RUANG PEKERJA SENI ADALAH GROUP DI JEJARING SOSIAL FACEBOOK, BERTUJUAN…MENGEPAKKAN SAYAP – SAYAP PERSAHABATAN…MELAHIRKAN KEPEDULIAN ANTAR SESAMA…MEMBANGUN SILATURAHMI/TALI ASIH…SAHABAT LEBIH INDAH DARIPADA MIMPI.

Kamis, 20 Mei 2021

Cerpen – RETAK Karya : Tsurayya Tanjung




   "HUUU ...." Suara gemuruh para mahasiswa dan mahasiswi, riuh menyoraki Sari, di sekeliling lapangan basket outdoor kampus ini.

Pada ujung lorong bangunan kelas, seberang lapangan tempatku berdiri kini. Bisa terlihat jelas, bahwa Sari tengah dipermalukan secara terbuka oleh Heru. Heru menghempaskan kado ulang tahun yang Sari berikan padanya. Berupa bola basket, ke sebuah tong sampah yang tak jauh, letaknya dari pinggiran bangku lapangan. Aku tahu Sari takkan memberi hadiah barang murahan. Tentu itu bola basket dengan merk branded. Sebagai anak dari keluarga berada, dia mampu.

"Sari, mengapa kau sampai senekat ini, menunjukkan perasaanmu," gumamku. Menyesali kejadian memalukan yang baru saja kusaksikan dengan kedua mata ini. Yang juga dilihat oleh banyak pasang netra di sekitar kami.

Heru, mengapa dia tak punya hati. Sampai setega itu menunjukkan penolakannya pada Sari. Lalu seringai senyum jahat kemenangan Heru ditujukan ke arahku. Ya, kepadaku. Tak lama ekor mata Sari mengikuti arah pandang Heru ke arahku. Membuat sorot luka di manik mata Sari semakin kentara. Entahlah, hanya saja aku takut dia mengira aku yang meminta Heru mempermalukannya. Lalu hubungan kami akan semakin buruk.

"Kenapa?" tanyaku pada Heru.

"Apanya yang kenapa sih, Cantik." Seringai senyumnya semakin membuatku sebal saja.

"Kenapa kamu mempermalukan Sari, Her ... nggak harus kamu tolak dia dengan cara begitu kan? Gak musti kamu permalukan dia di lapangan tadi. Semua orang jadi tahu."

"Biar saja semua orang tahu, siapa itu Sari. Semua orang tahu kalau dia sahabatmu sejak dari SMU dulu. Juga semua orang pun tahu kalau aku adalah kekasihmu. Biar banyak orang menilai, sahabatmu itu tipikal seperti apa," jelas Heru.

"Jujur aku puas lihat si Sari nangis. Aku gak suka sama cara dia mengkhianati kamu, dengan berani menggoda aku. Aku, Heru Dewanto, kekasih Naina Larasati," ucap Heru lagi.

Heru mencoba mengemukakan pendapat dan isi hatinya. Tapi aku tidak setuju dengan caranya. Aku tidak suka Sari dipermalukan. Hubungan kami memang merenggang saat ini. Tapi jauh di lubuk hatiku. Masih menempatkan Sari sebagai teman terbaikku. Persahabatan yang terjalin selama lima tahun ke belakang ini. Terlalu berharga untuk hancur begitu saja.

"Lagian si Sari tuh, gila ya gak tahu malu, jelas-jelas kita pacaran. Masa blak-blakan ngedeketin aku. Aduh ngeri lah ama cewek model begitu."

"Kamu juga, Nay, cowoknya memperlihatkan kesetiaan malah dicecer. Kamu nggak lagi pening atau demam kan? Atau lagi PMS ya?" tanya Heru sambil menempelkan telapak tangannya di keningku. Manis sekali.

Jujur saja yang dilakukan Heru juga tidak serta merta salah. Jika kejadian pagi tadi, bukan Sari yang blak-blakan menunjukkan perhatiannya pada kekasihku. Mungkin sudah kudatangi Heru saat itu juga. Memberinya pelukan manis, agar siapa pun yang mencoba menarik perhatiannya, tahu diri bahwa Heru adalah milikku.

"Haah, sudahlah yuk, Nay aku antar pulang udah nggak ada kuliah lagi kan hari ini?" Heru menarik lenganku mengajak beranjak dari bangku taman kampus.

Sementara hati ini masih saja tertuju pada Sari, dia pasti merasa sangat dipermalukan. Ah, masih saja mempedulikannya. Meski dia dengan sengaja membuat jarak, sengaja membuat retak persahabatan diantara kami.

***

   Deru ban motor Heru, hembus semilir angin menerpa kulit wajahku. Angan menerbangkan pikiran ke kejadian dua minggu lalu. Masa paling gelap sepanjang persahabatanku dengan Sari dan Susan. Kami tiga sekawan sejak di bangku putih abu. Kala itu Sari tiba-tiba sudah menungguku di teras rumah. Dengan wajah kusut masai. Raut manisnya membias pias. Sempat terpikir kalau di memang sedang punya masalah. Tapi tak pernah kukira, jika masalah yang merundungnya, persoalan hati. Ini pun menjadi titik nadir bagi hubungan kami.

"Nay, boleh Sari minta waktu sebentar."

"Apaan sih, kaya orang asing aja. Lagian kok nunggu di sini sih. Biasanya juga capcus ke kamar aku, mainin laptop. Eh, Susan mana?"

"Susan masih di kampus, dia masih ada jam sampai jam empat sore katanya," jawab Sari.

"Ouh oke, yuk masuk ke kamar, sekalian deh kamu mandi gih, kusut amat sih tu muka. Asem. Hehehe."

"Nay, Sa-Sari, cuma mau nyerahin ini." Sari mengulurkan sepucuk surat padaku.

"Apaan sih, Sar, ada masalah?"

"Ntar, juga, Nay bakal ngerti semuanya. Sari pamit ya Nay." Tiba-tiba Sari memelukku, erat, mengelus punggungku.

Seketika aku mengendus ada yang tidak beres. "Maafin aku, Nayna Larasati. Kamu sahabat terbaikku. Gadis populer yang bersedia merangkul seorang Sar, Si gadis cupu."

Sari melerai pelukannya. Ada bening kaca di kedua netra cokelatnya. Kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan aku kebingungan di teras rumah. Menatap punggungnya hilang, bergeming sambil menatap sepucuk surat.

Dear, Nayna Cantik

Nay, sebelumnya aku mau minta maaf, karena setelah membaca surat ini. Kau akan kecewa bahkan membenciku barangkali. Tapi aku sudah tak mampu lagi menanggung beban hati. Rasanya capek, lelah.

Nay, jujur saja, jika Sari selama ini memendam rasa sama Heru. Maaf, aku tahu dia pacarmu, Nay, tapi Sari gak sanggup lagi menyimpan rahasia hati ini. Sari sudah suka sama Heru, jauh sebelum kamu dan dia jadian dua tahun yang lalu. Aku kira, aku akan sanggup membendung rasa. Tapi nyatanya rasa ini semakin besar dan menyiksa. Nay, aku cinta sama Heru. Kekasih sahabatku sendiri. Maaf Nay, maaf.
Kau boleh benci aku Nay. Aku sadar setelah ini hubugan kita tak akan pernah lagi sama sebagai sahabat. Tapi sebagai sahabatmu, untuk terakhirnya aku minta satu hal padamu. Mulai sekarang Sari akan menunjukkan rasa pada Heru secara terbuka. Aku akan mendekati dia, maaf beribu kali maaf. Tapi bukankah Sari juga berhak bahagia, Nay? Aku berhak mengejar kebahagiaanku sendiri, bukan?
Maafin Sari .

Sari, ya Tuhan, mengapa begini. Aku kecewa, sedih, marah dan rindu pada sahabatku itu bersamaan. Isi suratnya sama sekali diluar dugaan. Aku kira dia kembali bermasalah dengan ayah atau ibunya. Tapi ternyata. Sakit. Rasanya lebih tersayat, bahkan dibandingkan saat Heru mengkhianati hubungan kami setahun lalu. Hingga akhirnya kita sempat mengalami fase putus nyambung. Sungguh ini rasa kehilangan yang lebih besar. Rasa kesepian mendera kalbu. Ada rasa aneh menjalar begitu saja. Seolah menghantarkan ragaku pada suatu dimensi berbeda. Dimana aku bisa melihat slide potongan kejadian masa silam, menyaksikan riuh candaku bersama Sari dan Susan. Seolah aku tengah menonton layar tiga dimensi. Ragaku terjebak berada di sana sesaat. Hampa.

***

   Suara pintu kamarku tak lama berderit, aku enggan mencari tahu siapa yang memasuki kamarku. Hanya ingin berdiam diri di balik selimutku, bersembunyi. Berharap aku tertidur, lalu terbangun, dan menemukan kejadian ini hanyalah mimpi. Andai ....

"Nay, kok masih sore 'dah tidur aja sih?" Suara Susan tiba-tiba terdengar begitu dekat. Rupanya dia yang masuk.

"Nay, ayo bangun, ada premier film baru nih, aku punya gratisan lima tiket. Tar kita berangkat bareng. Kamu sama Heru, Aku ma gebetanku Doni, satu lagi buat Sari." Susan menyingkap selimut, yang menutupi tubuhku, dengan ekspresi ceria seperti biasa.

Aku mendongak dengan mata sembab. Lalu mengulurkan sepucuk surat kepada Susan.

***

   "Yaa Allah, Sari. Aku emang udah ngerasa, dia tuh sering perhatiin si Heru, kalau kita lagi jalan bareng. Tapi kagak nyangka aja gitu loh." Susan duduk di kasur sambil menghempaskan tubuhnya.

"Udah deh Nay, jangan lebay napa. Sari itu gak selevel sama kamu," ucap Susan. Sambil membenahi rambut lurusku yang acak-acakan.

"Baik dari fisik, popularitas maupun kecerdasan. Dia itu gak ada apa-apanya, dibanding kamu. Cantik, bangir, mata bulet kaya jengkol begini," seloroh Susan berusaha menyemangatiku.

" Heru mana tertarik sama gadis dekil kaya dia," ucapnya lagi.

Susan berusaha menghiburku. Bahkan sampai terkesan menjatuhkan Sari. Tapi bukan itu yang aku butuhkan. Sebab aku pun tahu, jauh di lubuk hatinya, dia pun bersedih. Atas retaknya persahabatan ini. Serupa denganku, matanya tak bisa menipu, kalau persahabatan ini berarti. Sangat berarti.

***

   "Nay, udah sampai nih, ayo turun." Heru menggosok telapak tanganku yang masih melingkar di pinggangnya.

"Ketiduran kah, Nay?"

"Eh udah sampai ya, maaf aku nggak ngeuh."

"Ya udah istirahat sana. Maafin aku, atas kejadian hari ini, ya, Sayang."

"Aku tahu diri, bukan orang baik, cumen lagi belajar bener. Terutama buat kamu, Nay. Mungkin aku terlalu possesif terkadang, atau juga kekanakkan. Aku cuma gak mau, mata bulat indahmu ini meredup karena sedih."

Heru mengusap kedua kelopak mataku, lembut. Lalu mengacak belahan rambut lurusku. Manis sekali. Sama seperti sosoknya yang manis. Salah satu cowok terpopuler di kampus kami. Digilai banyak cewek, karena figurnya yang gagah, kulit kuning wajah khas pemuda keturunan jawa yang menawan.

"Hei, ngelamun, segitu terpananya ama aku, ampe takjub begitu ngeliatinnya. Cinta mati ya? Hahahaha ...," canda Heru membuyarkan monolog jiwa.

"Cowok aku emang ganteng banget sih, ampe dikejar-kejar banyak cewek. Ampe akhirnya kamu juga sempat berpaling. Sampe sahabatku juga rela berpaling dari aku demi ngejar kamu. Iya kan?"

Hening, sesaat kami terdiam.

"Maafin aku, Nay, atas kejadian yang dulu. Sungguh aku sayang banget sama kamu. Tapi aku kan sudah berjanji bakal setia dan jagain kamu. Bahkan ketika yang sakitin kamu itu, orang terdekatmu, Nay."

Lagi, kami terdiam, tenggelam dengan pemikiran kami sendiri-sendiri. Ini hari yang berat bagi kami, terutama bagiku. Ada rasa rekah di jiwa, menjadi bongkahan pilu di sudut kalbu. Perasaan kehilangan yang sungguh hebat. Aku berhasil meraih cintaku, tapi kehilangan persahabatanku bersama Sari.

"Nay, aku cabut ya, besok aku jemput, kita ke kampus bareng."

Aku hanya mengantar dia pergi dengan seulas senyum. Rasanya tubuh ini penat sekali. Berjalan gontai, melewati ruang tamu tanpa memperhatikan sekitar.

Tiba-tiba aku mendengar suara Sari, memanggilku. Kiranya dia ada di ruang tamu. Entah sejak kapan, dia menghampiri, tiba-tiba merengkuhku dengan isak tangis tertahan.

"Nay, maafin Sari. Maaf Sari merusak segalanya. Ternyata keputusan Sari mengejar cinta itu keliru. Kini Sari kehilangan segalanya, kehilangan kamu terutama. Mendapatkan perhatian Heru pun tidak. Justru dia muak. Lalu harga diriku ... hks hks, imageku hancur sudah di kampus."

Aku terdiam. Tak mampu bersuara. Sungguh aku pun tidak suka atas semua yang terjadi, semoga bisa dia tarik hikmah atas kesemuanya ini.
Lalu Sari melepaskan rengkuhannya, dari tubuhku yang bereaksi diam. Bergeming reaksi tubuh, ekspresi dari suasana hati yang kacau.

Sari mengacak rambutku, dan berucap. "Sari sayang kamu, Nay. Selamanya kamu bakal ngisi singgasana tertinggi di hati Sari, sebagai sahabat terbaik Sari."

Lalu dia beranjak dari hadapanku, sementara aku masih terdiam, terpaku, kesadaran seolah terenggut. Hingga, deru suara mobil Sari menyadarkan, kalau dia sudah meninggalkan rumah ini.

***

   Setelahnya Sari menghilang. Dia tak pernah lagi muncul di kampus. Beberapa orang mengatakan Sari pindah kota, ada juga yang bilang pindah kampus. Ada secarik sesal dihatiku. Sari juga tidak pernah lagi muncul di depan teras rumahku. Sementara saat kali terakhir kami bertemu, belum terucap kata pengampunan dari lisanku. Meski sebenarnya aku tidak pernah benar-benar marah. Menyadari bahwa retaknya persahabatan ini, berawal atas saranku sendiri. Agar Sari mau mengejar cinta rahasianya. Hanya saja tidak pernah aku kira, jika dia mencintai kekasih sahabatnya sendiri. Kekasihku.

TAMAT


#Cerpen
RETAK
Karya : Tsurayya Tanjung




Tidak ada komentar:

Posting Komentar