"....KENANGAN masa lalu yang indah
Saat aku masih bersamamu
Kisah itu sungguh begitu indah
Kini hanya cerita yang lalu.
Bertahun-tahun sudah lamanya
Kita tak lagi pernah bertemu
Sungguh aku masih merindukanmu
Walau kini sudah ada pengganti..... "
( Lirik Silamsari _ Kenangan Masa Lalu ).
Masih terngiang di telingaku lagu mellow yang tenar di masanya waktu itu, kalimatnya begitu kontras dengan kesedihan. Ingatanku langsung pada seseorang, sosok romantis yang melankolis. Entahlah mengapa kesedihan menghapus senyuman, kepedihan yang utuh harus disatukan dengan suasana gembira ini?
Ah... luka lama dalam kenangan itu kembali menggelitik hati. Debarnya begitu kuat sehingga sesakku menyedak.
Perlahan-lahan kutarik napas sekedar mengurangi rasa nyeri yang berlebih. Seperti kau tau bahwa aku masih suka merasa benci dengan sosok yang bernama Sultan. Kuputar otak agar aku bisa mengalihkan rasa serta angan lukaku.
"Bagaimana perasaanmu Re, sudah agak baikan?" kata Dendy mencemaskanku. Ternyata dari tadi dia memperhatikan diriku serta mengkawatirkan diriku yang pucat seperti kapas. Dendy mengira aku takut naik bis dalam laju kencang, kanan kirinya jurang curam.
"Re, kamu baik-baik saja," Dendy akhirnya mengemukakan pertanyaan lagi.
Tak kujawab pertanyaannya dengan kata-kata, tapi menaikkan bahu sambil geleng kepala.
Kami diam, pikiran kami bermain imaji sendiri-sendiri.
Namun tangannya begitu kuat menggenggam jemariku, mungkin untuk membuatku makin nyaman. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Dendy memang baik bahkan teramat baik. Dia tau semuanya tentang kenanganku di pulau itu. Cerita cintaku dengan Sultan.
"Maukah kamu mendengarkan sesuatu dariku, Re?" Dendy bertanya lagi.
Aku menganggukkan kepala perlahan.
Dendy berdehem sebentar sambil mengusap lembut kepalaku.
"Artinya, kamu tentu harus berjanji untuk bisa melupakan kenangan pahitmu di kota ini dan membuka lembaran baru bersamaku, menatap mentari dengan senyummu,". Betapa tegas ucapannya.
Dendy memandangku, kudongakkan kepalaku sambil memandangnya, dan tatapan kami bertemu. Kutangkap sebuah sinar kecil melesat dari bola matanya, berlari begitu cepat menuju mataku tapi sebelum sinar itu masuk cepat-cepat kupalingkan perhatian keluar jendela, roda-roda bus tetap melaju kencang.
"Jika kamu sudah memutuskan berani datang ke kota ini dan bersedia mengikutiku, mau tidak mau kamu harus mengubur masa lalumu serta menepis bayang wajahnya, namanya, dari dasar hatimu," kata Dendy tegas
Oh... ingatanku kembali terusik dengan kata-kata tegas Dendy.
"Kamu sekarang milikku dan aku cemburu tauk," Sambil menyentil ujung hidungku mesra.
Dendy memang sosok romantis dan penyabar beda dengan Sultan yang keras tapi tegas. Namun keduanya sama-sama romantis.
"Sayang kita sudah sampai yuk turun,"
"Oh...," Desahku
Perlahan kuikuti Dendy. Jalan yang tidak asing bagiku. Lima tahun lalu jalan ini pernah juga kulewati bersama Sultan. Sebuah jalan di samping pantai Carocok. Satu-satunya jalan untuk menuju tempat penyeberangan ke pulau Cingkuak.
Tapi untuk kali ini kami tidak akan menuju kesana, melainkan kelereng bukit pantai Carocok. Tiba-tiba bening di sudut mataku jatuh. Dendy menarik lembut tanganku untuk terus mengikuti langkah kakinya, sambil menikmati pemandangan, pelan namun pasti kami menyusuri sepanjang jalan serta sebuah lorong yang begitu asri.
Tempat yang indah di lereng bukit itu, di sisinya adalah laut luas membentang dan di tengah laut banyak berjajar pulau-pulau kecil yang indah. Di antaranya adalah pulau Cingkuak.
"Udah sampai Re dan inilah rumah impian kita," kata Dendy
Wuuow... rumah impian yang begitu indah, minimalis ada kebun serta taman bunga, pokoknya gak bisa di bayangin indahnya.
"Kau suka sayang," betapa bahagianya Dendy memamerkan rumah impian kami. Sepertinya dia begitu tahu keinginanku. Dendy telah menepati janjinya untuk memberikan hadiah bulan madu sekaligus rumah idaman baru untuk tempat tinggal kami. Karena sejak kejadian itu aku malu hidup di Jakarta di lingkungan tempat kami bekerja dulu. Sehingga kami sepakat untuk pulang dan bekerja di negerinya Dendy.
"Den, tingkiyu ya," binarku berseri.
Kukecup manja pipinya, kupeluk kuat tubuhnya. Dendy membalas mengecup keningku. Ditariknya diriku masuk ke dalam rumah impian kami. Dan dia kembali memelukku, mengecupku, bibir kami saling memagut, indahnya. Dan di dalam sebuah kamar biru, kami luahkan rasa bahagia dengan asyik masyuk bercumbu melupakan pilu.
Rintik hujan tiba-tiba turun, kabut dari lereng bukit ikutan menyelimut dingin menyusup dan tentu menambah romantis suasana. Kami hanyut terbawa mimpi yang entah, tentu tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Romantika cinta dalam satu jiwa menuju puncak asmara. Indahnya surga dunia tiada tara.
Sultan....
Itulah nama yang membuka katup cintaku. Bersama Sultan di pulau kecil tengah laut itu, aku telah mengenal yang namanya cinta dan kekasih.
Ingatanku kembali melayang pada masa itu, masa dimana diriku pertama kali menjadi kekasih Sultan. Sultan lelaki periang dan pandai sekali bergaul. Karena dia seorang seniman pula penulis. Pertama kenal dengannya dalam sebuah komunitas sastra di sanggar DELAMONTE. Kedekatan kami banyak yang tahu. Baik sahabat Sultan atau sahabatku. Apalagi kami juga satu kantor dalam pekerjaan kami sebagai wartawan ibu kota.
Pada suatu hari kami sama-sama mendapatkan tugas membuat event di sebuah pulau kecil di Cingkuak Pesisir Selatan Padang. Awalnya aku dan Sultan hanya seorang sahabat. Keceriaan kami bahkan banyak yang merasa iri. Sultan pandai sekali membuatku tertawa, bahkan sampai terpingkal-pingkal, tapi pada waktu yang lain, dia kadang terdiam seribu bahasa tanpa sebab. Pada waktu yang lain pula dia menunjukkan kecemburuannya yang teramat sangat pada temen-temenku saat aku bersama mereka. Sultan seakan tak memberi kesempatan padaku untuk interaktif dengan teman-temannya. Dia ingin diriku hanya hadir dan selalu bersamanya. Apalagi jika malam Minggu dia tidak pernah sekalipun melewatkannya pasti selalu hadir untukku. Pokoknya hari-hari tanpa ada waktu tidak bersamanya.
"Cingkuak oh Cingkuak" rintihku melirih. Kejadian waktu itu kembali menggelitik ingatanku.
"Re, aku cinta kamu, aku cinta kamu Re,"
"Aku tidak ingin kamu dekat dengan Rian, dengan Indra atau dengan Dendy aku cemburu paham!" bisiknya lirih ketelingaku supaya tidak di dengar teman-teman. Dengan tatapan tajam tak berkedip, Sultan memohon kepadaku. Dia begitu tidak sukanya melihat aku menemani teman-teman saat membuat perahu serta pernak pernik untuk kegiatan besok, yaitu acara sastra pertemuan para penyair se-nusantara yang akan berkumpul di pulau kecil nan indah yaitu Cingkuak.
Aku memang lebih suka melihat serta membantu teman-teman mempersiapkan pernak pernik dari pada nungguin Sultan mempersiapkan naskah, atau menyusun acara yang hanya berkutat di hadapan laptop.
Aku terdiam memandang wajahnya, wajah lelaki yang aku cintai.
"Ayo ikuti aku kita bicara," Sultan menarik tanganku dan aku menurut saja. Kami berjalan menyusuri pantai. Indah sekali. Debur ombaknya pelan menghempaskan buih, bening air lautnya membuatku terpesona karena banyak ikan-ikan kecil berenang. Nyiur melambaikan jelai daunnya dan berjajar rapi, bahkan banyak pohon yang merebahkan batangnya kepantai berayun-ayun begitu elok, kontras sekali dengan suasana hari ini, sepoi semilir asoi.
"Re, tatap mataku sedalam rasamu," mulai Sultan bicara.
"Tidakkah kau rasakan bila aku mencintaimu, bahkan aku seakan gila jika melihatmu bercanda dengan mereka, aku tidak rela Re, tidak!". Di genggamnya jemariku kuat-kuat.
"Sultan...," kataku lirih
"Iya, aku mencintaimu," Sultan memotong ucapanku.
"Apakah kamu tidak merasakannya selama ini Re?" ucapnya lagi. Aku tetap diam.
"Di pulau Cingkuak ini aku tegaskan, aku mencintai kamu, apa kamu menerimanya Re, untuk menjadi kekasih sahku?". Matanya meredup menghiba.
Degup jantungku makin berdebar kencang, ingin rasanya aku berteriak jika sebenarnya aku juga telah mencintainya, tapi aku malu sehingga yang aku perbuat selama ini cukup memendam dalam hati. Dan saat ini Sultan mengungkapkan isi hatinya, ya Allah apa yang harus aku lakukan kecuali hanya mengangguk sendu menerima cintanya.
"Yes, terimakasih Re," begitu girangnya Sultan sampai dia tak sadar berteriak kencang. Mulai deh konyolnya keluar, biasalah dia langsung bersyair.
Dan....!
"Wahai camar di atas karang, wahai gelombang yang menari riang, wahai jelai daun-daun nyiur, dengarkan aku, ini sumpahku di atas tungku batu, IZINKAN AKU MENCINTAI RE RE SELAMANYA, WALAU PERTENGKARAN TERTAKDIR DI ANTARA KAMI. DAN AKU TAK AKAN MENARIK SUMPAHKU DAN IKRARKU INI, SAMPAI TUAKU NANTI HINGGA AJAL MENJEMPUTKU,". Gelegar sekali ucapan Sultan dan membuatku merinding. Ternyata bukan hanya bersyair tetapi dia telah bersumpah. Oh my God!
"Sultan, apa-apaan sih kamu,". Belum selesai kuucap kata, Sultan telah memelukku kuat sekali, seakan tidak mau kehilangan diriku. Aku pasrah dalam dekapannya.
Dari jauh dibalik rumpun di bawah pohon flamboyan Dendy memperhatikan dengan rasa hancur. Satu-satu kelopak bunga flamboyan berguguran seperti luruhnya bening dari sudut mata Dendy, yang dengan tidak sengaja terluka. Sebab orang yang dia cintai diam-diam kini telah menjadi milik Sultan sahabat sekaligus rivalnya.
Sultan masih tetap memelukku, bahkan lebih kuat, mungkin dia merasa ada yang ingin merebut kekasih hatinya.
"Re, lihatlah debur ombak itu, begitu gemulainya dia memainkan kerikil pantai, diciptakannya buih putih, kau tau Re, semoga cintaku seputih buih itu,"
"Mulai menggombal kau ya, dasar penyair," sewotnya aku
"Loh, enggak percaya kamu,". Dia melotot, berhenti tepat dihadapanku.
"Aku serius Re,". Dan Sultan berhenti diam sejenak.
"Kok berhenti ada apa?" tanyaku sedikit merajuk ingin tau.
"Penasaran ya," ejeknya sambil jemarinya menyentil hidungku.
"Iiih... apaan sih,". Aku sewot di buatnya
Kemudian dia menarik tanganku mengajak duduk di batang kering yang rebah membujur ke pantai.
"Aku sudah bersumpah di pulau ini, dengar baik-baik dan kusimpan sumpahku dalam hati jika aku lupa ingatkan, karena kau tau Re, sesampainya di Jakarta nanti aku akan melamarmu," kata Sultan tegas.
"Whuooooottt....!". Kaget dan melongo aku.
"Sssttt... usah kaget begitu sayang,". Dengan memegang jemariku Sultan duduk di hadapanku. Akupun mencoba untuk mengerti.
"Aku akan segera meminangmu, kau mau?" katanya tegas dan inginkan segera jawabanku.
"Iya aku mau," jawabku.
Langsung dia memelukku kembali, kali ini pelukan sayang yang membuatku melayang. Tanpa menghiraukan apapun, dia menciumku mesra. Dendy jauh di sana, makin terpuruk dan terluka. Dia berlalu menekan nyeri. Sedangkan kami asik bercanda menyusuri pantai menarikan kidung jiwa yang lagi happy.
Ya Tuhan, mimpi apa aku, orang yang selama ini dekat denganku, dan yang aku cintai diam-diam, kini menjadi kekasihku dan sebentar lagi akan menjadi suamiku. Dia telah bersumpah di pulau keramat ini. Oh my God! Terus dan terus kejadian esok lusa itu menari-nari dalam lamunkanku.
"Hai, bengong aja, mau pulang gak atau ingin menjadi penghuni pulau ini sayang... ha ha ha," ledek Sultan bikin keki.
"Tan, iya kalik tapi harus bersamamu... ha ha ha," suara Rian ikut ngeledek.
Tanpa banyak bicara aku segera masuk speed boat. Acara sudah selesai dengan meriah, event yang diadakan di pulau Cingkuak seratus persen sukses. Betapa riangnya kami para petugas, panitia. Segala sesuatu dalam acara tersebut tidak mengecewakan. Kami kembali berkumpul di kantor sekretariat Pemuda Pecinta Sastra tepatnya di Taman Budaya Padang. Malam hari diisi rapat kecil pembubaran panitia. Dan esok harinya kami rombongan kembali pulang ke Jakarta.
Aku, Sultan, Rian dan Dendy satu sanggar. Sultan dan Dendy asli Padang, sedangkan aku dan Rian asli Jawa, bedanya Rian Jawa Tengah, aku Jawa Timur tepatnya Bojonegoro. Kami semua sahabat, bekerja dan bermain teater di satu naungan, kami bekerja menjadi wartawan di sebuah majalah ibu kota yang sangat terkenal.
*******
Satu tahun kemudian...
"Re, beneran kamu mau menikah sama Sultan," kata Hawa sedikit cemas
"Iya, emang kenapa, tunggu undangannya ya cantik usah manyun begitu maaf undangan untukmu lupa aku bawa,". Kucolek dagunya sambil menggoda.
"Re, serius kamu," Hawa seperti tidak percaya.
"Kamu itu kenapa sih, iya serius dong,"
"Ayo! Ikut aku...,". Ditariknya tanganku kuat-kuat. Kuikuti langkah kaki Hawa. Duh kenapa dia bawa aku keruang kerja Sultan ada apa ini, semakin penasaran.
"Lihat itu...,". Tangan Hawa menunjuk kedalam ruangan yang bagiku tidak asing lagi. Ruang kerja Sultan, tapi siapa wanita yang di pangkuan Sultan. Deg pyiaar! Dadaku tiba-tiba sesak. Dari balik pintu ruang kerjanya yang mungkin lupa di kunci, kami telah di suguhi pemandangan yang menjjikan. Diantara percaya dan tidak, yang jelas dadaku sesak dan sakit sekali. Beningku jatuh perlahan.
"Ayo kembali keruangan kita,". Diseretnya tanganku oleh Hawa.
Sampai di ruangan kerjaku Hawa memelukku kuat-kuat. Dan kami sudah menangis pilu. Lagi-lagi sepasang mata elang yang redup itu memandang dari balik jendela dengan seribu cerita, yang tersimpan rapi di hatinya. Dendy! Ya Dendy memang tau perselingkuhan Sultan dengan Devi cewek cantik dan sedikit manja pada setiap pria. Devi kelahiran Bandung mojang Priangan.
Dendy tidak berani mengatakannya pada Re Re atas perselingkuhan Sultan dengan Devi. Dendy tidak ingin wanita yang selama ini diam-diam di cintai terluka.
Bahkan saat Sultan berkencan dengan Devipun di luar jam kantor, dia tahu.
"Re Re, semoga kamu kuat," katanya dalam hati begitu lirih nyaris tak terdengar. Kemudian berlalu dari kedua wanita yang dilanda pilu, Re Re dan Hawa.
"Aku harus bicara sama dia, sekarang juga," kataku
"Aku ikut!" Hawa mengikuti langkah kaki Re Re.
Brak!
Betapa kagetnya Sultan dan Devi, sebab tak pernah Re Re sekasar itu membuka pintu karena biasanya mengetuk dulu.
"Batalkan pernikahan kita," kataku tegas
Hawa, Sultan dan Devi kaget!
"Re Re, apa-apaan ini, ada apa denganmu,".Tangan Sultan meraih pundakku, namun segera kutepis.
"Masih belum kamu dengar, kita batalkan pernikahan," sambil kusodorkan HP, kuperlihatkan foto mesra mereka berdua, saat Sultan mencumbu Devi sambil memangkunya.
"Kamu lihat kan, ini alasanku membatalkan pernikahan!" senggukku makin pecah
"Tidak! Kata Sultan
"Tunggu penjelasanku Re," Sultan menghiba.
"Percuma, aku sudah tau semuanya!" kutepis tangan Sultan. Aku dan Hawa akan kembali ke ruangan, tapi Sultan menghadang langkah kami
"Tunggu Re, aku jelaskan," rengek Sultan
"Tidak perlu!" teriak Devi
Kami bertiga kaget.
"Aku hamil!" katanya lagi.
Kami bertiga semakin tertampar atas pernyataan Devi. Dan lagi-lagi Dendy tahu semua kejadian itu. Dia ikut kaget saat tidak sengaja dia lewat di luar ruangan itu.
Plakk! Sultan menampar Devi.
"Cukup!" teriakku
"Dengar Sultan, kita putus dan pernikahan batal," kataku lagi mempertegas.
"Kita sudah menyebar undangan Re, dengar pen...,"
"Diam!"
"Batal, kau dengar!". Aku dan Hawa berlalu, kutinggalkan mereka berdua, Sultan dan Devi dalam pertengkaran hebat. Aku benar-benar sudah tidak perduli lagi. Aku hancur, aku pilu, aku kecewa.
Sebulan telah berlalu, namun kemarahanku, kesedihanku campur aduk dengan masalahku di rumah, sampai kini masih saja membelenggu. Orang tuaku kelabakan setengah mati setelah tahu aku mengambil keputusan membatalkan pernikahan. Bagaimana orang tuaku tidak marah karena mereka tidak mau menanggung malu atas semua undangan yang sudah terlanjur disebarkan.
Dalam keadaan super kalut dua hari ini aku tidur di tempat kos Hawa.
"Re, aku keluar sebentar ya, beli kue," kata Hawa
"Iya, aku akan duduk di teras samping, carilah aku di sana jika kamu sudah kembali," jawabku.
Kuratapi lukaku yang semakin perih, cinta yang kuberikan pada Sultan telah dikhianati. Apa artinya sumpah yang dia ucapkan di pulau itu. Lalu bagaimana aku harus menyelesaikan masalahku. Undangan pernikahan sudah terlanjur dibagikan.
" Ya Tuhaann," tangisku kembali pilu.
"Re, Re Re jangan menangis aku rasakan deritamu,"
Suara itu aku kenal banget, kudongakkan kepalaku, dalam sembab mataku, aku melihat Dendy berdiri di hadapanku. Dan, di raihnya kedua tanganku, di bawanya diriku dalam pelukannya. Kami menangis.
"Aku mencintaimu Re, sangat mencintaimu, aku tau semuanya, aku tau," ucapnya lirih.
Tangisku makin menjadi dan semua lara ini aku tumpahkan ke dada Dendy.
"Aku yang akan menikahimu esok, aku yang akan menggantikan kedudukan Sultan Re," katanya lagi.
Kutepis pelukannya, dan kupandang Dendy dengan tajam. Sedikit marah dan tidak percaya atas ucapan Dendy.
"Aku yang menyuruhnya datang ke rumahku Re, dan dengarkan dulu penjelasanku,". Tiba-tiba Hawa muncul dan kemudian bicara panjang lebar. Aku tertegun, tangisku kembali meledak.
"Iya, aku sangat mencintaimu lama sekali, sebelum ada event itu, karena kebodohanku, aku tidak berani bilang kepadamu Re," Dendy mempertegas cerita Hawa.
"Ijinkan Dendy menyelesaikan masalahmu, dan berikan kesempatan Dendy menyayangimu atas cintanya Re," Hawa memelukku dengan hiba. Tangisku, rasaku, pikiranku entahlah, yang jelas saat ini aku merasa nyaman dalam pelukan Hawa.
Hari pernikahan semakin dekat, tinggal menghitung bulan. Aku harus tentukan keputusan, sebelum ayah menjodohkan diriku dengan anak sahabatnya yang belum aku kenal sama sekali. Bertambah panik, pikiranku kian setres. Semua tugas kerjaku terbengkalai, belum lagi menghadapi nyeri, setiap kali kulewati ruang kerja Sultan saat menuju ke kantin. Sejak kejadian pertengkaran itu, aku dengar Sultan telah meminta berhenti, keluar dari pekerjaannya. Dia pergi entah kemana. Tak ada yang tau keberadaannya. Sultan menghilang begitu saja. Dia juga tidak menikahi Devi yang sedang hamil dan entah anak siapa yang telah dia kandung. Benar-benar semua kehidupan kami berubah dalam waktu sekejap.
"Re, kita makan siang yuk," Ah... lagi-lagi lelaki bermata elang itu, selalu memperhatikan diriku. Dendy memang tidak pernah lelah membuatku tersenyum.
"Ayolah, aku temani kamu selagi Hawa tidak masuk kerja,". Di tariknya tanganku pelan tapi pasti dan mau tidak mau aku mengikutinya lagian rasa laparku juga sudah meremas-remas perut.
"Bik, soto dua dan es jeruk manis dua yang satu hangat ya Bik," kata Dendy.
"Iya Den," jawab Bik Onah pemilik kantin.
"Re, aku serius, aku mencintaimu dan aku tahu kamu tentu masih belum bisa melupakan kejadian itu tapi ijinkan aku selalu menemani di saat kamu sedih, kumohon ijinkan aku," digenggamnya jemariku
Dendy terlalu baik, pantaskah dia sebagai pengganti Sultan, dimana luka dan perasaanku masih nyeri dan benci. Tetapi pernikahan serta tawaran ayah bagaikan bumerang.
"Den, kita pulang bareng ya, antar aku pulang nanti," kataku
"Alhamdulillah ya Allah, iya Re aku akan mengantarkan kamu pulang," kata Dendy begitu senangnya.
"Ini Sotonya Den, Ning, silahkan di makan," kata Bik Onah.
Kota Jakarta begitu panas, macet dan uuff! Mobil Dendy begitu pelan jalannya, bahkan nyaris seperti tidak berjalan. Lamat-lamat lagu SENANDUNG DOAnya Nur Afni Octavia mengalun sendu di mobil Dendy. Kami hanya bisa diam menikmati.
"Assalamualaikum warahmatullahi wbr, aku udah pulang," kataku mengucapkan salam setiap kali masuk rumah.
"Silahkan duduk Den, mau minum apa," kataku mempersilahkan duduk tanpa menunggu jawaban dari Dendy, aku langsung pergi.
"Waalaikum salam," jauh dari dalam rumah ayah menjawab salamku.
Aku masuk menemui ayah dan akan bikin minum untuk Dendy.
"Yah ada tamu yang ingin bertemu dengan ayah," kataku
"Tamu, ingin bertemu denganku?"
Ayah berlalu keruang tamu. Aku nyengir kedapur bikin teh. Entahlah, mengapa sesak di dadaku terasa ringan. Aaahh... Semoga!
Aku melihat Dendy begitu akrap dengan ayah, aku melihat betapa bahagianya mereka berdua. Aneh! Seperti kayak sudah kenal begitu.
"Hemm... asyik banget nih, ngomongin aku ya yah, kenalin ini Dendy temen kerja," kataku memperkenalkan Dendy pada Ayah dan mama.
"Dendy om,"
"Dendy Tante,"
"Iya," kata ayahku datar, dan mama hanya tersenyum.
"Silahkan di minum nak Dendy," Mama mempersilahkan.
"Ayah, mama boleh Re bicara,". Sedikit bergetar kuberanikan diri bicara sama ayah dan mama.
"Iya boleh, mau bicara apa kamu," jawab ayah.
Mama dan Dendy merasa tegang.
"Ayah, aku mohon ayah jangan marah ya, ijinkan Dendy sebagai pengganti Sultan untuk menikah denganku," kataku terbata-bata. Air mataku jatuh membasah.
Ayah, Mama dan Dendy terkejut, mereka enggak nyangka aku akan berani bicara begini. Mama langsung memelukku dan menangis.
"Alhamdulillah, jadi aku tidak susah-susah memaksamu nikah dengan anak sahabat ayah... ha ha ha,". Meledaklah tawa ayah.
Aku terhenyak, kaget dan penuh tanya. Mama makin erat memelukku.
"Tenangkan hatimu nak," ucap mama penuh kasih.
"Sayang, Dendy itu anak sahabat ayah, Dendy sangat mencintaimu, dan Dendy ingin menikahimu, ayah Dendy sudah bicara panjang lebar makanya aku ingin jodohin dirimu dengan anak sahabat ayah sebagai pengganti pecundang itu," kata ayah dengan gelak tawa riang.
Ya Allah, cerita apalagi ini. Engkau memang tidak ingin hamba-Mu yang bernama Re Re, berlarut-larut dalam penderitaan panjang. Kami semua benar-benar bahagia saat ini. Walau masih ada nyeri namun sudah ada secercah harapan menerangi jiwa Re Re.
Hari yang ditentukan telah berjalan cepat seperti rencana. Pernikahanku yang seharusnya dengan Sultan kini beralih dengan Dendy. Semua sahabatku terutama Hawa dan Rian sangat berseri. Mereka ikut merasakan bahagia yang sangat, di dalam kebahagiaan keluargaku. Sungguh pernikahan yang unik. Ada luka, ada bahagia.
"Lagi memandang apa seh, dari tadi aku lihat asik banget,". Di peluknya pinggangku oleh Dendy
"Eh, Den kok udah pulang, baru jam berapa ini," kataku sedikit kaget
Diciumnya rambutku, sedikit geli.
"Enggak ada kerjaan terus aku pulang saja, kangen pingin berduaan sama kamu di rumah baru kita," jawab Dendy makin menenggelamkan wajahnya di tengkuk istri tercintanya.
"Diiihhh...," gemesku manja.
Tanpa banyak bicara Dendy langsung menggendong ReRe masuk ke dalam rumah. Dan entahlah apa yang terjadi. Tentu sepasang merpati itu yang tahu. Mungkin mereka lagi asik mencetak anak-anak cinta di bukit surga.
Pulau cingkuak dalam kenangan Re Re, kini telah menjadi lukisan usang.
Dan jauh di bukit Cingkuak, lelaki tampan mengayam cinta pada lembar catatan dalam bentuk puisi dan sajak. Tak ada yang tau bila dia sang penyair itu Sultan Sastra. Dia memilih sepi dan sunyi sebagai istana penyesalannya. Dia tenggelamkan dirinya pada biduk prahara hati. Biarlah nama imaginya koncar seantero jagat raya. Karena dia menginginkan satu saja. Rere kekasihnya bisa membaca suara-suara jerit hatinya, lewat tulisan karyanya yang sudah banyak beredar di toko-toko buku . Cingkuak telah mengubur dirinya bersama sumpah dan kenangan itu.
Dan Re Re telah hidup bahagia bersama Dendy, setiap saat mereka memandang bukit Cingkuak, jauh di sana, pulau CINGKUAK di hiasi pelangi.
&&&&&&&&THE AND &&&&&&&
Cerpen
A Story Of My Life
CINGKUAK OH CINGKUAK
Karya : Retno Rengganis.
Cepu 1 Maret 2021.
( Dok 7-3-2019 ).
Catatan : Nama pemeran serta nama kota atau pulau hanya ilusi pengarang. Jika ada persamaan semata hanya cerita imagi.
Biodata :
RETNO RENGGANIS.
Wanita tomboy ini lahir di kota Blora 21 Desember 1968, lima bersaudara. Aktif sebagai aktivis, juga pengurus persilatan Merpati Putih Cabang Cepu. Suka menulis puisi sejak muda, karyanya termuat dalam antalogi : GUGUS WAKTU, ALIF LAM, 13 WANITA MENANAK SAJAK, MELIPAT KATA BERIBU MAKNA, OMBAK-OMBAK TEPI, RUMAH SERIBU JENDELA, 45 WANITA DALAM PUISI, SERIBU SISI NH DINI, dll. Aktif di sastra maya, menjadi Admin, pula.
( Dok 7-3-2019 ).
Catatan : Nama pemeran serta nama kota atau pulau hanya ilusi pengarang. Jika ada persamaan semata hanya cerita imagi.
Biodata :
RETNO RENGGANIS.
Wanita tomboy ini lahir di kota Blora 21 Desember 1968, lima bersaudara. Aktif sebagai aktivis, juga pengurus persilatan Merpati Putih Cabang Cepu. Suka menulis puisi sejak muda, karyanya termuat dalam antalogi : GUGUS WAKTU, ALIF LAM, 13 WANITA MENANAK SAJAK, MELIPAT KATA BERIBU MAKNA, OMBAK-OMBAK TEPI, RUMAH SERIBU JENDELA, 45 WANITA DALAM PUISI, SERIBU SISI NH DINI, dll. Aktif di sastra maya, menjadi Admin, pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar