Dasawarsa laju noktah bersemi indah dalam bingkai kesetiaan rumahtangga Sahira dan Firman. Berkabut senja nyalakan pelita jalan licin dilalui tak gamang dengan bimbang.
"Sahira...," sapa suami tercinta, Firman.
"Ya, Abang...."
"Hira, malam ini tahun 2016 akan berlalu, berganti tahun baru 2017. Semua terbarukan selalu, yang penting sekali senyumanmu selalu baru 'tuk abang ya!" kata suaminya ketika pulang dari kerja.
"O ya, mana anak-anak kita ya, Ra?" lanjutnya.
"Hari sudah mulai sore, suruh mereka mandi!"
"Haiiittt..., jangan lupa Uminya juga mandi lho," canda sang suami, lagi.
"Iiihh abang, ya, iyalah... masa ya iya dong..., Abang,"
sewot manja Sahira, istri Firman tercinta.
"Lepas mandi, ajak anak-anak makan bersama ya, Umi!"
Memang, Firman dan Sahira memiliki sepasang anak belia di rumah sederhananya. Hampir keseharian kehidupan mereka rukun dan damai.
"Ra..., maghrib sebentar lagi akan tiba,
yuk kita salat berjamaah di rumah saja!" Ajak suaminya.
"Ya, Abang. Kita ambil air wudhu dulu, yuk!"
"Ra, tahu gak Hira?"
"Apa, Bang?"
"Sepuluh tahun sudah noktah kita terjalin indah, klimaks kebahagiaan yang Abang dambakan selalu darimu adalah ketika selesai salat berjamaah, anak-anak dan kamu, Ra. Dikau dan buah hati kita memeluk dan mencium tangan kasar Abang, tapi lembut menafkahi rumahtangga kita ini."
Mendengar ucapan sang suami, mata Sahira berkaca-kaca merasakan kebahagiaan yang terpancar di hati Firman sang suami tersayang.
Anak-anak mereka tak menghiraukan apa yang terjadi di antara kedua orangtuanya, saling berbagi hati. Anak-anak selesai salat lari-lari berkeliling ruangan sambil berjingkrak memperlihatkan kebahagiaan mereka sebagai anak-anak yang disayang.
Rara adalah anak sulung dari pernikahan Firman dengan Sahira.
"Umi...," sapa anak sulungnya.
"Ada apa, Rara sayang?" Tanya sang umi.
"Umi, kelak Rara ingin mempunyai suami seperti Ayah, ya Mi," celetuk Rara dengan polos.
Spontan saja, Uminya kaget mendengar celoteh anaknya, yang sesungguhnya bukan pertanyaan anak kecil seumur Rara.
"Memang kenapa, Rara dengan ayahmu ini?"
"Gak apa-apa Umi...."
Firman tak kalah hebat kagetnya dengan kata-kata tulus dari anak tersayangnya.
Sedangkan si bungsu yang sedari tadi tak terlihat, menghilang ke rumah tetangga bermain bersama teman-temanya.
Firman masih kepikiran perkataan Rara---anak kesayangannya itu dengan rasa penasaran. Dengan tatapan yang optimis Rara sudah mampu mengutarakan maksud perkataannya tadi kepada kedua orang tuanya.
"Umi, Ayah..., walau pun Rara masih kecil memang tak seharusnya Rara ucapin kata-kata itu pada Umi dan Ayah. Dengan rasa bangga, Rara merasa bahagia dan bersyukur menjadi anak Umi dan Ayah. Melihat keharmonisan orang tua Rara, tak pernah ada pertengkaran semenjak Rara masih kecil sampai saat ini. Beda dengan orang tua teman Rara, pernah mereka bertengkar Rara lihat sewaktu main ke rumahnya." Ujar Rara sedemikian rupa.
"Ayah...," lanjut Rara lagi.
"Apa sih rahasia Ayah, kok gak pernah pernah bertengkar dengan Umi?"
"Rara...Rara, kamu ini. Ingin tahu aja ya persoalan kehidupan orang tua?" Kata ayahnya sambil geleng-gelengkan kepala.
"Baiklah Nak, Ayah kasih tahu rahasia Ayah dengan Umi sama Rara.... Rahasianya, ada ketika salat berjamaah bersama Umimu. Karena dengan salat, adalah kunci segala kebahagiaan dan kunci menghilangkan keruwetan rumahtangga. Dan Umimu tak pernah Ayah anggap sebagai istri Ayah."
"Lho, kok gitu ayah?" Kata Rara dengan nada penasaran.
"Rara, dengarkan pesan Ayah baik-baik ya!"
"Iya, Ayah,"
"Jangan pernah jadikan pasangan kita itu nanti sebagai objek. Dan Umimu, Ayah anggap sebagai pacar atau kekasih Ayah sendiri lho. Makanya Ayah memiliki kekasih sepanjang hari dengan Umimu." Jelas sang ayah.
"Wahhh..., Ayah hebat dan lucu, hihihi...."
"Memang Ayahmu ini badut, ya, Ra?" sambil meraih Rara lalu menggelitiki hingga Rara terpingkal-pingkal menahan geli.
Sedangkan Umi dan adiknya Rara hanya senyum-senyum sambil menyiapkan makan malam mereka nanti.
Setelah acara makan malam selesai, seperti biasa Firman mengajari anak-anaknya mengaji. Kebiasaan seperti itu selalu mereka lakukan, demi tertanamnya pondasi yang kuat dalam beribadah sedini mungkin.
Tiba-tiba Riri, adiknya Rara nyeletuk...
"Ayah...Umi..., kenapa tidak pergi jalan-jalan seperti tetangga kita malam ini? Kan, malam tahun baru banyak petasan dan kembang api...." ujar Riri polos.
"Pergantian tahun tidak mesti dirayakan seperti itu, Sayang," jawab sang ibu sambil memangku Riri.
"Kalau mau main kembang api, kan bisa kapan aja. Lagipula petasan sudah tidak diizinkan dipasang, sebab seringkali membahayakan penggunanya."
"Oh gitu ya, Mi," kata Riri manggut-manggut.
"Betul Nak, yang dikatakan Umi barusan. malam tahun baru tidak mesti hura-hura dan berlebihan. Ayah dan Umi berharap kalian menjadi lebih cerdas dan tambah soleha," lanjut Firman menambahkan penjelasan istrinya.
Lalu mereka melanjutkan mengajinya. Sang Ayah mengajari Rara membaca Alquran, sedangkan Uminya mengajari Riri hafalan surat di juz'amma.
Mereka selalu tekun untuk kegiatan yang satu itu. Mereka juga mengimbangi kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti bersilaturahmi dan rekreasi sambil olah raga di akhir pekan. Walau sekadar bersepeda bersama di area 'care free day'.
Terkadang Firman dan Sahira mengalami masa di mana mereka agak sulit memberikan pengertian dan penjelasan ketika mendapat pertanyaan-pertanyaan yang tak terduga dari kedua buah hati mereka. Untungnya Firman atau pun Sahira rajin mencari referensi pendidikan anak dan wawasan lainnya dari media buku-buku atau elektronik. Dan pastinya dari sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Begitulah kehidupan mereka yang islami, membuat iri tetangga-tetangga. Iri yang mengacu kepada mengajak kebaikan. Mereka juga tak lupa mengajari anak-anak bersosialisasi dengan tetangga dan kepada teman anak-anaknya. Kemajuan teknologi pada saat ini membuat para orang tua bekerja keras menjadikan anak-anak tetap pada jalur yang baik. Sehingga pemantauan dan bimbingan akhlak terpuji dan agamais bisa menjadi modal anak-anak melewati kehidupan yang makin keras di masa yang akan datang. Firman dan Sahira termasuk salah satu contoh orang tua yang memperhatikan hal tersebut.
Cerpen
NOKTAH LADANG IBADAH
Kolab Penulis: Romy Sastra And Shethie Rahmaniyah Dawam
Jakarta-Bekasi, 01,01,17
Catatan Romy Sastra
MEMBANGUN PUISI
Romy Sastra
Puisi adalah karya sastra yang tercipta dari imaji serta perasaan pada pergulatan lahir dan batin penulisnya. Puisi memiliki karakteristik sebagai identiti yang tidak sama dengan prosa dan drama. Puisi memiliki unsur dalam / batin (intrinsik) dan unsur luar / fisik (ektrinsik) yang dihidangkan melalui kata-kata menjadi diksi yang indah dan bermakna. Pada puisi sahabat atau kakak saya yang di bawah ini contohnya. Ketika saya membaca puisinya, aku menikmati citraan yang dibangun dengan penuh kecewa, luka dalam hidupnya yang penuh dramatis sadis dan kisahnya berakhir menjadi fatalis. Hingga puisi ini memiliki tematik yang sampai di dalam pencitraan yang sansai.
REMUK
Ini kata-kata yang kuhempas
kukutip serpihan
tajamnya mencucukku menikam dadamu
bukan sekadar luka
kita sama berdarah
Sampai mati kita tak mengaku bersalah
kau perlu dihukum
aku juga terhukum
Sebagai ingatan
simpan parut ini
Zah Isa
Selangor
Puisi di atas sangat menarik disimak dengan judul 'REMUK' puisi ini mencurahkan rasa kekecewaan yang klimaks pada perjalanan hidup yang dilaluinya.
Di bait pertama, si aku lirik bermadah dengan rasa kekecewaan yang selama ini terpendam dalam diam. Lalu, tiba-tiba ia bangkit menghempas kekecewaannya di muka buku ditorehkan ke dalam kanvas sastra, sejatinya penulis sama-sama pernah terluka antara objek dan subjek kisah.
Di bait kedua, si aku lirik semakin tersiksa dari rentetan yang pernah terjadi. Ironisnya, pada bait ini subjek dan objek menyimpan tragedi yang dramatis. Pelakon kisah sepertinya menyimpan masalah dan dendam kesumat. Penulis dengan gentleman rela sama-sama terhukum dengan pasangan yang pernah ada dalam kisah hidupnya. Hukuman itu berlaku disiksa batin sendiri menimbulkan keresahan dan dendam yang tak terselesaikan. Hingga bermuara di pengadilan cinta yang berdarah-darah.
Pada bait ketiga adalah penekanan ending dari dramatis story larik-larik di atas. Bahwa, tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan selain dengan cara berpikir sejenak, karena berpikir itu lebih baik daripada beribadah seribu tahun lamanya (hadits) dengan cara intropeksi diri untuk mengevaluasi di mana luka itu pasti ada obatnya. Bagaimana si aku lirik menitipkan isyarat kepada pasangan atau pada dirinya sendiri sebagai peringatan jangan ada lagi noda yang tercecer. Mari menyimpan problem untuknya berbenah dan kubur dalam-dalam kedukaan kekecewaan dan luka-luka yang menikam hidupnya selama ini, sampai rahasia hidup itu terkubur sunyi di peti mati
Jakarta, 22 Juli 2019. 08:42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar