RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 14 April 2022

KAJIAN SASRTA EKO WINDARTO


S A S T R A

Seorang penyair tidak menulis untuk sekedar menggunakan kata-kata saja sebagai jembatan dalam penyampaian maksud mereka. Sebaliknya mereka menulis sambil menggunakan semua kekayaan batin dan ragam bahasa untuk suatu relevansi linguistik bagi kenyataan hidup ini.

Sastra tidak hanya untuk sastra semata. Kita juga tidak ingin hidup dalam dunia kata saja. Kita hidup dengan suatu proyeksi karena apa yang disebut kata word dan aksi memiliki korelasi dengan kehidupan ini.

Sastra adalah kehidupan kata. Sastra seperti kereta selalu melintasi kenangan, ruang dan waktu. Sastra juga seperti rel kereta yang selalu dibangun sepanjang mata menguras air mata, menghabiskan harta dan nyawa. Sastra membuat oksigen dan nitrogen dalam napas, rindu, dan cintaku sepanjang rel kereta yang ada di dunia.

Menulis sastra seperti harapan membangun peradapan dalam dunia pemberontakan, kenaifan penuh getaran yang menggetarkan pencarian panjang yang tak kunjung cerlang dalam rindu jelang. Sastra seperti perahu menyusuri tiap-tiap pulau asing dan terasing. Kabut-kabut sastra selalu mengaburkan pandangan ketidak pahaman karena ketidak tahuan cara untuk menguraikannya. Hanya Allah yang tahu segalanya.

#nyastradewe



KARYA SASTRA

Karya sastra bukan hanya berimajinasi tapi sebagian besar adalah fakta-fakta yang diamati sang penulisnya. Adapun instrumennya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan melalui bahasa yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan oleh perantaraan pengertian-pengertian ruang, waktu bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, yang nyata menurutnya adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda-benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan pada subjek. Segala yang ada ditentukan oleh sebab, yang hukumnya sesuai dengan hukum alam dan ilmu pasti. Dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat dan kesadaran kita termasuk di dalamnya. Demikianlah karya sastra menampakkan ciri-ciri empiris.

#celotehsenja



SASTRA

Karya sastra lahir dari getaran jiwa penulisnya dengan alam semesta, lingkungan dan obyeknya. Juga menonjolkan hakikat kehidupan secara mendalam.

Sastra serius berpretensi mengejar efek estetis. Sastra serius tidak bersifat stereotip sehingga terdapat unsur pembaruhan. Sebab sastra serius lebih berbobot, sehingga dibutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dan kemauan keras untuk bisa mencerna kehidupan di sekelilingnya dengan seksama.

Ya, sastra serius mengajak pembacanya merenungi dan meresapi secara mendalam pokok persoalan yang dikemukakan.

Sastra serius dapat memberikan yang serba berkemungkinan. Jenis sastra ini membutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dalam membacanya. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan, disoroti sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.

Batu, 982018



PERKEMBANGAN SASTRA DALAM GAYA BAHASA
Oleh: Eko Windarto


Sastra adalah karya seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan karya seni yang lain, seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka jalan ke kebenaran. Yang membedakannya dengan seni yang lain, adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.

Histori kehidupan sangat penting dalam pengungkapan atau penuangan dalam menulis karya sastra. Karena dalam perjalanan kepenulisan membutuhkan kebebasan dan kemerdekaan dalam menunjang gagasan-gagasan tsb. Maka kadang kita tak sadar menulis puisi dengan bahasa sehari-hari atau bahasa artistik karena itu sudah tak bisa kita prediksi.

Pada perkembangan gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frase, atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu.

Maka mengkaji wacana sastra dengan berorientasi linguistik dan merupakan pertalian antara linguistik dan kritik sastra. Secara morfologis, dapat dikatakan bahwa komponen style berhubungan dengan kritik sastra, sedangkan komponen istic berkaitan dengan linguistik (Widdowson, 1979: 3). Karya sastra dipandang sebagai wacana sehingga mempertemukan pandangan linguis yang menganggap karya sastra sebagai teks dan pandangan kritikus sastra yang menganggap karya sastra sebagai pembawa pesan (message) (Widdowson, 1992: 1-7).

Batu, 452018



SASTRA SUFISTIK
Oleh: Eko Windarto


PENYAIR sebagai manusia biasa seperti manusia lainnya pada hakekatnya selalu haus dan rindu kehadiran Allah di hatinya. Pendek kata, manusia tak bisa berpaling dariNya. Maka dari itu, penyair dan manusia lainnya cenderung mewujudkan religius yang teraplikasi dalam bentuk ibadah, seperti shalat, puasa, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Jika penyair suka masuk dalam penghayatan dan pergulatan batin yang rindu kehadiranNya lewat karya-karya SASTRA yang bersifat sufistik, seperti puisi, cerpen, novel dll.

Sastra sufistik bisa dikata lahir dari kebatinan spritualisme seorang penyair yang mengetengahkan hubungan antara mahkluk dengan Allah. Maka dari itu sastra sufistik berusaha membangun benang merah tasawuf yang sudah diusung Jalaludin Rumi, Al-Hallaj, Rabi'ah, Hamzah Fansuri dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Oleh sebab itu, sastra sufistik dicirikan dengan nuansa romantisme religius serta bersifat simbolik.

Sastra sufistik merupakan ekspresi dari pengalaman kesufian sang penyair. Rujukan dan penghayatannya adalah Al Qur'an dan Hadits, maka tidak mengherankan apabila sastra sufistik menggungkapkan renungan falsafah hidup yang bertujuan meningkatkan taraf hubungan jiwa manusia dengan Kenyataan Tertinggi.Sastra sufistik merupakan ekspresi estetik yang berkenaan dengan zikir dan pikir, yaitu mengingat dan memikirkan Allah. Puisi sufistik ditulis untuk membawa pembaca melakukan kenaikan, pendakian atau mi'raj ke alam malakut dengan segala kesempurnaannya.

A K U

aku adalah samudera
pengetahuanku melingkar sampai barat daya
hingga hati terpelihara
tali ada paling sederhana
sebatas biasa
apa adanya
ada tiada ada
semua miliknya

#celotehpagi




PSIKOLOGI SASTRA

Asumsi dasar penelitian psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, adanya anggapan bahwa karya sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada pada situasi setengah sadar atau subconcious setelah jelas baru dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscious). Antara sadar dan tak sadar selalu mewarnai dalam proses imajinasi pengarang. Kekuatan karya sastra dapat dilihat seberapa jauh pengarang mampu mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah cipta sastra.

Kedua, kajian psikologi sastra di samping meneliti perwatakan tokoh secara psikologis juga aspek-aspek pemikiran dan perasaan pengarang ketika menciptakan karya tersebut. Seberapa jauh pengarang mampu menggambarkan perwatakan tokoh sehingga karya menjadi semakin hidup. Sentuhan-sentuhan emosi melalui dialog atau pun pemilihan kata, sebenarnya merupakan gambaran kekalutan dan kejernihan batin pencipta. Kejujuran batin itulah yang akan menyebabkan orisinalitas karya.

Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologi, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa. Sedangkan jika berupa puisi, tentu akan tampil melalui larik-larik pilihan kata yang khas. Di samping memang ada puisi lirik atau prosais dan atau balada yang memuat tokoh tertentu. Berarti ada benarnya bila Jatman (1985:165) berpendapat bahwa karya sastra dan psikologi memang memiliki pertautan yang erat, secara tak langsung dan fungsional. Pertautan tak langsung, karena baik sastra maupun psikologi memiliki obyek yang sama yaitu kehidupan manusia. Psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional karena sama-sama untuk mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, bedanya dalam psikologi gejala tersebut riil, sedang dalam sastra bersifat imajinatif.

Sekarputih, 732019



SASTRA SERIUS DAN SASTRA HIBURAN


Dalam studi sastra dikenal dua macam sastra, yaitu sastra serius atau sastra interpretatif (interpretatif literature), yaitu sastra untuk ditafsirkan, dan sastra hiburan atau sastra pop atau sastra untuk pelarian (escape literature). Sastra serius cenderung merangsang pembaca untuk menafsirkan atau menginterpretasikan karya sastra itu, sedangkan sastra hiburan adalah karya sastra untuk melarikan diri (escape) dari kebosanan, dari rutinitas sehari-hari, atau dari masalah yang sukar diselesaikan. Sastra hiburan, dengan demikian, sifatnya menghibur. Sastra hiburan dinamakan juga sastra pop (sastra populer).
Sastra serius merangsang pembaca untuk menafsirkan, dan karena itu menambah wawasan kehidupan (insight into life) pembaca. Sebaliknya, sastra hiburan hanyalah untuk iseng semata, dan karena itu tidak meninggalkan kesan yang serius.
Salah satu ciri sastra hiburan adalah tokoh-tokoh yang tampan, kaya, dicintai, dan dikagumi, serta sanggup mengatasi segala macam masalah dengan mudah. Pembaca, dengan demikian, dipancing melakukan identifikasi diri seolah dirinya tidak lain adalah tokoh itu sendiri. Maka, apa yang dipancing oleh sastra hiburan tidak lain adalah wishful thinking, yaitu impian-impian yang tidak mungkin dicapai. Pembaca dibuai bukan oleh masalah hakiki kehidupan, namun ilusi.
Sementara itu, George Santayana, seorang filsuf estetika menyatakan bahwa akhir sebuah karya seni yang baik adalah gema kesan berkepanjangan dalam pikiran dan jiwa seseorang yang mampu menghayati karya seni itu dengan baik. Sastra serius menawarkan renungan (kontemplasi) yang dalam, dan karena itu, pada saat pembaca selesai membaca, dia akan merenung berkepanjangan.

Kriteria Sastra
1. Pada zaman Aristoteles hanya ada dua genre, yaitu puisi dan drama, sementara drama dibagi dalam tiga subgenre, yaitu tragedi, komedi, dan tragi-komedi (tragedi dengan unsur-unsur komedi). Karena drama ditulis dalam genre puisi, maka karya sastra yang baik dianggap mempunyai nilai puitik (poetic) yang tinggi – pity, terror, dan catharsis. Pity, yaitu rasa kasihan pada penonton atau pembaca. Terror, yaitu rasa diteror, rasa takut, rasa ngeri, dan karena semuanya itu timbullah rasa mual. Catharsis, yaitu rasa lega karena telah terbebas dari pity dan terror.

2. Horace (Horatius) menganggap, karya seni yang baik, termasuk sastra, selalu memenuhi dua butir kriteria, yaitu dulce et utile (rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan). Sastra harus bagus, menarik, dan memberi kenikmatan. Tentu saja, kenikmatan ini hanya dimilki oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi manfaat, yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan, dan moral.
Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut masalah kretivitas. Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis. Sementara itu, pembaca yang kritis akan merasa digurui. Moral, dengan demikian, dapat mengurangi nilai estetika, dan karena itu mengganggu kenikmatan pembaca. Menurut Jane Austin, semua tokoh yang ada dalam novelnya harus menarik, dan untuk benar-benar menarik, nilai-nilai moral harus dilanggar. Dia berhasil dengan baik karena dia akhirnya sanggup memadukan tuntutan estetika dan tuntutan moral.

3. Keberhasilan Jane Austen dan pengarang-pengarang lain dalam mengatasi dilema tuntutan estetika dan tuntutan moral melahirkan kriteria lain, yaitu bentuk (form) dan isi (content) harus seimbang. Bentuk adalah cara atau teknik menulis, sedangkan isi adalah pemikiran yang akan dituangkan dalam karya sastra. Bentuk yang terlalu baik akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan isi yang bain tanpa diimbangi oleh bentuk yang tepat akan melahirkan karya sastra yang menggurui.
Salah satu bagian bentuk adalah bahasa: bahasa yang baik dengan isi tidak bermutu akan melahirkan retorika kosong belaka. Moral, sementara itu, masuk pada bagian isi. Perimbangan yang baik antara bentuk dan isi, dengan demikian, menyangkut masalah moral. Dalam perkembangannya, isi cenderung hanya berupa pemikiran yang belum tentu ada kaitannya dengan moral.

4. E.M. Forster, seorang novelis dan teoritikus sastra, dalam Aspect of The Novel antara lain menulis mengenai cerita, dan plot, serta tokoh dan penokohan.
Kunci penting terjadinya plot (hubungan sebab-akibat) tidak lain adalah konflik, dan kunci penting konflik adalah tokoh dan penokohan. Sebagaimana halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari, masing-masing tokoh mepunyai watak sendiri-sendiri dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Perbedaan watak inilah yang memicu timbulnya konflik, apalagi kalau watak-watak itu saling bertentangan.

Sebagai konsekuensi keharusan adanya konflik, muncul tuntuan lain, yaitu klimaks sebagai penentu penutup plot. Makin tinggi nilai estetika sebuah konflik, makin tinggi pula nilai estetiak sebuah klimaks. Karena klimaks memegang kunci penutup plot, maka karya sastra dengan konflik yang baik dan klimaks yang baik juga akan mempunyai penutup yang baik.
Menurut Kuntowijaya, salah satu kelemahan sastra Indonesia adalah lemahnya konflik. Pengarang tidak mampu menciptakan konflik yang bermakna, tidak lain karena pengarang adalah produk masyarakat Indonesia yang cenderung menghindari konflik sehingga berbagai masalah yang seharusnya dapat diselesaikan tidak pernah terselesaikan dan dibiarkan berlarut-larut sampai hilang dengan sendiri.

Batu, 752018



FENOMENA SOSIAL DALAM KARYA SASTRA

Jika kita mendekati puisi atau karya sastra melalui gambaran atau potret fenomena sosial. Maka pada hakekatnya, fenomena sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Sebab fenomena sosial itu bisa diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif berupa; pengamatan, analisis, interprestasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya dalam berbentuk karya sastra seperti puisi, cerpen, novel dsb. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antara manusia dan peristiwa yang terjadi dalam batin penyair atau sastrawan. Maka, memandang puisi atau karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia.

Penyair dan sastrawan merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada di sekelilingnya, maka dalam proses penciptaan puisi atau karya sastra seorang penyair dan sastrawan tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, puisi atau karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan penyair dan sastrawan tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Sastra adalah gudang adat-istiadat, dan sumber sejarah peradaban serta sejarah budaya masa depan dan masa lalu. Tak ada karya sastra besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal. Karya sastra yang bertahan lama adalah karya sastra yang mampu meramu gagasannya, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan, kehidupan, spiritual kultural, serta perenungan dalam melibatkan diri dalam satu tujuan.

Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal- balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra juga bisa menghaluskan budi pekerti bagi pengkarya dan pembacanya.

#dlemingsastra



KRONIK SASTRA INDONESIA DI MALANG
DARI PUSAT DOKUMENTASI SASTRA
Prof. Suripan Sadi Hutomo


SASTRA STENSILAN, SASTRA KETIKAN DAN SASTRA FOTOKOPIAN

Kumpulan sajak yang terbit stensilan, ialah Simalakama 1975 karya Rahardi Purwanto; Mekar 1975 karya bersama Ven Wardhana, Hen DR, Yani Koeswara, Dick Asido, Lila Ratih Komala, dan Rahardi Purwanto; Mataair 1977 karya Veven Sp, Wardhana, Lila Ratih Komala; dan Kembang Kembar 1989 karya Surasono Rashar dan Eko Windarto.

Kumpulan sajak Simalakama berisi tiga puluh buah sajak karya Rahadi Purwanto telah menarik perhatian Korrie Layun Rampan untuk dibicarakan.

Sementara kumpulan sajak stensilan yang patut disebut dan dibicarakan di sini ialah Kembang Kembar 1989 karya Surasono Rashar dan Eko Windarto. Penerbitnya HP3N ( Himpunan Penulis Pengarang & Penyair Nusantara) di Batu, Malang. Di samping itu perlu juga dibicarakan Buletin Sastra Aktif. Buletin ini juga diterbitkan oleh HP3N.

Muncul kumpulan sajak semacam KEMBANG KEMBAR yang berisi sajak-sajak Surasono Rashar dan Eko Windarto, serta munculnya Buletin Sastra Aktif di Malang menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan dan perkembangan sastra di Malang tidak berhenti. Mereka, yang aktif berkarya ini, termasuk angkatan 80 an di kota Malang. Mereka muncul di panggung sejarah sastra Indonesia bukan tanpa konsepsi, tetapi dengan kesadaran pada apa yang mereka perbuat dan perjuangkan, yakni; ingin menyumbangkan miliknya yang paling berharga, paling bernilai, untuk bangsanya, dan untuk umat manusia pada umumnya, yang berupa ide-ide kemanusiaan.

Sebuah Buletin Sastra yang bernama Buletin Sastra Aktif, yang pada tahun 1989 telah terbit beberapa nomer, yang berbentuk folio, merupakan media yang sangat ampuh untuk tempat berkecimpung penulis-penulis muda di Malang khususnya dan Jawa Timur umumnya. Dengan Buletin semacam ini mereka berusaha membuktikan bahwa tanpa Surat Kabar dan Majalah pun sastra tetap tumbuh dan berkembang. Idealisme mereka sangat mengagumkan di tengah-tengah mengamuknya individualisme, materialisme, dan komersialisasi di masyarakat Indonesia. Sajak-sajak mereka, lewat buletin ini, walaupun terbatas daerah edarnya, akan bergabung menembus penyakit masyarakat yang tiga itu. Sebab, hidup bagi mereka, laksana 'perahu' sebagaimana ditulis oleh penyair Eko Windarto dalam buletin ( No 64, 1989 halaman 2). Begini bunyinya;

HIDUP

hidup adalah perahu
Dan lingkup waktu adalah gelombang lautan tempat berlabuh
sebab peralatan adalah guru dalam pencarian
mau kita layani waktu demi waktu
tempat istirahatnya matahari dan bulan
hidup dan mati


Demikian sebagian wajah sastra stensilan di Malang. Menurut pengamatan saya, sajak-sajak stensilan itu, sebagian pernah muncul di surat kabar, baik lokal maupun nasional (di Jakarta). Jadi, dari sastra koran berubah menjadi sastra stensilan, sebab tak ada penerbit yang mau menerbitkan dalam bentuk buku cetakan
.
Di samping sastra buku dan sastra stensilan, sempat juga berkembang sastra ketikan. Yang dimaksud sastra ketikan ialah hasil sastra yang beredar dari tangan ke tangan berupa naskah ketikan yang difotokopi.

Salah satu contoh sastra fotokopi, di samping naskah drama, ialah kumpulan sajak PERJALANAN. Kumpulan sajak ini karya penyair dari Batu, Malang, yakni Eko Windarto. Penerbitnya Sanggar Seni Slake Batu, Malang; bersama dengan HP3N Kordinat Batu Malang tahun 1989.

Kumpulan sajak PERJALANAN berisi dua puluh tiga buah sajak. Sajak-sajak ini, beberapa diantaranya, pernah termuat masa media yang terbit di Malang, atau di luar kota Malang. Misalnya, Suara Indonesia Malang, SIMPONI Jakarta, Swadesi Jakarta, dan lain-lain.

Membaca sajak-sajak dalam PERJALANAN kita memperoleh kesan bahwa Eko Windarto merupakan penyair yang berbakat. Konsepnya mengenai sajak sebagai berikut:

SEBUAH SAJAK

mengalir bagai kali
maini ombak, pasir dan batu-batu
mengarak kehidupan sampai muara
sedang di hulu aku menanti kelahiran bayi
saat kau menghitung angka-angka
sambil mengail menghisap harap
sebuah sajak menghitung waktu
memeram jam di hadapanmu
menangkap diri dengan arti ilahi
sebelum kau mati menanti hati
puisi yang telah terhidang mesti dinikmati
walau sebuah sajak belum berarti kau kaji

Batu, 1989

Sastra ketikan maupun sastra fotokopian bukanlah hasil sastra yang tak berarti. Kehadiran sastra semacam itu, seperti halnya sastra buku, sastra surat kabar atau majalah, merupakan hasil sastra yang sah untuk disimak dan dibicarakan. Di dalam hal ini kita harus ingat, di zaman lama lampau, bahwa sastra bukan dicetak, tetapi ditulis tangan di daun lontar, kulit kayu dll. Jadi, jika dibandingkan dengan itu, sastra ketikan dan sastra fotokopi itu lebih maju.

Batu, 1692019



EKSPRESIVISME SASTRA
Eko Windarto


Karya sastra sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra bisa diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran, kehendak dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja, pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin itu akan menjadi pendorong kuat bagi lahirnya karya sastra. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinatif yang disintesiskan dalam sebuah karya sastra.

Ciri khas dan ukuran seni sastra yang bermutu adalah keluhuran yang luhur, agung, unggul, mulia sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan dan penggubahan yang mulia. Sumber-sumber itu akan membawa semangat Illahi yang menjadi dorongan luar biasa bagi pencipta. Di samping itu, bobot karya juga ditentukan oleh pemakaian gaya bahasa yang manis dan sesuai, memiliki emosi yang intens dan terpelihara, serta harus tahan dimakan zaman.

#celotehsastra



SASTRA DAN KESUSASTRAAN
Oleh: Eko Windarto


SASTRA dan KESUSASTRAAN sebagai hasil karya kreatif dicipta oleh orang yang mahir dalam bidang penulisan cerita/puisi yang dikenali sebagai pengarang dan penyair. Setiap hasil karya kesusastraan itu ditulis karena ada penggunaannya, yaitu masyarakat pembaca yang sering berada dalam pengetahuan dan dihubungi oleh pengarang dan penyair. Justru karena itu, apabila seseorang itu menghasilkan sesuatu hasil sastranya, dengan sendirinya dia membina hubungan antara karya dengan masyarakat pembacanya. Jelas sekali betapa karya sastra itu amat signifikan untuk ditujukan kepada seseorang atau sekelompok pembaca tertentu.

Lazimnya pula kesusastraan itu mempunyai peran penting bagi 'masyarakat pembaca yaitu ' pendidikan ' dan 'hiburan'. Pendidikan sebagai satu daripada peran utamanya, bermaksud dengan membaca hasil sebuah karya kreatif itu, seseorang atau masyarakat pembaca dapat: memperkaya pengalaman dan pengetahuan, menafsirkan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan dengan lebih baik, menghidupkan daya imajinasi, merangsang minat membaca sebagai suatu budaya hidup. Sementara peranan yang satu lagi ialah kesusastraan dapat memberikan 'hiburan' dengan cara:
*menimbulkan ketenangan dan kesehatan pikiran,
*memberikan suatu macam kepuasan intelektual melalui fikiran dalam bentuk rekaan atau fantasi.

#celotehsastra



KRONIK SASTRA INDONESIA DI MALANG DARI PUSAT DOKUMENTASI SASTRA
Prof. Suripan Sadi Hutomo

SASTRA STENSILAN, SASTRA KETIKAN DAN SASTRA FOTOKOPIAN

Kumpulan sajak yang terbit stensilan, ialah Simalakama 1975 karya Rahardi Purwanto; Mekar 1975 karya bersama Ven Wardhana, Hen DR, Yani Koeswara, Dick Asido, Lila Ratih Komala, dan Rahardi Purwanto; Mataair 1977 karya Veven Sp, Wardhana, Lila Ratih Komala; dan Kembang Kembar 1989 karya Surasono Rashar dan Eko Windarto.

Kumpulan sajak Simalakama berisi tiga puluh buah sajak karya Rahadi Purwanto telah menarik perhatian Korrie Layun Rampan untuk dibicarakan.

Sementara kumpulan sajak stensilan yang patut disebut dan dibicarakan di sini ialah Kembang Kembar 1989 karya Surasono Rashar dan Eko Windarto. Penerbitnya HP3N ( Himpunan Penulis Pengarang & Penyair Nusantara) di Batu, Malang. Di samping itu perlu juga dibicarakan Buletin Sastra Aktif. Buletin ini juga diterbitkan oleh HP3N.

Muncul kumpulan sajak semacam KEMBANG KEMBAR yang berisi sajak-sajak Surasono Rashar dan Eko Windarto, serta munculnya Buletin Sastra Aktif di Malang menunjukkan bukti bahwa pertumbuhan dan perkembangan sastra di Malang tidak berhenti. Mereka, yang aktif berkarya ini, termasuk angkatan 80 an di kota Malang. Mereka muncul di panggung sejarah sastra Indonesia bukan tanpa konsepsi, tetapi dengan kesadaran pada apa yang mereka perbuat dan perjuangkan, yakni; ingin menyumbangkan miliknya yang paling berharga, paling bernilai, untuk bangsanya, dan untuk umat manusia pada umumnya, yang berupa ide-ide kemanusiaan.

Sebuah Buletin Sastra yang bernama Buletin Sastra Aktif, yang pada tahun 1989 telah terbit beberapa nomer, yang berbentuk folio, merupakan media yang sangat ampuh untuk tempat berkecimpung penulis-penulis muda di Malang khususnya dan Jawa Timur umumnya. Dengan Buletin semacam ini mereka berusaha membuktikan bahwa tanpa Surat Kabar dan Majalah pun sastra tetap tumbuh dan berkembang. Idealisme mereka sangat mengagumkan di tengah-tengah mengamuknya individualisme, materialisme, dan komersialisasi di masyarakat Indonesia. Sajak-sajak mereka, lewat buletin ini, walaupun terbatas daerah edarnya, akan bergabung menembus penyakit masyarakat yang tiga itu. Sebab, hidup bagi mereka, laksana 'perahu' sebagaimana ditulis oleh penyair Eko Windarto dalam buletin ( No 64, 1989 halaman 2). Begini bunyinya;

HIDUP

hidup adalah perahu
Dan lingkup waktu adalah gelombang lautan tempat berlabuh
sebab peralatan adalah guru dalam pencarian
mau kita layani waktu demi waktu
tempat istirahatnya matahari dan bulan
hidup dan mati


Demikian sebagian wajah sastra stensilan di Malang. Menurut pengamatan saya, sajak-sajak stensilan itu, sebagian pernah muncul di surat kabar, baik lokal maupun nasional (di Jakarta). Jadi, dari sastra koran berubah menjadi sastra stensilan, sebab tak ada penerbit yang mau menerbitkan dalam bentuk buku cetakan.

Di samping sastra buku dan sastra stensilan, sempat juga berkembang sastra ketikan. Yang dimaksud sastra ketikan ialah hasil sastra yang beredar dari tangan ke tangan berupa naskah ketikan yang difotokopi.

Salah satu contoh sastra fotokopi, di samping naskah drama, ialah kumpulan sajak PERJALANAN. Kumpulan sajak ini karya penyair dari Batu, Malang, yakni Eko Windarto. Penerbitnya Sanggar Seni Slake Batu, Malang; bersama dengan HP3N Kordinat Batu Malang tahun 1989.

Kumpulan sajak PERJALANAN berisi dua puluh tiga buah sajak. Sajak-sajak ini, beberapa diantaranya, pernah termuat masa media yang terbit di Malang, atau di luar kota Malang. Misalnya, Suara Indonesia Malang, SIMPONI Jakarta, Swadesi Jakarta, dan lain-lain.

Membaca sajak-sajak dalam PERJALANAN kita memperoleh kesan bahwa Eko Windarto merupakan penyair yang berbakat. Konsepnya mengenai sajak sebagai berikut:

Sastra ketikan maupun sastra fotokopian bukanlah hasil sastra yang tak berarti. Kehadiran sastra semacam itu, seperti halnya sastra buku, sastra surat kabar atau majalah, merupakan hasil sastra yang sah untuk disimak dan dibicarakan. Di dalam hal ini kita harus ingat, di zaman lama lampau, bahwa sastra bukan dicetak, tetapi ditulis tangan di daun lontar, kulit kayu dll. Jadi, jika dibandingkan dengan itu, sastra ketikan dan sastra fotokopi itu lebih maju.

pusai
DI MEJA WARNA


secangkir kopi
terisi puisi
menguar wangi
di rumah warna-warni
teknologi melahirkan anak-anak pagi
menyongsong perubahan setajam belati

Bali, 2292020




MEMBACA NEGERIKU SENDIRI

CINTA SASTRA mencoba mengajak warga sastra mengutamakan fungsinya dalam kebebasan berkarya. Dalam menyongsong ZAMAN CYBER ini, CINTA SASTRA mengajak para sastrawan terlibat dalam memajukan dunia literasi. Hingga perkembangan susastra maya bersifat sangat luas didalam artian harfiah seperti puisi NEGERIKU SAAT INI; DUA PULUH TAHUN LALU PUISI "NEGERIKU" GUS MUS yang bisa kita pandang masuk dunia ideologi, propaganda, kekuatan kepentingan dll. Sang penyair mencoba mengritik lewat puisi satirnya. Coba kita perhatikan dan renungkan puisinya di bawah ini.

NEGERIKU SAAT INI; DUA PULUH TAHUN LALU PUISI “NEGERIKU” GUS MUS

Negeriku saat ini; dua puluh tahun lalu
puisi “Negeriku” Gus Mus

mana ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebuh dan jagung
tapi juga menumbuhkan tikus tikus
sehingga ibu ibu mencuri beras
di jalanan.

mana ada negeri sekaya negeriku?
pemimpinnya pemimpinnya kaya kaya
entah, kaya apa?
sudah enam bulan
KTP kami belum dicetak juga.

mana ada negeri semakmur negeriku?
gedung DPR sudah berapa kali direnovasi
rakyat makmur makmur
giat menyumbang untuk jalan.

mana ada negeri sekaya negeriku?
tak hanya kaya dengan data penduduk yang bengkak
tapi juga kaya demokrasi
sebelum ada pemilihan umum 20 tahun lalu.

Jakarta, 31 Juli 2017


Negeri gemaripah loh jinawi telah kita ketahui dalam falsafah, tanpa rakyat arus bawah bisa merasakan. Jangankan sawah dengan gampang diberi (weneh) bisa tumbuh subur, sedang pasir di dalam laut saja bisa jadi batu mulia. Begitu subur dan kayanya kekayaan tanah negeri kita seperti yang digambarkan penyairnya / mana ada negeri sesubur negeriku?/ sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebuh dan jagung/. Jelas negeri kita digambarkan sangat subur sekali. Memang tanah kita adalah tanah yang subur seperti kolam susu. Namun, saat sekarang ini para petani, nelayan telah terkerangkeng dengan sistem tengkulak yang berduit dan sangat rakus seperti tikus-tikus berdasi yang suka mengerat kesana-kemari tanpa memperdulikan rakyat miskin atau para petani dan nelayan. Sebuah kehidupan yang ironi dalam negeri gemaripah loh jinawi.

Para koruptor oleh Ama Gede digambarkan sebagai / tapi juga menumbuhkan tikus-tikus/ sehingga ibu-ibu mencuri beras di jalanan. Benar-benar kita digambarkan hidup dalam kubangan tikus-tikus berdasi yang rakusnya minta ampun. Ngeriiiii sekali. Hidup sekali setelah itu mati tak membawa apa-apa kecuali amal ibadah saja.

Negeri ini sangat besar dan kaya. Tapi sayang kekayaannya banyak yang dirampok bangsanya sendiri. Dan anehnya, hasil rampokan disimpan dalam brangkas-brangkas bank luar negeri. Contohnya di bank Singapura, Jerman, Amerika dll. Ironis! Padahal rakyat miskin, petani, nelayan negeri ini masih sangat membutuhkan modal kerja yang tidak sedikit. Tapi apa boleh buat mereka yang korupsi takut ketahuan. Dan tanpa disadari telah memperkaya negeri lain hingga bisa mengalahkan kita dalam segala bidang.

Coba lihat para pemimpin kita sibuk membuat undangan-undang yang nantinya dilanggar-langgar sendiri seperti anak-anak kecil saja. E KTP aja bisa gentayangan di gedung dewan yang terhormat. Ini negeri punya pemimpin yang perlu dicuci dengan air keras biar dosa-dosanya terkelupas. Benar kata Gus Dur bawah para wakil rakyat kita masih seperti taman kanak-kanak saja. Masih perlu banyak belajar mendewasakan diri.

Sang penyair dengan gaya satirnya yang mewakili masyarakat banyak terus-menerus menanyakan kemakmuran. Rupanya dia merasakan kegetiran di negerinya sendiri yang kaya dan subur tanahnya. Dia mempertanyakan demokrasi sekarang dan dibandingkan dengan keadaan 20 tahun yang lalu. Lebih enak mana? Enak zamanku to. Hahahaha.

Sekarputih, 182017



FENOMENA SOSIAL DALAM KARYA SASTRA

Jika kita mendekati puisi atau karya sastra melalui gambaran atau potret fenomena sosial. Maka pada hakekatnya, fenomena sosial itu bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Sebab fenomena sosial itu bisa diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif berupa; pengamatan, analisis, interprestasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya dalam berbentuk karya sastra seperti puisi, cerpen, novel dsb. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antara manusia dan peristiwa yang terjadi dalam batin penyair atau sastrawan. Maka, memandang puisi atau karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia.

Penyair dan sastrawan merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang-orang yang berada di sekelilingnya, maka dalam proses penciptaan puisi atau karya sastra seorang penyair dan sastrawan tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, puisi atau karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan penyair dan sastrawan tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.

Sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Sastra adalah gudang adat-istiadat, dan sumber sejarah peradaban serta sejarah budaya masa depan dan masa lalu. Tak ada karya sastra besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal. Karya sastra yang bertahan lama adalah karya sastra yang mampu meramu gagasannya, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan, kehidupan, spiritual kultural, serta perenungan dalam melibatkan diri dalam satu tujuan.

Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal- balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra juga bisa menghaluskan budi pekerti bagi pengkarya dan pembacanya.

#dlemingdewe



IDEALNYA SEORANG PENYAIR

Idealnya, seorang penyair memiliki pemancar dan radar seperti pemancar dan radar satelit yang sinyalnya sangat kuat dan istimewa. Pemancar dan radar memiliki kemampuan menyerap segala sesuatu yang berkelebat di udara terbuka. Sebab di udara terbuka tampaknya banyak sekali kata-kata berterbangan, melayang-layang, dan kadang saling berbenturan. Seorang penyair mestilah mau mengusung pemancar dan radar kemana pun ia melangkah. Dengan pemancar dan radar terpasang di dada, di kepala, dan si segenap jiwa serta ditunjang kepekaan menangkap sinyal-sinyal kreatif, intuitif, imajinatif, lalu seorang penyair dapat menyaring dan menjaring kata-kata, serta mengembangbiakkannya melalui puisi-puisi yang ditulisnya.

Bagi penyair pemancar dan radar merupakan piranti untuk mengadopsi berbagai realitas-imajinatif dan realitas faktual untuk menangkap tanda-tanda zaman, serta menangkap berbagai makna yang berlaku sesuai dengan tata nilai yang berlaku. Tugas penyair selanjutnya ialah menangkap dan memantulkan kembali perasaan pikiran, perasaan, dan perasaan keutamaan dasar kebenaran dan keluhuran. Di sinilah letaknya nilai-nilai yang diselipkan oleh penyairnya, baik itu berupa nilai etis, nilai fisolofis, nilai edukatif, maupun nilai religius.

#nyinyir442019



SPEKTRUM PUISI MEMILIKI MANFAAT UNTUK DIRENUNGKAN
Oleh: Eko Windarto


John F Kennedy, orang Amerika itu, bersenandung dalam sebuah bait :

"Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra yang akan meluruskannya". Puisi dan sastra hadir untuk membasuh rasa, mengasah empati. Mengembalikan fitrah manusia pada kelembutan hati dan kesantunan etika.

Menulis puisi tidak cukup dengan menata kata dan meramu diksi, tetapi yang jauh lebih penting bagaimana puisi itu sanggup menjadi oase nilai di tengah gurun pasir politik yang gersang. Demikian pula dalam bersastra. Kasusastraan meninggi kualitasnya, menjadi mahakarya peradaban manusia, ketika ia menjadi karya yang abadi yang sarat dengan panduan nilai.

Tengoklah Serat Jayabaya, sebuah puisi sekaligus karya sastra abadi, yang didalamnya manusia dikritik secara sinis dan kemanusiaan ditinggikan. Tengok pula Mahabarata dan Ramayana, dua epos karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai etik.

Artinya, ketika politik bersetubuh dengan gurita kebencian dan dendam, itu adalah tanda bahwa zaman sedang memanggil para penyair untuk menulis puisi tentang cinta dan pemaafan. Atau, ketika politik menjauh dari cita-cita awal Republik didirikan, itu adalah hasrat zaman agar lahir sastrawan dan sastrawati yang menulis cerpen, prosa atau roman tentang etika bernegara dan be-republik.

Adalah celaka sebuah bangsa yang politiknya kotor, tetapi tidak lahir dari bangsa itu penyair yang membersihkannya. Adalah celaka sebuah bangsa yang politiknya bengkok, tetapi tidak lahir sastrawan yang meluruskannya.

Lebih celaka, jika puisi dan sastra digubah hanya untuk mencela, menuduh, menyindir dan menyebar fitnah. Politik dalam bangsa itu akan semakin keruh tak bertepi, semakin bengkok sulit diluruskan.

Puisi dan sastra bukan lagi alat untuk memuliakan kemanusiaan ; tetapi menjadi alat meneguhkan kekuasaan. Dan, tentu saja, puisi yang takluk pada politik kekuasaan ia tidak layak disebut puisi ; Ia hanyalah propaganda berisi kata manis. Pun, sastra yang menghamba pada politik kekuasaan juga tak layak disebut karya sastra, ia hanyalah tulisan indah untuk melanggengkan tirani.

Pada akhirnya, menjadi pecinta puisi dan sastra berarti mencintai manusia dan kemanusiaan, mencintai politik kemanusiaan bukan politik kekuasaan.

Puisi abad sekarang ini tak harus tunduk pada pakem dan konvensi tertentu, sebab imajinasi dan keindahan bahasa yang tak terbatas. Pakem dan kovensi bukan hal satu-satunya dalam kategori menarik. Mungkin bagi akademisi dan pengamat itu sebagai garis yang harus diikuti, tapi tidak bagi penulis ekspresif yang suka kebebasan dalam berkarya. Siapa pun yang suka mendalami menulis puisi tidak harus mengikuti pakem atau konvensi yang sudah ada. Semua itu tergantung penulisnya biar tidak merasa terpenjara dengan pakem atau konvensi.

Akhirnya dengan kebebasan berfikir dalam menulis puisi, akan semakin berkembang dunia perpuisian kita. Semakin banyak genre, aliran, dalam spektrum puisi yang lahir, akan semakin baik bagi perkembangan kesusteraan kita. Taman-taman bunga puisi semakin tercium harum.

Oleh sebab itu, dampak karya sastra (puisi) bisa berdampak emosional juga masuk dalam berliterasi. Karena dalam menulis puisi membutuhkan kebebasan demi menunjang gagasan-gagasan. Maka dari itu kita tak bisa memprediksi maknanya secara utuh dan benar. Mari kita telusuri puisi di bawah ini.

Puas di Sangiran, kita bergeser ke

SRAGEN
Oleh: Daru Maheldaswara


Di mana lagi kita temukan percakapan sore,
ketika tubuh bengawan itu terus menghitam?
Limbah melegam yang hilang bentuk,
menggeser monopoli kejernihan air,

meninggalkan cerita getir tentang pelukis batik
yang kemarin masih bermain malam dan kain.

Sambil tersenyum, air bengawan dulu berucap,
akan kukecupi setiap pesisir pantai utara,
karena tak sanggup dayaku berjalan ke selatan,
yang rimbun bukit dan tanjakan,
hingga sulit menjangkau sudut-sudut sunyi.

Sragen di tepi Bengawan Solo kini,
tinggal celoteh ibu-ibu iseng berkotang,
mendidis kutu sambil mencari celah hitam suami
yang kian suntuk merancang proyek dan selingkuh
sambil lontarkan slogan : demi kemajuan desa.

Sragen di tepi Bengawan Solo sekarang,
tak lagi memiliki gerombolan bambu,
yang coba bertahan dari kemajuan peradaban,
sementara kerajinan rakyat
hanya mampu nyalakan tungku dapur.

Sragen di tepi Bengawan Solo kelak,
mungkinkah tetap mampu mempertahankan sandang kebanggan yang bernama : Batik Sukowati?

Kasongan Bantul, 13 Juni 2019

Itu saja!!!

Jika saya amati puisi SRAGEN Daru Maheldaswara ini, saya hormat kepada belio dan menaruh kepercayaan bahwa puisi memiliki manfaat, atau menurut Horace dirumuskan dalam ungkapan "Dulce et utile"_ puisi itu indah dan berguna, memiliki daya tarik, dan memungkinkan seseorang mengalami katarsis. Ya, pencerahan seperti penggambaran puisi di atas itu. Yang mana aku lirik memberi pandangan atau suatu pertanyaan pada pembaca atau mungkin pada masyarakat di sekitar bengawan yang telah tercemari seperti yang terungkap pada bait pertama ini. / Di mana lagi kita temukan percakapan sore, ketika tubuh bengawan itu terus menghitam?/. Dimana kata SORE dan HITAM menjadi kekuatan diksi dalam menggambarkan suasana gelisah aku lirik. Yang mana 'percakapan sore' tak bisa menemukan keindahan atau keteduhan ketika melihat sungai (bengawan) telah menjadi hitam tercemar oleh bahan-bahan kimia dari pabrik-pabrik yang berdiri di tepi bengawan yang begitu seenaknya membuang limbah pabrik ke bengawan seperti baris berikutnya ini, / Limbah melegam yang hilang bentuk, menggeser monopoli kejernihan air, meninggalkan cerita getir tentang pelukis batik yang kemarin bermain malam dan kain/. Nah, kata malam ( bahan buat membatik) kain menjadi penggambaran budaya membatik model lama telah ditinggalkan, dan telah berganti dengan bahan-bahan kimia yang dapat meninggalkan cerita getir bagi masa depan ekosistem dan masa depan anak cucunya.

Pada bait kedua aku lirik mencoba menceritakan apa yang dilihat dan dirasakan. / Sambil tersenyum, air bengawan dulu berucap, akan kukecupi setiap pantai utara, karena tak sanggup dayaku berjalan ke selatan, yang rimbun bukit dan tanjakan, hingga sulit menjangkau sudut-sudut sunyi/. Dari situlah seorang penyair dituntut untuk dapat mencatat apa yang sedang terjadi, karena seorang penyair bukanlah tukang sihir. Ia seperti air yang seharusnya selalu mengalir menuju muara yang dapat menampung aneka makna melalui kesaktian kata-kata. Penyair tidak dapat menyulap kata-kata, memanipulasi makna-makna, dan tak juga bisa menyihir pembaca serentetan kata. Namun, acap terjadi pembaca 'terpesona' terkagum-kagum oleh kepiawaian penyair memanfaatkan sarana retorika, keputusan, dan aneka gaya berbahasa. Susunan kata yang tepat, serasi, selaras, dan seimbang memungkinkan puisi menjadi sesuatu yang menarik.

Bait ketiga, lagi-lagi aku lirik mengungkapkan cerita ibu-ibu yang sedang 'mendidis kutu' suka (rasan-rasan) membicarakan suaminya sendiri atau boleh dikatakan menjadi membuka aib suami sendiri yang sebenarnya tidak perlu dan pantas. Aku lirik dengan nada satirnya mampu mengungkapkan kejadian yang memang sering terjadi di sekitar kita tentang proyek yang banyak disuguhkan dengan perselingkuhan agar proyeknya lolos sambil dibumbui slogan-slogan yang terlihat baik tapi pada kenyataannya omong kosong belaka seperti di bait ini; / Sragen di tepi Bengawan Solo kini, tinggal celoteh ibu-ibu iseng berkotang, mendidis kutu sambil mencari celah hitam suami/ yang kian suntuk merancang proyek dan selingkuh sambil lontarkan slogan: demi kemajuan desa/.

Ternyata, pada bait keempat, bengawan solo sudah tak seperti yang dilihat aku lirik 'memiliki gerombolan bambu'. Gerombolan bambu sudah hilang ditelan zaman melenia. Ia tak mampu mempertahankan dari polah tingkah laku kemajuan peradaban, / sementara kerajinan rakyat hanya mampu menyalakan tungku dapur/ alias hanya bisa bertahan hidup karena untuk mempertahankan kehidupan sehari-hari saja. Memang kemajuan zaman, tekhnologi, dan sains telah mampu menggerus dunia kebudayaan yang kurang pengetahuan atau hanya mempertahankan kebudayaan leluhur yang kurang mereka isi dengan ilmu pengetahuan untuk mengikuti kemauan zaman globalisasi. Sementara, tekhnologi dan pengetahuan membatik telah menghadirkan kecepatan dan kecerlangan warna, tapi sang Empunya pabrik tak mau memperhitungkan dampak pembuangan limbah pabrik di sungai Bengawan Solo. Itulah dampak positif dan negatif mengikuti alur zaman yang telah begitu mudah karena kecanggihan teknologi.

Di bait terakhir, aku lirik mencoba mempertanyakan; apakah masa yang akan datang orang-orang yang hidup di tepi Bengawan Solo masih bisa mempertahankan hidup dengan suasana yang berbeda dan lebih maju, serta kemungkinan besar limbah pabrik-pabrik akan semakin menggila tanpa ada yang mau mencegahnya dari masyarakat sekitarnya dan pemerintah yang bertanggungjawab atas kelalaiannya? Entahlah! Yang penting, seorang penyair telah menggambarkan agar menjadi perenungan.

Sekarputih, 1662019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar