKAN ADALAH CAHAYA


Salah satu tujuan ilmu pengetahuan adalah menegak­kan amar ma’ruf nahy munkar. Ilmu yang tak berdiri atas kebaikan dan memerangi kemungkaran adalah ilmu yang hampa.

Rasulullah saw pernah bersabda, ”Ketahuilah, bahwa ilmu adalah cahaya (nur).” Sifat cahaya yang paling utama adalah memberi penerang. Mengusir kegelapan juga menjadi salah satu tujuan munculnya cahaya. Petunjuk arah juga peran yang tak kalah penting dari cahaya. Maka, ilmu yang benar akan menjadi cahaya yang mengusir kegelapan, sekaligus menunjukkan arah kebaikan.

Posisi ilmu sebagai cahaya adalah posisi mulia dalam kehidupan manusia. Ilmu begitu mulia, bahkan karena kemuliaan ilmu, Allah memerintahkan nabinya untuk berdoa agar Rabbul Izzati berkenan memberi ilmu sebagai rezeki. ”Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: ’Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan,” (QS Thahaa: 114).

Maka, sebuah konsekuensi yang sangat logis ketika kita mempelajari sesuatu yang mulia maka kemuliaan yang sama dengan sendirinya akan menjadi milik kita. Allah memuliakan dan meninggikan derajat manusia yang memiliki ilmu. ” Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: ”Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: ”Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS al Mujadilah: 11).

Sesungguhnya, seluruh penciptaan ini tidak memiliki tujuan lain kecuali penghambaan. ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku,” (QS Adz Dzaariyaat: 56) Karena itupula, setiap ilmu pengetahuan yang kita pelajari tidak lain harus dibangun dengan satu tujuan, agar proses pengabdian kita kepada Allah SWT lebih baik dan semakin sempurna.

Karena itu pula Rasulullah pernah bersabda tentang ilmu yang paling baik untuk manusia. ”Barangsiapa yang dikehendaki Allah menerima kebaikan, maka Dia akan memberinya kemampuan untuk memahami ilmu agama,” sabda Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan Tirmidzi.

Ilmu yang baik akan bermanfaat, dan manfaat yang paling besar dalam kehidupan ini adalah menegakkan amar ma’ruf nahy munkar.

Amar ma’ruf nahy munkar adalah tugas besar yang tak mengenal kata usai dalam agama mulia ini. Tugas besar ini terdiri dari dua komponen besar pula, ilmu dan amal. Ilmu yang berlimpah, menggunung dan menganak sungai tidak akan bermanfaat sedikitpun tanpa amal yang berkesinambungan.

”Apakah dengan mengangkat 200 kati minuman keras akan membuatmu mabuk?” demikian seorang pernah bertanya. Mengangkat 200 kati minuman keras tak akan pernah membuat kita mabuk, tapi dengan meminumnya kita akan mabuk dan hilang kesadaran.

Memiliki ilmu yang tinggi, luas dan dalam tidak akan mampu menghentikan kemaksiatan jika sang pemilik ilmu tak mengamalkan setiap pengetahuan yang dimilikinya. Memiliki ilmu dan melakukan amal, merekalah orang-orang yang memiliki kemuliaan dan keberuntungan. ” Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung,” (QS ali Imran: 104).

Ilmu menjadi cahaya karena ada orang-orang yang menyalakannya. Cahaya menjadi penerang karena ada kaum yang bergerak memberikan penerangan. Penerangan menjadi arah atau petunjuk jalan, karena ada mereka yang mengabdikan diri di jalan Allah untuk menyelamatkan manusia.

Predikat shalih tidak terdiri hanya dari komponen iman pada Allah dan hari akhir saja. ”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,”

(QS at Taubah: 71).

Kita tidak akan mendapatkan sebutan beriman sampai kita menjadi penolong dan pelindung bagi orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan. Kita juga tak akan mampu mencapai predikat beriman tanpa menegakkan amar ma’ruf nahy munkar. Taat, shalat dan zakat tak cukup membuat kita berdiri dengan gagah di depan Allah SWT di hari kiamat.

Akan dimuliakan orang-orang yang memiliki dan memuliakan ilmu. Akan dimuliakan orang-orang yang memiliki dan mengamalkan ilmu. Diangkat tinggi derajatnya di muka bumi. Disanjung harum namanya oleh penduduk langit. Bahkan para penuntut ilmu diberi perlindungan khusus oleh malaikat yang membentangkan sayapnya untuk menaungi. ”Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayapnya karena ridha pada para pencari ilmu.,” (HR Abu Daud & Tirmidzi).

Bahkan dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah pernah bersabda, ”Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan memberikan kemudahan jalan baginya untuk menuju surga.”

Tapi lagi-lagi, harus terpatri di dalam hati bahwa ilmu tak akan banyak membantu kecuali dia keluar dari pintu. Artinya, ilmu harus berkelana dan mengejawantah dalam kehidupan manusia.

Ilmu akan berkembang melalui dua cara. Pertama, dengan mengajarkannya. Kedua, dengan mengamalkannya. Dengan mengajarkan, kita melahirkan generasi baru yang berilmu. Dengan mengamalkan, kita mengajak membangun generasi baru pada kondisi yang lebih baik dan penuh kemuliaan.

Para ulama salaf pernah berkata, ”Dahulu kami menghafalkan ilmu dengan cara mengamalkannya.”

Jika kita mengurai kata ilmu dalam bahasa Arab, maka tulisannya terdiri dari tiga huruf saja: ain, lam dan mim. Dari tiga huruf inilah lahir komponen besar dalam peradaban manusia. Barangnya bernama ilmu, orangnya bernama alim dan perilakunya bernama amal. Ketiganya tak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa amal, sering disebut pincang. Amal tanpa ilmu, kita memberinya panggilan buta. Ilmu dan amal bisa menjadi gerakan ketika ada seorang alim yang melaksanakan.

Bangunlah para pemilik ilmu, nyalakan cahaya, saat ini umat sangat membutuhkan. Lakukan sesuatu, perbaiki keadaan, dan berikan petunjuk arah agar peradaban manusia tak semakin hancur berantakan. Semoga Allah menolong kita.

#ngopipagi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar