Bak pepatah Minang, Karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum. Merantaulah bujang dahulu, di kampung berguna belum. Pepatah itu di ranah Minang, seperti magic memacu semangat muda-mudi untuk tinggalkan kampung halaman, demi menatap masa depan dan harapan-harapan. Sebut saja namanya Rendra. Rendra remaja tanggung, berasal dari daerah Sumatera Barat.
"Mak..., selepas Lebaran nanti, saya hendak merantau ke tanah Jawa mencari pengalaman," ujarnya pada sang Ibu.
"Oya? Lalu, bagaimana dengan sekolahmu Rendra?" tanya Mak sembari mengernyitkan dahinya yang sudah berkerut.
"Mak..., aku tahu sekolah itu penting. Tapi aku kasihan sama Mak, sangat payah membiayai sekolahku," rengek Rendra lagi.
"Tidak Rendra, kau harus sekolah, Mak masih mampu menyekolahkanmu, meski Mak mengambil upah dari sawah orang, setelah ayahmu tiada, Nak...," kenangnya setengah menangis.
Air mata Rendra menitik mendengar kata-kata Maknya, sebab beban orangtuanya terlalu berat dan pahit. Namun, demi si buah hati seorang Ibu, untuk menyekolahkan anaknya seperti anak-anak lain di kampung halaman. Buat seorang Ibu, apa saja ia lakukan demi pendidikan dan masa depan anaknya. Jujur saja, di masa itu kehidupan orangtua Rendra sulit, di bawah garis kemiskinan.
***
Pagi itu, ketika Rendra pamit pada orangtuanya untuk merantau, tinggalkan seribu kenangan di kampung halaman, mencari kehidupan baru di perantauan.
"Mak..., sekiranya nanti Rendra berjodoh di rantau, relakan Rendra ya, Mak?"
Maknya hanya terdiam. Tak terasa bulir-bulir bening bergulir di pipi Maknya, tanpa ada sepatah kata pun dari bibirnya. Hanyalah peluk perpisahan di antara mereka. Hening. Hari berlalu, bulan dan tahun berganti. Rendra makin tumbuh dewasa. Satu dekade berjalan, Rendra selalu kirimkan kabar setiap tahun pada Maknya, kalau ia tak sempat pulang kampung pada saat Lebaran.
***
Perkenalan Rendra dengan seorang gadis cantik berdarah Jawa-Yogyakarta, terjadi di kota Metropolitan.
"Hai! Kenalan dong, siapa namamu, Dik?" sapa Rendra.
"Hai juga, Abang, namaku Sarah," jawab gadis tersebut. "Siapa nama Abang ya?" lanjutnya.
"Aku Rendra, Dik!" ‘Nama yang tampan, setampan orangnya. Hmmm...,’ Sarah bergumam sambil senyum-senyum sendiri.
Sarah, adalah seorang gadis berpendidikan dan anak orang berada. Rendra, berkenalan di depan kampus---ia sedang menempuh pendidikan sarjana. Seiring waktu berlalu, Rendra menjalin cinta dengan Sarah, Rendra sangat mencintai Sarah—dan juga sebaliknya. Rendra berkeinginan, Sarah yang dicintainya itu jadi pendamping hidupnya kelak jika berjodoh.
***
Suatu hari Rendra mengutarakan niatnya memperistri Sarah. Dan karena Rendra serius, ia ingin bertemu dengan kedua orangtua Sarah. Ternyata gayung pun bersambut. Usai pendidikannya Sarah sudah siap dipinang oleh Rendra. Hati Sarah berbunga-bunga tentang bahagia yang tak terucapkan. Tibalah hari yang sakral, ketika dua hati dipertemukan lalu cinta bertaut. Rendra sudah mendatangkan orangtuanya untuk melamar Sarah menjadi seorang istri. Ijab kabul dan resepsi pernikahan mereka diadakan di salah satu gedung resepsi di Jakarta. Semua berjalan lancar seperti yang mereka dan keluarga kedua belah pihak harapkan. Rendra pun sudah mendapatkan pekerjaan tetap. Rendra mengizinkan Sarah jika ingin bekerja. Namun Sarah memilih untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka yang akan lahir kelak. Ya, kini umur pernikahan mereka sudah berjalan tujuh bulan. Beberapa bulan lagi akan lahir anak pertama mereka.
***
Tangis seorang bayi pecah ketika azan subuh berkumandang, pagi ini. Bayi laki-laki mungil dan tampan menjadi pelengkap bahagia mereka.
"Aku namai anak kita Putra Reza Pratama, Sayang," ujar Rendra selesai mengazani bayi mereka.
"Terserah Abang saja, nama yang bagus dan gagah!" kata Sarah berseri-seri meski lelahnya perjuangan melahirkan beberapa jam yang lalu masih terlihat di rona wajah cantiknya.
"Sayang..., aku ingin memintamu seorang anak lagi nanti," pinta Rendra seraya mengerling nakal ke arah istri yang sangat ia cintai.
"Ihhh..., kalau Abang minta sekarang, aku kasih boneka barbie kesayanganku ya!" Sarah menimpali candaan suaminya dengan manja.
Dan, gelak tawa mereka tak terelakkan lagi. Sampai-sampai beberapa perawat jaga merasa iri melihat kemesraan pasangan tersebut.
Sementara Rendra menerima ucapan selamat yang bertubi-tubi dari sanak saudara via telepon genggamnya---Sarah memperhatikan suaminya dengan seksama. Semakin ia menyayangi dan bangga akan suaminya itu.
Perantau, pekerja keras, penyayang, dan sangat menghormati orangtuanya dan orangtua Sarah juga tentunya.
Bahagia itu sederhana. Mencintai, memiliki, dan menjaga cinta tetap tumbuh subur di hati masing-masing, merupakan pengorbanan yang tak ternilai harganya.
***TAMAT***
kolaborasi cerpen
Tema: PETUALANGAN
Judul: MERANTAU
Penulis: ROMY SASTRA dan SITI RAHMANIYAH
Jakarta, 12.12.2016
* Karatau: area persawahan/perkebunan
* Madang: sebuah pohon di Minang.
PUISI SOLILOKUI, DIAFAN, PRISMATIS, DAN GELAP
Puisi solilokui adalah penulis sedang bicara dengan dirinya sendiri.
Menurut KBBI solilokui artinya senandika. Senandika artinya wacana seorang tokoh dalam karya susastra bercerita dengan dirinya sendiri, seperti adegan drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, untuk menyajikan informasi yang diperlukan bagi pembaca atau pendengar.
Puisi solilokui ini kebanyakan berisi gambaran suasana batin penulisnya dalam menggambarkan stimuli lingkungan yang ditangkap oleh inderanya. Oleh karenanya, ketika digambarkan secara terang yang muncul adalah puisi (diafan).
Puisi diafan atau puisi (polos) adalah puisi yang kurang sekali menggunakan pengimajian atau kata dengan bahasa figuratif bersifat kiasan, sehingga puisi ini mirip dengan bahasa sehari-hari .... Apabila digambarkan secara metaforik simbolik, tentu yang muncul adalah puisi (prismatis).
Puisi prismatis adalah puisi yang ditulis para penyair dalam kemampuannya menyelaraskan menciptakan majas, versifikasi, diksi, dan pengimajian sedemikian rupa (bermakna kiasan/imaji) sehingga pembaca tidak terlalu mudah menafsirkan makna puisi tersebut. Namun tidak terlalu gelap. Pembaca tetap dapat menelusuri makna puisi yang ditulis. Namun makna itu bagaikan sinar yang keluar dari prisma.
Puisi gelap adalah puisi yang diciptakan oleh penyair dengan imaji atau makna yang sangat dalam, sehingga pembaca sulit dan bahkan tak mampu menafsir karya tersebut selain penulis itu sendiri dan para ahli analisis sastra / kritikus sastra.
Terima kasih
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar