RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 20 Mei 2021

Cerpen - DOSA MASA LALU Karya : Airi Cha


 

   SEJAK diumum kan lima belas menit lalu lewat toa Mesjid, satu persatu para tetangga berdatangan untuk melayat almarhumah. Aku duduk di samping jenasah dekat kepalanya. Sedari tadi sebelum sakaratul maut aku telah berada di rumah ini. Kebetulan rumahnya berada di belakang rumahku. Isak tangis sesekali terdengar dari orang-orang yang ditinggalkan. Aku terus membaca doa-doa yang kuhadiahkan buat almarhumah yang merupakan bude ku. Usianya telah menginjak enam puluh tujuh tahun, sudah terbilang sepuh. Tidak seperti ibuku yang meninggal diusia empat puluh tahun, saat itu aku masih umur lima tahun. Ibu adalah adik ipar bude, dan ayah anak paling bungsu. Sesekali disela doa kupandangi wajah bude yang ditutupi selendang tipis. Masih tergambar jelas di mata saat-saat Bude mengembuskan napas terakhir. Begitu sulit dan kesakitan, bahkan bude ketakutan seperti melihat sesuatu yang menyeramkan. Setelah semua keluarga hadir, dan tak ada lagi yang ditunggu, beberapa anggota keluarga bersiap mengangkat tubuh bude untuk dimandikan. Tiga orang anak lelaki Bude beserta Abang ku telah bersiap. Mereka menyelipkan kedua lengan di bawah tubuh bude yang terbujur kaku. Namun ketika akan menyelipkan tangan di bagian kepala bude keanehan terjadi. Rambut bude seakan menyatu dengan bantal. Suasana mendadak tegang, bisik-bisik mulai terjadi di antara para pelayat. Sementara kami para kerabat saling pandang satu dengan lainnya, tidak tahu mau berbuat apa.

"Gunting saja rambutnya," sela seorang kerabat.

"Jangan. Coba dilepaskan pelan-pelan sarung dari bantalnya," sahut seorang tetangga dekat.

Saran itu dilakukan, tetapi rambut bude seakan senyawa dengan bantal dan sarung. Orang-orang mulai berisik, yang berada di luar berusaha masuk untuk melihat yang terjadi. Anak-anak bude mulai terlihat cemas. Belum lagi tanda tanya ini terjawab, Rasti putri bude satu-satunya yang duduk di sampingku mendadak pingsan. Aku segera memangku tubuhnya. Belum hilang rasa terkejut ku atas apa yang terjadi, mendadak Rasti sadar. Matanya liar menatap semua orang. Suaranya menggeram seperti binatang.

"Rasti, ada apa? Istikfar Rasti," kataku coba menenangkan.

Tiba-tiba Rasti mengamuk, beberapa orang sigap memeggangi tubuhnya.

"Lepaskan aku, lepaskan," rontanya dengan suara berat.

"Nyebut Rasti, nyebut," bujuk Bang Indra kakak tertuanya.

"Diam kau," hardik Rasti, dan matanya melotot seakan keluar.

"Cepat panggil Pak Kiayi. Ini sudah tidak wajar," sela seorang pelayat, dan seorang anggota keluarga tergesa menjemput Pak Kiayi yang tinggal di ujung desa.

Aku tak henti berdoa dalam hati, sementara Rasti terus meronta, hingga harus tujuh orang yang memegangi tubuhnya. Sementara jasad bude pun belum di mandikan. Beberapa orang sedang berusaha memotong rambut bude. Namun anehnya gunting seperti tumpul dan tidak mempan. Suara bisik-bisik pun semakin mengusik gendang telinga. Satu persatu dari pelayat mulai menduga-duga dengan opininya masing-masing. Aku hanya bisa berharap Pak Kiayi segera tiba, agar keanehan ini segera terjawab.

"Kasih jalan, kasih jalan," ucap beberapa orang.

Ternyata Pak Kiayi yang datang. Hatiku serasa lega seketika. Pak Kiayi mendekati Rasti, sepupuku itu terlihat tidak senang dan ketakutan. Pak Kiayi langsung bertindak cepat.

"Apa mau kamu?"

Pak Kiayi bertanya sambil menekan jempol kaki Rasti. Terlihat sepupuku meringis menahan sakit.

"Dendam," jawab suara yang keluar dari mulut Rasti.

"Apa yang telah dilakukan cucuku ini terhadap dirimu," tanya Pak Kiayi lagi dengan tenang.

"Bukan dia yang melakukan, tapi orang itu," tunjuk nya pada tubuh bude yang sudah terbujur kaku.

Sontak seluruh pelayat berseru kaget, mereka semakin ingin mendesak masuk dan melihat langsung. Beberapa orang coba menertibkan keadaan.

"Jangan begini caranya. Apa kamu tidak kasihan pada perempuan ini?"

"Untuk apa? Dia juga tidak kasihan padaku waktu itu," jawab suara itu penuh nada kebencian, wajah Rasti berpaling memandang tubuh ibunya.

"Sampaikan lah kepada saya secara pribadi apa yang kau inginkan. Nanti saya akan sampaikan kepada keluarga almarhumah," ucap Pak Kiayi mencegah seseorang di tubuh Rasti mempermalukan keluarga bude.

"Tidak! Aku ingin mengatakannya di sini, agar semua orang tahu," sahutnya dengan nada penuh amarah.

"Jika begitu cepat lah katakan. Kasihan gadis ini," pinta Pak Kiayi dengan santun. Seketika suasana hening. Para pelayat seakan mengunci mulut rapat-rapat dan melebarkan daun telinga, agar apa yang akan disampaikan sesosok di dalam tubuh Rasti dapat mereka dengar dengan jelas.

"Perempuan itu telah menyebabkan aku dan ibuku meninggal dunia," ucapnya sedih. Sontak seluruh pelayat terkejut, dan mulai berbisik-bisik.

"Bagaimana bisa? Kapan?"

Bang Indra bertanya tak percaya.

"Sudah lama sekali, dan gadis itu saksinya," tunjuk nya padaku.

Semua mata tertuju padaku, aku bingung dan tak mengerti apa yang dimaksud olehnya.

"Coba kamu ingat baik-baik, Nak," pinta Pak Kiayi mencoba menenangkan ku.

Aku menarik napas, menyebutkan asmanya berkali-kali untuk memulihkan ingatan. Tiba-tiba kenangan itu seakan melintas kembali di depan mata. Siang itu, Wak Nah mendatangi bude di sawah bersama anak lelakinya yang seusiaku. Sepeninggalan ibu, bude membantu ayah mengasuhku dan saudara lainnya. Wak Nah bertanya baik-baik apa salah anaknya, kenapa bude memukul Lanang, hingga meninggalkan banyak lebam di punggungnya. Ternyata persoalannya, karena tanpa sengaja Lanang menginjak bibit padi yang ditanam bude. Namun entah kenapa bude mendadak seperti kesurupan, lalu memukul dan mendorong tubuh Wak Nah hingga terjatuh dan kepalanya membentur tanah. perempuan berusia empat puluh tahun itu tidak membalas sama sekali. Dia seakan pasrah menerima pukulan Bude. Setelahnya Bude mengajakku pulang tanpa menghiraukan keadaan Wak Nah. Tak ada orang lain yang tahu kejadian itu selain kami berempat. Beberapa hari kemudian Wak Nah dikabarkan meninggal. Bude kelihatan ketakutan, dan sehari setelahnya Lanang juga wafat menyusul ibunya.

"Kamu, Lanang?"

Aku bertanya dengan ragu.

"Iya. Aku Lanang."

Seketika suasana menjadi gaduh. Suara sumbang mulai terdengar mereka-reka kejadian bertahun-tahun lalu tentang kematian Wak Nah.

"Maafkan lah almarhumah, dan kembali lah kamu dengan tenang ke alam sana," pinta Pak Kiayi.

"Tidak. Aku belum puas," jawabnya meronta mencoba membebaskan tubuh Rasti dari pegangan orang-orang.

"Apakah saya harus memaksa kamu?"

Suasana mendadak hening, beberapa orang menjauh, karena takut.

"Pulang lah, jangan ganggu keluarga ini. Mereka tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh orang tuanya," nasehat Pak Kiayi pada Lanang. Lanang menangis sesenggukan.

Kemudian Pak Kiayi meminta Bang Indra beserta adiknya untuk meminta maaf pada Lanang.

"Sekarang kembali lah ke alammu," pinta Pak Kiayi setelah Lanang memafkan kesalahan Bude.

Seketika tubuh Rasti lemah dan terkulai, tidak lama setelahnya ia sadar. Seseorang segera menyodorkan segelas air putih dan langsung dibacakan doa olah Pak Kiayi. Perhatian kami kembali pada jasad Bude yang belum dimandikan. Namun anehnya rambut dan kepala Bude masih tetap menempel erat pada bantal. Kami semua saling berpandangan satu dengan lainnya. Pak Kiayi memejamkan mata, membaca doa dan seakan berbicara dengan seseorang. Tidak lama setelahnya Pak Kiayi membuka mata dan melihat kepadaku.

"Apa yang terjadi, Nak?"

Aku bingung dengan pertanyaan Pak Kiayi. Semua mata mendadak tertuju dan menghakimi ku dengan keinginantahuan.

"Saya tidak mengerti apa yang Bapak maksud," jawabku.

"Apa yang dilakukan almarhumah pada mendiang Ibumu?"

Seketika ingatan ku kembali ke masa lalu. Waktu itu sore hari, Ibu mengajakku untuk mencari beberapa ekor bebeknya yang belum pulang. Ibu sangat sayang pada peliharaannya. Dua orang tetangga mengatakan mereka melihat Bude beberapa saat sebelumnya membawa beberapa ekor bebek. Lalu ibu mengajakku menemui bude di sawah, dengan harapan hewan itu ada di sana bersama bude.

"Ada apa kamu ke sini, Mar?"

Bude seakan tidak senang atas kedatangan kami.

"Aku mencari bebek, Kak. Apa Kakak ada lihat?"

"Aku gak urus dengan bebekmu. Macam gak ada kerjaan saja," sahut Bude ketus.

"Mereka bilang tadi siang lihat Kakak membawa beberapa ekor bebek," ucap ibu hati-hati.

"Kau menuduh ku mencuri, Mar?"

Bude bangkit dari duduk dan berkacak pinggang.

"Tidak begitu maksudku, Kak," sela ibu sedikit khawatir.

"Halah! Bilang saja begitu," teriak Bude sambil mendorong tubuh ibu. Seketika ibu terjatuh, dan Bude langsung menjambak rambut ibu yang panjang tanpa ampun. Aku hanya menangis memohon pada Bude untuk melepaskan cengkraman tangannya dari rambut ibu. Namun apa lah daya, aku hanya seorang bocah. Iba pada ibu yang tidak melakukan perlawana, pun ibu adalah seorang yang pendiam juga lemah lembut. Untung ada dua orang yang melintas hendak pulang. Mereka lalu memisahkan perkelahian yang tak seimbang itu. Kulihat ibu menahan sakit. Di genggaman tangan bude terlihat banyak helaian rambut ibu. Mungkin sangkin kerasnya bude menjambak, rambut ibu jadi tercabut dari kulit kepala. Ibu lalu mengajakku pulang, dan berpesan jangan bercerita tentang hal ini kepada siapa pun termasuk kepada ayah. Aku sedih melihat keadaan ibu, waktu itu dalam benak ku yang masih bocah, berjanji tidak akan memaafkan bude. Namun sesudahnya aku tidak pernah mengingat tentang niat tersebut. Setelah kejadian itu, ibu sering mengalami sakit kepala. Terkadang hidungnya mengeluarkan darah. Namun ibu tidak pernah mengeluh. Sebulan setelahnya ibu meninggal dunia, tanpa ada yang tahu penyebab sesungguhnya. Air mataku membasah di pipi mengingat kembali kenangan itu.

"Apakah kamu belum memafkan Bude kamu, Nak?"

Aku menangis mendengar pertanyaan Pak Kiayi. Sama sekali aku tidak pernah menyimpan dendam atas peristiwa lampau. Namun harus kuakui, hingga saat ini mimpi buruk tentang kejadian itu kerap menganggu tidur.

"Apa yang dilakukan Ibu pada Bibi, Dara?"

Bang Indra bertanya sangat hati-hati. Aku menggeleng, tak ingin menceritakan apa yang dahulu terjadi. Sebab aku telah berjanji pada almarhumah ibu.

"Katakan lah, Dara. Maafkan lah Ibu kami," pinta Bang Indara mewakili Bude dan adik-adiknya.

"Aku sudah memafkan Bude, Bang. Biar lah yang lalu jangan diungkit lagi," kataku dengan teramat sangat. Bang Indra juga memohon pada seluruh saudaraku, agar memaafkan apa yang telah diperbuat ibunya. Kami semua mengihklaskan apa yang telah terjadi.

"Alhamdulillah," ucap para pelayat.

"Sekarang angkat mayatnya, dan segera mandikan," pinta Pak Kiayi kepada kami.

Lalu Bang Indra beserta adik-adiknya mengangkat tubuh mayit. Seluruh yang hadir di sana seakan menahan napas waktu melihat rambut bude tidak lagi menempel pada bantal. Setelah selesai dimandikan, proses pengafanan dilakukan. Dilanjutkan dengan penguburan jenasah. Aku ikut mengantar bude ke tempat peristirahatan terakhir. Terlihat lubang kubur bude dipenuhi akar-akar pohon. Pada hal sekitar liang jauh dari pepohonan. Sementara langit di atas kepala kami seperti mau runtuh, awan menggumpal hitam. Pemakaman pun dilakukan dengan cepat. Satu persatu pelayat pulang dengan tergesa, takut keburu hujan turun. Aku meminta waktu sejenak ketika Bang Indra dan lainnya mengajak pulang. Kupanjatkan doa untuk bude, agar Tuhan mengampuni segala kesalahannya baik kepada Wak Nah dan Lanang, juga kepada ibuku serta orang-orang yang pernah disakiti semasa almarhumah hidup. Biar bagaimana pun, bude sudah seperti ibu bagiku dan abang-abang.

"Maafkan Bude, Dara."

Aku tersentak mendengar suara berbisik di telinga.

"Aku sudah memaafkan, Bude. Tenanglah di sana," sahutku sambil beranjak.

Langkahku belum jauh, saat merasakan bumi tempat berpijak bergerak seperti gempa. Lalu suara Bude terdengar nyaring di telinga.

"Tolong Bude, Dara! Ampuuun!"

------------------------TAMMAT-------------------------


#Cerpen
DOSA MASA LALU
Karya : Airi Cha
Pengojek Hati
2056.290421










Tidak ada komentar:

Posting Komentar