Ketika waktu Magrib menyapa, salat berjamaah bersama istri dan anak-anak adalah potret religi tiada tara beribadah. Betapa indahnya sebuah nilai realita rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.
Kala lantunan ayat-ayat dari sang imam memandu salat, suara berbisik dari kalbu menuntun tartilnya bacaan bibir memandu. Sayup-sayup terdengar ritual yang khusyuk di dalam suasana doa setelah berjamaah duduk yang kesima. Doa itu mengetuk pintu arasy, bagaimana kesetiaan akan cinta di dalam rumah tangga untuk kami selama-lamanya, semoga hingga ke jannah di antara imam dan jamaah. Meski tak terdengar oleh telinga, tapi rasa suci mengatakan ia adalah seirama. Buktinya, sang imam melirik dalam duduknya makmum tersenyum menyalami tangan imam selesai ritual salat, dan lantas sang makmum mengecup jemarinya sang imam. Spontan makmum menengadah menatap imam dan dikecup kening jamaah tersebut yang ada di hadapan imam satu per satu, mereka adalah istri dan kedua anak-anaknya sendiri hasil dari pernikahan Romy dan Mimi.
Anak yang sulung adalah Iqbal Al Javpad kelahiran 1999, dan yang bungsu Rio Sastra lahir 2004 keduanya anakku laki-laki. Ia ibunya Mimi dari anak-anakku, aku sendiri Romy Sastra, suaminya Mimi. Mimi adalah sosok pendamping hari-hariku dalam suka maupun duka.
****
Selepas dari ritual berjamaah salat Magrib, kami bangkit dari peraduan persembahaan kepada Tuhan, ya Ilahi Rabbi.
Mimi menyapa:
"Bang ...?" seru Mimi.
"Ini segelas kopi aku letakkan di atas meja."
Aku yang biasanya selepas Magrib mengambil waktu santai di ruang tamu, menyusun larik-larik diksi di atas kertas putih tuliskan sebait puisi sarapan tinta malamku.
"Ya, Mi, silakan ditarok aja kopinya di atas meja! Nanti abang minum, airnya masih panas kok. Terima kasih ya sayang." ucap Romy pada Mimi istrinya.
"Aku pergi dulu ya, Bang?" rengek Mimi hendak ke warung beli handbody lotion pengusir nyamuk buat bekal tidur anak-anaknya nanti.
"Ya, silakan!" perintah Romy pada Mimi.
"Oya, jangan lupa belikan Abang sebungkus rokok nanti, ya!"
"Ya, Bang." sahut Mimi.
Sambil menulis satu judul cerpen pada imajiku, dan menulis larik demi larik puisi selesai juga puisi kumadah. Lantas, aku langsung memposting ke sosial media Facebook karyaku untuk blog kumpulan karya-karya yang selalu diekspos setiap minggu dan ada yang satu bulan sekali bersama kawan-kawan group sastra facebook. Kelak karya itu, aku bukukan sebagai kenangan masa tua untuk anak cucuku, buat cerita sejarah sastra sepeninggal hidup ini nanti.
Suara beduk Isya mulai menyapa dari kejauhan di malam yang mulai kelam. Mimi yang sedari tadi ada di depan layar televisi sepulang dari warung tetangga menyaksikan cerita sinetron yang ia selalu ikuti.
"Mimi ....?!" tanya Romy pada istrinya.
"Ayo kita selesaikan kewajiban salat fardhu Isya dulu, dan kita kembali berjamaah."
Kali ini, kami berdua saja di rumah salat berjamaah, karena anak-anak pergi mengaji ke tempat biasanya ia menimba ilmu iqra'.
Malam-malam sunyi mulai menyapa
suasana dingin mulai terasa. Mimi yang biasanya di waktu Magrib selalu membaringkan tubuhnya lebih dulu, berharap kala malam ia bisa bangun kembali untuk menunaikan salat sunat tahajud yang biasanya kami lakukan.
"Abang, aku tidur duluan ya?!" pinta Mimi pada suaminya aku ngantuk sudah ni.
"Ya, silakan Mimi ...!" Abang belum ngantuk.
Mimi sudah lelah dari kesibukkan sehari-hari sebagai seorang ibu.
Sedangkan aku sang ayah, masih menunggu anak-anak pulang mengaji.
Supaya ia bisa belajar sebelum tidur, menghapal pelajaran sekolahnya dari tugas guru sekolah.
"Tok, tok, tok ... assalamu'alaikum?" Suara ketukan pintu dari luar terdengar
"Waalaikumsalam, alhamdulillah mereka anak-anakku sudah pulang mengaji." jawabku dari dalam rumah.
"Mana Ibuku Ayah?" tanya si bungsu.
"Ibumu sudah tidur, Nak," Ayahnya menjelaskan.
"Bukalah buku kalian, kerjakan dulu PR sekolahmu sebelum kau tidur! Selesaikan tugas sekolah kalian baru pergi tidur ya?! Biar besok tak dimarahin gurumu di sekolah."
"Ya, Ayah." jawab si bungsu
Yang sulung, tanpa disuruh ia sudah berada di depan rak bukunya. Selesai mereka belajar, lalu anak-anak itu tidur di biliknya masing-masing.
Singkat cerita ....
Malam telah berselimut kelam
suasana hening seakan memanggil misteri di peraduan bersuara cit, cit, cit, auuuuuu .... Seakan suara itu menyuruhku tidur. Aku masih saja menulis cerpen tentang surat cinta kepada Rabb. Bahwa hidup ini indah Tuhan, terimalah bakti syukur kami kehadirat-Mu. Cerpen itu kuluahkan dari hati ke dalam larik-larik diksi, aku melirik jam dinding sudah menunjukkan jam 23:00 WIB. Ya, mata ini perlu diistirahatkan, dan semoga aku bisa bangun bersama Mimi istriku menunaikan salat sunah tahajjud nanti di pertigaan malam. Lelap lelah dari asa itu memandu hari-hari setiap hari.
Malam sunyi menghampiri religi membangunkan jiwa yang pergi pada khayangan mimpi. Dipertigaan malam
istri membangunkanku.
"Bang, Bang, bangun! Yuk kita salat tahajjud!"
"Aauuuu ... duh, ngantuk banget mata ini?!" Aku tak menghiraukan panggilan Mimi, dan aku mencoba lelap lagi.
Mimi gak sabar, digelitiknya perutku
yang ia sangat paham membangunkan akan kelemahan suaminya.
Sedikit rasa malas dan cemberut
pada kantuk, akhirnya aku bangkit juga dari pembaringan.
Kami berdua bergantian ke kamar mandi
membasuh muka untuk berwudhu'. Selesai berwudhu', sajadah dibaringkan di bilik salat.
Tiba-tiba hati kecil berdoa puisi di tahajud kami:
Di tengah malam sunyi, dingin teramat dingin, seakan malam ini malam ujian religi kami .... Suara jangkrik bersahutan menghibur mimpi-mimpi insan yang terlena di peraduan irama gesekkan biola malam. Oh, malam ini indah Tuhan? Doa-doa malam yang bertarung membangunkan sang Maha Kekasih di haribaan-Nya. Aku dan Mimi sama-sama khusyuk tartil dalam tuntunan tahajud malam berdua satu jiwa menatap jauh ke dalam fana. Bahwa yang kami bawa adalah cinta, tanpa doa. Hajat doa kami ada masa tak memohon dunia. Akan tetapi, di antara hajat malam tahajud itu,
kami hanya melihat diri masing-masing.
apakah sang Maha Kekasih masih menghidupkan kami esok hari?
Tahajud cinta di malam buta sungguh,
kami tak meminta dunia pada kesenangan semata, tapi sungguh benar yang kami bawa adalah ibadah penyaksian kepada sang Maha Cinta
bersemayam di jiwa ini.
Akhir dari ibadah penjamuan rindu
di malam bisu kami saling menatap,
dan saling bertanya?
"Abang ...?" tanya Mimi
"Adakah Abang menyaksikan Maha Kekasih itu dalam sujud doamu?"
"Ya, Mimi." jawabku.
"Apakah dikau Mimi juga sama melihat kehadiran-Nya?"
"Ya, Abang. Sama, aku pun melihat-Nya."
"Yaaa, kalau begitu, isyarat usia dan jodoh kita masih panjang Mimi, semoga ya Allah." harap Romy suami Mimi.
"Ya, Ilahi? Makrifat kami, telah kami pasrahkan hidup dan mati ini ke dalam genggaman takdir-Mu. Maka, terimalah syahadat ibadah ini, ya Ilahiku."
Satu tatapan religi dalam pelukan
malam-malam indah bersama kekasih menemui Maha Kekasih. Selepas dari peraduan sujud tahajud malam itu, kami membuka tirai kelambu kasih setelah menyingkap tirai Ilahi di malam yang purna. Aku terus berkisah berharap hingga ke ujung nyawa dan mesra di setiap malam-malam ibadah.
*****TAMAT*****
Cerpen –
BERSAMA CINTA MENEMUI MAHA CINTA
Penulis : Romy Sastra
Jakarta, 24-4-2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar