#1
Mentari telah meninggi, terlihat dari balik pentilasi jendela. Perlahan kusibak tirai pembatas dingin dari siklus hawa tak menentu menerebos jiwa nan lara.
Sedangkan hati ini masih resah, menatap jalanan yang diguyuri hujan semalam.
Tok ... tok ... tok ....
Suara ketukkan pintu dari luar kamar
"Sepertinya ada yang mau membangunkanku," bisik Ridwan di dalam kamarnya.
"Ha i... Ridwan, bangun hari sudah siang! Apakah kamu gak kerja hari ini?" sahut suara itu.
"Sepertinya ibuku memanggil ini," tanya Ridwan dalam hati.
"Ya ... Ibu, aku sudah bangun ini." jawab Ridwan.
Ibunya Ridwan berlalu mendengar jawaban Ridwan telah bangun.
Lama tatapan kosong Ridwan memandang satu pigura di dinding kamarnya terpampang.
"Hai, Anetta, kekasihku?" Ridwan dalam gumam bertanya pada foto bisu.
"Netta, kenapa dikau hadir mengisi hidupku, sedangkan akidah kita berbeda?" Ridwan berdialog sendiri di hatinya.
"Abang mencintaimu, Netta, dan ingin memilikimu. Tapi, ahh ... lamunan kau usik jiwaku."
"Anetta, kita yang pernah mengikat janji untuk saling mencintai selamanya, apapun itu rintangan kita nanti akan dihadapi berdua. Bak merpati tak ingin ingkari janji sampai mati. Setengah dekade jalinan cinta bersamamu, orang tuaku belum diberi tahu sama sekali tentang hubungan kita ini"
Pagi merambat pergi, Ridwan masih saja di atas tilam lusuh berbantal jemari letih.
Dengan rasa malas tiba-tiba, Ridwan putuskan tak masuk kerja hari ini.
Lalu, Ibu Ridwan mengetuk pintu kedua kalinya.
Tok ... tok ... tok ....
"Ridwan ... haii Nak, kenapa belum bangun juga kau ini?"
Tak sabar ibuku membuka pintu.
Kreekk ....
Memang pintu tak terkunci dari semalam
"Walah... kau ini Ridwan, ada apa sih kamu kok melamun begitu, hari sudah siang, apa kamu cuti hari ini?" tanya ibu Ridwan dengan nada penasaran.
Ridwan masih saja diam menatap foto Anetta di dinding kamarnya.
Spontan ibunya mengambil bingkai yang terpampang di dinding kamar, sudah lama potret itu menghiasi relung-relung asmara di kala Ridwan rindu dengan Anetta.
Foto Anetta berada dalam genggaman Ibunya
"Coba kamu terangkan Ridwan, ada apa dengan foto ini?!"
Ridwan menatap wajah ibunya dengan rasa pesimis dan malu.
"Ibu ... maafkan Ridwan ya, Bu!?"
"Foto ini adalah Anetta kekasihku, Bu."
"Terus!" tanya ibunya lagi.
"Ia Anetta, sudah lama kupacari, Netta minta menikah denganku, Ibu?!" jawab Ridwan penuh keyakinan.
"Lho ... baguslah itu Ridwan, Netta kan cantik, wanita karir lagi, dan kalian saling mencintai kok. Ibu juga tak sabar menimang cucu kesayangan dari pernikahan kalian nanti." sahut Ibunya dengan senang hati.
"Iya ... Bu, tapi," Ridwan menggantung kata-katanya.
"Tapi kenapa Ridwan?" Ibunya balik bertanya.
"Ibu ... Anetta itu beragama Kristiani lho, Ibu." jawab Ridwan dengan penuh kehati-hatian.
"Walah ... Ridwan," sahut ibunya.
"Tidakk ... tidak Ridwan ....!!"
"Ibu tidak merestui kamu menikah dengan Anetta itu, dengar Ridwan! Apa kata dunia, jikalau Ibu punya menantu orang Kristiani. Mau tarok di mana muka Ibu? Semua saudara mencelamu nanti, Ridwan." hardik Ibunya penuh emosi.
"Bu ... yang menikah itu aku Bu, bukan mereka." balas Ridwan pada percakapan ibunya.
"Iya... Ibu tahu itu Ridwan, tapi bagaimana pertanggungjawabanmu di akhirat kelak? Sedangkan tuntunan agama kita jelas melarang menikah beda agama."
"Yaa ... Ibu, cinta itu butuh perjuangan serta pengorbanan, Bu." delik Ridwan pada Ibunya.
"Pengorbanan apa?! Tidak Ridwan.
"Kamu tidak boleh menikah dengan Anetta itu, titik....!!"
Ibunya keluar dari dalam kamar membawa ekspresi gundah gulana.
Sedangkan Ridwan larut dalam pikir bak makan buah simalakama menjadi menu paginya.
Ridwan memutuskan menulis sepucuk surat pendek, ia kirimkan pada Anetta.
"Nettaku sayang, Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua Abang sayang?
Maafkan Abang ya Netta, bila kita tak berjodoh. Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, Abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti. Sekali lagi, maafkan Abang ya, sayang ....?"
Ttd
Ridwan
******
#2
Sementara itu di tempat lain, Anetta termangu, matanya sayu menatap jauh ke arah jendela kantornya yang berhadapan dengan laut.
"Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang ... atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?"
Kutipan ayat yang disampaikan pendeta dalam khotbah ibadah Minggu masih saja terngiang dalam telinganya. Hati Anetta benar-benar kacau balau.
"Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? Aku bingung Tuhan...!? Di sisi lain aku begitu mencintai Ridwan. Tapi...," Anetta membatin.
Hanya butiran bening yang menetes di pelupuk mata Netta.
Suatu siang, sepucuk surat dari Ridwan datang. Dengan tergesa-gesa Anetta segera membukanya.
"Nettaku sayang, Abang sangat mencintaimu, tapi hubungan kita tak direstui oleh orang tua Abang sayang? Maafkan Abang ya Netta, bila kita tak berjodoh. Abang tak sanggup menantang matahari karena sebuah cinta tak direstui, Abang tak ingin disebut anak yang tak berbakti. Sekali lagi, maafkan abang ya sayang ....?"
Ttd
Ridwan
Anetta terhenyak ketika membaca surat dari Ridwan. Ada pemberontakan yang begitu hebat di hatinya.
"Tidak... jangan sekarang Bang, aku belum siap bila harus berpisah denganmu, Abang!" jerit Netta sambil meremas surat dari Ridwan.
Lalu, Netta bergegas mencoba menghubungi Ridwan di handphonenya, namun sia-sia saja. Nomor milik Ridwan tidak aktif. Ahkirnya Anetta memutuskan mencari Ridwan ke Jakarta.
Bukan hal yang mudah untuk mencari alamat Ridwan di Jakarta. Namun, dengan sedikit bantuan dari seorang teman, Anetta berhasil menemukan rumah Ridwan.
"Tok ... tok ... tok ... permisi...?" ucap Netta sambil mengetuk pintu rumah Ridwan.
"Iya, sebentar?!" sahut suara dari dalam.
Tidak berapa lama terdengar pintu dibuka, kreekkk....
"Netta???" ucap Ridwan terkejut.
"Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"
Ridwan setengah tidak percaya, jika yang di hadapannya adalah Anetta kekasih hatinya, lima tahun lamanya ia menjalin cinta.
"Eh ... anu ... itu ... eh ...."
Netta tergagap-gagap berhadapan dengan Ridwan.
"Sii ... sii ... silakan duduk Netta!" kata Ridwan sambil tergagap-gagap juga.
Anetta pun duduk berhadapan dengan Ridwan, sementara waktu mereka hanya saling terdiam. Hingga pertanyaan Ridwan pun memecah keheningan di antara mereka.
"Kapan kau sampai di Jakarta ini?" tanya Ridwan.
"Kemarin siang saya sampai Abang, aku menginap di rumah Maria. Dia yang membantuku mencari alamat Abang." ucap Netta getir.
Lagi-lagi mereka berdua pun kembali terdiam.
Netta membuka pembicaraan
"Kenapa Bang? Tidak adakah jalan keluar yang terbaik buat kita? Apakah memang semua harus berakhir seperti ini?" kata Anetta terisak.
"Entahlah Net ... tapi mungkin ini yang terbaik." ujar Ridwan.
"Tapi, Netta mencintaimu, Abang!" sanggah Anetta.
"Begitu pula dengan Abang Netta, Abang juga mencintaimu Netta, tapi perbedaan kita sungguh tidak bisa disatukan Net." sahut Ridwan.
"Apa kamu mau berpindah keyakinan demi aku supaya kita bersatu?" lanjutnya.
Anetta terdiam dan tenggelam dalam isak tangisnya.
"Jawab Net! Apa Netta mau?" desak Ridwan.
"Maafkan Netta Bang ... Netta tidak bisa membohongi kata hati Netta, Netta tidak bisa ikut keyakinan yang Abang anut." ucap Anetta.
"Begitu pula dengan Abang Net, bila kamu mengajukan pertanyaan yang sama, 1bang pun tidak sanggup untuk ikut keyakinan yang kamu anut." sahut Ridwan.
"Oya, Netta. Apakah kita tega menyakiti hati orang tua kita, bila kita bersikukuh meneruskan hubungan ini?"
"Anetta menggeleng."
Ridwan bertanya kembali. "Bagaimana pula dengan anak-anak kita kelak? Tidak mungkin dalam satu kapal akan dikendalikan dua nakhoda dan akidah, kapal tersebut tentu akan kesulitan menemukan arah dan tujuannya. Kamu paham kan, Net?" ucap Ridwan.
Anetta pun akhirnya menyeka air matanya.
"Netta paham Bang ... maaf bila Netta terlalu egois ingin memaksakan hubungan ini."
Dengan hati yang kecewa, gayung tak bersambut, bak pucuk dicinta ulam layu sudah. Hubungan sudah di ujung tanduk.
"Oya, Bang? Netta pamit pulang aja ke Semarang. Netta ikhlas, Netta legowo dengan keputusan yang Abang ambil. Semoga Abang menemukan wanita solehah untuk mendampingi hidupmu nanti, Abang... doa Netta menyertai Abang. Netta tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Bang Ridwan." ucap Netta sambil tersenyum.
"Abang pun juga begitu Net, Abang tidak pernah menyesal jatuh cinta pada Netta, dan Abang doakan Netta pun segera menemukan pendamping yang lebih baik dari Abang." jawab Ridwan.
(Hingga Ridwan berpisah secara baik-baik dengan kekasihnya Anetta)
*****Selesai*****
Cerpen –
KETIKA CINTA TAK DIRESTUI
Penulis: Romy Sastra bersama Fe Chrizta Wijaya
Jakarta Semarang, 24/01/2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar