RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 20 Mei 2021

Cerpen : SENYUMMU BAHAGIA KAMI - Nengicha



   SENJA hampir tenggelam dalam kelam. Jingga mega hiasi cakrawala sebentar lagi akan sirna, ditelan gelapnya malam. Cukup lama aku menunggu mas Yoga, dan akhirnya sampai juga dia di tempat yang dia janjikan, di taman kompleks yang tidak jauh dari rumah.

"Kok terlambat sih, katanya jam 6 petang?" tanyaku.

"Iya, ada sesuatu di rumah, yuk langsung" dia pun menjawab sembari menggandeng tanganku menuju motornya.

Kita langsung melaju ke tempat biasa kita nongkrong, di sebuah cafe yang letaknya tak jauh dari komplek perumahan tempatku tinggal.

"Dinda makan apa?" Tanyanya.

"Nasi goreng aja sama teh hangat" jawabku.

Selama perjalanan tadi perutku terasa mual, sepertinya masuk angin.

"Dinda" adalah panggilan mas Yoga ke aku.

Malam itu kita makan sambari melepas rindu, dengan bercanda tawa dan ngobrol apa saja yang ada. Sungguh, hati teramat merindukan saat-saat seperti itu.

Cukup lama kita tidak jalan bareng. Maklum, hubungan kita agak rumit. Belum ada restu dari Ayahku. Ayahku adalah orang tuaku satu-satunya, karena Ibu meninggal tiga tahun yang lalu karena sakit. Dan saat ini pun Ayahku sedang sakit. Jadi aku tidak bisa meninggalkannya lama-lama. Ayahku tidak suka sama mas Yoga, dan aku sendiri tidak tahu alasannya.

Meski udara malam terlalu dingin terasa. Namun betapa bahagianya saat itu kurasa. Kerinduan yang lama tak tersampaikan, kini tercurah sudah, cukup dalam seduhan canda tawa riang bersama dengan satu rindu. Bersama dia sang pujaan hatiku. Tawa lepas semburat bersahutan.

Hampir tiga jam, namun waktu tak terasa telah melaju dengan cepatnya.

"Risty!" dari kejauhan terdengar suara Nina memanggil aku.

Aku melambai untuk mengajaknya bergabung di meja kita.

"Hi, berdua saja?" tanya Nina.

"Iya, seperti yang kamu lihat" jawabku.

Nina adalah karibku. Dia tempat aku mencurah segala rasa dalam jiwa.

Tangis dan tawa sering aku curah kepadanya.

"Nina mau makan apa?" tanya mas Yoga.

"Gak usah aku udah makan, minum aja jus apel"

"Bentar tak pesenin dulu" sahut mas Yoga.

"Ris, apa kabar kamu dan Yoga?" tanya Nina.

"Kalau hubungan kita, baik baik aja. Tapi Ayahku yang masih... Begitu lah" jawabku.

"Kamu udah coba deketin, kenapa sebab Ayah kamu gk bisa nerima?" tanya Nina lagi.

"Belum sih, mungkin besok aku akan usaha"

"Iya, kamu sendiri yang harus bisa yakinin Ayah kamu" ungkap Nina.

"Jus apelnya Nin" mas Yoga datang dengan segelas jus apel di tangannya.

"Lho, kamu tunguin?"

"Kenapa gak dianter pelayan aja? Tanya Nina sama mas Yoga.

"Iya, gak apa-apa, biar cepet aja, cafenya lagi rame soalnya" jawab mas Yoga.

Setelah beberapa saat kita ngobrol bertiga, akhirnya mas Yoga ngajak kita pulang.

"Pulang yuk, ntar Dinda dicari Ayah lho" ungkap mas Yoga padaku.

"Iya deh, pulang yuk Nin !"

"Hayuk, aku juga tadi mau pulang, tapi ngeliat kalian di sini jadi pingin mampir" jawab Nina.

Kita bergegas pulang, Nina pulang dengan motornya sendiri. Dan aku tetap bersama mas Yoga. Seperti biasa, aku dianter hanya sampai gang komplek perumahan. Karena kita gak mau ada masalah yang berlanjut karena Ayah melihat kita bersama.

**

   Betapa cerah pagi itu. Hangat mentari mampu hangatkan ragaku yang sedang pilu saat itu. Seperti biasa Ayah berjemur di belakang rumah. Menghangatkan badannya, sambil menikmati secangkir teh panas yang belum lagi aku buatkan. Dahulu Ayah suka kopi, tapi semenjak lambungnya bermasalah, Ayah menjauhi minuman hitam tersebut.

"Ayah, teh panas dan semangkuk bubur dah sampai" sapaku dengan senyum ceria.

"Buburnya nanti saja, tehnya saja bawa sini" sambung Ayah.

"Buburnya sekarang juga Yah, biar Risty suapin"

"Baiklah, kamu gak ada kuliah?" tanya Ayah.

"Enggak Yah, maka dari itu jadwal Risty seharian ini hanya menemani Ayah" sembari kulepas senyum untuk ayah. Dan Ayah pun tersenyum membalasku.

Setelah semangkuk bubur dan secangkir teh panas ternikmati, aku memulai percakapan.

"Yah, Risty boleh tanya?"

"Tanya apa? Sepertinya serius?" Balas Ayah.

"Eeemm, tentang mas Yoga, kenapa Ayah tidak suka sama mas Yoga? Alasannya apa Yah?" tanyaku.

"Emang Ayah pernah bilang gak suka sama Yoga?" Sambung tanya Ayah.

"Terus kenapa Ayah nolak lamaran dia? Bahkan melarang aku deket sama dia? Sahutku.

"Risty, kamu adalah anak semata wayang Ayah, Ayah ingin kamu bahagia, Ayah ingin kamu hidup berkecukupan, dan lebih baik lagi dari sekarang" ungkap Ayah.

"Maksud Ayah?" tanyaku.

"Tempo hari pak Bowo sempet melamar kamu untuk anaknya yang jadi pengusaha di Riau, tapi belum Ayah terima, dan sekarang Ayah berniat mau menerima lamaran itu" jawab Ayah.

"Ayah!, tidakkah Ayah sayang sama Risty?" tanyaku.

"Justru Ayah sayang Risty, Ayah ingin Risty hidup berkecukupan" sahut Ayah.

"Terus Ayah gak mikirin perasaan Risty?" sambungku.

"Masalah perasaan, dijalani dulu, pasti perasaan itu akan muncul dengan sendirinya" jawab Ayah.

"Ayah!" sahutku dengan nada agak tinggi, dan air mata yang tak kuasa lagi aku bendung.

Aku pergi meninggalkan Ayah dengan mengemas alat-alat makan Ayah menuju dapur. Dengan derai air mata yang tidak tertahan, aku masuk kamarku.

Pagi cerahku kini meredup. Dengan tirai sendu yang teramat kalut. Hati teramat gundah, pun pikiran yang teramat buncah. Air mata yang tiada deras lagi, namun masih saja berjatuhan dengan sendiri. Setelah beberapa jam aku ada di dalam kamar. Mungkin Ayah telah selesai berjemur.

"Risty ...!" terdengar suara Ayah dari luar.

Aku bergegas keluar sembari bersihkan air mataku. Dan aku jumpai Ayah duduk di kursi meja makan, tepat di depan kamarku.

"Iya Ayah"

Ayah memegang tanganku saat aku telah dekat dengannya.

"Kamu menangis?, kenapa kamu menangis?" Tanya Ayah.

"Nggak apa-apa Ayah" jawabku.

"Kalau kamu gak suka, kamu bilang, dan Ayah akan menolak lamaran pak Bowo, bukan apa-apa yang Ayah inginkan, cuma kebahagiaanmu saja. Seorang anak Ayah semata wayang, yang amat Ayah sayang" ungkap Ayah yang tidak sanggup aku mendengarnya. Tidak kuasa air mata kembali bercucur, aku memeluk Ayah dengan sangat erat. Seorang Ayahku yang amat aku cintai, yang bertubuh lemah karena telah sakit-sakitan.

"Risty sangat sayang Ayah, dan Risty gak akan nolak apapun perintah Ayah, apa pun akan Risty lakukan untuk membahagiakan Ayah" ungkapku dengan derai air mata yang tak tertahan.

"Dan Ayah cuma ingin melihatmu bahagia, bukan yang lain" jawab Ayah.

"Yah sudah, nanti malam suruh Yoga temui Ayah" ungkap Ayah sambil melepasku yang sedang dalam pelukannya.

Air mata ini masih terus saja mengalir, rasa haru, rasa bahagia, dan rasa sayang pada Ayah teramat hebat, yang membuat air mata ini tidak bisa aku hentikan.

**

   Senja itu memancarkan jingganya dengan penuh keindahan. Mewarnai wajah langit dengan penuh keceriaan. Tiada dapat terlukis sebuah kebahagiaan yang sedang Tuhan anugerahkan kepadaku. Sore itu aku telpon mas Yoga, dan aku menceritakan semua kejadian tadi siang. Betapa bahagia mas Yoga saat itu. Terdengar pada setiap kata-kata yang dia ungkap dalam telpon. Baru saja aku pulang dari mushollah untuk menunaikan sholat maghrib, dan meletakkan mukenah di kamar, terdengar suara motor mas Yoga berhenti di luar. Betapa bahagiaku tidak bisa dilukis dengan kata saat itu.

"Assalamualaikum" terdengar suara mas Yoga.

"Waalaikum salam" jawabku sembari bukakan pintu dengan rasa bahagia yang tak terkira.

"Masuk mas, Ayah masih di mushollah" sambutku.

Dan aku kebelakang untuk membikin teh.

Tidak lama kemudian Ayah pulang dari mushollah.

"Assalamualaikum" terdengar dari dapur suara Ayah yang baru pulang.

"Waalaikum salam Ayah" jawab mas Yoga sembari menyambut dengan uluran tangan, yang hendak cium tangan Ayah. Dan mereka duduk di sofa dengan posisi berhadapan.

Dan Ayah pun memulai percakapan.

"Kamu sudah lama?" tanya Ayah.

"Tidak Ayah, baru saja sampai" jawab mas Yoga.

"Kamu sayang sama Risty?" tanya Ayah

"Sangat Yah, aku sangat mencintai Risty" jawab mas Yoga.

"Ayah akan merestui kalian, tapi dengan satu syarat" sambung Ayah.

"Syarat apa Yah?" tanya mas Yoga.

"Kamu harus berjanji untuk bisa bahagiakan Risty, entah dengan cara apapun itu" ungkap Ayah.

"Iya Yah, aku janji" sambung mas Yoga dengan binar mata penuh kebahagiaan.

"Ayah sangat sayang Risty, dan keinginan Ayah, hanyalah melihat Risty bahagia" ungkap Ayah.

"Iya Yah, aku janji akan bahagiakan Risty" jawab mas Yoga kembali.

"Ya sudah, minggu depan ajak orang tuamu ke sini, untuk melamar Risty" lanjut Ayah.

"Iya Yah, siap." jawab mas Yoga dengan senyum paling bahagia.

"Ya sudah, Ayah ke kamar, jangan malam-malam pulangnya, satu jam saja, terus pulang" perintah Ayah sambil beranjak dari tempat duduknya.

Malam itu sebuah kebahagiaan yang tak terhingga untuk kita berdua. Dan malam itu sebuah kebahagiaanku telah dimulai. Kebahagiaan yang nyata. Bersama mas Yoga dan Ayah. Dua orang yang teramat aku cinta. Dan semoga kebahagiaan ini akan abadi hingga akhir nanti.

*****TAMAT*****


Cerpen :
SENYUMMU BAHAGIA KAMI
#Nengicha
MK. Juli 2019




Tidak ada komentar:

Posting Komentar