RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Selasa, 28 September 2021

Puisi Cermin - TANGIS BULAN NOVEMBER Penulis : Adyra Az-Zahra & Romy Sastra


"Itu cuma renyai hujan sekejap, kata Mak."

Namun, kata Ayah.
"Hujan begini kita akan susah, mana bisa nak menoreh pokok getah, sedangkan pokoknya basah."

Anak-anak perlu makan,
hutang sudah bertempek-tempek di kedai jiran.
Berulang kali langkah ke kedai Cina Ali didatangi, untuk berhutang keperluan hidup musim hujan ini.
Beras, minyak, ikan kering, gula, biskut, masuk catatan buku harian hutang di kedai, hingga tiga lima bertumpuk dan... sansai.
Kadang-kadang malu menebal di muka kena sindir oleh Cina Ali, sebabnya hutang kian bertambah ramai.

Hidup seorang anak estet, dalam kelompok adik-beradik sulit. Tapi, hujan itu hanya lima huruf, ia mampu membuat jiwa luruh di musim rusuh yang mengguyur.

Meski gelisah
jiwa gundah
hati bercelaru.

Aku meyakinkan pada Mak, Ayah dan adik-adik yang mulai tumbuh dewasa.
"Sabarlah sekejap ya, Mak, Ayah serta adik!"
Musim hujan adakalanya datang silih berganti, adakalanya hidup ini menuai cabaran perit.

Walau begitu, kita tetap tabah melakoni hidup ini dengan kasih, pahit perit, tak ada soal apa-apa, anggaplah ia ibadah ujian dari yang maha kuasa.

Biarkan hari menitis turun dari pagi hingga ke petang, sesekali melewati sampai malam bagaikan ada titik yang resah yang tak mahu hilang.
Renyainya bersambung terus sampai malam.
Hati menangis bersama deraian air hujan
November antara hujan dan resah
Air mata mengalir ke bulan berikutnya.

Lalui kisah hidup ini dengan kasih sayang, tanpa berpisah dengan kekasih selamanya....

Puisi Cermin ( cerita mini )
TANGIS BULAN NOVEMBER
Penulis : Adyra Az-Zahra Feat Romy Sastra
KL, Jkt 29-11-17




Catatan Romy Sastra

PUISI YANG MEMBUKA JALAN HIDUP MENUJU CAHAYA
(Dialog Seorang Hamba dan Allah SWT Lewat Karya Romy Sastra)
Oleh Fahmi Wahid


Membaca karya-karya yang dihasilkan oleh sahabat Dapur Sastra Jakarta (DSJ) memang sebuah kesenangan bagi saya, sebab di sela rutinitas kerja yang padat saya selalu sempatkan membuka facebook untuk mengapreasiasi karya kawan-kawan yang ada di dunia maya ini, terlebih di akun grup Dapur Sastra Jakarta yang setiap hari tak pernah sepi oleh lontaran karya dari anggotanya dari berbagai daerah asal di Indonesia. Salah satu yang sudah lama saya perhatikan yaitu karya sahabat Romy Sastra yang sudah beberapa tahun ini kami cukup akrab menjalin silaturahmi lewat karya sastra.

Romy Sastra yang lahir di Kubang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Pada tanggal 11 Juli 1976. Puisinya terbit di sejumlah buku kumpulan puisi bersama. Selain aktif di rumah literasinya, Dapur Sastra Jakarta, ia juga mendirikan sekaligus mengelola grup Sastra Bumi Mandeh (SBM) bersama para pegiat literasi dari Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kami sudah beberapa kali berjumpa di berbagai kegiatan sastra di dalam maupun luar daerah.

Perlahan saya mencermati puisi-puisinya Romy Sastra. Dari membaca, menghayati hingga merasuk ke dalam batin saya untuk terupaya mengungkapkan ekspresi saya terhadap karya Romy Sastra setelah saya selami ke dalam tiap bait-baitnya. Jujur dalam proses penikmatan saya ada puisi yang enak diresapi dan banyak puisi Romy yang juga belum sampai menyentuh pembacanya terlebih saya, namun dari beberapa yang saya kutip dari laman akun facebook Romy Sastra barangkali puisi di bawah inilah yang dapat menuntun saya dan menunjukkan jalan bahwa setiap karya memiliki hidupnya penikmatnya sendiri. Sebagaimana puisi berjudul Monolog Cinta Ilahi:

MONOLOG CINTA ILAHI

Napas hari memandu laju nadi
Terbang menghilang mengelilingi diri
Bersayap Ya Hu pergi dan kembali
Kehidupan terbarukan selalu
Aku mencintai-Mu ya Ilahiku
Engkau menyambutnya dengan syahdu

Pujiku datang dengan berjalan
Engkau menghampirinya dengan berlari khsyusu”ku sebait doa
Engkau membentangkan fana berpayet sutera
Aku bertamu membawa segala cumbu
Engkau menghadiahkan kado segala rindu

Secuil mutiara indah di jiwaku
Lebih indah dari se-isi langit dan bumi
Ya, mahabbah cinta-Mu bertamu di sanubari

Sabda itu;
Tiada yang aku pinta darimu, wahai hambaKu
Selain kenalilah Aku
Tiada yang sia-sia Aku ciptakan untukmu
Melainkan telah Aku sempurnakan semuanya untukmu

Apa yang kau persembahkan untukku?
Sedangkan Aku tak meminta apa pun
Hanya rasa syukurmu saja mengenaliku
Sadari itu!
Zatku menyelimutimu, maka kenalilah Aku
Tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku

“Duh... mengapa ada juga seribu Tuhan di hatimu, wahai hambaku?”

HR RoS
Jkt, 110519


Puisi bercorak kental religi ini ditulis dengan judul Monolog Cinta Ilahi, sebuah percakapan ‘sendiri’ secara fisik namun berdua dengan Tuhan secara rohani yang bisa dihayati lagi bahwa monolog di sini adalah seseorang maupun penyairnya sendiri saat sendiri khusyuk dalam ruang nyata ataupun bilik hati/kalbu, mendialogkan cinta seorang hamba terhadap Ilahi yang tidak lain adalah Tuhannya sendiri. Pengambilan judul yang sederhana namun tetap tidak mengurangi kepuitisannya.

Kemudian puisi ini diawali Romy Sastra dengan bait: Napas hari memandu laju nadi/ Terbang menghilang mengelilingi diri/ Bersayap Ya Hu pergi dan kembali/ Kehidupan terbarukan selalu/ Aku mencintai-Mu ya Ilahiku/ Engkau menyambutnya dengan syahdu/ Dalam ilmu yang dikenal dengan ma’rifat//. Tentu apabila pembaca peka dalam penghayatan ketika membacanya pastilah sudah sadar bahwa “napas hari memandu laju nadi” adalah kehidupan yang terus dilewati manusia seiring memandu laju nadi (detak hidup) yang membuat manusia masih menjalani kehidupannya hingga sekarang. “Terbang menghilang mengelilingi diri” kiasan manusia dalam hidupnya menjelajah sebagaimana seeorang burung yang terbang menghilang mengelilingi semesta hingga pulang menjelang petang ke sarang membawa makanan di paruhnya untuk anak-anak sang burung yang ditinggalkan mencari makanan, begitulah larik ini dibangun penyairnya dalam perumpamaan yang bermakna usaha manusia mencari rezeki dalam menjalani hidupnya untuk memenuhi setiap kebutuhannya. “Bersayap Ya Hu pergi dan kembali” metafor di bait ini cukup dahsyat sebagaimana dikenal dalam sufisme Hu atau Huwa adalah nama Allah, secara harfiah pula yang berarti “Dia” (Allah) yang berarti satu-satunya hanya Dia. jadi atas kehedak Allah-lah segalanya pergi dan kembali. Sehingga “Kehidupan terbarukan selalu” karena semua berulang sampai pada waktunya Allah menghendaki datangnya kiamat. Bait satu ini ditutup Romy Sastra dengan larik “Aku mencintai-Mu ya Ilahiku/Engkau menyambutnya dengan syahdu”, menyatakan langsung bahwa seorang hamba yang sangat dan sudah sewajibnya meletakkan cinta kepada Allah SWT. Di atas segala cinta yang ada.

Meneruskan menyelami lautan imaji Romy Sastra ke bagian bait kedua dalam puisi Monolog Cinta Ilahi, saya menemukan penyairnya tak habis sanjungan untuk Allah SWT. “Pujiku datang dengan berjalan/ Engkau menghampirinya dengan berlari khsyusu”ku sebait doa/ Engkau membentangkan fana berpayet sutera/ Aku bertamu membawa segala cumbu/ Engkau menghadiahkan kado segala rindu//. Dalam keseluruhan bait ini penyair mengungkapkan puja-puji yang selalu dibalas Allah SWT. Melebihi dari apa yang diinginkan hambanya. maka kunci di bait ini oleh penyairnya adalah rasa syukurnya terhadap pemberian Tuhan yang terus akan Allah SWT. Tambah bagi setiap hamba yang mau bersyukur, sebagaimana sebuah surat dalam Al-Qur’an:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Dan Musa berkata “jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim: 7-8).

Di bait berikutnya ini Romy Sastra menuliskan bahwa “Secuil mutiara indah di jiwaku/ Lebih indah dari se-isi langit dan bumi/ Ya, mahabbah cinta-Mu bertamu di sanubari//”, mengapa secuil mutiara di jiwaku (penyair) lebih indah dari seisi langit dan bumi jawabannya ialah karena di jiwa seorang hamba yang beriman selalu tak lepas dari pandangan Allah SWT. Dan keyakinannya di setiap diri ada terdapat Zat Yang Maha Kuasa.

Romy Sastra juga memetaforkan sebuah sabda ke dalam puisinya ini: Sabda itu;/ Tiada yang aku pinta darimu, wahai hambaKu/ Selain kenalilah Aku/ Tiada yang sia-sia Aku ciptakan untukmu/ Melainkan telah Aku sempurnakan semuanya untukmu//. Hal ini biasa disebut dalam ilmu tasawuf bahwa makrifat berarti tentang pengenalan atau mengetahui Allah SWT. Di bait ini Romy Sastra menyuruh pembaca yang merupakan seorang hamba untuk mengenal Tuhannya, agar kedekatan itu terasa bahwa di setiap ciptaan Allah SWT itu tidak ada yang sia-sia melainkan telah Dia sempurnakan untuk hambanya.

Tidak hanya cukup di situ, melainkan dipertegas dan didalam lagi oleh Romy Sastra agar pembaca lebih menyelami ke bait berikutnya: Apa yang kau persembahkan untukku?/ Sedangkan Aku tak meminta apa pun /Hanya rasa syukurmu saja mengenaliku /Sadari itu! /Zatku menyelimutimu, maka kenalilah Aku /Tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku//. begitulah seorang hamba diciptakan tiada lain untuk beribadah kepada-Nya sebagaimana yang telah nyata disebutkan dalam Firman Allah SWT:
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali supaya beribadah kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyat: 56).

Tapi puisi ini ditutup dengan bait terakhirnya: “Duh... mengapa ada juga seribu Tuhan di hatimu, wahai hambaku?”, ya Romy Sastra telah peka secara dalam maupun luar batin dan sekelilingnya karena itulah diungkapkannya dalam bait akhir di puisi Monolog Cinta Ilahi bahwa di hati manusia sering lalai hingga banyak menyekutukan maupun mendahulukan yang lain dibanding Allah SWT.
Puisi Monolog Cinta Ilahi disampaikan dengan diksi sederhana tidak penuh metafor berhamburan seperti puisi kebanyakan penyair lain namun walau begitu kepuitisannya tetap terjaga hingga harmonis dinikmati, tetapi pula alangkah lebih baik bila penyairnya lebih mengolah diksinya lagi dan mencarikan padanan kata yang lebih manis untuk mengungkapkan setiap larik-larik puisinya tanpa mengurangi sedikit pun makna pesan yang ingin disampaikan, karena puisi tidak bisa dilepaskan dari metafor, diksi, rima dan sebagainya. Terlepas dari itu juga menjadikan penyairnya olahraga imaji mencari dan berburu diksi puitis untuk dituangkan kehadapan puisinya.

Dapat ditarik kesimpulan puisi Monolog Cinta Ilahi karya Romy Sastra ialah sebuah dialog seorang hamba yang menyadari hakikat cinta yang sebenarnya, tentang mahabbah-nya terhadap Allah SWT. yang tentunya setinggi, seluas, maupun sebanyak apapun cinta seorang hamba tidak ada bandingannya dengan cinta Allah SWT. Terhadap hambanya yang sebaliknya. Karena itulah kita sebagai manusia yang beriman sudah sepatutnya hingga selalu disuruh untuk terus beryukur atas nikmat yang diberikan-Nya. “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nahl: 18).

Puisi Romy sastra yang satu ini benar-benar menyuruh penikmatnya untuk bercermin dan menelaah diri atas nikmat dan rasa syukur, sampai mengenali diri sehingga kenal Allah SWT.

Dengan ini tak dapat dipungkiri bahwa salah satu genre sastra yaitu puisi bisa menjadi penuntun pembuka hati seorang hamba yang redup menuju ke jalan hidup yang penuh cahaya, mengembalikan semangat untuk lebih mengenal hakikat diri dan Tuhan.

Kita harapkan bersama kepada sahabat Romy Sastra agar tidak berhenti untuk terus berpetualang dalam dunia sunyi (kesastraan) menuliskan kepekaannya terhadap gejolak rasa dari dialog-dialognya terhadap semesta maupun alam batin untuk menuntun pecinta karyanya selalu ke jalan kebenaran yang selalu kita pinta dalam setiap permohonan kita kepada Allah SWT: Ihdinas-siratal-mustaqim.... “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (al-Fatihah: 6).

Bumi Sanggam-2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar