RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Selasa, 28 September 2021

Cerpen - PULANGLAH, NAK! Penulis : Romy Sastra


   Langit-langit rumah sudah seperti sarang walet, seringkali bayangan hitam berkelabat kala malam membuat mata enggan terpejam, doa Ibu di ujung pintu menatap jauh.

"Anakku, bulan Ramadan tahun ini akan pergi, hari raya sudah mulai terasa, takbiran menggema di mana-mana." lirih batin seseorang Ibu dilanda rindu teramat rindu kepada anak-anaknya yang tak pulang di hari raya setiap tahun ditungguinya.

Ibu Parni memiliki dua orang putri, keduanya sudah berumah tangga, dan mereka berada di perantauan di kota yang berbeda-beda.

Sudah tiga kali hari raya Idulfitri tiba, Ibu Parni sendiri menunggu rumahnya tanpa anak dan suami. Cuma ada sesekali anak yang sulung mudik lebaran, itu pun hanya sesaat saja di kampung. Tiga tahun yang lalu, suaminya Ibu Parni pakde Aris meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Semenjak sepeninggal suaminya itu, bu Parni hidup berdua dengan cucunya bernama Lia, cucu dari anak keduanya yang dititipkan diasuh dari kecil oleh mbahnya hingga dewasa.

Di moment hari raya tradisi di kampung, anak-anak hingga dewasa berkunjung ke rumah yang lebih sepuh bersalam-salaman.

"Tok, tok, tok ... asalamualaikum?"
Tak ada jawaban dari dalam rumah, saya ulangi sampai tiga kali mengetuk pintu rumahnya Ibu Parni, tak juga ada jawaban.
Hingga akhirnya, saya coba memberanikan diri untuk masuk, mendorong pintu rumahnya apakah ada orang di dalamnya.

Saya sebagai tetangga Ibu Parni yang dari rantau, setiap hari raya pulang kampung, selalu sungkeman pada beliau. Di tahun ini, saya tersentak melihat Ibu Parni duduk seperti patung di ranjang sudut rumahnya. Badan Ibu Parni tadinya gemuk kini kurus kering.

Spontan Ibu Parni menangis menatapku, ketika pintu rumah terbuka, lantas aku salami beliau. Ternyata beliau tidak bisa mengangkat tangannya.
Aku perhatikan, sepertinya Ibu Parni kena stroke.

Dalam ucapan yang terbata-bata, Ibu Parni yang tak pandai berbahasa Indonesia, beliau berkata:

"Kowe mulih toh, Le?" sahutnya padaku.

"Inggih Bu, Parni. Aku mulih karo bojoku dan anakku." jawabku pada beliau.

Lalu, Ibu Parni diam dan membuang tatapannya ke arah jendela.

“Oo ya, Bu Parni?” Aku mencoba bertanya kembali
"Kenapa rumahnya ditutup tadi, ini kan hari raya. Apakah anak-anak jenengan gak mulih yo?" tanyaku penasaran.

"Bu Parni tak menjawab pertanyaanku"

Air mata Bu Parni kian deras mengalir di saat kedatanganku, beliau menundukkan kepalanya. Seperti ada gejolak perasaan yang tak terbendung dan rasa pilu yang menggunung.

"Pikirku, apa yang terjadi sama Ibu ini dan anak-anaknya?"

Saya mencoba lebih intens bertanya pada Ibu Parni soal kesendiriannya di kampung, yang tadinya beliau sehat hingga kini terbaring sakit tak ditengok oleh anak-anaknya, terutama anak keduanya, apalagi masa lebaran yang sangat dirindukannya.

Beliau, Ibu Parni berbicara terbata-bata dalam bahasa Jawa karena stroke, sekaligus beliau menitip pesan pada saya.
Saya artikan begini:

"Le, dengarkan ya, kata-kataku pada anak-anakku beberapa tahun yang lalu!" perintah Bu Parni pada saya.

"Iya Bu, silakan cerita!" pintaku.


Beberapa tahun yang lalu, aku telah menghukum anak-anakku, setiap mereka pulang kampung dari rantau di hari raya. "Aku berkata, kenapa kamu, Nak? Gak sukses-sukses seperti orang lain. Ibu malu pada tetangga, Nak!"
"Jika kalian ke rantau lagi, jangan pulang sebelum kau sukses di rantau sampai kapanpun aku menunggumu di rumah ini, carilah suami yang sugeh ya! Sampai aku tua dan rumah ini jadi lapuk. Biarkan aku hidup sendiri atas peninggalan harta warisan mbahmu."

Spontan aku terdiam pada kata-kata Bu Parni tentang pesan kemajuan hidup anaknya supaya sukses di rantau terhadap anak-anaknya.
Bisikku dalam hati, haruskah setega itu anak Bu Parni pada orang tuanya yang tinggal sebatang kara, meski kadangkala di hari-hari biasa, anak-anaknya ada mengirimkan uang ke kampung buat keperluan hidup ibunya. Lah, kenapa anaknya tak ada yang pulang satu juga setiap hari raya tiba? Apakah kehidupan anaknya belumlah sukses seperti yang diharapkan orang tuanya.

Di posisi Ibu Parni, tak seharusnya begini beliau pada anak-anaknya. Seperti memaksakan kehendak nafsu duniawi saja. Lirihku di dalam hati dan tak habis pikir, setiap hari raya tiba aku berkunjung ke rumah bu Parni, dan selalu sepi.

Selang beberapa saat bertamu dan bercakap-cakap dengan Bu Parni, Ibu Parni pingsan badannya dingin, lalu dia rebah di ranjang tidur sudut ruangan rumahnya.
Aku berlari ke rumah tetangga yang tak begitu jauh dari rumah Bu Parni meminta tolong, kalau Ibu Parni pingsan tiba-tiba.

aku dan beberapa tetangga menghampiri rumah Bu Parni. Setelah diperiksa, ternyata Bu Parni sudah meninggal dunia.
"Innalillahi wainnailaihi rajiun"

Air mataku tumpah, menatap wajah Bu Parni meninggal dalam keadaan merindukan anak-anaknya dari rantau yang tak pulang-pulang. Di sisi lain, Bu Parni merasa bersalah telah menghukum anaknya untuk sukses di perantauan demi mengangkat harkat dan martabat keluarganya di mata tetangga dan orang-orang kampung.
Di balik wajah jasad Bu Parni, aku menangkap kesedihannya.
Kalau Bu Parni meninggal karena merindukan anak-anaknya untuk pulang di hari raya. Betapa Ibu Parni rindu sangat, sangat rindu pada anak-anaknya, dan anak-anaknya seperti lupa. Bahwa dia anak-anaknya kelak di hari tua akan merasakan kerinduan yang teramat dalam terhadap anaknya juga nanti, jika ana-anaknya di perantauan.

Satu kisah yang kita petik adalah: adakalanya kita menunduk dalam hidup ini, jangan selalu menatap ke atas meraih masa depan yang lebih cerah, walaupun itu perlu.
Ingat! Silaturahmi pada orang tua adalah harta yang tak ternilai harganya, jangan tutup mata dan mata hati untuk tidak pulang kampung sekiranya masih ada orang yang kita kunjungi di hari raya.
Betapa moment di hari raya bagi orang-orang di kampung, seperti panas setahun hujan sehari dapat menyuburkan halaman rumah yang dilanda kegersangan. Suburkan satu pohon, jangan sampai pohon itu jadi ranting-ranting hingga jatuh tak mengenali lagi dari mana pohon itu tumbuh.

***************

   Hari raya kedua setelah kematian bu Parni dua tahun yang lalu, aku mudik.

Dor, dor, door.... Malam hari raya itu tiba, suara petasan terdengar di udara. Anak-anak kecil berlarian di halaman rumah mereka masing-masing. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar kumandang takbir tahlil menggema di mana-mana. Kesyahduan suara Idulfitri menmbangunkan kerinduan pada Ilahi menggetarkan segala nadi.

Pintu melapuk, sampah lantai bertaburan, beranda rumah sudah ditumbuhi rerumputan, menjalar ke dinding yang mulai koyak. Genteng berlumut jatuh, puing-puing berserakan di halaman, rumah itu sunyi tak lagi berpenghuni. Cuit, cuit, cuit ... burung pemakan buah pepaya yang ranum bercicit di kebun samping rumah bu Parni. Sebab, kebun di samping rumahnya itu telah semak yang biasanya beliau selalu membersihkan kebun setiap pagi dan petang.

Kebetulan setiap hari lebaran saya sowan ke tetangga-tetangga yang sudah sepuh.

Mmm, sepi sekali rumah bu Parni ini, tak ada aktivitas dan suara anak-anaknya dari dalam rumah, yang biasanya ramai para tetangga hilir mudik bersalaman dari pintu ke pintu seusai solat ied. Dan aku bertanya pada tetangganya bu Parni, yaitu mbah Lastri. Mbah Lastri lagi duduk di teras rumah sambil menimang cucunya yang baru pulang dari rantau.

"Assalamualaikum ...?"

"Waalaikumsalam." jawab mbah Lastri di depan rumahnya.

"Mbah, adakah anak-anak bu Parni mudik tahun ini?" pertanyaanku mengagetkan mbah Lastri.

"Eh, kowe toh, Le. Syukurlah kowe mudik." sahut mbah Lastri padaku.

"Entahlah, Le, Le?! Jangankan lebaran. Ketika orang tuanya meninggal dunia, anak si Parni itu tidak pulang menengok ibunya."

"Ah, masa sih mbah ....?"
Aku terkejut dengan jawaban mbah Lastri, miris sekali, bisikku dalam hati.

******

   Setahun yang lalu saya mudik sowan ke rumah bu Parni, bu Parni sudah lemah karena penyakit stroke yang dideritanya. menanggung antar sesal dan kesal pada diri dan anak-anaknya. Bu Parni menerapkan prinsip duniawi untuk sukses di rantau dan carilah suami yang sugeh, pinta bu Parni kepada anak-anaknya. Jika merantau kalau mudik harus berjaya, harapnya. Kini bu Parni sudah tiada.

Suami bu Parni, pakde Aris sudah meninggal empat tahun yang lalu. Semenjak remaja lulus sekolah, memang anak-anaknya pergi merantau dan anak yang kedua memiliki anak perempuan bernama Lia. Dan Lia diasuh sama bu Parni dan pakde Aris selaku mbah dari Lia di kampung sebelum mbahnya meninggal, hingga dewasa dan sekarang sudah menikah.

Di tahun ini, aku merenungkan diri akan konflik suatu keluarga di antara konflik keluarga orang-orang di dunia ini yang bernasib sama bahkan lebih tragis konflik kehidupannya. Tak terasa air mata ini menetes jika itu berlaku pada kehidupanku kelak? Semoga tidaklah berlaku dalam hidupku pinta doaku pada Ilahi di kursi lapuk di depan rumah bu Parni yang sunyi.

Satu pertanyaanku kembali pada mbah Lastri. Rumah mbah Lastri dengan bu Parni hanya bersebelahan saja.
Dan aku bercerita panjang lebar berdua dengan mbah Lastri di dalam rumahnya.

"Oya, Mbah? Lah, cucu bu Parni si Lia gak mudik juga tahun ini ya, Mbah?" desakku pada mbah Lastri yang penasaran.

"Le, Le ... itulah Le. Cucu si Parni si Lia pun gak mudik tahun ini. Beberapa bulan setelah mbahnya meninggal, si Lia ikut suaminya ke kampung halaman suaminya. Aku dan mbah Lastri saling bertatapan, tak terasa kristal bening menggenang dan menetes di sela pipi karena sedih dan haru. Aku segera mengusap air mataku karena malu, mbah Lastri terus bercerita.

Kini rumah si Parni teronggok seperti tunggul perlahan dimakan rayap dan melapuk. Aku hanya sebagai suadaranya dititipkan kunci untuk menghidupkan lampu tengah rumah dan teras rumahnya saja. Rumah bu Parni sunyi, dan jauh lebih sunyi nisannya di pembaringan terakhir tak diziarahi si buah hati dan cucu-cucunya. Berharap tetesan doa seuntai Al-fatihah dikirimkan kearibaan menyirami gersangnya selimut tanah di dalam makam, berharap kesejukan ampunan di alam keabadian.

Al-fatihah ....

*****SELESAI*****

Cerpen
PULANGLAH, NAK!
Penulis : Sastra
Ngawi 19 Juni 2018




Rubrik : Catatan Romy Sastra
KONVENSYEN PENYAIR DUNIA 2018
"PENYAIR, ALAM DAN BISIK PADA TUHAN"
Oleh Romy Sastra


HR Resort, pantai Chap Bachok, Kelantan, Malaysia 20-22 Juli 2018.
Dalam konvensyen atau pertemuan penyair dunia 2018 yang diadakan perdana oleh persatuan penyair Malaysia (KONPEN) di skala dunia internasional adalah ajang menumbuhkan cinta sastra (puisi) di duta secara nyata. Bersosialisasi dari media dunia digital Facebook, washp dan lainnya. Ajang ini juga menumbuhkan ukhuwah penyair-penyair Nusantara dan global yang diikutkan oleh 12 negara di antaranya adalah Malaysia, Indonesia, Thailand, Singapura, Brunai Darussalam, Korea Selatan, Rusia, Italia, Vietnam, Taiwan, India dan Timor Leste,

Disatukan dalam perlombaan (event) penulisan kreatif yang bertemakan:
"Penyair, Alam dan Bisik Pada Tuhan" untuk antologi buku puisi Wangian Kembang.
Karya yang lolos dari kurasi oleh kurator akan mendapatkan undangan untuk menghadiri perhelatan Konvensyen tersebut.

Diseleksi setiap penyair yang ingin turut serta mengirim 3 puisi. Kemudian puisi-puisi itu disunting oleh Rahman Shaari, penyair Malaysia. Hasilnya terpilih 226 penyair yang lolos dari 12 negara dari peserta 700 penulis.

Perkembangan sastra pada suatu bangsa ada pasang surutnya. Baik itu dalam perbedaan pendapat dan pemikiran. Bagaimana sastra itu terus maju dan berbenah serta berkembang mengikuti peradaban zaman. Sastra memiliki historis dari awal berdirinya sastra.
Istilah sastra berasal dari kata Sanskrit / Sansekerta. Mempunyai makna atau pedoman (verba) dari kata dasar sas: bermakna instruksi atau ajaran, dan tra: menunjukkan pada kata keindahan dari ajaran itu.
Dalam bahasa Indonesia kata sastra ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Pada pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu definisinya sebagai teks penulisan.

Sastra berkisah tentang keindahan rasa yang dituangkan dari imaji ke dalam goresan-goresan tinta terjadi dari cerita dan sejarah hidup si pelaku karya, serta diambil dari sumber imaji objek lainnya yang ia rasakan dan dituangkan ke dalam karyanya itu sendiri.

KONPEN pantai Bachok, Kelantan, salah satu kreativitas Penyair Malaysia berbenah.
Konvensyen dalam arti kata adalah pertemuan bukan hanya sekadar seremonial semata yang saya simak menghadiri undangan sebagai delegasi dari negara Indonesia dan di antara kawan-kawan yang ikut hadir, serta dari berbagai negara yang diikutsertakan.
KONPEN itu pada hakikatnya adalah menjalin dan sinergikan rasa persatuan dan persaudaraan lewat wadah sastra. Di destinasi acara, sejenak para peserta memandang samudra dan pantai yang indah. Betapa riak dan gelombang menghempas karang menyisir pasir-pasir di pesisir pantai hingga menyentuh kaki tamu-tamu yang hadir bukan sekadar selfi saja. Melainkan, merenungi betapa indahnya karunia Tuhan pada alam dan segala ciptaan-Nya, sesuai dalam tema yang diadakan. Para peserta yang hadir meninggalkan aktivitas dari riuhnya kesibukan sehari-hari, hiruk-pikuk dari berbagai problem di perkotaan dan di kehidupan masing-masing peserta untuk mencari pengalaman serta ketenangan batin dan kedamaian rasa pada ruang sastra (puisi) di perhelatan objek wisata pantai Chap, Bachok.

"Jhon F Kennedy pernah berkata: jika politik itu kotor, puisi membasuhnya"

Konvensyen memperkenalkan nuansa etnik Nusantara dan dunia dari delegasi negara-negara yang hadir. Betapa ragam itu sebuah simponi musik kehidupan dalam kearifan adat dan budaya di suatu bangsa. Ia sebuah kolaborasi yang cantik berpadunya sastra, seni dan budaya.
Seperti menampilkan busana etnik dari delegasi negara masing-masing dan di tengah acara berlangsung, kesenian tarian khas negeri Kelantan ditampilkan di panggung pertunjukan. Bahwa sastra, seni dan budaya tidak terlepas dari ranah kehidupan dan peradaban. Konvensyen adalah memartabatkan kesusastraan Nusantara di pentas dunia.
Melayu dalam semboyan petuah Hang Tuah:
"Takkan Hilang Melayu di Bumi"
Di sini kita pahami perhelatan KONPEN tersebut tidak hanya sebagai konvensyen biasa. Melainkan menumbuhkembangkan bibit generasi ke regenerasi semangat dalam ranah sastra, seni dan budaya mengangkat maruah Melayu di mata dunia.

Pantai Chap Bachok, Kelantan adalah daerah berjulukan negeri Serambi Mekkah.
Destinasi itu tepat sekali perhelatan perdana KONPEN diadakan oleh "Persatuan Penyair Malaysia"
Pada KONPEN tersebut dinaungi oleh:
TAN SRI DATO' SRI (DR)
HAMAD KAMA PIAH CHE OTHMAN

Penasihat Konvensyen: DR. A RAHIM ABDULLAH

Presiden Penyair Malaysia: DATO' DR MOHD RADZUAN IBRAHIM

Catatan:
Teruslah berjuang dan berjihad memajukan sastra, serta sinergi bersatunya para penyair-penyair di nusantara dan dunia dalam eloknya perhelatan temu penyair (KONVENSYEN) untuk selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya.

Salam Sastra
Salam Literasi

HR RoS
Jakarta, 25 Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar