RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 14 April 2022

SASTRA PUSAI Oleh : Eko Windarto


 
SASTRA PUSAI
Oleh: Eko Windarto


Sastra pusai yang baru berumur serambut jagung sudah mewabah kemana-mana, terutama pada penulis pola tuang tertentu, seperti haiku dan tanka. Oleh sebab itu sastra pusai adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh semangat dan serangkaian makna dan fungsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karenanya, karya sastra pusai memang hemat kata, syarat makna dan neofuturisme. Itulah sebabnya, penulis sastra pusai memiliki tugas untuk mengungkap kekaburan masa depan menjadi jelas atau bahkan sebagai solusi kehidupan di masa kini dan masa akan datang. Penulis sastra pusai akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentukan sastra pusai dan menafsirkan sesuai paradigma yang digunakan.

Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila penulis sastra pusai memulai menulis atas dasar masalah di sekitarnya atau apa yang sedang dihadapi. Tanpa masalah yang jelas dari penulis sastra pusai yang dihadapi, tentu kerja menulis pusai juga akan menjadi kabur. Manakala menulis pusai dengan makna yang kabur maka karya pusai itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan penulis sastra pusai untuk mengangkat sebuah persoalan menjadi penting.

Mempelajari sastra ibarat memasuki hutan belantara, semakin ke dalam makin lebat, juga bisa menyesatkan. Namun demikian, di dalam ketersesatan itu akan mengalami kenikmatan. Oleh karena itu, karya sastra yang beragam jenisnya adalah fenomena kemanusiaan yang kompleks dan dalam, seperti sastra pusai yang saya coba hadirkan lewat sebuah perbincangan kecil ini. Sebab di dalam menulis pusai harus bisa melumerkan kata-kata bukan dilumerkan kata-kata dalam artian jangan boros kata-kata. Oleh sebab itu penulis pusai dituntut kecermatan dalam menghadirkan makna di dalam pusai itu sendiri.

Sayang sekali bila masih banyak penulis pusai dalam keragu-raguan untuk mencapai tujuan, bahkan masih ada yang hanya sekedar coba-coba atau bahkan sebagai tempat eksperimen semata. Padahal segala jenis sastra itu adalah seni yang mengandung banyak ilmu dan makna kehidupan. Yang jelas menulis pusai membutuhkan kesabaran, keihklasan, bacaan, metode yang tertata rapi, dan perlu perenungan. Semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu perlu mengasah kemampuan dan keterampilan, serta kerja keras.

Bali, 1332020



CYBER SASTRA PUSAI PENJEBOL TRADISI
Oleh: Eko Windarto

Cybersastra mulai populer sejak tahun 2001 baru merebak istilah demikian. Melalui internet, muncul cybersastra. Kehadiran cybersastra seakan-akan telah menabuh GONG BESAR dunia sastra. Para pemerhati mau pun peneliti mulai melirik ke arah itu. Rupanya munculnya cybersastra mampu mengetuk pintu-pintu pemerhati sastra yang hampir terkunci.
Tampaknya cybersastra akan semakin berkembang. Seiring dengan itu pula, perhatian peneliti dan pemerhati sastra semakin kerepotan untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi pada cybersastra. Apakah cybersastra memang telah memiliki etos yang mapan, seperti halnya sastra koran dan buku? Apakah yang sebenarnya melatar belakangi munculnya cybersastra? Apakah ini adalah terobosan sastra baru yang inovatif dan menimbulkan salah paham dan dianggap sastra sampah? Asumsi SASTRA SAMPAH memang menyakitkan, karena itu peneliti dan pemerhati sastra harus berani dan tak terbebani untuk mengkaji lebih jauh komunitas cybersastra itu sendiri.

Memang lewat cybersastra yang terbatas komunikasinya, kadang mereka (penulis cybersastra) ada yang segera ingin populer dengan cepat tanpa dibarengi literasi yang memadai. Penulis cybersastra dapat dengan mudah tersebar ke seluruh dunia, nama mereka tak perlu harus melewati WISUDA KHUSUS. Nama mereka (penulis) akan terangkat dan terkenal ke seluruh jaringan cyber. Mereka juga ada yang ingin meloloskan diri dari penjara SASTRA KORAN. Mereka beranggapan bahwa sastra KORAN dan BUKU terlalu hegemonik. Itulah sebabnya, cybersastra menjadi tawaran yang menarik. Berarti cybersastra menjadi ladang penjebol sistem sastra yang pernah ada.

Demikian pula cyber sastra pusai adalah ungkapan hati seorang pemusai sebagai pandangan ke masa depan. Pusai hadir atau lahir tidak dari ruang kosong dan hampa. Artinya, karya sastra pusai lahir itu dalam ruang dan waktu yang bergerak terus berlangsung. Di dalam pusai selalu ada aspek-aspek kehidupan yang saling bertautan antara pemusai dan lingkungan hidupnya. Di samping itu, juga aspek-aspek ulang-alik antara yang tersurat dan tersirat dalam perkembangan masyarakat dengan perkembangan kesusasteraan itu sendiri. Pusai juga bisa merangsang pemikiran kita bersama. Juga bisa saling bersentuhan secara positif dalam berkarya seperti pusai Thantowi Tohir di bawah ini.

AYAH
Thantowi Tohir


Amarahnya,
Duri mawar
Perih menusuk
Menebar harum

Metro, 300320


Mamasuki pusai Thantowi Tohir yang berjudul AYAH, saya mencoba memahami dan menafsirkan apa saja yang terkandung di dalam karya pusainya. Dengan kata lain, telaah sastra pusai memiliki tidak sekedar coba-coba, melainkan harus mampu memberikan pencerahan perkembangan sastra pusai, seleksi sastra pusai, penyebarluasan sastra pusai, dan menjelaskan latar belakang apa saja yang terkait dengan penciptaan. Kalau kita membaca judulnya sangat sederhana dan mudah dicerna atau dipahami. AYAH bisa kita sebut sebagai kepala keluarga, kepala keuangan, kepala budi pekerti, kepala kebajikan dan kepala sekolah yang akan memberi contoh pada anak istrinya. AYAH juga bisa menjadi simbol duka dan virus bahagia bagi jiwa anak istrinya. Oleh sebab itu, tema yang terlihat sederhana tidak bisa kita bayangkan sesederhana itu. Karena tema itu sendiri mempunyai teks yang sublim. Memang, pembaca kadang-kadang hanya membaca atau melihat kulitnya saja. Namun demikian, pembaca mempunyai sudut pandang berbeda-beda. Karena mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.

Pada baris pertama pemusainya menulis kata / MARAHNYA/. dari situ kita bisa menangkap kata-kata seorang Ayah yang menusuk, menyakitkan hati dan perasaan anak istrinya atau orang lain. Tapi di balik kemarahan itu sebenarnya ada yang ingin dituju oleh seorang Ayah yaitu, untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Itu terbukti dengan larik penutupnya / MENEBAR HARUM/. Nah, dari kata penutup kita bisa menyimpulkan bahwa di balik kata-kata yang pedas menusuk ada cahaya penerang bagi perjalanan kehidupan ke depannya.

Demikian yang bisa saya sampaikan melalui esai sederhana ini. Meski pusai di atas masih sangat sederhana dan terlihat kurang sublim dalam artian masih terlihat polos alias kurang gizi dan nutrisi literasi. Semoga bermanfaat. Amin.

Bali, 1042020



SASTRA PUSAI


Karya pusai lahir dari getaran jiwa penulisnya dengan alam semesta, lingkungan dan obyeknya. Juga menonjolkan hakikat kehidupan secara mendalam.

Sastra serius berpretensi mengejar efek estetis. Sastra serius tidak bersifat stereotip sehingga terdapat unsur pembaruhan seperti pusai yang mulai menggeliat. Sebab pusai serius lebih berbobot, sehingga dibutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dan kemauan keras untuk bisa mencerna kehidupan di sekelilingnya dengan seksama.

Ya, pusai serius mengajak pembacanya merenungi dan meresapi secara mendalam pokok persoalan yang dikemukakan.

Pusai serius dapat memberikan yang serba berkemungkinan. Jenis pusai ini membutuhkan daya konsentrasi yang tinggi dalam membacanya. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan, disoroti sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal.

Adalah keliru apabila ada penyair yang dengan 'nyinyir' mengatakan dengan bangga bahwa ia telah berhasil menyihir pembacanya dengan cara menjungkirbalikkan kata-kata atau menyunsangtunggangkan makna-makna sesuka hatinya. Seorang penyair betapapun liarnya harus tunduk pada retorika bahasa yang dipilihnya sebagai cara ungkap. Memang benar ada istilah " licentia poetica" kebebasan penyair memilih bahasa ungkapan dan menulisnya ke dalam bentuk pusai. Akan tetapi, bagaimana pun juga sepak terjang penyair tetaplah dibatasi oleh karakter bahasa, pola kata, dan susunannya.

Modal utama bagi penyair adalah perbendaharaan kata, perbendaharaan budaya, dan perbendaharaan tata nilai yang berlaku dan dianut. Penyair harus mempunyai piranti yang memadai dalam olah kreativitas penciptaan pusai. Oleh karena itu, seorang penyair mestilah seorang pemikir. Segala pusai yang diciptakannya mestilah dilandasi oleh olah pemikiran yang mendalam dan dilambari oleh wawasan jauh ke depan. Pusai-pusai yang tidak dilandasi oleh olah pemikiran akan lahir sebagai pusai prematur. Jabang bayi pusai yang prematur itu keadaannya amat merana; ia kurang gizi, kurang asupan asi, dan pertumbuhannya terpolusi oleh asap kata-kata yang menguap begitu saja.

#nyinyir 2822020



EKSPRESIVISME SASTRA PUSAI
Eko Windarto


Karya sastra pusai sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra pusai bisa diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran, kehendak dan pengalaman batin pengarang. Tentu saja, pengalaman itu telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang, sehingga bukan berupa pengalaman mentah yang terputus-putus. Pengalaman batin itu akan menjadi pendorong kuat bagi lahirnya karya sastra pusai atau sastra lainnya. Pengalaman tersebut lebih individual dan bersifat imajinatif yang disintesiskan dalam sebuah karya sastra. Terutama dalam sastra pusai yang baru berumur serambut jagung.

Ciri khas dan ukuran seni sastra pusai dan sastra lainnya yang bermutu adalah keluhuran yang luhur, agung, unggul, mulia sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul, pengungkapan dan penggubahan yang mulia. Sumber-sumber itu akan membawa semangat Illahi yang menjadi dorongan luar biasa bagi pencipta. Di samping itu, bobot karya juga ditentukan oleh pemakaian gaya bahasa yang manis dan sesuai, memiliki emosi yang intens dan terpelihara, serta harus tahan dimakan zaman.

Jika penyair ( pemusai) hanya sekedar menulis puisi pendek (bonsai) tanpa ada perenungan, maka ia akan berusia pendek seperti bayi tabung kurang gizi. Saya menyadari hal itu karena grup pusai masih baru dan banyak penulis dari pola tuang puisi pendek seperti haiku dan tanka, bukan dari pola tuang puisi bebas, imajis, pamflet, atau gurindam. Maka dari itu kita masih perlu mengasah diri dalam menulis sastra pusai.

Idealnya, seorang penyair (pemusai) memiliki pemancar dan radar seperti pemancar dan radar satelit yang sinyalnya sangat kuat dan istemewa. Pemancar dan radar memiliki kemampuan menyerap segala sesuatu yang berkelebat di udara terbuka. Sebab di udara terbuka tampaknya banyak sekali kata-kata berterbangan, melayang-layang, dan kadang saling berbenturan. Seorang penyair mestilah mau mengusung pemancar dan radar kemana pun ia melangkah. Dengan pemancar dan radar terpasang di dada, di kepala, dan di segenap jiwa serta ditunjang kepekaan menangkap sinyal-sinyal kreatif, intuitif, imajinatif, lalu seorang penyair (pemusai) dapat menyaring dan menjaring kata-kata, serta mengembangbiakkannya melalui pusai-pusai yang ditulisnya.

Bagi penyair (pemusai) pemancar dan radar merupakan piranti untuk mengadopsi berbagai realitas-imajinatif dan realitas faktual untuk menangkap tanda-tanda zaman, serta menangkap berbagai makna yang berlaku sesuai dengan tata nilai yang berlaku. Tugas penyair selanjutnya ialah menangkap dan memantulkan kembali perasaan pikiran, perasaan, dan perasaan keutamaan dasar kebenaran dan keluhuran. Di sinilah letaknya nilai-nilai yang diselipkan oleh penyairnya, baik itu berupa nilai etis, nilai fisolofis, nilai edukatif, maupun nilai religius untuk mencapai nilai neofuturisme.

#celotehsastra2622020



SASTRA PUSAI (2)
Oleh: Eko Windarto


Sastra pusai yang baru berumur serambut jagung sudah mewabah kemana-mana, terutama pada penulis pola tuang tertentu, seperti haiku dan tanka. Oleh sebab itu sastra pusai adalah fenomena unik. Ia juga fenomena organik. Di dalamnya penuh semangat dan serangkaian makna dan fungsi. Makna dan fungsi ini sering kabur dan tak jelas. Oleh karenanya, karya sastra pusai memang hemat kata, syarat makna dan neofuturisme. Itulah sebabnya, penulis sastra pusai memiliki tugas untuk mengungkap kekaburan masa depan menjadi jelas atau bahkan sebagai solusi kehidupan di masa kini dan masa akan datang. Penulis sastra pusai akan mengungkap elemen-elemen dasar pembentukan sastra pusai dan menafsirkan sesuai paradigma yang digunakan.

Tugas demikian, akan menjadi bagus apabila penulis sastra pusai memulai menulis atas dasar masalah di sekitarnya atau apa yang sedang dihadapi. Tanpa masalah yang jelas dari penulis sastra pusai yang dihadapi, tentu kerja menulis pusai juga akan menjadi kabur. Manakala menulis pusai dengan makna yang kabur maka karya pusai itu sendiri sebagai fenomena yang kabur, tentu hasilnya tidak akan optimal. Itulah sebabnya kepekaan penulis sastra pusai untuk mengangkat sebuah persoalan menjadi penting.

Bali, 632020



PERSPEKTIF PUSAI DALAM TIGA PUISI: TINJAUAN KRITIS
Oleh: Eko Windarto

Kalau seorang pelukis melukis dengan warna seperangkat alat-alat lukisan, maka seorang penyair bisa bernyanyi dengan kata-kata.

Kata-kata merupakan alat yang paling komunikatif bagi penyair untuk mencatat kan getaran-getaran pikiran dan gejolak perasaannya. Karena itu bagaimanapun seorang penyair harus menguasai tata bahasa secara baik sebab jika tidak, ia akan mengalami kesulitan menerjemahkan pengalamannya atau penghayatannya setepat mungkin melalui kata-kata untuk mencapai maksudnya yang sebenarnya.

Dari kenyataan di atas, dapatlah kita memperoleh gambaran betapa pentingnya bahasa bagi seorang penyair. Chairil Anwar, Amir Hamzah menulis kegelisahannya dan kesunyi-senyapnya dengan bahasa, dan dengan bahasa pula mereka menyanyikan kerinduan yang tak kunjung padam. Kiranya tak dapat dipungkiri, bahwa karya sastra yang besar lebih mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi bagi penyair. Bagaimana penyair mempergunakan alat itu tentu saja melalui studi dan latihan yang serius sebagaimana yang disarankan oleh penyair terkenal Rainer Maria Rilke kepada penyair Muda. Tanpa bahasa penyair tak bisa berbuat apa-apa.

Karya sastra yang besar lebih panjang umurnya dari pada penciptanya. Penyair Yunani Kuno Homeros, Odysseus, atau penyair seperti Jalaludin Rumi, Attar, Khalil Gibran, telah lama meninggal dunia tapi sampai kini masih dibaca orang. Demikian pula tentang Mahabarata dan Ramayana.

Semua penyair ingin menghasilkan karya yang besar. Tapi ternyata ciptaan yang besar harus ditunjang pengetahuan dan pengalaman yang besar pula. Sebuah judul karangan puisi atau puisi pusai yang digarap oleh beberapa penyair yang berbeda tingkat pengetahuan dan pengalamannya serta bacaannya tentu akan menghasilkan ciptaan yang berbeda-beda pula tingkatan nilainya. Dari yang kerdil sampai berbobot. Penyair yang banyak membaca buku-buku pengetahuan dan filsafat serta buku-buku yang mempunyai nilai sastra akan menghasilkan ciptaan yang isinya berbeda dengan penyair yang hanya mengandalkan bakat.

Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipastikan bahwa penyair atau pemusai adalah mereka yang jatuh cinta kepada bahasa. Bahasa merupakan nyanyian jiwa yang tak henti-hentinya mengetarkan kalbu mereka. Dengan bahasa, pemusai menemukan tempat untuk mengekspresikan diri melalui pusai yang singkat, padat dan bergizi.

Sebagai pemusai, seharusnya memang menguasai menulis puisi bebas dalam artian menulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Tagore, Muhamad Iqbal, Aristoteles dll. Jika telah menguasai penulisan puisi bebas seperti itu, maka menulis pusai akan lebih mudah karena telah menguasai dasar-dasar menulis puisi. Kenapa saya katakan begitu, karena pusai itu sendiri adalah intisari dari puisi. Pusai adalah singkat, padat, dan mempunyai nilai futuristik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri ketiga pusai di bawah ini.

FUTUR
Karya Sugiono


debur ombak
bentang layar
sayap camar

Sugiono Mpp, 040119


Jika kita membaca dan memahami kata FUTUR yang menjadi jadi judul pusai Sugiono, maka kita seakan di bawa dalam perenungan ke masa depan. Oleh sebab itu, mari kita telusuri isi dalam pusai FUTUR, apakah mempunyai karakteristik atau nilai ke depan, yaitu nilai futuristik.

Kata /debur ombak/ adalah sebuah bahasa metafora yang sederhana dan memiliki makna kehidupan manusia, yang mana dalam perjalanan hidup manusia itu ada yang begitu sulit untuk ditempuh, namun demikian, bagaimanapun juga harus diterima dan ditempuh demi mempertahankan hidup. Hidup ini penuh pilihan, penuh onak dan duri yang harus diterjang untuk mencapai tujuan. Namun, dalam kenyataannya ketika mendapat cobaan yang berat, banyak manusia gelap mata untuk mengambil jalan pintas; ada yang bunuh diri karena gak kuat diterpa cobaan, ada yang memakai pesugihan demi ambisi, ada yang menjadi penyakit masyarakat, ada yang menjadi perampok uang rakyat dll. Dari sinilah, kita sebagai manusia sosial dan beradab merasa miris jika melihat keadaan seperti itu. Padahal kehidupan ini adalah ujian dari Allah SWT semata demi kebaikan manusia itu sendiri.

Pada baris berikutnya, sang pemusai mengajak kita merenung saat naik perahu di atas lautan kehidupan yang terombang-ambing kehidupan untuk /bentang layar/ demi kebaikan atau keselamatan dalam perjalanan mengarungi lautan kehidupan yang begitu bergelombang. BENTANG LAYAR juga bisa diartikan membentangkan ilmu pengetahuan, membentangkan cakrawala baru dalam perpuisian Indonesia, membuka sejarah baru dalam dunia sastra yang penuh intrik dan persaingan, juga bisa diartikan sebagai suatu proses kelahiran atau kemunculan pengetahuan baru, budaya baru, membentangkan layar pikiran dan perasaan di dalam wilayah sadar dan bawah sadar diri sebagai imbalan terhadap dunia luar diri, atau malah mengalami kerumitan-kerumitan baru yang harus diurai melalui layar kaca sains yang sekarang terus membentangkan wabah begitu mengerikan pada muda mudi kita. Lihat anak-anak muda dan orang-orang tua jika sudah bermain HP lupa pada orang sekelilingnya. HP bisa juga melenyapkan kasih sayang, melenyapkan masa depan anak-anak kita dan bisa melenyapkan waktu berharga.

Pada baris ke tiga, sang pemusai menuliskan kata sederhana dalam bahasa metafora / sayap camar/. Kalau kita simak kata SAYAP CAMAR, maka kita serasa diajak terbang bebas seperti burung camar, juga bisa sebagai pesan untuk mengungkapkan kebebasan berpikir, kebebasan terbang mengasah ilmu pengetahuan, kebebasan berkreasi dalam menciptakan karya sastra atau menggambarkan pesan budi pekerti dalam membuka cakrawala mata batin para pemusai. Kata SAYAP juga bisa kita artikan sebagai meluaskan sayap-sayap pikiran dan hati manusia untuk mencapai tujuan hakiki. Membaca dan memahami pusai Sugiono kita hanya diberi contoh cara membuat pusai yang sederhana dan gampang. Bisa kita lihat idenya Sugiono hanya ketika ia berdiri di tepi pantai melihat ombak berkejaran dan di atasnya burung camar terbang bebas. Tapi yang harus diingat pembaca dan pemusai adalah bahwa sayap itu bisa patah berkeping-keping dan jatuh berserakan menimpa siapa saja. Oleh sebab itu seorang pemusai harus mengerti betul makna kata yang ia tulis. Sebab kata-kata tidak terlahir dari tanya saja. Kata-kata mempunyai kekuatan dan kedahsyatan makna ungkapan di baliknya. Maka dari itu jangan hanya bermain kata-kata jika ingin berhasil menguasai atau mengungkapkan masa depan dengan baik.

Jika membaca pusai Sugiono di atas, maka terlihat konsep pusai yang hemat kata, sarat makna, dan memperhatikan keindahan bahasa, bunyi serta neofuturistik telah tercapai. Memang itulah yang dibutuhkan sebuah pusai, yaitu perpaduan antara kata denotatif dan konotatif terjaga dengan baik dan pekat menyublim.

Sugiono sang pencetus pusai mengungkapkan bahwa teks pusai memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran sang pemusai diekspresikan secara unik dan menarik. Terutama masalah kehidupan di masa depan yang harus bisa diuraikan sang pemusai. Keunikan dan daya tarik wacana pusai tersebut realisasinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sang pemusai selaku kreator. Pemusai yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana pusai yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Selebihnya, penulis tak melihat kelemahan, karena pusainya Sugiono sudah sangat padat, pekat dan sarat makna serta mempunyai nilai pesan neofuturistik. Meski demikian, sebagai manusia seorang pemusai mempunyai kurang dan lebihnya. Oleh karena itu, banyak hal yang harus dilakukan sang pemusai, yaitu apakah sang pemusai itu sendiri sudah mengerti huruf yang ia tuliskan dalam artian implementasinya pada kehidupannya sehari-hari? Atau mungkin hanya sebagai tulisan yang diciptakan tanpa dilakukan dengan olah laku yang seharusnya dilakukan sang pemusai itu sendiri. Sebab pemusai itu sendiri seringkali lupa pada keadaan lakunya atau penciptaan karyanya sendiri alias cerdik memanipulasi alasan penciptaan.

Memasuki pusai IBU karya Bahasa Qolbu yang sederhana namun tidak sesederhana yang kita bayangkan. Memang secara sederhana bisa juga pusai Bahasa Qolbu kita urai lewat tafsir sastra hermeneutik. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur ( Sumaryono, 1999: 106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penelitian atau telaah menukik ke arah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode "tafsir sastra". Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini. Dan kedua, metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti atau penelaah untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri pusai Bahasa Qolbu di bawah ini.

IBU
Karya: Bahasa Qolbu


penyibak jalan
merenda ladang
menjadi mawar
juga anggur kehidupan

13 Desember 2018

Ketika kita membaca dan membuka atau menelisik kata IBU dalam judul pusai Bahasa Qolbu, maka kita dihadapkan pada arti yang begitu komplek sekali. Ibu bisa kita artikan ibu kita, ibu anak-anak kita, ibu suri, ibu bangsa, ibu pertiwi, ibu bahasa, bahasa ibu dll. Kata IBU menjadi simbol sangat bermakna ganda dan luas. Lagi-lagi kata IBU di judul pusai ini menjadi kekuatan tersendiri. Mungkin juga sebagai ide awal dari penulisan pusainya Bahasa Qolbu. Dengan demikian, sebuah judul tidak hanya sekedar tempelan belaka, namun sebuah kekuatan yang tak bisa kita pandang sebelah mata. Oleh sebab itu, sebuah judul sangatlah penting bagi pemusai. Seorang ayah juga bisa menjadi ibu dari anak-anaknya ketika ditinggal istri pergi atau ketika istrinya telah pergi menghadap Khaliqnya. Maka dari itu seorang ayah yang menggantikan posisi istrinya yang telah pergi menghadap Khaliqnya harus hati-hati dalam berbuat di depan anak-anaknya, karena itu bisa menjadi contoh baik buruknya perilaku bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, seorang ayah yang menggantikan posisi sebagai ibu sangat berat. Ia harus bisa memposisikan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah.

Memasuki baris pertama, pembaca diajak merenungkan pesan yang disampaikan malalui simbol / penyibak jalan/ oleh sang pemusainya. Seorang ibu adalah yang paling pertama untuk membuka jalan kegelapan menuju terang, menyibak jalan yang berduri untuk menjadi jalan yang lempang, dan membuka jalan kebaikan bagi anak-anaknya di masa-masa yang akan datang serta penuh rintangan untuk / merenda ladang/ kehidupan mulai dari dalam rahim sampai dewasa. Hingga nantinya anak-anak mereka tidak gagap dalam mencapai tujuan yang sebenarnya. Karena dalam ladang kehidupan segalanya bisa berubah dan berkembang mengikuti arah zamannya seperti yang tertulis dalam diksi / menjadi mawar/. Kalau tidak hati-hati dan berbekal ilmu pengetahuan serta iman yang kuat, maka anak-anak mereka bisa menjadi MAWAR YANG LAYU. Maka dari itu, seoang ibu harus bisa menjadi juru penerang bagi hati dan pikiran anak-anaknya biar bisa menjadi mawar yang merekah, dan / juga anggur kehidupan/ dalam diri anak-anak mereka untuk selalu bergerak membentuk ahklak mulia di dalam kehidupan yang seimbang.

Ketika membaca pusai Bahasa Qolbu di atas, maka, penulis melihat gaya bahasanya telah mempunyai karakteristik tersendiri. Penggunaan metafora, bahasa kias, serta memperhatikan estetika keindahan bahasa dan memperhatikan aspek bunyi pusai. Oleh sebab itu, pusai Bahasa Qolbu lebih terlihat utuh dan multi tafsir, sehingga pusainya lebih mendedahkan aneka multiinterpretasi. Tapi penulis juga ada sedikit ganjalan dengan kata (juga) di baris terakhir. Penulis kira jika tak memakai kata penegasan akan semakin terlihat lebih legit atau wongkol (utuh). Sebab bila kata (juga) dihilangkan, maka atmofsir pusai hemat kata dan sarat makna akan terlihat tercapai dengan cantik.

Tiba saatnya kita memasuki pusai Amiri Kulala yang memasuki dunia sufisme. Rupanya dunia tasawuf menjadi pandangan atau perenungannya yang perlu ia sampaikan lewat pusai. Cukup menarik untuk dikaji lewat perenungan tasawuf.

Sufisme mengajarkan tentang cinta damai, kasih sayang, tentang bagaimana menghargai kemanusiaan. Seorang sufi selalu berusaha mengerti keberadaan manusia berasal dari keyakinan masing-masing tanpa memaksakan kehendak mana yang lebih besar.

Di sini jelas menunjukkan bahwa begitu pentingnya tasawuf dalam kehidupan manusia, dimana tugas tasawuf adalah untuk mendisiplinkan watak serta penanaman adab spritual. Dan ini menunjukkan betapa signifikannya sufisme dalam kehidupan manusia. Apalagi zaman sekarang sudah memasuki abad modern.

Dalam perjalanan sejarah spritualisme muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spritual para sufi. Ini dikarenakan jalan itu dirasakan amat relevan dengan kehidupan.

Dalam suasana transendensi, seorang sufi menggali suasana realita yang baru, yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yg dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat, dan rakus. Dengan menempuh perjalan rohani atau spritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan.

Relevansi tasawuf dengan kecenderungan kehidupan modern, antara lain bahwa perkembangan masyarakat modern sudah tidak memadai lagi untuk dipenuhi hanya sekadar ibadah-ibadah pokok. Masyarakat modern memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens dalam pencarian makna. Kecenderungan ini hanya dapat dipenuhi oleh esoterisme tasawuf yang kini direpresentasikan oleh tasawuf.

Tasawuf bagaikan magnet. Dia tidak menampakkan diri ke permukaan, tapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Dalam kehidupan modern yang serba materi, tasawuf bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial, seperti juga bisa melalui bahasa tulis semacam pusai Amiri Kulala di bawah ini.

ANAK GEMBALA
Karya: Amiri Kulala

Tujuh sumur menggema
Mengalirkan cairan nada

Anak gembala bersandar di batang sunyi
Menghalau jiwa ke peluk matahari

BANGKALAN, 301118


Memasuki dan menelusuri makna pusai ANAK GEMBALA Amiri Kulala, kita diajak merenangi metafora / Tujuh sumur menggema/ Mengalirkan cairan nada/. Seakan kita diajak menelusuri atau mengunjungi TUJUH KEDALAMAN ILMU YANG HARUS TERUS-MENERUS DIGALI agar kelak bisa terpahami untuk bisa diceritakan atau dinyanyikan biar tetap bergema dan didengar anak cucunya, yang mana itu terlihat pada baris berikutnya, / Mengalir cairan nada/. Dari bentuknya nampak pesan tersirat dan tersurat yang futuristik, meski pesannya kurang jelas bagi sebagian pembaca. Namun demikian, sudah mencapai kredo pusai yang singkat, padat, bergizi dan futuristik, yaitu pelajar dunia akhirat yang telah diperdengarkan secara simbolis.

Bait kedua, sang pemusai kembali memainkan diksi dan metafora sebagai berikut, / Anak gembala bersandar di batang sunyi/. Pada baris ini, rupanya sang pemusai menggambarkan para murid mengikuti dan mendengarkan pelajaran atau ilmu pengetahuan tentang agama atau budaya dalam lingkup kehidupan beragama yang baik dengan takzim. Atau mungkin seorang murid yang suka menyendiri untuk merenungkan palajaran yang ia dapatkan dari gurunya. Kemudian sang pemusai kembali melukiskan para murid atau hanya seorang murid yang diarahkan gurunya untuk melangkah atau mempelajari ilmu agama yang hakiki dengan bahasa metafora seperti berikut ini, / Menghalau jiwa ke pelupuk matahari/. Dari situlah kita bisa mengetahui bahwa belajar dan belajar, terutama belajar ilmu tauhid harus terus-menerus didorong, agar supaya kita menjadi manusia yang berguna. Tapi sayangnya sang pemusai tidak mengajak kita atau pembaca memasuki akar Pusai itu sendiri. Ia hanya mengajak kita merenungi sunyi di sebuah batang pohon, padahal batang itu tak akan ada jika tak ada akarnya. Jelas di sini sang pemusai belum mencapai akar-Nya. Dari situlah maqom sufistiknya belum sampai pada tujuan dalam mencapai nilai Futuristik sesungguhnya.

Membaca dan memahami pusai Amiri Kulala di atas, penulis belum menemukan nilai futuristik yang kental. Karena sang pemusai hanya sekedar ungkapan mengajak pada kebaikan. Sang pemusai hanya sekedar menggambarkan pesan seorang guru pada muridnya, belum sampai pada nilai neofuturistik yang ia inginkan. Oleh sebab itu, ia sebagai pemusai seharusnya mampu menuangkan niatnya untuk membuka ruang bagi pembaca bagaimana sih untuk bisa mempraktekkan laku pada kehidupan yang harus ditempuh di masa kini dan masa akan datang, meski meramal masa depan adalah kemungkinan yang niscaya, dan perlu banyak membaca buku-buku serta sering mempelajari keadaan sekelilingnya maupun kehidupan yang sebenarnya sangat luas sekali. Namun demikian, kita tidak bisa minta keterangan pada pemusainya, karena niat pemusai merupakan hal yang abstrak, sehingga mencari niat pemusai sesungguhnya bisa menyesatkan. Oleh karena itu, karya pusai terpisah dari pemusainya sejak ditulis dan pemusai tidak bisa menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya. Maka dari itu, karya pusai boleh jadi merupakan TOPENG atau impian yang menyembunyikan pribadi pemusai yang sebenarnya.

Demikian telah ini saya sampaikan. Ada kurang lebihnya, mohon dimaafkan. Amin.

Sekarputih, 912019



PERSPEKTIF PUSAI DALAM TIGA PUISI: TINJAUAN KRITIS
Oleh: Eko Windarto


Kalau seorang pelukis melukis dengan warna seperangkat alat-alat lukisan, maka seorang penyair bisa bernyanyi dengan kata-kata.

Kata-kata merupakan alat yang paling komunikatif bagi penyair untuk mencatat getaran-getaran pikiran dan gejolak perasaannya. Karena itu bagaimanapun seorang penyair harus menguasai tata bahasa secara baik sebab jika tidak, ia akan mengalami kesulitan menerjemahkan pengalamannya atau penghayatannya setepat mungkin melalui kata-kata untuk mencapai maksudnya yang sebenarnya.

Dari kenyataan di atas, dapatlah kita memperoleh gambaran betapa pentingnya bahasa bagi seorang penyair. Chairil Anwar, Amir Hamzah menulis kegelisahannya dan kesunyi-senyapnya dengan bahasa, dan dengan bahasa pula mereka menyanyikan kerinduan yang tak kunjung padam. Kiranya tak dapat dipungkiri, bahwa karya sastra yang besar lebih mengutamakan bahasa sebagai alat ekspresi bagi penyair. Bagaimana penyair mempergunakan alat itu tentu saja melalui studi dan latihan yang serius sebagaimana yang disarankan oleh penyair terkenal Rainer Maria Rilke kepada penyair Muda. Tanpa bahasa penyair tak bisa berbuat apa-apa.

Karya sastra yang besar lebih panjang umurnya dari pada penciptanya. Penyair Yunani Kuno Homeros, Odysseus, atau penyair seperti Jalaludin Rumi, Attar, Khalil Gibran, telah lama meninggal dunia tapi sampai kini masih dibaca orang. Demikian pula tentang Mahabarata dan Ramayana.

Semua penyair ingin menghasilkan karya yang besar. Tapi ternyata ciptaan yang besar harus ditunjang pengetahuan dan pengalaman yang besar pula. Sebuah judul karangan puisi atau puisi pusai yang digarap oleh beberapa penyair yang berbeda tingkat pengetahuan dan pengalamannya serta bacaannya tentu akan menghasilkan ciptaan yang berbeda-beda pula tingkatan nilainya. Dari yang kerdil sampai berbobot. Penyair yang banyak membaca buku-buku pengetahuan dan filsafat serta buku-buku yang mempunyai nilai sastra akan menghasilkan ciptaan yang isinya berbeda dengan penyair yang hanya mengandalkan bakat.

Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipastikan bahwa penyair atau pemusai adalah mereka yang jatuh cinta kepada bahasa. Bahasa merupakan nyanyian jiwa yang tak henti-hentinya mengetarkan kalbu mereka. Dengan bahasa, pemusai menemukan tempat untuk mengekspresikan diri melalui pusai yang singkat, padat dan bergizi.

Sebagai pemusai, seharusnya memang menguasai menulis puisi bebas dalam artian menulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Rendra, Tagore, Muhamad Iqbal, Aristoteles dll. Jika telah menguasai penulisan puisi bebas seperti itu, maka menulis pusai akan lebih mudah karena telah menguasai dasar-dasar menulis puisi. Kenapa saya katakan begitu, karena pusai itu sendiri adalah intisari dari puisi. Pusai adalah singkat, padat, dan mempunyai nilai futuristik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri ketiga pusai di bawah ini.

FUTUR
Karya Sugiono


debur ombak
bentang layar
sayap camar

Sugiono Mpp, 040119


Jika kita membaca dan memahami kata FUTUR yang menjadi jadi judul pusai Sugiono, maka kita seakan di bawa dalam perenungan ke masa depan. Oleh sebab itu, mari kita telusuri isi dalam pusai FUTUR, apakah mempunyai karakteristik atau nilai ke depan, yaitu nilai futuristik.

Kata /debur ombak/ adalah sebuah bahasa metafora yang sederhana dan memiliki makna kehidupan manusia, yang mana dalam perjalanan hidup manusia itu ada yang begitu sulit untuk ditempuh, namun demikian, bagaimanapun juga harus diterima dan ditempuh demi mempertahankan hidup. Hidup ini penuh pilihan, penuh onak dan duri yang harus diterjang untuk mencapai tujuan. Namun, dalam kenyataannya ketika mendapat cobaan yang berat, banyak manusia gelap mata untuk mengambil jalan pintas; ada yang bunuh diri karena gak kuat diterpa cobaan, ada yang memakai pesugihan demi ambisi, ada yang menjadi penyakit masyarakat, ada yang menjadi perampok uang rakyat dll. Dari sinilah, kita sebagai manusia sosial dan beradab merasa miris jika melihat keadaan seperti itu. Padahal kehidupan ini adalah ujian dari Allah SWT semata demi kebaikan manusia itu sendiri.

Pada baris berikutnya, sang pemusai mengajak kita merenung saat naik perahu di atas lautan kehidupan yang terombang-ambing kehidupan untuk /bentang layar/ demi kebaikan atau keselamatan dalam perjalanan mengarungi lautan kehidupan yang begitu bergelombang. BENTANG LAYAR juga bisa diartikan membentangkan ilmu pengetahuan, membentangkan cakrawala baru dalam perpuisian Indonesia, membuka sejarah baru dalam dunia sastra yang penuh intrik dan persaingan, juga bisa diartikan sebagai suatu proses kelahiran atau kemunculan pengetahuan baru, budaya baru, membentangkan layar pikiran dan perasaan di dalam wilayah sadar dan bawah sadar diri sebagai imbalan terhadap dunia luar diri, atau malah mengalami kerumitan-kerumitan baru yang harus diurai melalui layar kaca sains yang sekarang terus membentangkan wabah begitu mengerikan pada muda mudi kita. Lihat anak-anak muda dan orang-orang tua jika sudah bermain HP lupa pada orang sekelilingnya. HP bisa juga melenyapkan kasih sayang, melenyapkan masa depan anak-anak kita dan bisa melenyapkan waktu berharga.

Pada baris ke tiga, sang pemusai menuliskan kata sederhana dalam bahasa metafora / sayap camar/. Kalau kita simak kata SAYAP CAMAR, maka kita serasa diajak terbang bebas seperti burung camar, juga bisa sebagai pesan untuk mengungkapkan kebebasan berpikir, kebebasan terbang mengasah ilmu pengetahuan, kebebasan berkreasi dalam menciptakan karya sastra atau menggambarkan pesan budi pekerti dalam membuka cakrawala mata batin para pemusai. Kata SAYAP juga bisa kita artikan sebagai meluaskan sayap-sayap pikiran dan hati manusia untuk mencapai tujuan hakiki. Membaca dan memahami pusai Sugiono kita hanya diberi contoh cara membuat pusai yang sederhana dan gampang. Bisa kita lihat idenya Sugiono hanya ketika ia berdiri di tepi pantai melihat ombak berkejaran dan di atasnya burung camar terbang bebas. Tapi yang harus diingat pembaca dan pemusai adalah bahwa sayap itu bisa patah berkeping-keping dan jatuh berserakan menimpa siapa saja. Oleh sebab itu seorang pemusai harus mengerti betul makna kata yang ia tulis. Sebab kata-kata tidak terlahir dari tanya saja. Kata-kata mempunyai kekuatan dan kedahsyatan makna ungkapan di baliknya. Maka dari itu jangan hanya bermain kata-kata jika ingin berhasil menguasai atau mengungkapkan masa depan dengan baik.

Jika membaca pusai Sugiono di atas, maka terlihat konsep pusai yang hemat kata, sarat makna, dan memperhatikan keindahan bahasa, bunyi serta neofuturistik telah tercapai. Memang itulah yang dibutuhkan sebuah pusai, yaitu perpaduan antara kata denotatif dan konotatif terjaga dengan baik dan pekat menyublim.

Sugiono sang pencetus pusai mengungkapkan bahwa teks pusai memiliki keunikan dalam pemaparan bahasa sebagai cara ungkap berbagai masalah kehidupan. Berbagai masalah kehidupan yang menjadi bahan renungan, hayatan, pemikiran sang pemusai diekspresikan secara unik dan menarik. Terutama masalah kehidupan di masa depan yang harus bisa diuraikan sang pemusai. Keunikan dan daya tarik wacana pusai tersebut realisasinya berhubungan dengan misi, visi, dan konsepsi sang pemusai selaku kreator. Pemusai yang kreatif akan dapat menghasilkan wacana pusai yang khas, dan dengan demikian memiliki daya tarik tersendiri.

Selebihnya, penulis tak melihat kelemahan, karena pusainya Sugiono sudah sangat padat, pekat dan sarat makna serta mempunyai nilai pesan neofuturistik. Meski demikian, sebagai manusia seorang pemusai mempunyai kurang dan lebihnya. Oleh karena itu, banyak hal yang harus dilakukan sang pemusai, yaitu apakah sang pemusai itu sendiri sudah mengerti huruf yang ia tuliskan dalam artian implementasinya pada kehidupannya sehari-hari? Atau mungkin hanya sebagai tulisan yang diciptakan tanpa dilakukan dengan olah laku yang seharusnya dilakukan sang pemusai itu sendiri? Sebab pemusai itu sendiri seringkali lupa pada keadaan lakunya atau penciptaan karyanya sendiri alias cerdik memanipulasi alasan penciptaan.

Memasuki pusai IBU karya Bahasa Qolbu yang sederhana namun tidak sesederhana yang kita bayangkan. Memang secara sederhana bisa juga pusai Bahasa Qolbu kita urai lewat tafsir sastra hermeneutik. Dalam penelitian sastra, memang hermeneutik memiliki paradigma tersendiri. Kata Ricoeur ( Sumaryono, 1999: 106), hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka, penelitian atau telaah menukik ke arah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh.

Pada dasarnya, paradigma hermeneutik telah menawarkan dua metode "tafsir sastra". Pertama, metode dialektik antara masa lalu dengan masa kini. Dan kedua, metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu memaksa peneliti atau penelaah untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis kultural. Dengan demikian ada sumbangan penting kehadiran hermeneutik. Oleh sebab itu, mari kita telusuri pusai Bahasa Qolbu di bawah ini.

IBU
Karya: Bahasa Qolbu


penyibak jalan
merenda ladang
menjadi mawar
juga anggur kehidupan

13 Desember 2018


Ketika kita membaca dan membuka atau menelisik kata IBU dalam judul pusai Bahasa Qolbu, maka kita dihadapkan pada arti yang begitu komplek sekali. Ibu bisa kita artikan ibu kita, ibu anak-anak kita, ibu suri, ibu bangsa, ibu pertiwi, ibu bahasa, bahasa ibu dll. Kata IBU menjadi simbol sangat bermakna ganda dan luas. Lagi-lagi kata IBU di judul pusai ini menjadi kekuatan tersendiri. Mungkin juga sebagai ide awal dari penulisan pusainya Bahasa Qolbu. Dengan demikian, sebuah judul tidak hanya sekedar tempelan belaka, namun sebuah kekuatan yang tak bisa kita pandang sebelah mata. Oleh sebab itu, sebuah judul sangatlah penting bagi pemusai. Seorang ayah juga bisa menjadi ibu dari anak-anaknya ketika ditinggal istri pergi atau ketika istrinya telah pergi menghadap Khaliqnya. Maka dari itu seorang ayah yang menggantikan posisi istrinya yang telah pergi menghadap Khaliqnya harus hati-hati dalam berbuat di depan anak-anaknya, karena itu bisa menjadi contoh baik buruknya perilaku bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, seorang ayah yang menggantikan posisi sebagai ibu sangat berat. Ia harus bisa memposisikan sebagai ibu sekaligus sebagai ayah.

Memasuki baris pertama, pembaca diajak merenungkan pesan yang disampaikan malalui simbol / penyibak jalan/ oleh sang pemusainya. Seorang ibu adalah yang paling pertama untuk membuka jalan kegelapan menuju terang, menyibak jalan yang berduri untuk menjadi jalan yang lempang, dan membuka jalan kebaikan bagi anak-anaknya di masa-masa yang akan datang serta penuh rintangan untuk / merenda ladang/ kehidupan mulai dari dalam rahim sampai dewasa. Hingga nantinya anak-anak mereka tidak gagap dalam mencapai tujuan yang sebenarnya. Karena dalam ladang kehidupan segalanya bisa berubah dan berkembang mengikuti arah zamannya seperti yang tertulis dalam diksi / menjadi mawar/. Kalau tidak hati-hati dan berbekal ilmu pengetahuan serta iman yang kuat, maka anak-anak mereka bisa menjadi MAWAR YANG LAYU. Maka dari itu, seoang ibu harus bisa menjadi juru penerang bagi hati dan pikiran anak-anaknya biar bisa menjadi mawar yang merekah, dan / juga anggur kehidupan/ dalam diri anak-anak mereka untuk selalu bergerak membentuk ahklak mulia di dalam kehidupan yang seimbang.

Ketika membaca pusai Bahasa Qolbu di atas, maka, penulis melihat gaya bahasanya telah mempunyai karakteristik tersendiri. Penggunaan metafora, bahasa kias, serta memperhatikan estetika keindahan bahasa dan memperhatikan aspek bunyi pusai. Oleh sebab itu, pusai Bahasa Qolbu lebih terlihat utuh dan multi tafsir, sehingga pusainya lebih mendedahkan aneka multiinterpretasi. Tapi penulis juga ada sedikit ganjalan dengan kata (juga) di baris terakhir. Penulis kira jika tak memakai kata penegasan akan semakin terlihat lebih legit atau wongkol (utuh). Sebab bila kata (juga) dihilangkan, maka atmofsir pusai hemat kata dan sarat makna akan terlihat tercapai dengan cantik.

Tiba saatnya kita memasuki pusai Amiri Kulala yang memasuki dunia sufisme. Rupanya dunia tasawuf menjadi pandangan atau perenungannya yang perlu ia sampaikan lewat pusai. Cukup menarik untuk dikaji lewat perenungan tasawuf.

Sufisme mengajarkan tentang cinta damai, kasih sayang, tentang bagaimana menghargai kemanusiaan. Seorang sufi selalu berusaha mengerti keberadaan manusia berasal dari keyakinan masing-masing tanpa memaksakan kehendak mana yang lebih besar.

Di sini jelas menunjukkan bahwa begitu pentingnya tasawuf dalam kehidupan manusia, dimana tugas tasawuf adalah untuk mendisiplinkan watak serta penanaman adab spritual. Dan ini menunjukkan betapa signifikannya sufisme dalam kehidupan manusia. Apalagi zaman sekarang sudah memasuki abad modern.

Dalam perjalanan sejarah spritualisme muslim, terlihat bahwa transendensi atau tasawuf merupakan jalan ketuhanan spritual para sufi. Ini dikarenakan jalan itu dirasakan amat relevan dengan kehidupan.

Dalam suasana transendensi, seorang sufi menggali suasana realita yang baru, yaitu suatu kehidupan yang bebas dari hidup yg dipenuhi dengan kezaliman, ketamakan, sifat, dan rakus. Dengan menempuh perjalan rohani atau spritual ini, seseorang itu merasakan hidup di alam kecintaan dan alam kemenangan.

Relevansi tasawuf dengan kecenderungan kehidupan modern, antara lain bahwa perkembangan masyarakat modern sudah tidak memadai lagi untuk dipenuhi hanya sekadar ibadah-ibadah pokok. Masyarakat modern memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens dalam pencarian makna. Kecenderungan ini hanya dapat dipenuhi oleh esoterisme tasawuf yang kini direpresentasikan oleh tasawuf.

Tasawuf bagaikan magnet. Dia tidak menampakkan diri ke permukaan, tapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Dalam kehidupan modern yang serba materi, tasawuf bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial, seperti juga bisa melalui bahasa tulis semacam pusai Amiri Kulala di bawah ini.

ANAK GEMBALA
Karya: Amiri Kulala

Tujuh sumur menggema
Mengalirkan cairan nada
Anak gembala bersandar di batang sunyi
Menghalau jiwa ke peluk matahari

BANGKALAN, 301118


Memasuki dan menelusuri makna pusai ANAK GEMBALA Amiri Kulala, kita diajak merenangi metafora / Tujuh sumur menggema/ Mengalirkan cairan nada/. Seakan kita diajak menelusuri atau mengunjungi TUJUH KEDALAMAN ILMU YANG HARUS TERUS-MENERUS DIGALI agar kelak bisa terpahami untuk bisa diceritakan atau dinyanyikan biar tetap bergema dan didengar anak cucunya, yang mana itu terlihat pada baris berikutnya, / Mengalir cairan nada/. Dari bentuknya nampak pesan tersirat dan tersurat yang futuristik, meski pesannya kurang jelas bagi sebagian pembaca. Namun demikian, sudah mencapai kredo pusai yang singkat, padat, bergizi dan futuristik, yaitu pelajar dunia akhirat yang telah diperdengarkan secara simbolis.

Bait kedua, sang pemusai kembali memainkan diksi dan metafora sebagai berikut, / Anak gembala bersandar di batang sunyi/. Pada baris ini, rupanya sang pemusai menggambarkan para murid mengikuti dan mendengarkan pelajaran atau ilmu pengetahuan tentang agama atau budaya dalam lingkup kehidupan beragama yang baik dengan takzim. Atau mungkin seorang murid yang suka menyendiri untuk merenungkan palajaran yang ia dapatkan dari gurunya. Kemudian sang pemusai kembali melukiskan para murid atau hanya seorang murid yang diarahkan gurunya untuk melangkah atau mempelajari ilmu agama yang hakiki dengan bahasa metafora seperti berikut ini, / Menghalau jiwa ke pelupuk matahari/. Dari situlah kita bisa mengetahui bahwa belajar dan belajar, terutama belajar ilmu tauhid harus terus-menerus didorong, agar supaya kita menjadi manusia yang berguna. Tapi sayangnya sang pemusai tidak mengajak kita atau pembaca memasuki akar Pusai itu sendiri. Ia hanya mengajak kita merenungi sunyi di sebuah batang pohon, padahal batang itu tak akan ada jika tak ada akarnya. Jelas di sini sang pemusai belum mencapai akar-Nya. Dari situlah maqom sufistiknya belum sampai pada tujuan dalam mencapai nilai Futuristik sesungguhnya.

Membaca dan memahami pusai Amiri Kulala di atas, penulis belum menemukan nilai futuristik yang kental. Karena sang pemusai hanya sekedar ungkapan mengajak pada kebaikan. Sang pemusai hanya sekedar menggambarkan pesan seorang guru pada muridnya, belum sampai pada nilai neofuturistik yang ia inginkan. Oleh sebab itu, ia sebagai pemusai seharusnya mampu menuangkan niatnya untuk membuka ruang bagi pembaca bagaimana sih untuk bisa mempraktekkan laku pada kehidupan yang harus ditempuh di masa kini dan masa akan datang, meski meramal masa depan adalah kemungkinan yang niscaya, dan perlu banyak membaca buku-buku serta sering mempelajari keadaan sekelilingnya maupun kehidupan yang sebenarnya sangat luas sekali. Namun demikian, kita tidak bisa minta keterangan pada pemusainya, karena niat pemusai merupakan hal yang abstrak, sehingga mencari niat pemusai sesungguhnya bisa menyesatkan. Oleh karena itu, karya pusai terpisah dari pemusainya sejak ditulis dan pemusai tidak bisa menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya. Maka dari itu, karya pusai boleh jadi merupakan TOPENG atau impian yang menyembunyikan pribadi pemusai yang sebenarnya.

Demikian telah ini saya sampaikan. Ada kurang lebihnya, mohon dimaafkan. Amin.

Sekarputih, 912019



BAGAIMANA PUSAI MEMPREDIKSI SITUASI MASA DEPAN?


Futurolog atau futuris adalah ilmuwan dan ilmuwan sosial yang mempunyai spesialisasi dalam futurologi, atau upaya untuk secara sistematis mengeksplorasi prediksi dan kemungkinan tentang masa depan dan bagaimana ia bisa muncul dari sekarang, apakah itu masyarakat manusia tertentu atau kehidupan di Bumi secara umum.Futurologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masa depan, antara lain mempelajari segala prognosa ilmiah tentang situasi dan kondisi masa mendatang di segala bidang, berdasarkan perkembangan situasi masa kini. ... Sumber lain menjelaskan bahwa Futurologi lebih mirip sebagai gerakan daripada ilmu sosial.

Pada abad-abad yang lalu, orang percaya bahwa masa depan adalah pengulangan atau proses perkembangan masa lalu. Di jaman sekarang, kepercayaan semacam itu mulai diragukan, karena seperti dikemukakan Morin (2005) bahwa Abad ke-20 justru kehilangan masa depan sebab masa depan benar-benar tidak dapat diperkirakan. Faktor sosiologis, ekonomis, dan faktor lain mempengaruhi perjalanan sejarah, tetapi jalinan antara faktor-faktor tersebut tetaplah tak teramalkan dan tidak pasti. Peat dan Briggs (1999) menggambarkan masa depan tersebut bersifat chaos(keos atau kacau). Kita tak lama lagi mendiami dunia yang dibentuk oleh unsur-

unsur yang saling terkait secara mekanis tanpa nyawa, yang digerakkan oleh hukum-hukum kausalitas semata, tetapi sekarang kita mendiami suatu dunia yang hidup, dinamis, kreatif, dan beraneka-ragam, yang melahirkan ketidak-pastian, yang pada akhirnya di luar pengendalian kita. Jadi kekacauan (chaotic), sistem non-linier

(seperti alam, kemasyarakatan, dan kehidupan pribadi kita) di atas semua kemampuan dan upaya kita untuk memprediksi, memanipulasi dan mengkontrolnya. Untuk itu daripada melawan ketidak-pastian, kita harus merangkul berbagai kemungkinan yang ditawarkan oleh situasi keos tersebut.Buchori (2001) mengemukakan bahwa “pendidikan yang baik selalu bersikap antisipatoris, yaitu mempersiapkan generasi muda untuk jenis kehidupan di masa datang, bukan untuk kehidupan masa kini”. Hal ini merupakan sesuatu yang mutlak bagi peran dan fungsi pendidikan yang bersifat investatif, yakni keuntungan atau manfaatnya dapat dirasakan setelah jangka waktu tertentu dan berkelanjutan sepanjang hidup seseorang. Berkenaan dengan itu sudah seharusnya kebijakan perencanaan dan implementasi program pusai benar-benar mempertimbangkan berbagai kemungkinan masa depan yang semakin kompleks, cepat berubah, dan sulit diramalkan sebagaimana gambaran di atas.Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah strategi untuk mengantisipasi dan mengakomodasi berbagai kemungkinanan yang ditawarkan masa depan yang penuh ketidak-pastian tersebut di dalam perencanaan pusai? Permasalahan ini menjadi tantangan besar agar pengembangan dan pembangunan PUSAI tidak selalu menjadi kereta yang tertinggal oleh lokomotif perubahan zaman.

#pusai
TERAWANGAN


negarawan
tanpa beban

kejujuran
menghindari kepahitan

kepentingan
bukan kebaikan

di masa depan
ledakan lahir melebihi kemampuan

Batu, 5122020



#pusai
TERAWANGAN


negarawan
tanpa beban

kejujuran
menghindari kepahitan

kepentingan
bukan kebaikan

di masa depan
ledakan lahir melebihi kemampuan

Batu, 5122020




MANUSIA DALAM PUSAI

Narasi di grup PUSAI selalu mengerucut dengan segala pemikiran untuk saling berbagi ilmu pengetahuan atau pandangan berbeda. Semua itu sebagai formulasi dikondisikan, disituasikan dan dioperasikan setiap saat.

Dari dialogis demikian, sesungguhnya merupakan sistem yang terbiasa dan tertata dalam praktik-praktik diskurtif yang memberi ruang kemunculan bentuk-bentuk PUSAI yang beraneka ragam. Atas dasar itu, lalu muncul aneka ragam landasan pemahaman teks PUSAI yang makin riuh pula.

Oleh sebab itu, admin grup PUSAI harus mampu mewadahi gejala perbedaan pendapat dan pandangan demi untuk menjembatani teks PUSAI dengan penikmatnya. Saya berharap PUSAI mengangkat teks secara ilmiah. Meski masih harus diperdebatkan secara panjang lebar, sekurang-kurangnya jika ada konsisten penulisan pusai secara ajeg sangat dimungkinkan dapat tercapai kriteria ilmiah dalam memandang masa depan. Hal ini perlu disadari, karena sastra PUSAI sebagai obyek penerawangan atau penelitian penulis merupakan fakta humaniora yang rasional. Sebab manusia hidup selalu mempunyai banyak demensi pandangan ke depan.

Dalam pandangan saya sastra pusai bukan sistemitasi ekshausif mengenai dunia manusia. Sastra pusai hanya sebuah " almari ", artinya masih banyak almari-almari lain yang mampu mewadahi dunia manusia. Kiasan ini menggambarkan bahwa sastra pusai memang memiliki kekhususan. Ia adalah epistemologi lain atas epistemologi yang mandiri, tergantung cara pandang masing-masing pembaca sastra pusai dalam membangun paradigmanya. Jika mereka menggunakan paradigma khusus sastra pusai, berarti menggunakan epistemologi sastra pusai yang sampai sekarang belum menemukan teorinya secara pas. Mungkin kita harus banyak membaca buku-buku FUTUROLOGI? Atau mungkin kita harus banyak membaca dan dengan insting kita bisa memprediksi apa yang bisa akan terjadi esok hari? Saya sendiri sudah mencoba memprediksi masa depan dengan pusai-pusai seperti TERAWANG, MEMBACA FENOMENA, SITUASI, KASUNYATANKU, GAMBARAN dll. Juga puisi bebas ku yang kutulis 2017 dengan judul DI SINI, dan sekarang terjadi.

TERAWANGAN

negarawan
tanpa beban

kejujuran
menghindari kepahitan

kepentingan
bukan kebaikan

di masa depan
ledakan lahir melebihi kemampuan

Batu, 5122020



FUTURIS, SISTEMATIS DAN EKPLORASI DALAM PUSAI

Futuris adalah orang-orang yang spesialisasi atau minatnya adalah futurologi atau upaya untuk secara sistematis mengeksplorasi prediksi dan kemungkinan tentang masa depan dan bagaimana mereka dapat muncul dari masa sekarang, baik itu masyarakat manusia pada khususnya atau kehidupan di Bumi pada umumnya.

Dengan begitu, menulis pusai tidak hanya hemat kata, sarat makna, tapi bagaimana penulisnya menyampaikan hal-hal yang menarik terkait trend masa depan melalui pengamatan dan analisis. Bagaimana kita memaparkan secara mendalam yang perlu dicermati saat ini, bagaimana teknologi di masa depan, dan bagaimana cara terbaik menyikapi semua perubahan tersebut. Contohnya; google hingga mikrosof telah menghadirkan personal asisten yang memanfaatkan teknologi. Meskipun masih banyak kekurangan dari teknologi tersebut namun tidak dapat dipungkiri fungsi dan ide dari asisten pribadi secara perlahan mulai digemari oleh orang. Kemudahan serta kecepatan yang diberikan oleh teknologi ini, mampu memangkas waktu dan efford dari orang, sekedar untuk mencari dan menemukan sesuatu atau rekomendasi. Dari itulah pusai yang bisa mengudar masa depan atau bisa secara implisit menerka apa yang akan terjadi esok hari akan menjadi personal primadona di masa depan.

Batu, 612021



SASTRA ERA DIGITAL


Perubahan teknologi yang selalu cepat bukan hanya memberi pilihan baru dan kemudahan untuk orang banyak namun juga sebagai faktor pengukur seperti apa trend dan perubahan yang bakal terjadi selanjutnya. Selain memiliki fungsi dengan baik, teknologi juga memungkinkan orang untuk melakukan menciptakan sesuatu inovatif yang efesien dan berfungsi. Oleh sebab itu penulis pusai harus bisa membuktikan di bidang sastra seperti teknologi yang telah sukses menghadirkan advance saat ini yaitu mobil elektrik yang tengah dikembangkan oleh Elon Musk di Tesla dan para mahasiswa Indonesia. Yang mana bahan nikel di Morowali adalah yang nomor satu di dunia, dan bisa buat bahan baterai mobil listrik.

Menulis pusai yang sebetulnya tidak terlalu jelimet seperti menciptakan mobil elektrik harusnya bisa memunculkan pemusai handal. Karena bahannya sudah tersedia dengan mudah, tinggal bagaimana mana merangkainya menjadi pusai yang menarik, linier dan tidak gelap yang digelap-gelapkan. Mari kita simak pusai di bawah ini.

AKURASI ANALISIS

rekening FPI di tutup
PPATK menyolusi
seperti lampu merah
dicermati dan menyikapi

Batu, 812021




ASPEK NILAI CERMIN DALAM PUSAI


Sebelum trimplisit upaya menyederhanakan batasan mengenai sastra atau pusai selalu dihadapkan pada hal yang paradoksal. Padahal maksud untuk menyederhanakan bukanlah mencerminkan sikap meluputkan pusai sebagai karya seni seperti seni pada tanaman bonsai, apalagi hendak melepaskan kerangka berpikir kesenian. Sebab bagaimanapun juga pembicaraan mengenai pusai adalah pembicaraan di dalam kerangka seni itu sendiri. Pandangan itu menyebutkan bahwa sesungguhnya kesenian merupakan salah satu kebutuhan manusia yang universal. Pandangan ini tidak salah dan mungkin juga tidak benar. Dikatakan tidak salah oleh karena adanya kenyataan, bahwa tidak ada satu masyarakat pun di dunia ini yang tidak menyediakan waktunya untuk kesenian. Kesenian selalu di pandang sebagai pranata yang mampu memberikan perasaan -kagum- atau -rasa haru- sebab karya seni seperti pusai dipandang mengandung nilai estetik.

Persoalannya makin komplek, apakah karya pusai yang mengandung nilai estetik selalu mampu membuat manusia terharu atau kagum? Jawabnya bisa ya dan dapat pula tidak, sebab tidak semua karya pusai mengandung nilai estetik, di satu pihak dan di pihak yang lain tidak ada nilai estetik di satu pihak dan di pihak lain tidak ada nilai estetik yang bersifat universal, yang menembus batas ruang dan waktu. Universalitas seni atau karya pusai hanya karena ada dalam masyarakat macam apa pun. Artinya seni atau karya pusai adalah sesuatu yang dapat membangkitkan perasaan menyenangkan ( pleasurable sensations ). Sebelum melanjutkan pembicaraan mengenai pusai, tidak ada salahnya ditampilkan dulu satu karya pusai sebagai hasil seni menulis seperti di bawah ini.

CERMIN

Cermat melihat wajah

Sekarputih, 2312019


Bagi filsuf kontemporer Perancis, Imanuel Levinas, wajah menyimpan banyak makna. Pembenahan sengkarut politik dan kemanusiaan harus dimulai dari penataan wajah. Wajah sebagai roh untuk mewujudkan persaudaraan universal dan penggerak utama tergelarnya persatuan, perdamaian, dan keadilan.

Wajah sebagai ekspresi epifeni ilahi. Wajah menjadi alamat utama keharusan kita memperlakukan orang lain dengan penuh respek dan rasa tanggung jawab. Wajah yang tidak membunuh dan nyinyir bagi mereka yang berlainan, baik keyakinan, budaya, maupun etniknya.

Selama ini, diakui atau tidak, wajah dan perpolitikan kita justru menemukan gejala yang bopeng. Sering kali kita begitu cermat melihat wajah yang kita miliki dari cermin yang setiap hari dibawa, tetapi pada saat yang sama tidak sedia menggunakan cermin lain, apalagi mau keluar melihat wajah orang lain dengan respek.

Politik itu menjadi negatif karena adanya sikap keengganan membuka diri. Orang lain dianggap berguna manakala bisa dijadikan sekedar konstituen, kader, atau dapat dipastikan menjatuhkan pilihan pada dirinya saat pemilu atau pilkada. Liyan dalam politik yang telah melenceng dari khitahnya melulu diposisikan tak lebih hanya angka yang bisa dikonversikan dengan benda dan kekuasaan, dan kartu tanda penduduk yang dapat dihimpun untuk melengkapi administrasi politik.

Sekarputih


MAMPUKAH KITA BERKACA?


Kalau kita berkaca pada PERAIH NOBEL SASTRA 2020, maka perlu kita renungkan bagaimana Louise Gluck sang peraih Nobel tersebut bergumul dengan kesedihan dan kesendiriannya, lalu Ia eksplorasi ke dalam kehidupan dan berhasil menempatkan eksistensi individu ke ranah yang universal.

Louise Gluck adalah seorang guru besar bahasa Inggris di Yale University, yang hanya menulis belasan buku kumpulan puisi dan esai yang berkaitan dengan perpuisian. Puisinya banyak mengangkat tema pengalaman kehidupannya yang traumatis. Karyanya banyak mengeksplorasi tema trauma dan rasa kehilangan beserta harapannya. Bahkan tema sedih itu disampaikan dengan bahasa apa adanya tanpa diksi berlebihan.

Mungkinkah kita bisa mengolah tema yang sederhana bisa berhasil mengangkat persoalan hidup harian menjadi pengalaman yang universal, sekaligus menjadi representasi kehidupan yang dirasakan oleh banyak manusia dan bisa menjadi jalan keluar atas permasalahan hidup tersebut? Pasti bisa kalau kita bersungguh-sungguh dalam merasakan, mengolah pengalaman hidup menjadi solusi dan sesuatu yang berharga bagi kehidupan manusia di sekelilingnya, bahkan di dunia.

Batu, 2912021


Tidak ada komentar:

Posting Komentar