KEHILANGAN seorang anak adalah kedukaan besar bagi sosok orang tua. Terutama, jika berpulang sang buah hati, terlalu dini. Kehendak Tuhan tidak mampu terelak, jika qodarnya telah sampai.
'Selamat jalan, Nak, ayah akan selalu mendoakanmu. Tunggulah ayah dan ibu di tempat terbaik.' Menatap istriku yang masih tergolek lemah, membuat hati ini remuk redam. Perih. Kehilangan putra kami untuk kedua kalinya, meluluh lantakkan Dena. Belum lagi hilang bekas luka, kembali cedera di tempat yang sama.
"Sayang ... bagaimana kondisimu?” tanyaku pada Dena, sambil membelai pucuk kepalanya. Berusaha menunjukkan sikap tenang sedemikian rupa di depan Dena, meski sesungguhnya hati pilu, Allah yang tahu seberapa besar dukaku.
"Ikhlaskan ... kanda tahu ini berat, tapi kita harus mampu, itu akan membuat jiwa putra kita tenang. Ayo pakai hijabmu, Sayang, tamu takziah sudah banyak yang datang! Atau, Dinda ingin di kamar saja?”
Dena bergeming, tidak bereaksi, entah dia mendengar ucapanku, atau tidak. Binar cahaya Dena redup, membuat hati ini semakin sakit melihatnya. Aku mengazzamkan diri harus mampu tegar untuk Dena, untuk kami.
"Mbok Nah, di rumah saja ya, temani nyonya! Tolong sediakan makan juga. Bujukin Dena untuk makan ya, Mbok. Saya khawatir maghnya kambuh nanti.”
"Ya, Tuan Danang, mbok juga ndak tenang jika meninggalkan nyonya sendiri di rumah saja. InsyaAllah saya akan coba bujuk nyonya makan, Tuan."
*****
Tuntas sudah semua prosesi pemakaman. Bocah cilik kami, tiada dari pandangan kini. Tidak bisa aku gendong timang lagi. Dia tidak akan pernah tersentuh kini. Hanya kenangan yang terpatri di hati. Sengaja aku meminta Dena tinggal di rumah, tidak menghadiri proses pemakaman Elang putra kami. Tentu ini berat, tapi itu yang terbaik. Dena pun tidak menolak, hanya menjawab dengan anggukan, dalam kepasrahan. Tampak dia mulai memahami, bahwa meratap itu tidak diperbolehkan. Kajian-kajian ilmu yang Dena datangi selama dua tahun ini. Ternyata mampu membawa diri Dena pada kepribadian yang lebih baik. Sepeninggal putra pertama kami, tiga tahun yang lalu. Dena cukup intens mengisi aktivitas hariannya dengan menghandiri kajian majelis ilmu. Kiranya dengan memperdalam ilmu agama, membuat dia tampak lebih tegar. Menghadapi musibah kehilangan Elang kali ini, tampak lebih tenang, semoga jiwanya ikhlas, menghadapi ujian bertubi ini. Tapi aku tahu dibalik ketegarannya itu, luka lebam hati Dena belum mampu terurai. Adalah tanggung jawabku, untuk mengembangkan kembali senyum di bibir Dena.
Hari berganti minggu, minggu beranjak menulusuri bulan baru. Dua purnama sudah, kepergian Elang. Dena mulai jarang menangis, tapi aku belum mampu mengembangkan tawa di bibir Dena.
Kudekati Dena yang tengah duduk bersandar di kepala ranjang.
“Assalamualaikum, Cantik, lagi apa nih? Bagaimana harimu?” Aku tepuk puncak kepalanya.
“Eh, Kanda sudah pulang? Maaf dinda tidak dengar, Kanda datang.” Meraih tanganku, “Kanda mau makan sekarang?”
“Nanti saja, Sayang, kanda mau mandi dulu,” ucapku sambil memberi senyum terbaik.
“Baiklah, Kanda, oh ya dinda ke dapur dulu sebentar ya, mau buat kopi.” Dena melangkah keluar kamar.
“Assiiik, biar on begadang ya, hehehe,” selorohku.
“Haaaah, memang ngapain ada acara kah hari ini, Kanda? Ah, dinda tahu, Kanda mau ajak keluar ya malam ini?” tanya Dena. Langkahnya terhenti di ambang pintu lalu menoleh kepadaku.
“Ada dech ... hehehe, gih sana buat kopi, jangan pakai garam ya, ups, hehehe.”
“Siaaap, maafkan dinda ya, Kanda, tempo hari dinda lalai, malah buat kopi asin hehehe,” ujarnya, sambil menepuk kening. Lucu.
“Tak apa, Sayang, buatanmu meski asin pun jadi terasa manis.”
“Akh, gombal ....” Wajah Dena tampak tersipu. Merah merona, manis sekali, pemandangan menakjubkan bagiku. Setelah berbulan-bulan kami tenggelam dalam rutinitas hidup yang suram. Ya, sudah terlampau lama aku membiarkan dia tenggelam dalam sepi. Bersyukur, dia sudah bisa tersenyum kini. Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri.
*****
Ada yang berbeda hari ini, selepas aku menunaikan salat subuh berjemaah pagi ini. Aku melihat Dena sudah berada di dapur, rutinitas yang diambil alih Mbok Nah selama ini, selepas berpulangnya Elang.
"Assalamualaikum, Cantik, wah tampaknya aku bakal dapat menu sarapan istimewa kali ini.” Sapaku, menghentikan konsentrasi Dena.
“Kanda, ah buat aku kaget saja. Hehehe, mulai hari ini dinda putuskan semua urusan memasak, dinda ambil alih kembali, seperti dulu –mengerlingkan mata. Sudah sana, Kanda siap-siap saja untuk ngantor.”
“Tampaknya istri kanda sedang happy nih, jadi malas ngantor akh, mending nemenin kamu di rumah, hehehe.”
Istriku tidak menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala, sambil tersenyum. Ah, manisnya. Senyum yang lama hilang dan teramat kurindukan.
Selepas sarapan, aku dan Dena duduk-duduk di serambi belakang rumah. “Sayang, Alhamdulillah kanda bersyukur sekali, Dinda sudah mulai bisa menerima kepergian putra kita,” aku membuka percakapan.
Dena mendengkus halus, “Qodarullah ... maafkan dinda ya, menyusahkan, tidak mengurus keperluan, Kanda dengan baik selama enam bulan ke belakang ini,” ujar Dena
“InsyaAllah, dinda sudah ikhlas, mari kita jelang hari baru. Tidak ada satu pun musibah tanpa terselip hikmah di dalamnya. Allah ingin kita mencintai-Nya lebih besar dari apa pun dalam perjalanan hidup ini.” Lanjutnya.
“Lagi pula, bagaimana aku berhak menggugat kehendak Allah, sementara nyawaku pun berada di genggaman-Nya, Astaghfirullah ...,” jelas istriku panjang lebar.
“Alhamdulillah, Dinda, bisa memaknai musibah ini dengan sangat dewasa.” Kukecup puncak kepala dari hijab lebarnya.
“Iya, Kanda, lagi pula Murabbiku bilang, apa pun kesudahan perjalanan hidup manusia di dunia, adalah tentang penghambaan seorang makhluk kepada Rabbnya. Keluarga, harta, anak hanyalah alat bagi kita mengejar rida Allah.” Kulihat mata Dena berembun. Tapi berbinar cerah, tanpa beban.
Aku bersyukur dititipi amanah istri salihah seperti Dena, semoga ditepikan jodoh kami hingga ke Jannah kelak, Aamiin.
Tasbih, takbir aku untai, sesaat setelah Dena menunjukkan sebuah benda pipih bergaris dua merah. Alhamdulillah sukur kepada-Mu Rabb. Masih Kau percayai kami, mengemban amanah-Mu. Doaku, ijinkanlah kami menerima titipan calon anak ini, lebih lama. Sebagai bekal bagi kami mengejar Rida dan surga-Mu. Aamiin Yaa Mujibbasailiin. Tidak ada musibah yang tidak sanggup dipikul seorang hamba, melainkan Allah kuatkan punggung dan hatinya mengemban ujian.
Fabbi ayyi alaa irobbika ma tukadzzibaan.
End
AMANAH
Karya : Tsurayya Tanjung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar