Pak Samin yang sedari pagi melirik ganasnya gelombang untuk dihadang nanti petang, sebab bulan ini musim angin Barat. Berlayar dengan perahu kecil mencari nafkah sebagai nelayan fakir untuk memenuhi kelangsungan hidup bersama anak dan istrinya, serta untuk membeli sebungkus rokok penghangat tubuh kala dingin menyelimuti badan renta pada malam-malam berikutnya. Ia selalu ke laut ketika cuaca bersahabat seperti biasa mencari nafkah menjaring ikan.
Pak Samin memanggil istrinya, Rohaya.
"Ya, Haya?!" sapa pak Samin pada istrinya. "Bawa sini, peralatan perahu serta cemilan di dalam tas yang telah disiapkan itu, buat penganjal perutku jikalau lapar nanti malam, saya akan turun ke laut mencari ikan!"
"Ini Abah, peralatan dan makanan sudah saya siapkan." sahut Rohaya pada suaminya.
"Sepertinya malam cuaca cerah, Rohaya." sahut pak Samin pada istrinya. Kelihatannya siang ini cuaca sangat mendukung untuk turun ke laut.
"Alhamdulillah, ya Allah," doa Rohaya di dalam hatinya, berharap cuaca cerah.
Petang sudah di ambang senja, pak Samin dengan langkah gontai menuju pantai, sayang seribu sayang. Koloni awan hitam perlahan menambah pekatnya senja, pertanda akan turun hujan tiba-tiba. Pada musim hujan menuju musim pancaroba di akhir bulan Maret tahun ini cuaca selalu berubah-ubah.
"Duh, Gusti. Berharap dari pagi cuaca cerah, hingga malam nanti. Hamba hendak mencari nafkah di ganasnya samudra-Mu, ternyata rahmat-Mu akan turun malam ini." gumam pak Samin dalam hatinya. "Hamba pasrahkan hidup dan mati ini pada-Mu ya Allah."
Hujan akhirnya turun perlahan-lahan hingga lebat. Pak Samin terus mendayung perahu kecil yang ia gunakan untuk menjaring ikan-ikan kecil di malam hari.
Pikir pak Samin tiba-tiba, kalau ia balik pulang ke rumah dari dermaga tempat ia menambatkan perahunya, dan tak jadi ke laut, karena cuaca tiba-tiba mendung. Betapa sedihnya ia pada keadaan anak dan istrinya yang lagi butuh biaya sekolah dan buat keperluan makan sehari-hari. Aku harus mencari nafkah demi sebuah tanggungjawab sebagai kepala Rumahtangga.
Di derasnya gelombang yang menghadang laju perahu kecil pak Samin, ia terombang-ambing di atas lautan.
Tak berapa lama menjauh dari bibir pantai, layaran yang ia kayuh. Perahu pak Samin terbalik dihantam hujan badai dan gelombang.
Pak Samin terpelanting ke laut dari atas perahunya.
Dengan teriakan minta tolong, pak Samin berteriak sekeras-kerasnya di senja buta sendirian di lautan. Manusiawinya berteriak minta tolong.
"Tolong ... Tolong ... Toloong ....!!",Teriakan pak Samin di permukaan air laut minta tolong, ia tenggelam hanya kelihatan sebatas leher saja. berharap ada sesuatu harapan datang menolongnya.
Suara pak Samin tak lagi terdengar, ia tahan napas dan berdoa dengan mata batin, ia makrifatkan iman dan ilmunya dengan kalimah dan doa. Sedangkan tubuhnya yang lagi dibolak-balik arus gelombang tak lagi dihiraukannya. Ia fana mencari Tuhannya.
"Tolong hamba ya, Allah. Jika hamba mati tenggelam di lautan ini, matikan hamba sebagai mati syahid demi jihad hamba mencari nafkah buat keluarga yang lagi menunggu di rumah, karena-Mu ya, Allah. Jika hamba masih bisa selamat ditikam gelombang ini, balikan perahu yang terbalik ini ya, Rabbi", pinta pak Samin dalam doa yang lirih di dalam batin bertarung melawan ganasnya arus gelombang.
Pak Samin tergopoh-gopoh berenang mengejar perahu yang terbalik, semua perlengkapan dan cemilannya tenggelam, yang tersisa hanya sebungkus rokok mengapung ikut berenang berduaan dengannya.mTeriakan pak Samin membangunkan penghuni langit turun ke bumi membantu. Ada sesosok cahaya di gelapnya malam mengitari sebuah tragedi yang sedang berlangsung, misteri.
Tiba-tiba perahu kecil yang terbalik itu kembali semula mendekati pak Samin yang lelah bertarung melawan maut, ditenggelamkan air laut, dan asinnya seluruh tubuh yang digarami oleh pahitnya kehidupan sebagai nelayan yang fakir.
*****
Aneh bin ajaib, seperti mukjizat yang barusan saja berlangsung dialami oleh pak Samin sendirian. Dia memanjat perahu kecilnya dengan berpayah-payah, akhirnya pak Samin kembali duduk di atas perahu miliknya. Hujan badai yang berlangsung sebentar saja telah reda, perahu yang tadinya terbalik, seperti tak terjadi apa-apa, dan anehnya lagi. Semua perlengkapan dan cemilan serta rokok jadi utuh seperti semula, tak ada yang basah sedikit pun. Pak Samin memutuskan untuk melanjutkan mencari ikan di gelapnya malam, dengan modal penerangan senter yang ia pakai di keningnya.
Di rumah, seorang istri yang setia dan salehah, Rohaya harap-harap cemas akan nasib suaminya di lautan sendirian. Ia menengadahkan tangan memohon pada yang Maha Kuasa, semoga suaminya selamat di lautan mencari rezeki pulang ke daratan besok pagi.
Pagi telah tiba menyibakkan secercah sunrise, dan hasil tangkapan semalam taklah banyak didapatkan. Rasa risau masih menghantui dirinya pada tragedi yang menimpanya di awal malam. Perahu itu akhirnya kembali ke tepi berlabuh di tempat biasa ia tambatkan. Rohaya telah menunggu sedari tadi dengan rasa gelisah takut terjadi apa-apa pada hujan badai di awal malam yang datang tiba-tiba pada suaminya.
"Alhamdulillah, ya Allah. Suamiku sudah kembali pagi ini", bisik Rohaya di dalam hati.
Dari kejauhan pak Samin menepi ke dermaga, sesampainya di dermaga kecil para nelayan, Rohaya bertanya pada suaminya.
"Abah?" sahut Rohaya pada suaminya.
"Abah?" sahut Rohaya pada suaminya.
"Iya, Haya. Ada apa denganmu?" balas pak Samin.
"Kemarin Magrib, apakah Abah tidak terjadi apa-apa di laut, soalnya hujan badai datang tiba-tiba, Abah?"
Pertanyaan Rohaya pada suaminya, membuat pak Samin terdiam seketika yang lagi berbenah di dalam perahu, dan ia menatap wajah istrinya penuh iba.
"Iya, Rohaya. Kemarin Magrib telah terjadi sesuatu di luar akal sehatku. Perahuku ini terbalik dihantam gelombang dan aku terjungkal.
"Lalu, Abah?" sahut Rohaya pada suaminya penuh penasaran.
"Alhamdulillah, Abah selamat Rohaya. Pertolongan dari Allah datang tiba-tiba, ada sesosok cahaya mengitari kejadian yang berlaku kemarin Magrib. Perahu terbalik itu, kembali semula. Semua perlengkapan dan cemilan darimu ikut kembali utuh berada di atas perahu, hanya saja pakaian Abah basah kuyup."
"Ya, Allah ...?" gumam Rohaya penuh rasa syukur, suaminya selamat dihantam badai sendirian.
"Oh, ya Haya, bawalah ikan ini pulang sedikit untuk dimasak di rumah nanti!" sahut Pak Samin pada istrinya. "Ikan tersisa yang lainnya aku jual ke pelelangan, hanya ini rezekiku semalaman."
Dengan rasa bangga Rohaya pada suaminya, lalu Rohaya sujud syukur kepada yang Maha Kuasa. Suami yang ia dapatkan penuh tanggungjawab terhadap rumahtangganya. Apakah mungkin berkat doa hamba ya, Allah. kemarin sehabis Salat Magrib, doa buat suami hamba. Semoga selamat suami hamba di lautan, dan kuasa-Mu telah menjawab akan Rahman Rahim-Mu pada hamba yang saleh dan salehah yang berjihad mencari nafkah di jalan yang penuh bahaya. Rohaya pulang dengan rasa syukur serta bahagia tak terkira telah memiliki jodoh seorang sufi, berharap jodohnya hingga ke Jannah.
*****SELESAI*****
cerpen
TENGGELAMNYA NELAYAN SUFI
Penulis : Romy Sastra
Jakarta, 22 Maret 2018
Catatan Romy Sastra
DRAMA
Skrip / Naskah Pendek
Tema : Sahabat Itu Bagai Tangan dan Mata
Judul : Kesetiakawanan
Tokoh:
1. Romy
2. Wan
3. Ris
4. Sriwati
5. Zarir
Deskripsi Karakter
Romy : Lelaki seberang yang mencari sahabat
Wan : Puan yang baik hati
Ris. : Sahabat pandai menjaga hati
Sriwati : Puan permerhati
Zarir : Sahabat yang pandai mencuri hati
Dialog / Percakapan
Di pagi itu gerimis membasahi airport KLIA, Romy yang baru saja datang dari Jakarta melancong ke Malaysia, sambil menghadiri reuni persahabatan yang dikenal di dunia maya. Di ruang tunggu sudah ada sahabat-sahabat Romy menanti kedatangannya dari Indonesia.
Yakni Wan, Ris, Sriwati, Zarir.
Romy: Hai, kawan-kawanku. Wan, Ris, Sriwati dan Zarir. Bagaimana, lama menunggu saya, ya?
Wan: Ah, tak juga Rom. Biasalah namanya juga menunggu ketibaan sahabat baik, mestilah kami bersabar.
Ris: Betul wan, saya setuju. Sahabat baik itu ibarat tangan dan mata. Ketika mata menangis, Maka, tangan menghapusnya, dan ketika tangan teluka. Maka, air mata membasuhnya.
Sriwati: Aku terharu menatapmu, Rom. Sebab Romy sudah ada di hadapan kami, tiba dengan selamat. Aku tak menyangka dunia maya bisa menyatukan kita beda negara.
Zarir: Alhamdulillah kita sudah berjumpa di KLIA ini, bagaimana kalau kita rehat sejenak di resto di luar airport, ajak Zarir!
(Sementara itu, Romy sedang kemas-kemas barang bawaannya untuk dimasukkan ke dalam mobilnya Wan)
Romy: (dalam hati dia berbisik, sambil menggaruk kepalanya, kalau dia buta akan arah kota di Malaysia ini. Hingga ia lupa kalau duit Rupiahnya yang dibawa belumlah ditukar di Money Changer ke duit Ringgit)
Wan: Kenapa kamu Romy, seperti ada sesuatu pada dirimu?
Romy: Ah, tidak Wan, tidak ada apa-apa senyum Romy pada Wan.
Ris: Ayoo, ada apa, lapar ya? Tanya Ris sambil bercanda.
Romy: Bukan Ris, aku bukan lapar. Oya, aku lupa kalau duit Rupiahku belum aku tukar di Money Changer, hehe.
Sriwati: Romy, jangan risau soal itu, di sini di Malaysia ini adalah you tanggung jawab kami sebagai sahabat.
Romy: Wah, terima kasih kalau begitu Sri, hehe. Kalian memang sahabat-sahabatku yang baik.
Zarir: Kita makan yuk di restoran KFC aja biar lebih cepat saji, sepertinya Romy benar sudah lapar. Lihat tu wajahnya, dia sudah pucat.
Romy: Hehe, Rir. Kamu tahu aja nie. Memang aku dah lapar hahahaha.
(Serentak Wan, Ris, Sriwati dan Zarir ketawa terbahak-bahak mentertawakan Romy, hahahaha...)
Skrip
Romy Sastra
Jkt, 12-12-19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar