Tak terbayang sebelumnya dalam hidup ini, jika layaran harus tenggelam, dermaga rapuh untuk dituju, dian pun padam. Nakhoda seperti kehilangan arah menempuh riak di tengah samudra. Sekoci pun terhempas batu karang, tali sauh rapuh mengikat tambang, malang.
Harapan pada suatu noktah adalah kebahagiaan dan damai, meski hidup terkungkung derita, cabaran pun silih berganti datang melanda. Di sana dan di sini memanglah tak sama irama nyanyian kisah dalam dendang kepayang, bukan irama sinopsis hidup semata, melainkan realiti yang terjadi pada kisah hidup insani nan dilalui.
Rinai mulai menyapa di ujung genteng, sayup-sayup suara azan berkumandang dari corong pengeras suara, waktu magrib tiba.
"Ros, usah lagi kita begaduh macam ni, malulah sama anak, mereka sudah mulai remaja. Abang mencintaimu sayang, menyayangi anak-anak dan menyayangimu juga Ros." sahut pilu dari suami RoS.
"Persetan dengan rayuan manismu, Abang." sergah RoS pada suaminya.
"Aku sudah bosan mendengarkan kata cinta dan sayang darimu selama ini, Bang Reza!Semenjak kita mula berpacaran, aku mengenalimu kau memang playboy, sampai saat ini perangai kau tetap playboy tengik!"
"Pertengkaran senja itu kian membara"
Kreekkk ... gubrakkk ....!!
Daun pintu dibanting seketika oleh Ros, ia berlalu ke bilik anaknya meninggalkan suasana risau di dada suaminya. Khawatir akan terjadi sesuatu di dalam bilik anaknya, lalu Reza menghampiri istrinya di dalam bilik itu. Ternyata Ros sudah memeluk anak-anaknya. Kebetulan anak mereka belumlah tidur, masih saja menonton televisi drama kartun serial Upin dan Ipin. Ros menangis di pelukan anak-anak mereka.
"Papa, ada apa gerangan ini, mama ya, papa? Mama kok menangis pilu macam ni?" sahut salah satu anak Reza yang sulung.
Suasana di senja itu, tak lagi menjadi Senja yang religi. Justru berubah menjadi sedih.
Senja mulai menyelimuti kota, di luar rumah hujan pun turun, kota berwajah temaram, menandakan hari mulai malam.
"Nak, kenapa tak belajar soalan sekolahmu? Bukankah ada perintah pekerjaan sekolah tadi siang dari gurumu, Nak?" tanya Papanya kepada si sulung, sedangkan yang bungsu diam dan ikut menangis di pangkuan mamanya.
"Papa, soalan dari sekolah sudah saya kerjakan dari petang tadi, Pa." jawab si anak sulungnya.
Memang, anak sulung dari buah perkawinan Reza dan Ros ini rajin sangat belajar membuka PR di waktu petang. Ia memilih belajar petang daripada bermain. Seketika Ros bangkit menengadah menatap suaminya, Reza. Suasana di bilik pada malam itu tak lagi nyaman di mata anak-anaknya yang seharusnya tak elok pertengkaran kedua orang tua disaksikan oleh anak-anak. Tapi, orang tuanya tak bijak mengontrol emosi di dalam berumah tangga membuat suasana runyam, terlebih lagi pada si buah hati yang mulai mengerti arti hidup dari potret kehidupan orang tua.
"Abang ... pergi dari bilik ini, Pergiii ....!!"
"Aku sudah muak dengan sifatmu abang, kau punya selingkuhan taunya, ya?!" bentak Ros pada Reza, suaminya.
"Tidak ... tidak Ros, tidakk ...!! Kau salah paham terhadap abang tu." balas Reza pada Ros istrinya.
"Apanya yang tidak abang Reza?!"
"Kau tengoklah di dalam messenger dan koment-koment di facebookmu itu, aku membacanya di facebook handphoneku sendiri!" bentak Ros pada Reza.
"Ya, ampun Mama? Mama salah paham itu." jawab Reza pada Ros, istrinya.
"Abang kan seorang pegurau, banyak rekan-rekan Abang bersenda gurau pada Abang, itu. Wajarlah Mama, bukan berarti Abang selingkuh, Mama."
"Alaahh ... masih saja berkilah, dasar gombal, buaya darat, keparat!" makian Ros pada suaminya tak terbendung lagi.
Tanpa ampun, Ros mengusir Reza suaminya keluar rumah, dengan rasa emosi dan kecewa serta tak ingin melawan istrinya, Reza berlalu dari hadapan anak dan istri. Air matanya tumpah di derasnya hujan. Tangisan perpisahan pecah bercampur makian tak terbendung antara Reza dengan istrinya. Disaksikan oleh anak-anak mereka, di suasana hujan pada malam hari, dingin menusuk tulang, Reza terus berlalu. Entah ke mana tujuannya yang ia ingini, hatinya gaduh, antara pulang ke orang tuanya atau ke mana ya? Gumamnya dalam hati di dalam perjalanan di lorong-lorong kota ia berjalan. Ia tak ingin pertengkaran itu semakin panas di depan anak-anaknya. Makanya Reza mengalah pergi sementara tinggalkan anak dan istri tercinta.
Pada suatu pilihan, Reza memutuskan untuk menuju salah satu masjid di kota itu. Reza yang basah kuyup tak membawa bekal apa pun dan salinan buat mengganti pakaiannya yang basah.
"Kenapa kau ini anak muda, hari sudah malam, di mana alamat rumahmu?" tanya salah seorang ustadz keluar dari masjid hendak pulang ke rumahnya.
"Ataukah kau hendak mencari alamat seseorang di kota ini, ya?" tanya ustadz lagi di dalam masjid yang Reza singgahi.
Reza yang disambut oleh penjaga masjid tempat ia berteduh, ia menjawab pertanyaan Pak ustadz itu dengan rasa gugup.
"Iii ... ii... iya pak ustadz, saya hendak mencari alamat saudara saya di kota ini, dan saya kemalaman." sahut Reza dengan terbata-bata.
"Oo, kalau begitu, istirahatlah di masjid ini anak muda!" pinta pak ustadz di dalam masjid itu
.
"Terima kasih saya pak ustadz, atas kebaikannya." jawab Reza dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, sama-sama anak muda." balas pak ustadz pada Reza.
Reza diberikan kain sarung dan baju seadanya sama Pak ustadz, untuk mengganti pakaiannya yang basah itu.
Pada malam itu, selepas salat. Reza berdoa memohon petunjuk pada Allah, akan problem rumah tangganya yang ia hadapi, bagaimana caranya ia mendapatkan jalan dengan sebaik-baiknya dalam doa dan pikirannya. Ia ingin menjelaskan kembali kesalahpahaman dengan istri tercinta.
Reza menyesali diri, kenapa ada pertengkaran dengan istri yang dicintainya itu, ya Allah.
Di sisi lain, Ros pun tak larut dalam kesedihan dan kegundahan hatinya dengan suaminya. Ros berdoa pada yang kuasa memohon petunjuk juga. Semoga suaminya kembali pulang dan ia ingin berdamai dengan keegoannya dan kekhilafan suaminya.
**********
Sesungguhya mereka saling MENCINTAI ....Tapi, karena telah kebawa ego dan emosi masing-masing, hingga pertengkaran terjadi yang gak sepatutnya disaksikan oleh anak-anaknya.
Esok harinya, setelah habis salat subuh di masjid itu. Ada sebuah kekuatan rasa dalam diri Reza memanggilnya ia pulang, menemui anak dan istrinya kembali. Reza akhirnya pamit kepada ustadz di pagi itu, untuk melanjutkan perjalanannya. Ia terpaksa berbohong karena malu menceritakan problem yang terjadi di dalam rumah tangganya pada pak ustadz. Reza dengan rasa optimis melangkah pulang kembali ke rumahnya, dengan jalan kaki ia berdoa dalam hati, semoga anak dan istrinya menyambutnya dengan baik kembali. Reza menempuh dua jam lebih dari masjid yang ia singgahi semalam, jarak yang tidak begitu dari rumahnya berjalan kaki.
Sesampai di halaman rumahnya, hari sudah mulai siang. Reza mengetuk pintu.
Tok, tokk, tokkk ....
"Assalamualaikum??"
Reza dengan hati yang berdebar-debar berharap ada sahutan dari dalam rumahnya.
"Waalaikumsalam?!"
jawab suara dari dalam rumahnya.
"Kreekk ... daun pintu dibuka"
Dengan mata melotot, Ros menatap suami sedikit marah, mungkin dari rasa sisa pertengkaran kemarin petang.
"Mama, maafkan abang ya, Mama?" rengek Reza pada istrinya.
Ros tak memperdulikan ungkapan Reza, istrinya diam dan berlalu meninggalkan suami yang mematung di depan pintu.
Padahal di hati Ros, ia tersenyum menatap suami telah pulang kembali.
Tanpa basa-basi, Reza menyerobot saja masuk menghadang istrinya.
"Mama?!"
"Maafkan abang Mama!" sergah Reza menghadang laju langkah istrinya di dalam rumah, sambil menyodorkan telapak tangan meminta maaf.
"Jika abang salah bergurau di dunia maya, hingga membuat Mama cemburu dan marah-marah tanpa ada penjelasan dari Abang terlebih dahulu, sudilah Mama memaafkan Abang!" hardik Reza pada istrinya.
Ros mulai tersenyum dengan kata-kata suaminya, Reza.
"Iya, Abangku, saya maafkan dirimu." Tapi ....
"Tapi apa Mama?" selidik Reza dengan spontan.
"Abang jangan selingkuh lagi tau!" pinta Ros pada suaminya yang sedang meradang di depannya.
"Hai ... siapa yang selingkuh Ma?!" bentak Reza pada Ros.
"Hehe, gelak senyum Ros, pada suaminya"
"Jangan marah-marah lagi ya, Ma?!" rayu Reza pada istrinya.
"Mama salah paham sama Abang kemarin petang itu lho, Mama." Reza meyakinkan istrinya, merasa tak bersalah sebenarnya.
Ros pun meminta maaf pada suaminya, karena telah mengusir suami tercintanya dari rumah pada saat hari hujan.
Akhirnya mereka berdamai, saling berjabat tangan dan saling berpelukan.
"Ma, Abang mencintaimu Mama?!"
"Iya, Abang, Mama pun sama."
"Akhirnya mereka berpagut berdua"
Anak-anaknya sedari tadi menyaksikan kedua orang tuanya berdamai. Lucunya, anak-anak mereka itu bertepuk tangan, seakan anak-anak Reza dan Ros melihat adegan seperti dalam sinetron.
"Horee ... Papa dan Mama sudah baikan?"
"Alhamdulillah ya Allah, orang tuaku sudah akur kembali," doa anak-anaknya dalam suasana sedih bercampur haru di depan kedua orang tuanya.
Spontan saja, anak-anak mereka ikut berpelukan bersama kedua orang tuanya.
"Mama ... Mama ..., jangan bertengkar lagi ya, Mama sama Papa!" sahut anak-anaknya.
"Tidurnya Papa entah di mana semalam tu, Ma." Kasihan Papa, Mama?
Reza dan Ros saling bertatapan mendengarkan penuturan kedua anaknya.
Hingga mereka tertawa bersama-sama sambil memeluk anak-anaknya. Hahahahaa ....
*****SELESAI*****
CerpenTANGIS PERPISAHAN
Penulis : Romy Sastra / HR RoS
Jakarta, 31-03-19
Catatan Romy Sastra
Suara malam
Kedasih mulai sunyi
Rehat di pohon
Desah kemistri di atas ranjang besi bernyanyi, kipas angin berlari mengejar arah stagnasi, kapan lelah tiba? Keringat dingin bercucuran masih saja dipaksakan. Ah, lelehan di wajah biarlah jadi embun di mata kekasih, dan mimpi lenyap menyapa pagi, kokok ayam bersahutan di halaman rumah, mengharap remah-remah jatuh sebutir dari puan yang pemurah. Petani meminta pada tuan sebutir bibit jadi palawija, adakah pinta diberi? Walaupun hujan semusim berhias kabus, matahari tetap setia menyapa hari.
Suara pagi
Kedasih bersahutan
Mencari makan
Romy Sastra
Jkt, 26/11/19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar