MIA baru saja menggantung sepasang baju ke paku belakang pintu kamar ketika suaminya tiba. Kendati ia mendengar sedikit percakapan suami dan anaknya di teras, tapi Mia lebih memilih memandangi sepasang busana itu dengan penuh kebahagiaan. Stelan kebaya berbahan renda merah dengan kain wiron berwarna dasar hitam berbatik merah. Bersanding dengan kemeja pria berlengan panjang dari bahan yang sama dengan wiron dan bercelana panjang hitam.
Pintu terdorong dari luar, munculah sosok lelaki yang dirindukan sejak tadi pagi. Senyum Mia memberi sambutan. Menyadari ada sesuatu yang baru si suami ikut memandang dan sambil melingkarkan lengan ke bahu istrinya. Mereka pun sama-sama memandangi sepasang busana itu.
Sepasang busana khas Nusantara yang dibeli tadi siang di pasar, yah... hanya di pasar kain harganya juga tak seberapa. Namun cukup membuat Mia tak dapat memejamkan mata malam ini. Ibu satu anak itu begitu gelisah. Pikiranya menerawang. Besok, dia dan suami akan menghadiri acara perpisahan di sekolah anak mereka. Sebagaimana undangan yang mereka terima seminggu yang lalu.
Mesin waktu berbingkai biru telah menunjukkan pukul 02:00 dini hari. Mia memilih berdiri memandang keluar jendela. Menatap remang malam yang diselubungi kabut embun. Di antara kebahagiaan karena telah berhasil menghantarkan sang putra tunggal menyelesaikan sekolah SMK Tehnik Komputer dengan nilai prestasi yang lumayan bisa dibanggakan. Ada satu hal yang mengganjal di hatinya. Bila satu hal itu tiba-tiba muncul di pikirannya dia pun gelisah bahkan sedih. Tak sadar air mata menitik dari sudut mata kanan. Dia terkejut dan buru-buru menghapus butiran hangat tadi dari pipi.
Tapi terlambat, suami telah merangkul nya dan berkata " Kenapa menangis? bahagia gak usah pake nangis, lebay deh. Besok kesiangan lho! "
Mia berbalik badan menatap wajah suaminya sekejab lalu menunduk seakan tak kuasa beradu pandang. Lalu mereka terlelap sampai pajar membangunkan.
Setelah melewati kerepotan pagi yang beda dari biasa, mereka bertigapun bersiap berangkat. Bima sang putra tunggal sudah rapi dengan seragam sekolah dan jaket kuning organisasi pelajar kebangganya. Mia dan suami tampak bak sepasang 'rose black' sumringah di pagi yang cerah itu. Ketiganya naik ke kabin. Dengan sedikit usaha tentunya sebab bukan mudah pengguna wiron naik ke kabin truck colt diesel. Walau mereka punya satu motor matic yang masih nyicil tapi truck itu saja yang bisa mereka tumpangi sekali bertiga. Mobil itupun milik perusahaan tempat suami Mia bekerja. Mengangkut tandan tandan sawit dari perkebunan ke pabrik pengolahan. Yah, dia seorang supir truck sawit. Kebetulan hari minggu maka mobil boleh dipinjam dengan izin perusahaan tentunya. Perjalanan sedikit panjang dikarenakan mobil truck tidak boleh melintasi jalur kota maka harus memutar dari pinggiran kota. Setelah memarkirkan mobil di tepi lapangan bola seberang sekolah, merekapun memasuki gerbang sekolah.
Suasana ramai, ornanen dan hiasan di sana sini. Bangku bangku disusun sedemikian rapi berbalut satin dan pita merah. Di panggung tampak lousdpeker besar besar dan beberaoa alat musik. Tak ketinggalan spanduk lebar ucapan selamat kepada para siswa yang telah lulus, tentunya.
Sepasang siswa dan guru berpakaian etnik bertugas menyambut tamu undangan. Setelah membimbing kedua orang tuanya ke tempat duduk Bima pun berbaur dengan teman -temannya. Mereka bersenda gurau saling canda dan tawa. Mia tersenyum melihat keceriaan itu. Tapi... lagi lagi keresahaan itu muncul tiba-tiba. Mia menarik napass panjang demi membenamkan nya kembali ke dasar hati.
Acara terus bergulir. Dari kata sambutan, tari, nyanyi, puisi juga ada atraksi bela diri. Semua sudah disuguhkan dengan begitu apik dan rapi. Hingga tiba saatnya pada acara yang dinanti. Yakni pengumuman siswa siswi terbaik. Baik dari sisi prestasi juga dari sisi ahlak, karakter, tatakrama. Kira kira begitulah yang Mia tangkap dari uraian protokol. Beberapa siswa dan siswi satu persatu naik kepentas dengan wajah berbinar, tepuk tangan mengiringi mereka.
Namun tiba tiba napas Mia seakan terhenti, jantungnya berdebar ketika nama anaknya disebutkan. Dan dari sisi kanan Bima muncul lalu naik ke pentas. Perasaan Mia kian tak menentu perasaanya tegang namun senyumnya tetap terkembang.
"Anakmu, Ma. Selamat ya." bisik suami sambil menggengam jemarinya yang dingin. "Kamu gugup, ya? hmm..."
Mia tak kuasa menjawab hanya tersenyum menatap suaminya lalu memandang kembali ke arah pentas.
"Bapak Ibu sekalian, inilah siswa sekaligus alumni terbaik tahun ini. Kami segenap dewan guru dan atas nama sekolah memilih dan menobatkan predikat ini kepada anak kita Bima, putra dari Bapak Sup...", terhenti, kalimat pembawa acara itu menggantung diselingi suara mikrofon yang storing.
Mia sudah hampir tak bisa menguasai emosinya lagi dia nyaris pingsan.
Kembali terdengar dari pengeras suara " Maaf kami ulangi, anugrah siswa terbaik tahun ini kami berikan kepada Bima putra dari Bapak Atmo dan Ibu Mia".
Semua hadirin berdiri dan bertepuk tangan. Kali ini Mia tak lagi mampu menahan diri, tangisnya pecah. Hingga tak mampu menjawab ucapan selamat dari beberapa orang tua siswa di kanan kirinya. Atmo lah yang menyambut jabat tangan mereka.
Kebahagiaan seorang ibu tiada lain hanyalah keberhasilan Sang anak menjadi anak yang baik apalagi sampai yang terbaik. Segala upaya berbalut nestapa dalam membesarkan, mendidik, menyekolahkan dengan segala cinta kasih yang tulus itu seakan terbayarkan, bahkan lebih. Namun ada satu hal yang tak kalah mengharukan dari itu. Beban keresahan yang sejak kemarin menekan perasaan Mia kini telah pecah laksana kepompong merekah dan menjelma menjadi kupu-kupu yang berterbangan indah, yaitu pengakuan Bima akan Ayahnya yang sekarang. Ayah Atmo_nya. Di hadapan khalayak ramai dia meminta pembawa acara merubah nama ayah kandungnya SUPRI dengan menyebut nama ayah yang selama tiga tahun ini menjadi Ayah, Om dan sekaligus sahabatnya.
"Terimakasih Nak" ucap Mia kepada anaknya.
Meski jarak beberapa meter dari kursi hadirin ke pentas, namun Bima mengangguk seakan ia mendengar suara Ibunya di antara riuh tepuk tangan. Sebuah piala, selembar piagam dan sebuah medali tergantung di lehernya.
Mia berangsur bisa menguasai diri dan kembali duduk. Setelah menyeka sisa airmata di wajahnya. Pandangannya pun fokus kembali ke pentas. Kini di pentas hanya ada Bima memegang mikrofon. Setelah mengucap salam, lalu berterimakasih kepada guru-guru, teman-teman dan semua pihak sekolah. Dia juga meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia perbuat baik sengaja maupun tidak sengaja.
Lalu dengan suara sedikit tersendat dan mata berkaca dia berkata " Terimakasih kepada ibu yang sejak kecil telah bersusahpayah membesarkan saya sendirian, melampaui segala penderitaan tanpa mengeluh, buat saya. Sungguh saya tidak bisa membalas Ibu. Hanya saya berjanji akan menjadi anak yang lebih baik lagi".
Lalu suaranya semakin serak mengiringi kalimat berikutnya, " penghargaan ini pun saya persembahkan kepada sahabat saya Om saya, sekaligus Ayah saya. Bapak Atmo, beliau adalah guru saya di rumah, saya belajar banyak tentang cinta kasih pada sesama dari beliau. Bapak, tetaplah mencintai saya dan Ibu. Saya berjanji akan menjadi kebanggaan kalian."
Lalu air mata Bima tak terbendung. Namun ia berusaha menyembunyikanya dengan berbalik badan dan menyudahi kata sambutan itu.
Setelah acara selesai semua saling bersalaman. Para orang tua siswa dengan guru-guru, dengan sesama orang tua siswa dan dengan para siswa. Lalu mereka bertiga kembali ke mobil truck. Di tepi jalan itu Mia memeluk anaknya penuh keharuan. Sejuta kata tersekat di rongga dadanya.
Setiba di rumah, Atmo langsung masuk ke kamar. Begitu pula dengan Bima, ingin berganti baju katanya. Sedangkan Mia masih duduk di dipan dan memandangi piala anaknya. Beberapa detik kemudian Atmo keluar lagi dan memanggil Bima lalu menuju dipan dimana Mia duduk. Bima datang dengan kaos oblong.
" Bima ini buat kamu." Atmo menyodorkan sebuah kotak kubus berwarna hitam bertuliskan kalimat berbahasa Inggris.
Bima menerima dengan raut penasaran, sejurus kemudian dia bersorak kegirangan. " Horee! bagus banget, ini pasti mahal. Terimakasih Pak."
Matanya berbinar terpana.
Lalu Atmo berdiri merangkul dan menepuk-nepuk bahu anak tirinya, dan berkata lembut " "Cuma jam tangan merek kw, yang bisa bapak belikan buat kamu. Pakailah, semoga benda ini bisa membantumu dalam menghargai waktu, karena salah satu kunci sukses terpenting, adalah menghargai waktu."
"Terimakasih Pak." Bima menyalam dan memeluk ayah tirinya yang untuk pertamakali ia panggil bapak. Lalu mereka bertiga berfoto selfi,ckrek.
Cerpen
BAPAK
Karya : Emmy Metamorfosaa
Kisaran, Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar