RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 20 Mei 2021

Cermin : HIJRAHNYA PENCURI - Pandu Eva


 

HUJAN, membuat suasana malam menjadi sepi. Tak ada satu orang pun berlalu-lalang, hanya terdengar suara beberapa binatang malam. Maklum daerah perkampungan.

Keadaan membuatku mudah beraksi. Rumah Bu Hajah Odah, janda baru empat hari ditinggal suaminya, terlihat lengang. Mungkin beliau, sudah terlelap bersama ketiga putranya. Aku mengendap-endap, seraya berjinjit. Mulai celingukan, berjaga-jaga, khawatir ada yang melihat aksiku. Sebelum beraksi, aku mengenakan lebih dulu seragam tugas. Pakaian serba hitam dengan topeng hitam pula.

Langkah pertama mencongkel pintu berhasil, menyusul dengan berjalan ke arah kamar. Kondisi rumah mendukung sekali aksiku. Hanya ada ruang tamu, satu kamar, dan dapur. Sangat sederhana. Di kamar aku melihat Hajah Odah terlelap bersama ketiga putranya yang masih kecil. Lalu menelusuri lemari, perlahan tanpa menimbulkan suara.

'Di mana dia menyimpan uang selawat dari para warga?'

Lalu mataku menangkap benda bulat yang ditutup dengan serbet. Dengan mengendap aku menghampiri dan membukanya. Ternyata di tempat ini Hajah Odah menyimpan uang selawat. Kondisinya masih di dalam amplop. Tanpa berpikir lama, aku meraup semua amplop tanpa sisa. Ditaruh dalam kantong celana, yang terdapat beberapa di kanan dan kiri. Setelah berhasil, aku pun pergi.

***

   Setelah beberapa kali mengetuk pintu. Marni, istriku membukakan pintu rumah.

"Sudah pulang, Mas?" tanya Marni.

"Iya, cape banget," ujarku seraya memijat tengkuk leher.

Lalu aku mulai merogoh kantong celana, mengeluarkan beberapa lembar uang cukup banyak. Uang selawat yang kucuri. Setelah sebelumnya dikeluarkan semua dari amlop. Di jalan.

"Ini, simpen!"

"Wah. Dapat rezeki ya, Mas? Alhamdulillah ya Allah, uang ini bisa kita pakai buat biaya lahiran," seru Marni bahagia. Diciumnya uang itu berulang kali, seraya mengucap hamdalah.

Istriku memang sedang hamil tiga puluh empat minggu. Sebentar lagi anak pertama kami mengecap dunia luar. Mencuri menjadi pekerjaan sampingan, selain menjadi kuli panggul di pasar. Terkadang aku mencopet juga. Lumayan buat tambahan. Namun, Marni tidak pernah tahu.

Keesokan paginya Marni bercerita.

"Kasian deh, Mas. Bu Hajah Odah rumahnya kemalingan semalam. Semua uang selawat raib. Padahal sengaja dia ga mengadakan pengajian. Karena uang itu buat makan sehari-hari."

"Trus?" tanyaku cuek.

"Iya, kan sekarang ga ada yang cari nafkah," ujar Marni dengan nada prihatin.

"Loh, masa ga punya uang bisa naek haji," celetukku.

"Loh. Mereka naek haji dibayarin keluarga besar Bu Hajah Odah, Mas."

"Ya, kalo gitu, minta makan aja sama keluarganya besok." Aku mengatakan dengan santai, seraya menikmati gorengan yang sedari tadi ada di hadapanku.

Terlihat Marni menghela napas, "Bu Hajah tipe orang ga mau merepotkan orang lain," sambungnya.

***

   Memasuki minggu ke tiga puluh lima usia kehamilan Marni. Tiba-tiba ia mengeluh sakit di bagian perut. Dengan sigap, aku membawanya ke bidan. Ternyata, sudah waktunya Marni melahirkan. Dari luar ruang bersalin, aku mendengar Marni teriak menahan sakit. Tak ketinggalan suara bidan dan asistennya ikut membantu proses melahirkan. Namun, tak berapa lama, suara rintihan dan teriakan Marni sirna. Tangisan bayi pun tak terdengar.

Setelah beberapa menit. Bu Bidan keluar ruangan.

"Maaf, Pak Santo. Ibu Marni dan bayi tidak tertolong. Terlalu banyak pendarahan, dan bayi saat keluar sudah tak bernapas. Di leher sang bayi ada lilitan tali pusat." Bidan menjelaskan detail.

Kakiku mendadak tak bertenaga. Kepala sakit, pandangan mulai buram. Dalam kesedihan dan kesakitan, aku mendengar ceramah seorang ustad, yang sedang didengarkan oleh salah satu perawat. Menggunakan ponsel.

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram maka Neraka lebih pantas baginya.”( HR. Ath-Thabrani).

"Oleh karena itu kaum muslimin, para kepala keluarga, berusahalah memperoleh rezeki yang halal dengan cara yang halal pula."

Penggalan ceramah itu membuat bulu kudukku meremang, ada rasa sedih terpatri di hati. Teringat pekerjaan sampingan yang kujalani. Mencuri dan mencopet.

'Apa kepergian Marni dan anakku, adalah teguran dari-Nya?'

***

   Aku tak dapat membendung cairan bening yang telah memenuhi kelopak mata. Jatuh deras bersamaan helaan napas tak beraturan. Melihat istri dan anakku dimakamkan.

Setelah proses pemakaman selesai, aku melangkah menuju masjid yang berada tak jauh dari tempat pemakaman. Mengambil wudhu, menjalankan sholat tobat, sambil menanti masuk waktu Zhuhur.

Menangis, memohon ampun pada zat yang Maha Pengampun.

Setelah puas mengeluarkan isi hati pada pemilik semesta, aku bergegas pergi. Saat tengah berada di depan masjid, aku melihat Bu Hajah Odah dan ketiga putranya yang masih kecil sedang berjalan, menjajakan kerupuk, menawarkan kepada orang-orang yang berlalu-lalang.

'Maafkan saya, Bu Hajah. InsyaAllah saya janji akan mengganti uang Ibu dengan jalan halal."

_End_



Cermin (Cerita Mini)
Hijrahnya Pencuri
Oleh : Pandu Eva



Tidak ada komentar:

Posting Komentar