MALAM itu, cukup sendu bagiku yang berjalan kaku bagai beku telapak kaki dan jemariku. Aku hanya bisa bercerita dengan sayup bayu yang cuek menembus tulangku. Kuceritakan juga pada ringkikan suara jangkrik tentang derita rasa yang kupunya. Ada rasa lama yang terkubur reruntuhan trauma, aku merasa puing-puing cerita lalu masih menderaku, telah banyak kuhabiskan waktu meratap dalam gelap dan menangis sendiri di sudut sunyi.
"Aku bingung kala itu, harus berbuat apa aku sekarang dan nanti, aku juga punya masa depan yang harus kulukis dengan indah di atas kanvas kehidupanku.” rintihku pada daun yang bergelayut di ranting kecil batang pohon tempat aku bersandar malam itu.
Kupalingkan pandangan mataku pada bayangan sendiri, kulihat ia hanya diam membisu.
“Bisanya cuma meniru aku saja, apa dia sesakit aku?” itu pikirku.
''Mengapa kau harus jadi bayanganku yang derita ini?” tanyaku bersalah.
Aku yang tak mampu membuat senang ia.
“Mengapa kau tak jadi bayangan orang lain saja yang lebih bahagia?” tanyaku masih.
“Pergilah! carilah bahagiamu.'' suruhku. Namun tetap ia diam dan hanya bisa meniruku.
“Ya, ia yang setia, senantiasa ada saat apa pun aku ditimpa.''
Sesekali kuseka titik air di pelupuk mataku yang tanpa sadar perlahan membasahi pipi. Kualihkan pandanganku pada langit malam itu, temaram dengan sinar bulan yang buram.
“Di mana bintang?” pikirku. “Mengapa biarkan bulan sendiri?”
"Hahaha, aku masih beruntung dari bulan itu, masih ada bayanganku yang menemani walau ia bisu, mengapa begitu seperti tertata sepi?!"
Lazuardi pun terlihat sayu sedang mega ikut muram dalam balutan malam. Sesekali kulihat kelelawar terbang tanpa arah menyambar kekosongan.
''Apa seperti itu aku?” pikirku.
Aku yang tanpa arah, hanya beradu pada ruang semu.
“Aku ingin kejelasan hidupku!” teriakku dalam diam.
"Batinku penuh tanda tanya, inginku berontak. Tapi pada apa?! Di mana harus kutemukan jawaban resahku? Aku lelah.”
Tersandar aku masih di rindang pohon itu, kupejamkan mata. Sesaat saja, kembali terlintas di benakku masa silam yang suram yang dahulu kutapaki. Bagai mesin waktu yang membawaku ke dimensi masa itu.
Sontak saja aku tersentak dan kembali menyesal. Tanpa sadar pandanganku seperti kosong, hanya memandang titik tanpa wujud.
“Bagaimana masa depanku kelak?” gumamku takut.
“Aku hanya ingin hidup bahagia dan lebih baik." melasku pada alam dan segala komponennya.
Kuraih dahan yang lebih besar dan kuat, kuajak tubuhku berdiri tegak.
Langkah gontaiku menapaki jalan malam itu. Seperti tubuhku tanpa tulang lemah tanpa semangat, tertunduk pandangan menyapu jalan. Gemercik ilalang menari tertiup angin, berbisik satu sama lain.
“Mungkin saja lalang-lalang itu sedang menceritakan aku,” pikirku.
“Tapi, biarlah. Aku mencoba mendamaikan hati yang kian kalut."
Perlahan, kutelusuri malam. Sesekali kerikil kecil mengusik telapak kakiku yang tak beralas. Aku lupa di mana sendalku, aku lupa memikirkannya.
Bagai terselubung mega hitam gelap merayap dalam jiwaku.
"Apa harus terhenti saja napas ini?” rintihku lirih pada nasib sendiri.
“Lalu, agar bisa kugali pusara sendiri, agar hilang biar lenyap. Apa masih ada yang membutuhkanku?!” tanyaku mulai ngawur dalam genting asa.
Bergejolak jiwaku malam itu, bergulat segala tanya dan pemikiran. Tak lagi waras nalarku mengartikan embun di tepi daun.
“Aku ini apa dan harus bagaimana?!” isakku peluh.
Tercurah air mata dari kelopak sayunya, tak mampu kutahan sedihku.
"Apa harus menunggu air mata ini menjadi merah, agar takdir mengerti!” jerit mengalir dalam rintik air mataku.
“Sudah, sudahlah. Aku sudah tidak kuat memelas dalam bayang buram." Adakah jawaban indah dari semua tanyaku?
"Oh, Tuhan. Adakah akhir yang sederhana bahagia dari cerita deritaku?''
Aku lelah dengan semua dera derita, aku rindu bahagia. Entah sudah berapa lama aku tak tertawa. Bahkan, tersenyum pun aku hampir lupa, hingga menatap cermin aku tak bernyali, aku hampir lupa wajah sendiri. Meronta dalam kata-kata. Air mata patah di pipiku, derainya tumpah tanpa arah. Dunia seakan basah oleh air mata resah.
“Bahagia itu apa? Bahagia itu di mana?” tanyaku lirih.
Aku rindu bahagia, sungguh.
Langkahku mulai menjauh, semakin jauh.
Namun, tak terasa kian dekat aku dengan gubuk tua di antara pohon-pohon kecil di sampingnya. Gubuk reot yang kurindu, gubuk tempatku bernaung kala aku lelah berperas peluh bertarung dengan terik mentari saat aku bekerja dulu.
Ini, gubuk mewah istanaku. Tempat aku berlindung dari dingin malam terik siang. Ini gubuk mewah istanaku tempat aku melepas segala penat. Gubuk yang masih sama persis ketika terakhir kali kulihat dan kutinggalkan waktu itu.
“Ya, ini rumahku. Istana kecilku.” Tepat berdiri aku di depan pintunya.
Kembali rasa galau menyelimuti organ penting jasadku, pikiranku hilir mudik. Segera kubalikkan badanku membelakangi gubuk itu. Kembali kulangkahkan kaki berjalan menjauh pergi. Namun langkah terhenti.
Kupandang jauh diujung penglihatanku. Entah apa yang kulihat, kosong. Lamunan kembali merayap dalam kepalaku.
Seperti ada suara decit pintu yang terbuka. sebentar namun terdengar sangat jelas. Kemudian, samar-samar kudengar suara sedikit parau dari belakang, merintih memanggil namaku. Semakin lama, semakin terdengar jelas ngiangnya menabuh gendang telingaku. Berbagai rasa menyelimuti jiwaku.
“Suara ini, aku kenal betul suara ini." yakinku.
"Perlahan kutoleh kebelakang, ke arah pintu. Kulihat samar bayangan wujud sosok yang berjalan mendekatiku. Semakin lama, semakin dekat. Berbagai rasa menimpaku, lalu aku dikejutkan dengan sinar bulan yang tiba-tiba saja beranjak terang. Kusempatkan menoleh ke Lazuardi yang sedari tadi menatapku dalam bisu. Kulihat rembulan pun semakin terang menantang, mega seperti mengerti dan pergi tak ingin tutupi anggunnya. Terkagum aku, ditambah bintang yang muncul ke permukaan langit.
Lazuardi tersenyum, begitu indah malam ini."
"Kutoleh kembali sosok itu yang berjalan semakin dekat denganku dan kini sudah sehasta di depanku. Betapa aku tersentak, sudut-sudut mataku basah. Wajahnya itu tersiram cahaya rembulan. Terenyuh hatiku melihat wajah biasa penuh rindu, penuh cinta. Ia tersenyum menatapku penuh cinta. Dengan bibir kelunya ia menyebut namaku, terbata beradu air mata di sisi bibirnya.
Wajah sederhana yang amat sangat aku rindu. Bergetar jiwaku, bibirku beku tak mampu berkata."
Ia Ibuku.
“Kau sudah pulang anakku, Ibu sangat merindukanmu, entah sudah berapa lama kau pergi?” rintihnya dalam rindu.
Ku jawab dengan pelukan erat pada tubuh tua itu, menangis aku di pundaknya, tak bisa aku berkata apa-apa.
"Aku selalu menunggumu anakku, aku selalu ada untukmu.” Ibu menenangkanku yang selama aku di jeruji akibat dosaku.
Terjawab resahku, aku lalai ketika cerca dunia menderaku. Ketika buah kesalahan menghukumku.
“Lama kutinggalkan Ibu sendiri.” isakku masih dalam pelukannya.
"Maafkan aku Ibu, maafkan anakmu ini. Hukuman alam menyadarkanku dengan penuh cinta kau raih tanganku. Kini tiada bimbang hatiku."
Belaian lembut di kepalaku, benar-benar menenangkanku seperti masa kecilku dulu yang bermanja pada Ibu.
“Ayo, kita masuk, Nak!” ajak Ibuku.
“Kau pasti sudah lapar, Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Selalu Ibu masak itu karena Ibu selalu menunggumu pulang nak.” jelas Ibuku.
Menangis aku membayangkan betapa rindunya Ibu padaku. Kulihat senyum bahagia penuh cinta di raut wajah keriputnya. Engkau ibuku, malaikatku yang tak tergantikan oleh apa pun. Dengan tulus cintamu masih kau raih aku yang pernah durhaka padamu.
Maafkan aku Ibu, maafkan aku.
Terima kasih Bundaku, kau balut pelangimu.
Prosa
TANGISAN PELANGI
Karya: Mahyaruddin
Belawan, Medan Sumut. 19/5/21
#pondokteduh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar