RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Selasa, 28 September 2021

Cerpen - SEMALAM DI MALAYSIA Penulis : Romy Sastra


   Kata orang mimpi itu bunga tidur, setelah ku hayati gak juga. ternyata mimpi sebuah petunjuk dari yang maha kuasa. mimpi bunga tidur terjadi dari pergolakan keseharian kita ini, ketika tidur jiwa tak berpegang ke kalimah illahi, maka godaan godaan datang menghampiri.

Sebut saja namaku Jejaka. Jejaka putra sumatera berkelana ke tanah jawa semenjak remaja, sang jejaka mengembara dari lorong kota ke kota lainnya
hanya berbekal jajakan dagangan kecil dari pintu ke pintu, tawarkan sesuatu yang ia jual. Kadang dari pasar pagi ke pasar malam mmm hanya mencari sesuap nasi.
bermimpi obsesi jadi orang berarti sekurang2nya untuk kelangsungan rumah tangganya nanti.

Berlalunya waktu, Jejaka menemukan tambatan hati, disalah satu kota jakarta.
akhirnya menikah di tanah kelahirannya di pulau jawa. Berbuah cinta melahirkan dua orang putra. Putra Jejaka sekarang sudah remaja.

Dulu jejaka punya cita cita, ingin sekolah ke universiti, aral kesehatan menjegal impian. Hingga studynya broken oleh keadaan, Kesehatan yang tak mengizinkannya kala itu. Kini jejaka punya misi, cita citanya dulu di serahkan ke putera sulung, yang kini masih di bangku SMA. Impian si jejaka ingin di realitikan oleh putra sulungnya. Semoga putera sulung jadi siswa teladan di sekolahnya.

Kini Jejaka payah hidupnya susah. Niaga berantakan, sekarang jadi pengangguran
makan & minum ditanggung oleh istri yang rela. Sang istri selalu setia tabah bermanja melayaninya. Hehem....Kadangkala di hiasi juga dengan pertengkaran pertengkaran kecil dalam rumah tangga. Dan itu ku anggap saja sebagai seni kehidupan rumah tangga, kadangkala aku sering minta maaf sebagai pereda tangisnya ketika konflik konflik kecil melanda.

Mmmm....kini jejaka menatap cinta ketiga yang berada jauh di samudera biru, negeri kinabalu. Negeri yang belum pernah ku temui. Cinta itu pun juga belum pernah bertemu.

Sebut saja namanya Jelita. Si Jelita juga mempunyai kisah dalam perjalanan hidupnya. Kehidupannya yang penuh misteri, berwatak srikandi tapi berhati lembut.
kehidupannya di liputi kemelut dari cabaran hidup, teruk sakit membuat langkahnya sulit. Masa depan keluarga ada ditangannya. Aku bangga dengannya dari cerita cerita hidupnya.

Jelita, Aku kini sudah tua. Ingin berlayar melancong ke negeri sabah. Mencoba semalam di malaysia. Bercerita bertamu ke sebuah negeri impian. Negeri perantauan yang menjanjikan bagi kehidupan orang orang rantau yang tak beruntung di negeri kampung halamannya.

Mmm....apakah jejaka juga bermimpi ingin seperti itu 
???....entahlahh. Ketika takdir menentukan langkah apa boleh buat. Berharap sampai disana bertemu dengan jelita, bercerita sejenak di sebuah home stay mungil, kutatap wajah jelita bercerita asa yang selama ini terlukis di maya.

Malaysia negeri sehati sejiwa. Negeri yang ramah orangnya taat beribadah. Aku terpesona kelembutan sikapnya. Mimpi dengan jelita akhirnya bersua.

Ku genggam jemarinya, ku ucapkan kata cinta. I love you, I miss you.. jelita senyum mesra. Aku lihat wajahnya, di kelopak matanya ada tetesan bening mengalir, ku tanya dan tangannya yang masih ku genggam, kenapa kau menangis?? dia berucap lirih.. abaangg?? lalu diam, dan setelah itu Jelita menatapku,, dia berucap kembali dengan penuh keyakinan...Ku usap airmatanya di sela tangis jelita, Ia mengatakan I love you, I miss you juga abang. aku terharu... mmm...ketika itu aku tertawa sejadi jadinya, hahahahahahahahaaaa
hingga aku di cubitnya, aauuuuwwww...sakit, biarin jawabannya.

Ku cuba menenangkan dirinya dalam pelukanku. dan ku ucapkan sebuah kata,
jelita?? life in opera ini memang indah jelita. Ya abgku jawabnya, dan cinta satu malam ini memang indah abg. mmm ku kecup bibirnya dia pasrah............

Ku lukis story dalam cerpen sederhana ini. Hatiku geli, kenapa story ini terjadi.
Jejaka menemukan cinta ketiga semalam di malaysia. 

*****WASSALAM*****
Cerpen
SEMALAM DI MALAYSIA 
Penulis : Romy Sastra
Jakarta, 18-9-2015, 16,29 Ijo



Rubrik : Catatan Romy Sastra
KONPEN ITU KENANGAN
Romy Sastra


TarianTok Dalang memainkan peran di pentas mungil ditonton marhaenis. Dalang asyik mengembangkan cerita bumi surgawi di malam buta. Dalang bermantra: Bumi gonjang-ganjing, langit kelap-kelap, srengengene ilang wengi iki dunyo dadi peteng dedet. (Jawa) bumi penuh sandiwara dan angkara, langit gelap, matahari tenggelam di malam hari, dunia jadi gelap gulita.

Aku mencoba mendekati pertunjukan, dan aku ketawa. Hahaha....
Kirain saya tadi dalang Jawa yang diundang ke bumi melayu.
Ternyata budaya itu telah ada dimainkan oleh kesenian negeri Serambi Mekkah Kelantan Malaysia.
Satu kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai seni di dada ibu yang memiliki historis dan drama-drama klasik serta menceritakan persoalan kehidupan yang lampau dan kekinian, dan ternyata drama itu telah berlaku pada saat itu juga.

"Pertunjukan wayang kulit yang sesungguhnya adalah pertunjukan bayangan sang dalang adalah personifikasi atau bayangan Tuhan itu sendiri, karena ‘Dia’ lah dalang yang menggerakan kehidupan atau ‘cerita’ kehidupan ini."

Tetamu baru saja tiba sore tadi dari negeri Alengka ingin menyaksikan pesta perdana para dewa-dewi penyair-penyair lintas negara.
Pesta itu berlangsung meriah tak berpita merah, diiringi gerimis malam di teras rumah raden penguasa wilayah. (Datuk)

Panji-panji negara berkibar di suatu ruang sebagai lambang kebanggaan tamu yang diundang, seperti istana tak megah. Padahal upeti dipungut dari kantong-kantong tetamu yang dungu dan sang raja kaya raya di mata negeri sudra.

Aahhh..,
Tok Dalang asyik memainkan peran di balik layar, wayang ngakak-ngakak mencibir rembulan.
Kenapa dikau tuan puan nyengir-nyengir menatap para penyair-penyair lain hilir mudik seperti tarian kelelawar malam mencari makan, tak dijamu di kursi sedikit pun yang ada lahap di tanah berlumpur mau saja! Padahal ada tenda yang disaksikan angin malam terbengkalai lunglai dihuni oleh sepi.

Wayang terus berjingkrak-jingkrak asyik di balik layar, hingga pertunjukan wayang terhenti tok dalang dan penonton terkapar lapar. Padahal sudah makan, kenapa tak kenyang? Ah, tuan....

Ya, cerita tiga hari tiga malam pada perjalanan sastra Kelantan adalah kisah, menyisakan jejak-jejak yang tertinggal di pasir dan di kerikil-kerikil tajam menikam lamunan.
Literasi, teruslah bergulir mengikuti peradaban sastra. Sebab sastra sejajar harkatnya di mata keilmuan yang lain. Sastra pun memiliki hadiah Nobel pada sastrawan yang komitmen.

Sastra adalah multi story
Ketika yang indah-indah dikomersilkan adalah lumrah
Lalu, siapa berani memelekkan netra insan-insan pujangga balance pada kondisi yang realita.
Cobalah kita memetik kebijakan diri dari pengalaman dan mengambil hikmah kebaikan dari kontra itulah kearifan sastra sesungguhnya.

Malam terus melaju ditingkah misteri.
Sebab malam akan disunting oleh satu musik gaib yang merintih di dalam kesunyian.
Pada ombak yang mendebur pantai, kecipak-kecipak riak berkejaran di dada segara, nelayan tertidur menunggu jaring yang ditenggelamkan timah, ikan terjerat.

Tentang saja-sajak bisikan alam pada Tuhan tertulis di lipatan kertas Wangian Kembang
Bawalah pulang dengan mahar yang sudah dibayar di meja tamu jika datang.
Sedangkan di sini di kematangan kenduri telah siap sebelum perang terjadi.
Di mana sijil tak dtemukan yang dijemput oleh undangan dari kejauhan tak ada di meja tuan?

Ah, aku terkurung di antara selat dan semenanjung di luasnya samudra laut China Selatan.
Ironis, aku haus di tengah pesta yang berlangsung tiga dina.
Ingin meneguk asinnya samudra, pasti mulut ini muntah darah.
Sebab air mineral yang disuguhkan pahit meski harganya tertulis satu Ringgit.
Aku mencoba terus tersenyum menatap tarif yang murah.
Sayangnya, tamu sastra yang jauh diundang dahaga di bumi serambi Mekkah.

Hahaha...
momen itu membuat aku tertawa
Tapi asyik, sejarah tertoreh di pantai Chap Bachok pada penyair Malaysia di skala dunia, teruslah berbenah!!!
Kita insan-insan sastra balance dengan suasana madah tak memungut kata indah-indah saja. Aku menemukan yang aku cari yaitu betapa indahnya realisasi dari sosial media selama ini yang terjebak di nuansa maya adalah realiti temukan rekan-rekan militan sastra di perjalanan Konpen ke Kelantan.

Siapa berani menyingkap testimoni perhelatan walaupun itu pahit. Ia adalah gula bagi yang menyadari untuk persiapan kenduri selanjutnya.

Salam madah sastra dari Jakarta untuk siapa saja di masa temu penyair lintas negara (dunia) dan nusantara berkarya.

Dalam semboyan Hang Tuah itu
"Takkan Hilang Melayu di Bumi"

HR RoS
Jakarta 020818




Rubrik : Catatan Romy Sastra
MENGENANG SEJARAH PELACURAN SASTRA

Dalam dunia sastra, atau yang lebih umum seni dan kebudayaan, seringkali ada friksi, pertentangan, perselisihan, konflik. Di sana, caci maki, kritik pedas, cemooh, adalah hal lumrah. Tapi sepanas dan sejauh apapun konflik, belum pernah ada yang membawanya ke ranah hukum. Kerja sastra adalah proses melampaui bahasa. Makian hanya sebagian dari berbagai instrumen yang digunakan di dalamnya. Ia bagian dari ekspresi bahasa. Sedangkan sastrawan telah melampaui batasan formal dari bahasa. Perselisihan antar sastrawan paling jauh diselesaikan dalam sebuah mediasi. Atau konflik itu tetap dipelihara sebagai bagian dari kritik. Tidak ada urusan pribadi di sini.

Tapi tradisi dalam dunia sastra itu dipatahkan oleh sebuah tragedi kebudayaan. Penyair bernama Saut Situmorang diseret ke meja hijau dengan tuntutan pencemaran nama baik oleh Fatin Hamama. Ironisnya, Fatin Hamama ini mengaku sudah jadi penyair 40 tahun lamanya. Ia mencatatkan diri dalam sejarah dengan lelucon konyol, seorang penyair menuntut penyair lain akibat kritik yang dilakukan terhadapnya.

Kasus kusut ini bermula dari sebuah distorsi sejarah sastra. Pada tanggal 3 Januari 2014, sekelompok orang bernama Tim 8 meluncurkan sebuah buku bernama 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, di PDS HB Jassin. Tim 8 itu terdiri dari Jamal D. Rahman (Ketua), Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damshäuser, Joni Ariadinata, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah. Buku itu terkandung cacat taksonomi di dalamnya, karena menyertakan tokoh politik bernama Denny JA sebagai bagian dari tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia. Ia sejajar dengan ikon penyair besar sekelas Chairil, Rendra, Widji Thukul. Klaim sepihak ini membelokkan sejarah kesusasteraan. Orang yang tak paham sastra justru ditokohkan sebagai begawan.

Denny JA ditokohkan oleh Tim 8 karena dianggap berjasa dengan memulai genre sastra baru bernama Puisi-esai. Banyak sastrawan konon jadi pengikutnya. Beberapa sastrawan senior bahkan memberikan dukungan berupa testimoni yang menggugah. Tapi fakta yang terkuak di belakangnya ternyata berkata lain.

Bagi orang umum, barangkali ini hanya persoalan titip nama. Tapi ini adalah persoalan serius karena menyangkut sejarah dan disiplin ilmu pengetahuan. Lebih jauh, kasus titip nama ini adalah penghinaan bagi dunia sastra. Orang-orang kritis mulai bersuara. Mereka mencurigai Denny JA adalah dalang dari tragedi kebudayaan itu. Orang-orang kritis itu kemudian membentuk kelompok, mereka menyebut diri sebagai Aliansi Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Gelombang protes kian besar. Blokade terhadap protes itu juga tidak main-main. Aparat mulai diturunkan. Uang dan kuasa mulai bicara.

Pada tanggal 23 Januari 2014, Pelukis Hanafi menyatakan bahwa ilustrasi sampul buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” adalah lukisannya yang dipergunakan tanpa izin oleh Tim 8. Buku itu selain cacat taksonominya juga telah menggunakan lukisan orang lain sebagai sampul. Tim 8 menolak bertanggung-jawab. Beberapa ajang pertemuan ilmiah yang digagas Aliansi Anti Pembodohan di beberapa universitas sebagai upaya mediasi juga tidak digubris.

Besarnya gelombang protes itu mulai menghantam Denny JA. Ia terlihat kewalahan. Hal itu tercermin dari komentarnya yang berisi kecaman dan ancaman di media. Ia menyamakan para pemrotes itu fasis, bahkan diserupakan FPI (Front Pembela Islam). Tapi fakta-fakta baru terkuak. Banyak orang yang ternyata dibayar untuk membuat puisi pesanan bernama Puisi-esai itu. Beberapa orang membuat pengakuan dan menyesali perbuatannya. Pada 5 Februari 2014, 4 dari 23 orang yang terlibat dalam proyek penulisan dan penerbitan buku-buku Puisi-esai, yaitu Ahmadun Yosi Herfanda, Sihar Ramses Simatupang, Kurnia Effendi, dan Chavcay Saifullah menyatakan keberatan dan merasa diperalat Denny JA. Mereka meminta naskah mereka ditarik dari penerbitan.

Ahmadun Yosi Herfanda bahkan mengakui telah “melacurkan diri” kepada Denny JA, demi uang 10 juta rupiah. Dia pun akhirnya mengembalikan uang itu. Ia sadar, karyanya hanya akan dijadikan alat legitimasi pengaruh Denny JA, setelah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh menjadi polemik.

Tak lama berselang, tanggal 6 Februari 2014, Maman S Mahayana menyatakan Denny JA adalah sponsor penyusunan buku tebal yang memasukkan nama konsultan politik itu ke dalam jajaran 33 sastrawan besar Indonesia. Maman juga menyatakan mundur dari Tim 8, serta meminta Jamal D Rahman sebagai ketua Tim 8 mencabut 5 esai yang sudah ditulisnya. Maman menyatakan akan segera mengembalikan honorarium yang ia terima sebesar 25 juta rupiah.

Dari fakta yang terkuak itulah, nama Fatin Hamama muncul ke permukaan.

Awalnya Fatin mengelak disebut sebagai makelar sastranya Denny JA. Sama seperti pengelakan PDS HB Jassin yang menyatakan tidak tahu-menahu soal buku itu. Tapi pengakuan-pengakuan sastrawan di atas tadi tak mampu ditepis. Fatin adalah penghubung antara para sastrawan itu dengan Denny JA. Fatin juga berperan besar dalam perwujudan buku pencoreng sejarah sastra, yang kemudian diketahui mendapatkan dana dari Denny JA itu. Dari sini konflik personal itu dimulai dan dibelokkan. Kemunafikan Fatin ini membuat kelompok Aliansi Anti Pembodohan berang. Fatin dengan enteng mengeluarkan ancaman hukum. Ia akan memenjarakan anggota Aliansi Anti Pembodohan atas aksi protesnya. Kemunafikan dan ancaman ini yang membuat Saut Situmorang muntab.

Saut adalah salah satu dari anggota Aliansi Anti Pembodohan yang paling kritis. Ia juga salah satu dari penyair Indonesia yang dikenal idealis. Penolakannya terhadap aliran uang asing yang menghidupi para komprador dalam dunia kebudayaan, sudah dikenal sejak lama. Dalam aksi protes buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling berpengaruh itu, Saut adalah ujung tombak. Denny JA dan dosa sejarahnya tak mungkin kuat membendung arus protes yang terus membesar. Maka untuk itulah, caci-maki yang terjadi di media sosial dinaikkan statusnya sebagai pencemaran nama baik. Sasarannya jelas, ujung tombak para pemrotes, yaitu Saut Situmorang.

Kritik terhadap buku itu mengalami distorsi. Fatin dijadikan penangkis serangan kritik. Ia membelokkan persoalan kebudayaan ini menjadi kasus kriminal umum secara personal. Dengan diseretnya Saut ke meja hijau, suara protes terhadap buku itu lenyap. Denny JA yang semula sudah kewalahan menghadapi protes menjadi bebas tak tersentuh. Fatin memainkan play victimnya. Ia mempersoalkan makian sebagai kasus gender. Ia merengek-rengek pada Komnas Perempuan. Dan celakanya, Komnas Perempuan menganggap bahasa memiliki kelamin. Jika laki-laki menggunakan metafora dan metonimi kasar terhadap perempuan dianggap seksis. Sementara perbuatan sebaliknya tidak. Bahasa menjadi berpihak dan tidak menguntungkan satu gender.

Orang-orang umum tidak memahami esensi dari persoalan kebudayaan ini. Fatin mendapatkan simpati karena ia perempuan. Makian Saut akibat ancaman dan kemunafikan Fatin dianggap lebih keji dari dusta sejarah yang dilakukan oleh Fatin Hamama dan Denny JA. Kebenaran sudah tidak diperdulikan lagi. Di hadapan uang dan kekuasaan, kebenaran hanyalah sekumpulan daun kering. Ia bahkan begitu mudah diterbangkan oleh satu pasal UU ITE dengan persoalan nama baik, dari orang yang justru perlu dipertanyakan nama baiknya.
Tragedi kebudayaan ini telah dijadikan ajang kriminalisasi sastrawan. Padahal di luar sana, sastrawan besar saling memaki adalah persoalan yang sangat biasa. Dengan minat baca sangat rendah, di negeri ini sastrawan yang mestinya jadi corong kebenaran justru rentan dikriminalisasikan. Orang-orang hanya melihat secara hitam-putih. Rendra telah mengalami politisasi dan kekerasan di masa Orde Baru. Widji Thukul bahkan lenyap di telan bumi. Dan kali ini, Saut Situmorang juga menghadapi “politik sastra” yang sebenarnya, di masa yang katanya demokratis ini. Orde dan penguasa boleh berganti, tapi ketidak-adilan barangkali akan abadi. Panjang umur perlawanan!

*****
*) keterangan diambil dari berbagai sumber.
Kajitow Elkayeni


Tidak ada komentar:

Posting Komentar